Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial
di bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri
karena selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial,
disamping pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan
rumah sakit. Misi rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak
dipungkiri bahwa dalam pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari
berbagai pihak. Konflik kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi
organisasi rumah sakit. Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi
bisnis dan organisasi non bisnis.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit
swasta tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah
sakit masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini
antara lain disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial
maupun sumber daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan
membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas
jasa layanan rumah sakit harus dibarengi dengan profesionalisme dalam
pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen
maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu
lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara lain adalah dari
para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada
kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit
kepemerintahan yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh
perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat,
secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan
untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani
masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan
rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.
Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan
untuk kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan
menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi
dilema antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya
keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi.
Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan
apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan
ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.
Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan
mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau
fleksibilitas manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Bentuk BLU merupakan alternatif penting dalam menerapkan
Otonomi Daerah yang merumuskan Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagai Layanan
Teknis Daerah .
Selain itu, pengertian lain menyatakan bahwa badan layanan umum adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas.
asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
Syarat-syarat BLU
Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM
yang telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai
dengan kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan,
dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam
hal RSUD maka SPM ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus
memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan
2. Terukur
3. Dapat dicapai
5. Tepat waktu
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya
operasional, dan biaya investasi atau modal.
2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok
dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat
Laporan audit terakhir atau penyataan bersedia untuk diaudit secara independen
Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian
dari proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan
dalam PP nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan
minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa
SPM harus memiliki indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.
Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait
dengan mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:
Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu;
Pemerataan dan kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus
Standar layanan BLU semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada
jenis layanan); Measurable (dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan
dan dapat diandalkan); dann Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS
Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar
penyelenggaraan yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang;
Pelayanan keperawatan; Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang
terdiri dari manajemen sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen
sistem informasi rumah sakit; manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu
Pelayanan)
Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari
empat perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan
Keuangan.
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi
BLU dalam aspek teknis keuangan adalah:
Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian
rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing)
terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini
aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupu subsidi pemerintah sehingga
masih terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja
atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit
cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih.
Tarif tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada
prosentase tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus melalui
mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan aspek pasar dan
dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah adalah pemerintah
daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)
Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis
subsidi dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari
dari indikator input, indikator proses dan indikator output.
Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang disusun oleh organsisasi
profesi akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari
pemerintah.
ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman
modal jangka panjang
iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah
menjadi BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,
harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya
serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di
daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah
dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi
persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan.
Imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam
bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per
investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri
keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan
kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri
keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Sedangkan privatisasi rumah sakit merupakan perubahan RSUP menjadi bentuk perjan
atau instansi pemerintah yang diswastakan. RSUP yang selama ini tidak pernah
memerhatikan masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi
keuangan secara rutin. Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti
perubahan fungsi RS dari fungsi sosial menjadi “industry jasa” berkurangnya
kemampuan pemerintah untuk “mensubsidi” pelayanan kesehatan, pengelolaan RS
swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan berkembangnya
paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan kajian dari
aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan oleh
departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya
akan semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika,
rumah sakit yang telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar
rumah sakit dapat tetap beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk
menutup investasi dengan mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya
akan mendorong dokter untuk cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan
mengesampingkan etika. Akibat privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi
pasien yang tidak tercover oleh asuransi kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan
Depkes kepada Presiden pada surat No 173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005
mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais,
Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang, Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar,
Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang, dan M. Hoesin Palembang) dapat
berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.
Pada rumah sakit berbentuk BLU, bentuknya lebih bersifat otonom dengan manajemen
BLU, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan tersebut harus dikelola
sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk
meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana,
menjalin hubungan dengan pihak ketiga, dan tidak menumpuk keuntungan saja,
sehingga BLU masih tetap harus melayani masyarakat miskin.
Adapun tujuan dari reformasi bentuk badan hukum dari organisasi dan manajemen
rumah sakit pemerintah ini diantaranya adalah :
1. Dengan adanya perubahan bentuk badan hukum rumah sakit dari berbantuk
PNBP (penerimaan negara bukan pajak) menjadi Badan Layanan Umum,
diharapkan terjadi peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Rumah sakit
pemerintah
2. Dengan adanya perubahan ini para karyawan mendapatkan gaji sesuai dengan
kinerja mereka masing-masing sehingga pada akhirnya tercipta iklim kerja yang
sehat di lingkungan rumah sakit.
4. Dengan perubahan ini juga diharapkan tidak melupakan fungsi sosial sebuah
rumah sakit yaitu dengan tetap memberi pelayanan bagi rakyat miskin.
Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak
ketiga untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit, bahkan juga
untuk menutup biaya operasional jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-
benar mengkhawatirkan, namun persoalannya ketika sudah menggandeng banyak
pihak, beban untuk peningkatan pelayanan lambat laun akan ditimpakan kepada
pasien. Dengan adanya aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki
keleluasaan dalam mengelola keuangannya dan mutu rumah sakit yang semakin bagus
dengan adanya sistem BLU ini karena manajemen rumah sakit mampu mengelola
keungannya sendiri dan bisa meningkatkan kemampuan SDM nya untuk mewujudkan
mutu rumah sakit yang berkualitas.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD
dan rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik
karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia
(SDM) yang rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(BLU). Dengan PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri
kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan
oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan
kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan
status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS
semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin
jauh dari pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah
sakit yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Hal ini bisa ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada
dokter meningkat dan tidak akan berobat ke luar negeri.
Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah
satu ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada
alasan lagi dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program
pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi
kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan
untuk menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk
semua pasien, meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif
pelayanan.
Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Masyarakat
Miskin (Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50
persen yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.
Istilah ‘fungsi sosial”, “subsidi”, dan “merugi”sesungguhnya tidak tepat digunakan untuk
sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan
bahwa kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa
memperhatikan tugas pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan
diskusi tentang RS Publik dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya
diartikan memberikan pelayanan bagi masyarakat yang kurang mampu (yang di
Amerika sering disebut uncompensated care), melekat pada RS swasta khususnya
yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi pemegang sahamnya (for profit
private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya yang miskin, adalah
kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik, puskesmas, dan
upaya-upaya lain.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20
persen, maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling
penting RS harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sejak ditetapkannya rumah sakit menjadi BLU, pendapatannya dari tahun ke tahun
selalu meningkat murni dari peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
Hal ini juga didukung oleh para Direktur Utama Rumah Sakit untuk ikut mensukseskan
program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas III RS dengan mekanisme
asuransi kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes Indonesia.
Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money). Solusi
terhadap permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan
memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD
maupun iur premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang
diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah
memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.
KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU
dapat dikatakan bermutu jika SPM RS BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS
bermutu dapat terpenuhi. BLU yang diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi sistem manajemen rumah sakit yang
bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat memberikan pelayanan
berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba sangat berbeda
dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS untuk
mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.