Anda di halaman 1dari 31

HUKUM KESEHATAN

PERTEMUAN I
 PENGANTAR UMUM
 Pada dasarnya (secara fitrah), setiap manusia dalam keberadaannya di masyarakat
ingin hidup teratur Namun demikian, persepsi / konsep ttg makna keteraturan
menurut seseorang sangat mungkin berbeda dengan yang lain => Dalam konteks
demikian maka diperlukan kaidah-kaidah sosial Ada beragam macam kaidah sosial
(seperti: kaidah agama, susila, adat, hukum dan lain sebagainya). Semua kaidah
sosial tersebut pada prinsipnya berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia agar
kepentingan dan hak-haknya terjaga / terlindungi dan tidak saling bertentangan
 Khusus kaidah sosial berupa hukum , secara konseptual memiliki fungsi dan tujuan
untuk mengatur hubungan antar manusia dalam rangka mencapai kedamaian dan
keadilan melalui terciptanya keserasian antara ketertiban dengan ketentraman (TEORI
FUNGSI HUKUM SEBAGAI SOCIAL ORDER)
 Suatu masyarakat yang teratur, tertib dan tentram sesungguhnya adalah suatu sistem
yaitu SISTEM KEMASYARAKATAN yang sangat kompleks di mana terciptanya
keteraturan, ketertiban dan ketentraman tersebut sangat bergantung pada teraturnya
sub-sub sistem kemasyarakatan itu sendiri yang antara lain dikondisikan oleh kaidah
sosial bernama hukum tadi .
 Pengertian Hukum Kesehatan
a. H.J.J.Leenen: mencakup semua aturan hukum yang secara langsung berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan yang terganggu atau tercemar, dan penerapan aturan-
aturan hukum perdata serta pidana selama aturan-aturan itu mengatur hubungan-
hubungan hukum dalam pemeliharaan kesehatan. (Soerjono S: 1987, 28. Fred Ameln:
1991, 14)
b. W.B. van der Mijn: Hukum kesehatan bisa diartikan sebagai kumpulan aturan-aturan
yang berkaitan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan maupun penerapan
hukum perdata, pidana, dan administrasi. (Terjemahan bebas dalam Soerjono S: 1987,
29)
Hukum Kesehatan
 Peraturan dan ketentuan hukum untuk profesi kesehatan, farmasi  obat-obatan,
keshn jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, hygiene
 Tujuan Pembangunan kesehatan ( UU Kesehatan Pasal 3) (untuk dapat meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan yang optimal - lama)
 Untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis
• Hukum kesehatan adalah peraturan perundang- undangan yang menyangkut
pelayanan kesehatan (merupakan ketentuan hukum yg berhubungan langsung dengan
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan)
• Yang terlibat didalam hukum kesehatan adalah : perorangan, lapisan masyarakat,
penyelenggara kesehatan, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan kesehatan,
ilmu pengetahuan kesehatan, dan hukum
 Kedudukan Hukum Kesehatan dalam Ilmu Hukum
• Hukum Kesehatan adalah bagian dari Hukum Administrasi Negara
• Menurut Pinet: mewujudkan kesehatan untuk semua; faktor determinan yang
mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “.biological, behavioral,
environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population,
science and technology, information and communication, gender, equity and social
justice and human rights”. (Pinet: 1998, 134)
 Fungsi Hukum Kesehatan
Menurt Fred Ameln:
1) Kepastian Hukum: Health Providers melakukan kegiatan medik sesuai keahlian; bagi
Health Receivers bahwa yang melakukan kegiatan medik adl yang mampu
melakukan;
2) Perlindungan Hukum: Health Provider mendapatkan perlindungan sepanjang
melakukan tugas sesuai standar profesi; bagi Health Receiver ketidaktahuan akan
ilmu kedokteran shg perlu perlindungan hk serta kepentingan2nya.
3) Menampung semua pendapat2 etis dalam suatu masyarakat yang etis pluriform.
 Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
• Konsep-konsep dasar, teori, metodologi;
• Aspek individual dari hukum kesehatan;
• Kualitas pemeliharaan kesehatan;
• Ketentuan-ketentuan dalam pemeliharaan kesehatan;
• Kesehatan preventif dan lingkungan;
• Akses finansiil dalam pemeliharaan kesehatan;
• Hubungan pasien dan pemberi layanan kesehatan;
• Peran pemerintah;
• Hubungan pemerintah dan rakyat;
• Hukum kesehatan internasional.
(Leenen dalam Soerjono S.: 1987, 30-31)
• Ruang Lingkup Luas dan kompleks, bisa 30 UU yang berkaitan dengan kesehatan
dengan 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan,
peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan
kualitas dalam pemeliharaan kesehatan. (D.C.Jayasuria: 1997, hlm.16-28, 33)

 Penting Kehadiran Hukum Kesehatan antara lain


1. Terkait perlunya pengaturan tentang pemberian jasa keahlian medis yang tetap
menjaga standar, kualitas dan profesionalitas guna melindungi penerima jasa (pasien
dan atau masyarakat pada umumnya) => Standar pendidikan (keahlian), Peralatan,
Rekomendasi Profesi dll
2. Terkait perlunya pengaturan yang berorientasi untuk mengendalikan masalah
pembiayaan kesehatan (terutama yang bersifat kuratif dan rehabilitatif) yang harus
ditanggung pasien dan atau masyarakat => Regulasi Standar tentang Harga Obat,
Biaya Jasa Keahlian, Jasa Tempat Perawatan (di Rumah Sakit) dll
3. Terkait perlunya pengaturan tentang Perlindungan Hukum bagi Pasien yang mengalami
tindakan-tindakan medis secara keliru dari tenaga kesehatan dan institusi kesehatan
(seperti Dokter, Perawat, Paramedis, manajemen Rumah Sakit dll) => Misal jika
terjadi Malpraktek Kedokteran atau tindakan diagnostik maupun terapeutik lain
yang salah dan fatal / merugikan oleh para tenaga kesehatan tersebut
4. Terkait perlunya pengaturan tentang Perlindungan Hukum bagi Dokter dan tenaga
kesehatan lain serta institusi kesehatan (seperti Rumah Sakit) dari tuntutan hukum
yang tidak proporsional oleh pasien dan atau masyarakat baik secara Pidana maupun
Perdata
5. Terkait perlunya penegasan pengaturan tentang tanggung jawab atau kewajiban
negara terhadap masalah kesehatan warga mayarakat yang merupakan hak mereka
=> Aspek Kesehatan merupakan salah satu dari jenis-jenis hak EKOSOB (Ekonomi,
Sosial, Budaya) warga yang kewajiban pemenuhannya oleh negara harus bersifat
Ommissionis (berbuat sesuatu / action / to fulfil). Beda dengan pemenuhan jenis-
jenis HAM SIPOL yang bersifat Ommissionis.
6. Terkait perlunya penegasan pengaturan tentang hak masyarakat untuk bebas memilih
salah satu metode pelayanan kesehatan tertentu yang dikehendakinya
7. Terkait perlunya pengaturan yang berorientasi pada perlindungan terhadap kepentingan
publik secara luas terutama yang berhubungan dengan persoalan nilai dan etik akibat
langkah-langkah dan pengembangan dunia medis => Dalam konteks demikian
persoalan BIOETIKA menjadi signifikan untuk mendapat perhatian serius

 BEBERAPA ASAS- ASAS PENTING DALAM HUKUM KESEHATAN


1. Sa Science et Sa Conscience.
Artinya: “ya ilmu pengetahuannya ya hati nuraninya” . Maksudnya, kepandaian
seorang ahli kesehatan seperti dokter tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan
kemanusiaan dalam memberikan pertolongan kepada sesama / seseorang / pasien.
Dalam kenyataan (das sein), asas ini terkadang menjadi dasar bersikap dokter untuk
menggunakan haknya menolak melakukan tindakan medis tertentu pada seseorang /
pasien jika itu bertentangan dengan hati nuraninya. Misal melakukan suatu operasi
medis yang disfungsional (tidak ada pengaruhnya bagi pasien)
2. Agroti Salus Lex Suprema.
Artinya : “keselamatan pasien merupakan hukum yang tertinggi” . Maksudnya,
tertolongnya jiwa pasien harus ditempatkan di atas kepentingan/pertimbangan apapun.
Dalam konteks demikian lahir prinsip bahwa dokter tidak boleh menolak menangani
pasien yang datang meminta bantuan kepadanya
3. Deminimus Non Curat Lex.
Artinya: “hukum tidak boleh / tidak perlu mencampuri hal-hal yang sepele”.
Maksudnya, dalam kasus malpraktek kedokteran misalnya, selama kejadian itu tidak
berdampak merugikan bagi pasien maka hukum tidak boleh menuntut (mencampuri).
Asas ini merupakan Perlindungan Hukum bagi tenaga kesehatan
4. Res Ipsa Liquitur.
Artinya: “fakta telah berbicara” . Maksudnya , misal dalam kasus malpraktek
kedokteran di mana unsur kelalaian / kesembronoan / kekurang hati-hatian telah
nyata terjadi maka hal itu tidak perlu pembuktian lebih lanjut jika fakta kelalaian
yang telah nyata merugikan pasien tersebut telah terlihat jelas (berbicara) secara
logika / standar Asas ini merupakan Perlindungan Hukum bagi pasien
Pertemuan Ke II
• ETIK, HUKUM DAN BIOETIKA
• Pengertian Etika
- Etika berasal dari Bahasa Yunani “Ethikos” (berarti “moral”) dan kata “Ethos” (berarti
“karakter, watak kesusilaan atau adat”).
• Etika : berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok (bisa
kelompok profesi) untuk menilai apakah suatu tindakan yang telah dilakukan itu
benar atau tidak.
• Tindakan manusia ditentukan bermacam-macam norma.
• Norma Dasar Utama Pedoman Perilaku adalah Bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa yang meliputi norma-norma dasar antara lain:
• Berperilaku adil;
• Berperilaku jujur;
• Berperilaku arif dan bijaksana;
• Bertanggung jawab;
• Menjunjung tinggi harga diri;
• Berintegritas tinggi;
• Berdisiplin tinggi;
• Berperilaku rendah hati;
• Bersikap mandiri;
• Bersikap profesional.
• Norma hukum : berasal dari hukum dan perundang-undangan
• Norma agama : berasal dari agama
• Norma sopan santun : berasal dari kehidupan sehari-hari

Sistematika Etika (menurut Magnis-Suseno et al., 1991:68)


Etika dibedakan menjadi 2 (dua), yakni:
1. Etika Umum ,Membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti:Pengertian
etika; Fungsi etika Masalah kebebasan; Tanggung jawab
2. Etika Khusus Menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral pada masing-masing
bidang kehidupan manusia. Etika khusus Dibedakan menjadi:Etika individual
(Memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri) dan Etika social (Membicarakan
kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia (sikap terhadap sesama)
ETIKA PROFESI
• Bagian dari Etika Sosial
yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab
manusia sebagai anggota umat manusia.Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.
• Etika Profesi: etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi
yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar
Profesi tersendiri, sesuai dengan kebutuhan Profesi masing-masing.
• Pengertian Profesi (Magnis-Suseno et al., 1991:70) adalah pekerjaan yang dilakukan
sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan
suatu keahlian yang khusus.
• (Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.) Profesi: pekerjaan tetap bidang tertentu
berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan
memperoleh penghasilan.

Perbedaan antara Profesi dengan Pekerjaan:


• Adanya keahlian khusus
Profesi mensyaratkan adanya keahlian khusus. Persyaratan adanya keahlian khusus
yang membedakan antara pengertian Profesi dan Pekerjaan. Meskipun demikian, pada
hekekatnya terjadi kesulitan mencari garis pemisah yang tajam antara Profesi dan
Pekerjaan. (Magnis-Suseno et al., 1991:70)
• Ketersediaan wadah atau organisasi
Pada Profesi, lazimnya terdapat wadah untuk memberikan dukungan kepada
penyandang Profesi yang bersangkutan. Sementara, Pekerjaan lazimnya tidak terdapat
wadah. Wadah merupakan organisasi Profesi yang bersangkutan yang umumnya
dibentuk untuk mengemban tanggung jawab menegakkan Etika Profesi dan senantiasa
meningkatkan standar kualifikasi profesi tersebut.

Profesi
• Profesi dapat dibedakan menjadi:
• Profesi pada umumnya Pengertiannya sebagaimana tercantum pada pengertian
“Profesi”
• Profesi yang Luhur (officium nobile) seperti tenaga kesehatan
Yaitu: Profesi yang pada hakekatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau
masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa menjalankan Profesi yang Luhur tidak boleh
mendapatkan keuntungan finansial. Namun, keuntungan finansial bukanlah
merupakan motivasi utama.
Motivasi utama Profesi yang Luhur adalah kesediaan yang bersangkutan untuk
melayani sesama manusia. Misal: seorang Advokat wajib tetap memberikan bantuan
hukum baik Kliennya walaupun sang Klien tidak sanggup melunasi pembayaran jasa
hukum sebagaimana diperjanjikan. Lebih lanjut, tujuan Advokat menjalankan
Profesinya adalah penegakkan hukum bukanlah kemenanngan sang Klien.

• Untuk menegakkan Etika dan memajukan standar kualifikasi Profesi terdapat prinsip-
prinsip yang wajib dilaksanakan yang pada umumnya dicantumkan dalam Kode Etik
Profesi.

Kode Etik Profesi


• Kode Etik Profesi : (Syamsuryadi) Daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah
profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat semua anggota dalam
menjalankan profesinya.
• Kode Etik (Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.): norma dan asas yang diterima oleh
suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.
• Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A. Kode Etik: Pedoman bertingkah laku
yang berdimensi moral

• Di Indonesia, Kode Etik suatu Profesi biasanya disusun oleh wakil-wakil yang duduk
dalam organisasi atau asosiasi Profesi. Timbul kesulitan ketika pada satu Profesi
terdapat lebih dari satu organisasi atau asosiasi. Kesulitan akan lebih besar ketika
• prinsip-prinsip Profesi diterjemahkan secara berbeda dalam Kode Etik masing-masing
organisasi atau asosiasi Profesi.

• Fungsi Kode Etik sangat penting bagi suatu Profesi


1. Kode Etik dapat meningkatkan kewibawaan Profesi pada umumnya dan
organisasi Profesi pada khususnya baik dihadapan para anggotanya maupun
dihadapan masyarakat;
2. Kode Etik memberikan parameter yang jelas tentang sikap dan perbuatan yang
dikehendaki oleh Profesi dan organisasi Profesi yang menjalankan Profesi
tersebut;
3. Kode Etik memungkinkan para anggota Profesi yang tergabung dalam organisasi
tersebut untuk mengatur dirinya sendiri, disamping peraturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah.

Pada prinsipnya, ada 2 (dua) prinsip umum yang wajib dijalankan oleh suatu
Profesi, antara lain:
1. Prinsip agar menjalankan Profesinya secara bertanggung jawab
Maksudnya adalah Profesional yang bersangkutan bertanggung jawab baik terhadap
Profesi yang dijalankan (menjalankan Profesinya sebaik mungkin) maupun terhadap
hasilnya (hasil berkualitas);
2. Prinsip untuk menghormati hak-hak orang lain, termasuk dalam menjalankan Profesi
wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup.

• Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa motivasi utama Profesi yang Luhur adalah
pelayanan kepada sesama manusia bukan keuntungan finansial, sehingga umumnya
Profesi yang Luhur (officium nobile) mengadopsi 2 (dua) prinsip yang penting (Prof.
Darji Darmodiharjo, S.H.): (1)mendahulukan kepentingan orang yang dibantu, apakah
itu Klien atau Pasien; (2).Mengabdi pada tuntutan luhur Profesi

Hukum
• Hukum adalah peraturan perundang-undangan yg dibuat oleh suatu kekuasaan, dalam
mengatur pergaulan hidup masyarakat
• Hukum Perdata mengatur subyek dan antar subyek dalam hubungan dan
kedudukannya yang sederajat.
• Hukum pidana adh peraturan mengenai hukuman (penguasa dan pemerintah
mempunyai kedudukan yang tertinggi)

Beda Etik, Disiplin dan Hukum


==========================
ETIK
• Berlaku untuk profesi
• Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
• Etik bisa tertulis dan tidak tertulis
• Sanksi etik berupa tuntunan
• Pelanggaran etik diselesaikan oleh Profesi
• Penyelesaikan pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik
DISIPLIN
• Berlaku untuk profesi
• Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
• Disiplin tertulis
• Sanksi Diisiplin berupa bisa tuntunan dan tuntutan atau keduanya
• Pelanggaran Disiplin diselesaikan oleh Profesi
• Penyelesaikan pelanggaran disiplin bisa bukti fisik,bisa tanpa bukti fisik
HUKUM
• Berlaku untuk umum
• Disusun oleh badan pemerintah yang berkuasa
• Hukum tersusun rinci dalam UU dan lembaran negara
• Sanksi hukum berupa tuntutan
• Pelanggaran hukum diselesaikan oleh aparat hukum / pengadilan
• Penyelesaian pelanggaran hukum harus dengan bukti fisik

BIOETIKA
• Pengertian Bioetika selalu terkait dengan Etika, yaitu “rambu-rambu berperilaku,
yang berpangkal pada moral religiositas” dengan “aktivitas serta dampak yang
ditimbulkan dari Penelitian ilmu-ilmu hayati modern, yang diaplikasikan pada
makhluk hidup, utamanya manusia”.
• Bioetika merupakan rambu-rambu berperilaku, yang memandu aktivitas penerapan
ilmu/teknologi hayati modern, - utamanya jika diterapkan kepada makhluk hidup-,
agar tidak memberikan dampak yang merugikan kepada makhluk hidup itu
(utamanya:manusia) atau keanekaragaman hayati (utamanya: kemanusiaan) serta
lingkungannya.

EMPAT PRINSIP BIOETIKA [Beauchamp and Childress (1994)


Berasal dari Bioetika Kedokteran (Medical Bioethics)
Hubungan Dokter-Pasien harus memenuhi 4 prinsip:
1. Non-maleficent (cause no-harm, tidak menyebabkan mudarat)
2. Beneficence (effect a cure, manfaat )
3. Autonomy (repect patients autonomy, menghormati otonomi pasien )
4. Justice (treat patients fairly, memperlakukan pasien secara “adil”)

Empat Prinsip ini disebut sbg: prima facie principles, Yang Berarti: “at first appearance”
• PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA
Bioetika Kedokteran (Medical Bioethics)
PRIMA FACIE
(1) Menghormati Otonomi (Respect to Autonomy)
(2) Adil (Justice)
(3) Memberikan Mashlahat (Beneficence)
(4) Tidak memberikan Mudarot (Non-maleficent)

[Dengan penyesuaian atau modifikasi, keempat prinsip bioetika dalam kedokteran ini
bisa digunakan untuk jenis bioetika yang lainnya]

PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA
Bioetika Kefarmasian (Pharmacal/Pharmaceutical Bioethics)
Hubungan antara Apoteker-Pasien
PRIMA FACIE
(1) Menghormati Otonomi (Respect to Autonomy)
(2) Adil (Justice)
(3) Memberikan Mashlahat (Beneficence)
(4) Tidak memberikan Mudarot (Non-maleficent)
Bioetika Kefarmasian (Pharmacal/Pharmaceutical Bioethics)
Hubungan antara Apoteker-Pasien
1. Otonomi (Autonomy)
Dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, maka profesi apoteker harus
mengakui dan respect terhadap hak (otonomi) pasien.
Pasien mempunyai hak untuk mengetahui obat apa yang tertulis dalam resep, yang
akan diberikan kepada pasien. Pasien juga mempunyai hak untuk bertanya tentang
hal-ihwal yang berkaitan dengan obat itu; seperti khasiat, efek-samping, harga obat,
dan apakah obat itu dapat diganti dengan jenis yang sama tetapi lebih murah
harganya, misal diganti obat generik.
Respek terhadap otonomi pasien, diejawantahkan Apoteker dalam bentuk pemberian
jawaban profesional yang jelas kepada pasien.
2. Adil (Justice)
Dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, maka profesi apoteker harus
berlaku adil kepada pasien. Tidak boleh ada perlakuan khusus/istimewa terhadap
pasien atas dasar apapun.
Pasien mempunyai hak untuk dilayani secara adil. Dalam hal ini Profesi apoteker
harus memegang teguh prinsip kedua dari Primafacie ini yaitu adil. Dalam
memberikan pelayanan kepada pasien tidak boleh ada diskriminasi atau perlakuan
khusus berbasiskan pada ras, agama, jabatan dll. Perlakuan khusus akan dilakukan
HANYA jika dalam resep tertulis bahwa resep harus segera dikerjakan atau
diserahkan kepada pasien, dengan pertimbangan keadaan kesehatan pasien yang
membahayakan (cito atau periculum in mora).
3. Mashlahat (memberikan manfaat, Beneficence)
Pelayanan profesi apoteker harus bisa memberikan efek penyembuhan kepada pasien,
atau sekurang-kurangnya memberikan palliative treatment. Dengan demikian azas
manfaat merupakan prinsip yang harus dipegang oleh profesi apoteker dalam layanan
kepada masyarakat.
Sebagai profesi yang bergerak di bidang kesehatan, dan ikut dalam layanan kepada
masyarakat (baca: pasien), maka pasien harus bisa merasakan manfaat dari pelayanan
profesi apoteker. Profesi kefarmasian harus mampu menjadikan apotek sebagai
tempat untuk public health information and services; khususnya dalam hal obat
maupun alat kesehatan.
4. Tidak-Mudarot (Non-Maleficent)
Prinsip “tidak-mudarot”, atau non-maleficent, berarti pelayanan keprofesian tidak
boleh menyebabkan kerugian atau kemudarotan lainnya (cause no harm). Pasien tidak
boleh menderita oleh sebab pelayanan kefarmasian.
Dalam melaksanakan prinsip non-maleficent ini, maka apoteker harus
melaksanakannya dengan tindakan penuh kehati-hatian (precautional acts). Mulai
dari penerimaan-resep, pembacaan-resep, persiapan, pembuatan dan penyerahan obat;
harus dilaksanakan secara profesional menurut kaidah-kaidah kefarmasian.

Selain empat Prinsip Bioetika diatas, yang dikenal dengan Primafacie, dikenal pula
prinsip-Prinsip, Bioetika yang tercantum dalam:The Universal Declaration on
Bioethics and Human Right(UDBHR)
Dalam Deklarasi ini tercantum prinsip-prinsip yang lebih rinci, yang dapat digunakan
sebagai pegangan/acuan profesi apoteker, utamanya bila bekerja di rumah sakit,
lembaga riset, atau industri
• Universal Declaration on Bioethics and Human Rights (UDBHR, 2005)
Principles of UDBHR
1. Human dignity and human rights
2. Benefit and harm
3. Autonomy and individual responsibility
4. Consent
5. Persons without capacity to consent
6. Respect for human vulnerability and personal integrity
7. Privacy and confidentiality
8. Equality, justice and equity
9. Non-discrimination and non-stigmatization
10. Respect for cultural diversity and pluralism
11. Solidarity and cooperation
12. Social responsibility and health
13. Sharing and benefits
14. Protecting future generations
15. Protection of the enviroment, the biosphere and biodiversity
( Sumber Umar.A.Jennie rakernas IAI)
• CIRI-CIRI BIOETIKA
1.Bersifat interdisipliner :
Artinya, analisis bioetika dalam peran sentralnya memecahkan berbagai problem etik-
medis, melibatkan banyak ilmu lain terkait. Seperti ilmu kedokteran, ilmu hayati,
sosiologi, hukum, filsafat, teologi dan lain -lain.
2. Bersifat internasional:
Artinya walaupun tempat, kebudayaan dan bahasa berbeda-beda, tetapi masalah-
masalah yang dibahas dan menjadi kajian bioetika pada prinsipnya sama (universal).
Namun demikian pemecahannya tidak harus sama. Karena substansi etik pada suatu
masyarakat lainnya bis berbeda konsepsi.
PERTEMUAN III
TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Gambaran Umum UU 12 Tahun 2011
 Terdiri atas 13 Bab dan 104 Pasal
 Disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 2011
SISTEMATIKA :
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Asas Pembentukan Puu
Bab III : Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan Puu
Bab IV : Perencanaan PUU ( Perataturan Perundang-undangan)
Bab V : Penyusunan PUU
Bab VI : Teknik Penyusunan PUU
Bab VII : Pembahasan Dan Pengesahan RUU
Bab VIII : Pembahasan Dan Penetapan Raperda Prov,Kab/Kota
Bab IX : Pengundangan
Bab X : Penyebarluasan
Bab XI : Partisipasi Masyarakat
Bab XII : Ketentuan Lain-Lain
Bab XIII : Ketentuan Penutup

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan


Perundang undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan/penetapan, dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat berwenang dan mengikat secara umum.
 Asas Peraturan Perundang-Undangan
1. kejelasan tujuan;
2. kelembagaan/pejabat pembentuk yang tepat;
3. kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan;
4. dapat dilaksanakan;
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. kejelasan rumusan; dan
7. keterbukaan.
 Asas Materi Muatan
1. pengayoman;
2. kemanusiaan;
3. kebangsaan;
4. kekeluargaan;
5. kenusantaraan;
6. bhinneka tunggal ika;
7. keadilan;
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan
11. asas lain sesuai dengan bidang hukum PUU yang bersangkutan.
 Jenis Dan Hierarki Puu
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; dan
8. Peraturan Desa
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut di atas mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh:
a. MPR
b. DPR
c. Dewan Perwakilan Daerah
d. Mahkamah Agung
e. Mahkamah Konstitusi
f. Badan Pemeriksa Keuangan
g. Komisi Yudisial
h. Bank Indonesia
i. Menteri
j. badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang
k. DPRD Provinsi
l. Gubernur
m. DPRD Kabupaten/Kota
n. Bupati/Walikota
o. Kepala Desa atau sebutan lain yang setingkat;
Jenis Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang :
1. diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2. dibentuk berdasarkan kewenangan.

MATERI MUATAN
Materi Muatan UU :
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

MATERI MUATAN
1. Materi muatan PERPPU sama dengan materi muatan UU.
2. Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
3. Materi muatan PERPRES berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk
melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.

MATERI MUATAN
Materi muatan PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/Kota berisi materi muatan :
a. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta
menampung kondisi khusus daerah; dan/atau
b. penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
 PERENCANAAN PUU
Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas/Prompempernas
a. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas di lingkungan DPR – Baleg/Bapemuu;
b. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas di lingkungan Pemerintah – Menhukham;
c. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan
oleh DPR (Baleg/Bapemuu);
d. Tata cara penyusunan Prolegnas/Prompempernas diatur oleh Peraturan DPR.
 PERENCANAAN PUU
 Perencanaan penyusunan PP dan PERPRES dilakukan dalam suatu program
penyusunan PP dan PERPRES
 Tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
diatur dengan Peraturan Presiden
 PERENCANAAN PUU
Perencanaan penyusunan PERDA dilakukan dalam Prolegda :
a. Penyusunan Prolegda/Propemperda di lingkungan DPRD – Balegda/Bapperda;
b. Penyusunan Prolegda/Propemperda di lingkungan Pemerintah Daerah – Biro Hukum
pada Pemerintah Provinsi atau Bagian Hukum pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. Penyusunan Prolegda/Propemperda antara DPRD dan Pemerintah Daerah
dikoordinasikan oleh DPRD (Balegda/Bapperda);
d. Tata cara penyusunan Prolegda/Propemperda diatur oleh Peraturan DPRD.
 Garis Besar Proses Pembentukan Uu/Perda
1. Proses persiapan di lingkungan Pemerintah/Pemerintah Daerah atau di DPR/DPRD
(Hak Inisiatif)
2. Proses Pembahasan di DPR/DPRD
3. Proses Pengesahan oleh Presiden terhadap UU, Penetapan PERDA Provinsi oleh
Gubernur dan Penetapan PERDA Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.
4. Proses Pengundangan
 Dasar Hukum Peralihan Keputusan Mengatur Menjadi Peraturan
 Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011
 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau Keputusan pejabat lainnya yang sifatnya mengatur, yang sudah
ada sebelum UU ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan sepanjang tidak
bertentangan dengan UU ini
PERTEMUAN IV
HUBUNGAN HUKUM PIHAK-PIHAK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
 Dalam perspektif perkembangan teori dan doktrin hukum, hubungan antara PASIEN
dengan DOKTER semula adalah bersifat SANGAT PRIBADI Artinya, hubungan tersebut
didasarkan atas dasar kepercayaan penuh pasien pada dokter untuk menyembuhkan
penyakitnya yang kemudian dengan itu melahirkan TRANSAKSI TERAPIUTIK
 Namun dalam TRANSAKSI TERAPIUTIK tersebut nuansa perjanjian transaksionalnya
masih berpola VERTIKAL PATERNALISTIK. Maksudnya, kedudukan dokter tidak
sederajat (alias lebih tinggi) daripada pasien. Karena pasien dalam posisi tidak tahu apa-
apa tentang penyakitnya dan memasrahkan penuh upaya penyembuhannya pada dokter
 Berdasar kontrak terapiutik di atas dokter kemudian memainkan peran yang besar dan
relatif dominan dalam proses dan upaya penyembuhan penyakit pasien. Namun demikian
, sifat peran dokter dapat diibaratkan seperti Bapak Yang Sedang Menghadapi
Masalah Anaknya => Father Knows Best Principle => Inilah letak pola/sifat
Paternalistik
 Selanjutnya hubungan antara PASIEN dengan DOKTER berkembang dan berubah
menjadi bersifat HORIZONTAL KONTRAKTUAL.
 Artinya, hubungan PASIEN-DOKTER adalah hubungan dua pihak dalam kedudukan
yang sejajar / sederajat yang sedang mengikatkan diri dalam suatu kontrak (perjanjian)
=> INSPANNINGS VERBINTENIS
 Sebagai suatu perjanjian pula, maka bagi kedua belah pihak (PASIEN-DOKTER)
masing-masing tentu memiliki HAK-HAK tertentu dan terikat untuk melaksanakan
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN tertentu

PRINSIP-PRINSIP SAHNYA PERJANJIAN


Diatur dalam Pasal 1320 BW / KUHPerdata dan dalamTRANSAKSI TERAPIUTIK
DALAM PERSPEKTIF PASAL 1320 BW
1. Ada Kesepakatan
 Dalam kontrak terapiutik kesepakatan ini dianggap telah terjadi yaitu pada saat
pasien mendatangi dan mengutarakan maksud keinginannya terkait penyembuhan
penyakit yang dideritanya dan dokter menyatakan kesediaannya baik melalui ORAL
STATEMENT (lisan) maupun IMPLIED STATEMENT (sikap / perilaku / tindakan
yang dapat disimpulkan sebegai kesediaan)
 Implikasi atas makna adanya kesepakatan tersebut juga berarti bahwa kesepakatan itu
harus tidak boleh terjadi karena suatu kekhilafan dan atau keterpaksaan => Ada HAK
MENOLAK DOKTER dan ada Hak Persetujuan Atas Suatu Tindakan Medis Pada
Pasien
CATATAN PENTING:
 Terkait unsur / syarat pertama sahnya perjanjian ini, ada hal khusus dan berbeda pada
TRANSAKSI TERAPIUTIK dibanding perjanjian pada umumnya. Yaitu bahwa ia tidak
menyepakati suatu obyek tertentu yang jelas, kongkrit dan pasti.
 Misal kepastian tentang sembuhnya penyakit pasien. Kalaupun ada Terkait unsur / syarat
pertama sahnya perjanjian ini, ada hal khusus dan berbeda pada TRANSAKSI
TERAPIUTIK dibanding perjanjian pada umumnya. Yaitu bahwa ia tidak menyepakati
suatu obyek tertentu yang jelas, kongkrit dan pasti.
 Misal kepastian tentang sembuhnya penyakit pasien. Kalaupun ada obyek kesepakatan
ia hanya berupa UPAYA PENYEMBUHAN

2. Adanya kecakapan para pihak untuk membuat kesepakatan


Doktrin ttg kecakapan berdasar SISTEM FIKTIF. Artinya pada prinsipnya setiap orang
DIANGGAP cakap membuat perikatan kecuali oleh UU dinyatakan tidak cakap (Pasal
1329 BW). CATATAN: Bandingkan sistem serupa pada Hukum Pidana berdasarkan
ketentuan Pasal 44 KUHP

3. Adanya Obyek tertentu yang disepakati


hal khusus TRANSAKSI TERAPIUTIK dibanding perjanjian pada umumnya. Yaitu
bahwa ia tidak menyepakati suatu obyek tertentu yang jelas, kongkrit dan pasti.
obyek kesepakatan ia hanya berupa UPAYA PENYEMBUHAN, bukan KESEMBUHAN
itu sendiri. Karena kesembuhan suatu penyakit tidak dapat dijamin perwujudannya secara
pasti oleh tenaga kesehatan dan Kesembuhan penyakit seorang pasien dipengaruhi oleh
banyak faktor.

4. Ada suatu sebab yang sah (georloof de oorzaak).


Berdasar Pasal 1337 BW prinsipnya semua hal bisa menjadi sebab yang sah sepanjang
tidak dilarang UU atau tidak bertentangan dengan kesusialaan / ketertiban umum
POTENSI KONFLIK ATAU PERSELISIHAN ANTARA PASIEN – TENAGA
KESEHATAN BESERTA IMPLIKASI / PERTANGGUNG JAWABAN HUKUMNYA
 Tanggung Jawab Secara Hukum Perdata
 Pertanggung jawaban perdata seorang dokter dalam hubungan hukumnya dengan
pasien , merupakan konsekwensi logis atas transaksi bersifat horizontal kontraktual
yang terjadi antara keduanya.
 Dalam konteks demikian ketika tenaga kesehatan melakukan WAN PRESTASI atau
berbuat PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Onrechmatigedaad), ia dapat
digugat dan dituntut ganti rugi yang timbul dari dua hal tersebut
A. Melakukan Ingkar Janji ( Wan Prestasi ).
Ada 4 (empat) kemungkinan bentuk Wan Prestasi:
1. Tidak melakukan apa yang dijanjikan / disanggupi
2. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai waktu
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi hasilnya tidak sesuai sebagaimana yang
diperjanjikan
4. Melakukan sesuatu yang justru menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
B. Melakukan Perbuatan Melawan hukum (onrechtmatige daad)
1. Terkait Pasal 1365 BW yang menyatakan: “tiap perbuatan melanggar hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”.
• ARTI / MAKNA PERBUATAN MELAWAN HUKUM
a. Bertentangan dengan UU
b. Melanggar Hak Orang lain
c. Bertentangan dengan Kewajiban Hukum diri sendiri
d. Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik)
e. Tidak sesuai dengan kepatuhan &/ kecermatan dalam pergaulan hidup
2. Terkait Pasal 1366 BW yang menyatakan bahwa:
“setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”
3. Terkait Pasal 1367 BW yang menyatakan bahwa:
“setiap orang harus bertanggung jawab tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan
dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan
orang lain yang berada di bawah pengawasannya
PERTEMUAN V

KEWENANGAN , HAK DAN TANGGUNGJAWAB APOTEKER


PENGELOLA TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN

Karakteristik profesi apoteker


1. Telah mengucapkan, menghayati dan senantiasa mentaati sumpah / janji dan Kode Etik
Apoteker Indonesia.
2. Selalu memelihara kompetensi melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
khusus dalam bidang kefarmasian.
3. Memahami dan memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi perilaku yang
mementingkan klien, khsususnya peduli terhadap kesehatan pasien.
4. Melaksanakan pekerjaan/praktik berdasarkan standar profesi, antara lain standar
pelayanan dan sistem penjaminan mutu.
5. Mempunyai kewenangan profesi, sehingga untuk itu Apoteker harus bersedia
memperoleh sanksi, sebagai konsekwensi dari hak mendapatkan surat izin kerja/praktik .

Dalam menjalankan terikat oleh 3 (tiga) aturan


1. Norma Etik wujudnya kode etik yang lahir karena sistem nilai
2. Norma Disiplin wujudnya pedoman disiplin yang lahir karena sistem otonom
3. Norma Hukum wujudnya peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum

Kewenangan, Kewajiban dan Hak Apoteker


 Kewenangan Apoteker
Van der Mijn dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang
pada 3 (tiga) ukuran umum, yaitu :
1. Kewenangan
2. Kemampuan rata-rata
3. Ketelitian yang umum
Pasal 108 mengatur kewenangan apoteker :
Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Tenaga
 Kewajiban Apoteker
1. kewajiban yang bersumber sebagai profesi apoteker, - kode etik apoteker dan
sumpah
2. kewajiban yang berdasarkan pada penerapan keilmuannya saat memberikan
pelayanan- Pedoman disiplin
3. Kewajiban yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
pemerintah
 Kewajiban Apoteker dalam Memberikan Pelayanan Kefarmasian
1. Standar profesi apoteker,
2. standar praktek dan pedoman praktek apoteker,
3. Standar pelayanan kefarmasian,
4. pedoman disiplin.
5. Medication record,
6. Informed consent,
7. rahasia kedokteran dan kefarmasian
 Standar Profesi Apoteker
• Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidangnya
• Sebagai seorang profesi apoteker maka apoteker harus mempunyai seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan
oleh apoteker yang disebut dengan Kompetensi Apoteker Indonesia
 Kompetensi yang harus dimilik apoteker :
1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik
2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi
3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai
standar yang berlaku
5. Mempunyai ketrampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan
6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat
7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan standar yang
berlaku
8. Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan interpersonal
dalam melakukan praktik kefarmasian
9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan
dengan kefarmasian
 Standar Praktek dan Pedoman Praktek Profesi Apoteker
• Standar Praktik Apoteker ini menjadi pedoman yang mengikat bagi Apoteker yang
menjalankan praktik kefarmasian di seluruh wilayah Indonesia.
• Standar praktek apoteker diatur dibuat oleh organisasi profesi dengan
mempertimbangkan kompetensi apoteker dan tindakan profesi,
 Standar Prosedur Operasional
• Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan
langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas
• Pasal 57 UU no.36 tahun 2014 perlindungan tenaga kesehatan dgn menjalankan SPO
• PP 51 tahun 2009 Pasal 23 mengatur kewajiban apoteker untuk membuat standar
prosedur operasional.
 Pedoman Disiplin Apoteker
Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker untuk mentaati kewajiban
dan menghindari larangan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan praktik
dan/atau peraturan perundang-undangan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dapat
dijatuhi hukuman disiplin
 Medication Record
• Catatan Penggunaan obat (Medication Record) adalah catatan penggunaan obat dari
pelayanan kefarmasian yang diberikan apoteker.Catatan Penggunaan Obat Pasien
bersifat rahasia dan hanya boleh ditulis serta disimpan oleh apoteker
• Pelangaran terjadi jika apoteker tdk bisa menyimpan rahasia dalam medication record
 Informed Consent
• Informed Consent merupakan tindakan persetujuan yang diberikan oleh pasien,
keluarga orang yang mewakili pasien setelah mendapatkan penjelasan dari apoteker
terhadap apa yang akan dilakukannya dalam memberikan pelayanan.
• Pelanggaran terjadi jika tindakan tanpa informed consent
 Rahasia Kedokteran dan kefarmasian
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam Pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya
dalam lapangan kedokteran
 Hak Apoteker
Tenaga Kesehatan menurut UU No.36 tahun 2014 pasal 57 dalam menjalankan praktik
mempunyai hak
1. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
2. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan
atau keluarganya;
3. menerima imbalan jasa;
4. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai
agama;
5. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
6. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur
Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

Tanggung jawab apoteker secara Etik , disiplin dan Hukum


 Pertanggunjawaban Secara Etik
 Bentuk Pelanggaran etik
a. Pelanggaran etik murni
b. Pelanggaran etikolegal
 pemberian sanksi akan dikelompokkan berdasarkan kriteria pelanggaran etik yaitu :
1. Ignorant (tidak tahu)
2. Kelalaian (alpa)
3. Kurang Perhatian
4. Kurang terampil
5. Sengaja
 Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan per-Undang-
Undangan yang berlaku adalah
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker,
atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker; dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.

Hukum perdata
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian (Wanprestasi) tersebut dapat berupa :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
Pasal 1365
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian
tersebut”
Pasal 1366
“Seorang apoteker selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum
seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
kerugian”
Pasal 1367
“Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya”
 Undang-undang No.36 tahun 2014 pasal Pasal 77
 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
 Peraturan Pemerintah 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan alat
kesehatan Pasal 43
 Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat
atau kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

Bentuk Pelanggaran Administratif apoteker


1. Apoteker tidak taat pada regulasi yang dibuat pemerintah.
2. Apoteker mamalsukan surat Izin Praktek/izin kerja
3. atau ketidaklengkapan perizinan
4. atau dipergunakan sebagai alat/sarana kejahatan/pelanggaran hukum
5. penggunaan sumber daya manusia yang tidak memenuhi kompetensi/izin khusus

Tindakan administratif dapat berupa


1. peringatan secara tertulis
2. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik produk
sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang tidak memenuhi persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan
3. perintah pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan
4. pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri, izin edar sediaan farmasi
dan alat kesehatan serta izin lain yang diberikan
 Pasal – Pasal pertanggungjawaban secara Pidana
– Pasal 294 ayat (2) KUHP tentang kesusilaan
– Pasal 304,531 KUHP membiarkan seseorang yang seharusnya ditolongnya
– Pasal 322 KUHP, pelanggaran rahasia yang wajib disimpannya oleh apoteker
– Pasal,299, 347, 348, dan 349 KUHP, tentang melakukan perbuatan abortus atau
membantu abortus
– Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
 Pidana dalam UU No.36 tahun 2009
– Pasal 190 ayat (1) Tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
– Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
– Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
– Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
– Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian
PERTEMUAN VI
HAK MENDAPATKAN INFORMASI KESEHATAN BAGI PASIEN
DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
• Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang diperoleh saat kelahirannya sebagai
manusia, maka HAM meliputi hak-hak yang apabila dicabut atau dikurangai akan
mengakibatkan berkurang derajat kemanusiaannya
• Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan
Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H butir 1 : ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

UU no 36 tahun 2009 pasal 9-13 kewajiban Negara terhadap kesehatan :


1. Mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
2. Menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik,
biologi, maupun sosial.
3. Berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan
yang setinggi-tingginya.
4. Hak untuk mendapatkan informasi kesehatan terhadap dirinya (sebagai pasien) karena
hak menerima informasi yang benar, jujur dan jelas menjadi landasan bahwa setiap orang
berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan
diberikan kepadanya sebagai hak pasien untuk memilih ( pasal 7 dan 8 UU Kes. No.36
tahun 2009)

Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam bidang kesehatan(Universal Declaration
of Human Rights)
1. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care),
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to information),
3. Hak untuk ikut menentukan (the right to determination).
Hak mendapatkan kesehatan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 4-8
antara lain :
1. Kesehatan
2. Akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
4. Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
5. Lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
6. Informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
7. Informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Hak Mendapatkan Informasi dalam UU kesehatan No.36 tahun 2009


Pasal 7
• Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
• Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.

Hak Dasar Masyarakat Dalam Hal Mendapatkan Informasi Adalah:


1. Hak untuk diinformasikan (rights to be informed);
2. Hak untuk mengetahui (rights to know);
3. Hak untuk mendapatkan salinan dokumen (right to obtain the copy);
4. Hak untuk menyebarluaskan informasi (right to disseminate)

Contoh Kasus Hukum dimana Hak informasi pasien yang tidak dipenuhi
 Kasus Prita
Kasus Prita dan dr. Ayu ini pasien merasa tidak mendapat informasi yang jelas dan
jujur dari dokter yang merawatnya dan tidak mudah mendapatkan informasi
Prita Mulyasari dapat diambil beberapa fakta yang berhubungan dengan hak pasien atas
informasi yakni :
 Pasien ingin mendapat penjelasan mengenai penyakit dan semua terapi yang
didapatkannya.
 Ada kesalahan dari pihak dokter dan rumah sakit mengenai informasi awal yang
diberikan terhadap pasien dan cara dokter/rumah sakit menjelaskannya kurang
memuaskan pasien.
 Keingintahuan pasien pasien yang begitu besar dan meminta kejujuran dokter dan
rumah sakit sehingga seolah-olah dokter dan rumah sakit kewalahan menjelaskannya.
 Pasien meminta catatan medik selama dia dirawat terutama hasil laboratorium yang
menyebabkan dia dirawat di rumah sakit tersebut.
 Kasus Dokter Ayu
 dr.Dewa Ayu Sasiary Prawan yang merupakan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan di rumah sakit Dr Kandau Manado
 Pasiennya meninggal dunia, keluarga pasien/korban adalah orang yang pada posisi
tidak mengetahui proses persalinan secara medis yang benar
 Rumah Sakit/tenaga medisnya tidak memberikan penjelasan atau informasi yang baik
dan benar ke keluarga pasien
 Kesalahan persepsi karena tidak diberikan penjelasan, misalnya tentang observasi
yang dilakukan oleh dokter dianggap oleh keluarga pasien sebagai suatu pembiaran
yang terlalu lama dan keadaan gawat darurat yang menjadi otoritas dokter dalam hal
menentukan kapan keadaan gawat darurat

Penyampaian Informasi kepada pasien


Ada 3 Pandangan
• 1. Pandangan Paternalisme
• 2. Pandangan Individualisme
• 3. Pandangan Moderat

1) Pandangan Paternalisme
• Pasien tidak memiliki pengetahuan medis sehingga pasien cukup mengetahui bahwa
kenyataannya dokter sedang melakukan upaya maksimal untuknya.
• Lebih baik tidak dibertahukan semuanya agar tidak mengganggu dan mempengaruhi
semangat dan kemampuan pasien untuk segera sembuh.
• Tidak ada gunanya memberikan kabar buruk kepada pasien jika prognosis bahwa
pasien itu akan meninggal
• Lebih baik jika keluarga pasien diberitahu, tetapi jangan diberitahu kepada
pasien,sebab pasien perlu dilindungi dari kabar buruk.
2) Pandangan Individualisme
• Hanya pasien yang berhak mengetahui informasi mengenai dirinya
• Lebih mudah dokter mengobati pasien yang sadar akan keadaan dirinya.
• Pasien sering marah karena tidak diberi tahu terlebih dahulu tentang efek samping
atau hal-hal yang menyakitkan menjadikan gangguan terhadap dirinya

3) Pandangan Moderat
• Mendengarkan pasien dengan seksama serta memperhatikan apa yang ingin diketahui
pasien.
• Tidak menghindar dari pertanyaaan pasien yang mendesak tetapi harus jujur,namun
tidak kasar.
• Tidak memaksakan informasi untuk diterima jika pasien belum siap untuk
mendengar.
• Berusaha menjelaskan kepad pasien dalam istilah awam atau bahasa sehari-hari
• Kebenaran harus diberitahukan dengan jelas, hati-hati dan mausiawi, jangan sekali-
kali kasar,dingin,tanpa member harapan, atau tanpa kasihan.
• Jangan sekali-kali meninggalkan pasien atau keluarganya tanpa member harapan
sedikitpun walaupun hanya dengan jaminan dokter akan berusaha semaksimal
mungkin.

Kesimpulan
1. Bahwa aturan hukum yang ada di Indonesia terkait dengan hak pasien untuk
mendapatkan informasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia secara eksplisit sudah
ada dalam peraturan perundang-undangan.
2. Kasus-kasus penuntutan pasien terhadap tenaga medis maupun sarana kesehatan di
karenakan hak informasi kepada pasien tidak diperhatikannya oleh tenaga medis
maupun sarana pelayanan kesehatan.
3. Hak mendapatkan informasi kesehatan merupakan hak yang harus didapatkan seorang
pasien untuk dapat menentukan nasibnya sendiri dalam pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai