Anda di halaman 1dari 23

Pendahuluan

Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa pelayanan sosial
di bidang medis klinis. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri
karena selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial,
disamping pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan
rumah sakit. Misi rumah sakit tidak terlepas dari misi layanan sosial. Namun tidak
dipungkiri bahwa dalam pengelolaan rumah sakit tetap terjadi konflik kepentingan dari
berbagai pihak. Konflik kepentingan berbagai pihak ini dapat bersumber dari klasifikasi
organisasi rumah sakit. Klasifikasi organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi
bisnis dan organisasi non bisnis.

Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit
swasta tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam kelompok non bisnis. Beberapa rumah
sakit masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih sangat memprihatinkan. Hal ini
antara lain disebabkan karena keterbatasan sumber daya baik sumber daya finansial
maupun sumber daya non finansial. Tuntutan peningkatan kualitas jasa layanan
membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit. Kenaikan tuntutan kualitas
jasa layanan rumah sakit harus dibarengi dengan profesionalisme dalam
pengelolaannya. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen
maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu
lingkungan eksternal dan internal. Tuntutan eksternal antara lain adalah dari
para stakeholder bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada
kepuasan pasien. Tuntutan dari pihak internal antara lain adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional
dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit
kepemerintahan yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh
perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat,
secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan
untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani
masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan
rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut.

Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit
pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan
untuk kalangan menengah ke bawah. Akibantnya rumah sakit pemerintah diharapkan
menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi
dilema antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya
keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi.
Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan
apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan
ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis.

A. Pengertian BLU Rumah Sakit


Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yaitu : “Badan Layanan Umum / BLU adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas”. Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan
pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan
mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau
fleksibilitas manajemen rumah sakit publik, baik milik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Bentuk BLU merupakan alternatif penting dalam menerapkan
Otonomi Daerah yang merumuskan Rumah Sakit Daerah (RSD) sebagai Layanan
Teknis Daerah .

Selain itu, pengertian lain menyatakan bahwa badan layanan umum adalah instansi di
lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas.

Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan


Umum, tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi dan
produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Praktik bisnis yang sehat artinya
berdasarkan kaidah manajemen yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban. Secara umum

asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan

kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.

Asas BLU yang lainnya adalah:

1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum


kepada pimpinan instansi induk,

2. BLU tidak mencari laba,

3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,

4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

BLU harus memenuhi persyaratan adminsitratif sebagai berikut :

 Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja layanan, keuangan, dan

 manfaat bagi masyarakat.

 Pola tata kelola yang baik dan laporan keuangan,

 Standar pelayanan minimum,

 Laporan audit atau pernyataan bersedia diaudit secara independen,

Syarat-syarat BLU

Rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan SPM
yang telah ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati sesuai
dengan kewenangannya, harus memperhatikan kualitas pelayanannya, pemerataan,
dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam
hal RSUD maka SPM ditetapkan oleh pemerintah daerah. SPM tersebut harus
memenuhi persyaratan :
1. Fokus pada pelayanan

2. Terukur

3. Dapat dicapai

4. Relevan dan dapat diandalkan

5. Tepat waktu

Adapun regulasi yang mengaturnya yaitu:

- Pasal 1 angka 23 UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara

- Pasal 1 angka 1 PP No.23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU

- Pasal 3 PP No.23 tahun 2005 tentang asas BLU

- PP No.65 tahun 2005 tentang penyusunan SPM

- Pasal 4 PP No.23 tahun 2005 tentang syarat menjadi BLU

Keuntungan BLU bagi rumah sakit yaitu :

1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan


pelaporan standar akutansi keuangan yang memberi informasi tentang laporan
aktivitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas dan catatan laporan
keuangan.

2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya
operasional, dan biaya investasi atau modal.

3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas Negara,


hanya dilaporkan saja ke Departemen Keuangan.

4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk


kegiatan operasional RS.

5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang sesuai


kebutuhan dan kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh pimpinan
RS.

B. Ukuran Rumah Sakit BLU yang Bermutu


Ukuran rumah sakit BLU yang bermutu diantaranya :

- Terpenuhinya persyaratan SPM dalam BLU

RS BLU adalah RS pemerintah yang menjual jasa pelayanan rumah-sakit not-for-


profit tetapi tetap dikelola dengan prinsip produktifitas dan efisiensi. Dengan memiliki
bentuk sebagai organisasi BLU, maka RS memilki pola pengelolaan keuangan (PPK)
yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek
bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Praktek bisnis
yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah
manajemen yang baik (goodcorporate governance) dalam rangka pemberian layanan
yang bermutu dan berkesinambungan. Good coorporate governance sendiri adalah
konsep untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk
menjamin agar tujuan RS tercapai dengan penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin
RS dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi berbagai
persyaratan, yaitu:
1. Substantif yang dapat dipenuhi bila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan Iayanan umum yang berhubungan dengan:

 Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum

 Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu

 Pengelolaan dana khusus

2. Teknis yang dapat dipenuhi apabila kinerja pelayanan sesuai bidang tugas pokok
dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU serta kinerja
keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan: sehat

3. Administratif yang dapat dipenuhi apabila dapat menyajikan dokumen:


 Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan
manfaat bagi masyarakat;

 Pola tata kelola

 Rencana strategis bisnis

 Laporan keuangan pokok

 Standar pelayanan minimum

 Laporan audit terakhir atau penyataan bersedia untuk diaudit secara independen

Atas dasar itu maka penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) menjadi bagian
dari proses kegiatan merubah bentuk RS menjadi bentuk BLU. SPM sediri didefinisikan
dalam PP nomor 23 tahun 2004 sebagai spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan
minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat. Dari definisi ini terlihat bahwa
SPM harus memiliki indikator kinerja pelayanan dan standar (target) pencapaiannya.

- Memenuhi standar rumah sakit BLU bermutu

Pelanggan baik eksternal maupun internal mempunyai keinginan-keinginan ataupun


harapan terhadap jasa yang disediakan oleh rumah sakit. Mereka mempunyai
persyaratan-persyaratan yang diharapkan dapat dipenuhi oleh rumah sakit. Namun
demikian pelanggan eksternal sebagai pengguna jasa pelayanan mengharapkan apa
yang diinginkan dapat dipuaskan (customer satisfaction), sedangkan tenaga profesi
mengajukan persyaratan agar pelayanan yang disediakan memenuhi standar profesi,
sedangkan pihak manajemen menghendaki pelayanan yang efektif dan efisien. Jadi
mutu dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Dari pendapat beberapa pakar
mutu yang memperhatikan berbagai sudut pandang tersebut, dapat dirangkum ada 16
dimensi mutu:
1. Efficacy: pelayanan yang diberikan menunjukan manfaat dan hasil yang
diinginkan
2. Appropriateness: pelayanan yang diberikan relevan dengan kebutuhan klinis
pasien dan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan
3. Availability: pelayanan yang dibutuhkan tersedia
4. Accessibility: pelayanan yang diberikan dapat diakses oleh yang membutuhkan
5. Effectiveness: pelayanan diberikan dengan cara yang benar, berdasar ilmu
pengetahuan, dan dapat mencapai hasil yang diinginkan
6. Amenities: kenyamanan fasilitas pelayanan
7. Technical competence: tenaga yang memberikan pelayanan mempunyai
kompetensi tehnis yang dipersyaratkan
8. Affordability: pelayanan yang diberikan dapat dijangkau secara finansial oleh
yang membutuhkan
9. Acceptability: pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyaraka pengguna
10. Safety: pelayanan yang diberikan aman
11. Efficiency: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan efisien
12. Interpersonal relationship: pelayanan yang diberikan memperhatikan hubungan
antar manusia baik antara pemberi pelayanan dengan pelanggan maupun antar
petugas pemberi pelayanan.
13. Continuity of care: pelayanan yang diberikan berkelanjutan, terkoordinir dari waktu
ke waktu
14. Respect and caring: pelayanan yang diberikan dilakukan dengan hormat, sopan
dan penuh perhatian
15. Legitimacy/Accountability: pelayanan yang diberikan dapat dipertanggung-
jawabkan (secara medik maupun hukum)
16. Timelines: pelayanan diberikan tepat waktu.
Untuk dapat menyediakan pelayanan yang bermutu maka RS harus menetapka
berbagai standar yang terdiri dari standar seluruh aktifitas yang
berhubungan/berpengaruh terhadap kualitas hasil dan operasional organisasi dalam
mencapai tujuan.

- Terpenuhinya Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Berbagai butir-butir peraturan atau ketentuan tentang mutu pelayanan yang terkait
dengan mutu pelayanan di rumah-sakit antara lain:

1. PP 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU

Dalam PP 23 tahun 2005 terdapat aturan mengenai SPM yaitu bahwa SPM
mempertimbangkan (dimensi): Kualitas tehnis, proses, tatacara, dan waktu;
Pemerataan dan kesetaraan; Biaya; Kemudahan. Dimana dalam penyusunannya harus
Standar layanan BLU semestinya memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada
jenis layanan); Measurable (dapat diukur); Achievable (dapat dicapai); Reliable (relevan
dan dapat diandalkan); dann Timely (tepat waktu)
1. KepMenKes 228 tahun 2002 tentang pedoman penyusunan SPM RS

Dalam Kepmenkes 228 tahun 2002, maka SPM RS harus memuat standar
penyelenggaraan yang terkait dengan: Pelayanan medik; Pelayanan penunjang;
Pelayanan keperawatan; Pelayanan bagi Gakin; dan Manajemen rumah sakit (yang
terdiri dari manajemen sumberdaya manusia; manajemen keuangan; manajemen
sistem informasi rumah sakit; manajemen sarana prasarana; dan manajemen mutu
Pelayanan)

1. Buku indikator kinerja RS (Depkes tahun 2004)

Dalam buku indikator kinerja RS dijelaskan bawa indikator kinerja harus diukur dari
empat perspektif, yaitu: Pengembangan SDM, Proses, Kepuasan pelanggan, dan
Keuangan.

1. Buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS (Depkes tahun 1998)

Sedangkan dalam buku petunjuk pelaksanaan indikator pelayanan RS terdapat 4 jenis


indikator yaitu: Indikator pelayanan non-bedah; Indikator pelayanan bedah; Indikator
pelayanan ibu bersalin dan bayi; dan Indikator tambahan (dibagi rujukan dan
nonrujukan)

C. Rumah Sakit Sebagai BLU


1.

1. Tinjauan Aspek Pelaporan Keuangan

Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan


PP No:23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan keuangan
diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan
oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini mengakibatkan
ketidakkonsistensian yaitu bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi

kepemerintahan tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi

keuangan ) dari IAI, bukan menggunakan PSAP (Standar akuntansi pemerintahan).


Dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba
menggunakan SAK. Nilai lebih dari rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan
uumun ditinjau dari isi pelaporan keuangan adalah rumah sakit harus mengikuti
ketentuan untuk pelaporan keuangan organisasi nirlaba dan menyanggupi untuk
laporan keuangan tersebut diaudit oleh auditor independence. Dengan kesanggupan
tersebut tentu saja diharapkan rumah sakit dapat mencapai tata kelola yang baik dan
pelaporan yang transparans. Laporan keungan rumah sakit sebagai BLU yang disusun
harus menyediakan informasi untuk:
a) Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba,

b) Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit, (disajikan dalam bentuk


laporan aktivtias dan laporan arus kas)

c) Mengetahui kontinuitas pemberian jasa, (disajikan dalam bentuk laporan posisi


keuangan)

d) Mengetahui perubahan aktiva bersih, (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas)

1. Tinjauan Aspek Teknis Keuangan

Adanya sistem desentralisasi membuat rumah sakit harus melakukan banyak


penyesuaian khusunya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun
penganggaraannya, termasuk penentuan biaya. Rumah sakit pemerintah dituntut untuk
menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Dalam pengelolaannya rumah sakit
pemerintah memiliki peraturan pendukung yang terkait dnegan pengelolaan keuangan
yang fleksibel. Berdasar PP no: 23 tahun 2005 tersebut rumah sakit pemerintah telah
mengalami perubahan sebagai badan layanan umum. Perubahan kelembagaan ini
berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada departemen
kesehatan tetapi kepada departemen keuangan. Sebagaimana telah diuraikan di atas
dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi keuangan,
maka dalam pengelolaan teknis keuangan pun harus diselenggarakan dengan
mengacu pada prinsip-prinsip akuntanbilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang
disusun rumah sakit pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja (sesuai
dengan Kepmendagri no 29 tahun 2002).
Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung adanya
hubungan yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan
dengan parastakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayanan kesehatan
yang mencakup unit cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang perlu
dipertimbangankan lagi adalah adalah adanya audit atau pemeriksaan bukan saja dari
pihak independen terhadap pelaporan keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan
berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu saja aspek teknis sangat berhubungan
erat dengan basis kinerja.
Tahap Penyusunan Tarif

Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratan


substantif, persyaratan teknis dan persyaratan admnistratif adalah berkaitan dengan

standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya

harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi
BLU dalam aspek teknis keuangan adalah:

 Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian
rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing)
terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. Selama ini
aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupu subsidi pemerintah sehingga
masih terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja
atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit seharusnya berbasis pada unit
cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi yang dipilih.
Tarif tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yang
diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis pada
prosentase tertentu namun berdasar pada kajian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus melalui
mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan aspek pasar dan
dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah adalah pemerintah
daerah dan DPRD (lihat gambar di atas)
 Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis
subsidi dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari
dari indikator input, indikator proses dan indikator output.
 Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK yang disusun oleh organsisasi
profesi akuntan dan siap diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari
pemerintah.

 Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based.


Dalam penyusunan sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran
bahwa tingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu
adalah basic salary yang merupakan alat jaminan safety bagi
karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua
adalah incentives yaitu sebagai alat pemberian motivasi bagi karyawan.
Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan
yang ketiga adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada karyawan.Pemberian
bonus ini sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit. Implementasi aspek
teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam upayanya untuk
peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
D. Tata Kelola BLU
Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate
governanceatau tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut
adalahtransparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan
kesetaraan/kewajaran. Namun dalam Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang
dituntut untuk dilaksanakan hanya empat prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai
berikut:

1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses


pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan
mengenai perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini
adalah terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam
manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana
dengan baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau
benturan kepentingan peran.
3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam
pengelolaan lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku, termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan
industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar
penggajian dan persaingan yang sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang
timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Aplikasi Konsep Tata Kelola yang Baik
Selain bersaing untuk mendapatkan pengguna, lembaga pelayanan publik juga
bersaing dengan sektor lain untuk memperoleh sumber daya dari pemerintah. Sehingga
pelaksanaan pola tata kelola yang baik menjadi sangat vital bagi lembaga.

Aplikasi Pola Tata Kelola ini terutama ditujukan untuk:

i. Meningkatkan kemampuan bersaing mendapatkan sumber daya dari pemerintah


maupun non pemerintah

ii. Mengurangi risiko perubahan yang terjadi tiba-tiba dan mendorong penanaman
modal jangka panjang

iii. Memperkuat sektor finansial

iv. Memajukan manajemen yang bertanggung jawab dan kerja finansial yang solid

Pola Tata Kelola Rumah Sakit


Tata Kelola RSD dengan PPK BLUD disusun sesuai dengan falsafah BLUD yang
tertuang di Permendagri nomor 61 tahun 2007, sebagai berikut:

1) Pelaksanaan reformasi di bidang keuangan dan perkecualian dari aturan Negara


sebelumnya

2) Diberikan previlledge dan tuntutan khusus

3) Penganggaran berbasis kinerja


4) Orientasi pada output

5) Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government )


6) Menerapkan pola pengelolaan yang fleksibel

7) Menonjolkan produktifitas, effektif dan effisien

Instansi yang dikelola secara “ business like “


9) Tenaga yang professional dan competent
10) Kontrak Kinerja ( a contractual performance agreement )
Pola Tata Kelola, yang merupakan peraturan dasar internal RSD dengan PPK BLUD,
yang menggambarkan Akuntabilitas, Transparansi, Indepedensi, dan Resposibilitas.
Tata Kelola Rumah Sakit Daerah dengan PPK – BLUD adalah Tata kelola Rumah Sakit
(Hospital Bylaws) yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan BLUD yaitu
meningkatkan pelayanan dengan praktek bisnis yang sehat, yaitu pengelolaan
manajemen yang baik, bermutu dan berkesinambungan. Terminologi hospital
bylaws perlu dibedakan dengan terminologi ruleand regulation dalam banyak hal;
antara lain dalam hal materi (substansi) serta badan (otoritas) yang punya kewenangan
mengesahkannya.
E. Alasan Rumah Sakit Pemerintah dijadikan BLU
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PP tersebut
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya
tidak ada pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan
pelayanan kepada masyarakat yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka
macam. Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan
lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan
ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan
selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini
terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat
klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh rumah sakit umum daerah
dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu
layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber
daya manusia (SDM) yang rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari
aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari
lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan
berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya.
Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang
dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi
dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan
daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari
segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan
layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan
rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan
cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi
masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri
bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen
layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit
pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.

Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah
menjadi BLU/BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,
harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya
serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di
daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala daerah
dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi
persyaratan, yaitu :

1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;

2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan


standar yang telah ditetapkan;

3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat


pencapaiannya, rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan
dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;

5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan.
Imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam
bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per
investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri
keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan
kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri
keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan
tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. kontinuitas dan pengembangan layanan;

2. daya beli masyarakat;

3. asas keadilan dan kepatutan; dan

4. kompetisi yang sehat.

Pengelolaan Keuangan Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya


UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU
No. 12 Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, serta Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum
Penyusunan APBD, kemudian PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah sakit
pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam
pengelolaan keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan biaya. Dengan
terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah mengalami perubahan
menjadi BLU. Perubahan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan tidak lagi
kepada Departemen Kesehatan tetapi kepada Departemen Keuangan, sehingga harus
mengikuti standar akuntansi keuangan yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-
prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Anggaran yang akan disusun pun harus
berbasis kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Penyusunan
anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang didasari dari indikator input,
indikator proses dan indikator output, sebagaimana diatur berdasarkan PP No. 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PMK No.
76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan
Layanan Umum, dan khusus untuk RSUD, pengelolaan keuangannya harus mengacu
dan berdasarkan Permendagri Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.

F. Apakah BLU sama dengan privatisasi (jelaskan)


Badan layanan umu tidak sama dengan privatisasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Badan Layanan Umum (BLU)
adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan
praktik bisnis yang sehat. Berdasarkan PP No.23 tahun 2005 pasal 3 disebutkan
beberapa asas BLU diantaranya BLU tidak mencari laba. Selain itu, sekalipun BLU
dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi, namun
pengelolaan keuangan BLU mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibanding
dengan BUMN/BUMD, diantaranya BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. BLU juga disertai dengan beberapa persyaratan, yang meliputi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

Sedangkan privatisasi rumah sakit merupakan perubahan RSUP menjadi bentuk perjan
atau instansi pemerintah yang diswastakan. RSUP yang selama ini tidak pernah
memerhatikan masalah cost dan revenue sekarang diwajibkan melaporkan situasi
keuangan secara rutin. Perubahan status RSUP menjadi status perjan seperti
perubahan fungsi RS dari fungsi sosial menjadi “industry jasa” berkurangnya
kemampuan pemerintah untuk “mensubsidi” pelayanan kesehatan, pengelolaan RS
swadana yang tidak lagi berjalan akibat adanya UU PNBP, dan berkembangnya
paradigma sehat. Selain itu, privatisasi rumah sakit berdasarkan telaah dan kajian dari
aspek hukum, sosial kemasyarakatan, hingga aspek moral yang telah dilakukan oleh
departemen kesehatan pada prinsipnya privatisasi rumah sakit hanya akan
mengedepankan aspek bisnis daripada fungsi sosial dan privatisasi rumah sakit hanya
akan semakin menjauhkan masyarakat dari pelayanan kesehatan. Secara logika,
rumah sakit yang telah diprivatisasi maka keuntungan akan menjadi tujuan utama agar
rumah sakit dapat tetap beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengekar target untuk
menutup investasi dengan mengambil keuntungan dari pasien. Hal tersebut akhirnya
akan mendorong dokter untuk cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional dan
mengesampingkan etika. Akibat privatisasi rumah sakit ini akan sangat terasa bagi
pasien yang tidak tercover oleh asuransi kesehatan nasional. Maka Sesuai usulan
Depkes kepada Presiden pada surat No 173/MENKES/II/2005 pada 3 Februari 2005
mengusulkan agar 13 RS Perjan (RSCM Jakarta, Fatmawati, Persahabatan, Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Anak dan Bersalin Harapan Kita, Kanker Dharmais,
Hasan Sadikin Bandung, Kariadi Semarang, Sardjito Yogyakarta, Sanglah Denpasar,
Wahidin Sudirohusodo Makassar, M. Djamil Padang, dan M. Hoesin Palembang) dapat
berubah ke sistem pengelolaan keuangan sebagai BLU.

G. Dampak BLU bagi manajemen Rumah Sakit


Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut, yang terdiri dari manajemen strategik dan operasional RS, manajemen
keuangan, manajemen barang dan sarana RS, dan manajemen SDM. Pada Rumah
sakit pemerintah ternyata manajemen pengelolaan ini sangat tergantung pada bentuk
kelembagaan Rumah sakit pemerintah sehingga peraturan/perundangan yang
memengaruhi bentuk kelembagaan Rumah sakit pemerintah akan sangat berpengaruh
pada manajemen pengelolaan Rumah sakit dan akhirnya akan berpengaruh pada
kualitas pelayanan Rumah sakit.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 RS Pemerintah adalah Unit


Pelaksana Teknis (UPT), di mana RSUP sebagai konsekuensi asas dekonsentrasi
menjadi UPT dari Depkes, sedangkan RSUD menjadi UPT dari Dinas Kesehatan
kabupaten/kota atau Pemda Dati II, sebagai konsekuensi asas desentralisasi. Campur
tangan pemda terlibat pada seluruh manajemen RS, bahkan pembiayaan RSUD 20
persen dari Pemerintah Dati II dan 80 persen subsidi pemerintah pusat.
Kemudian terjadi reformasi pertama Rumah sakit pemerintah pada tahun 1992 ketika
keluar Keputusan Presiden No 38/1991 tentang Unit Swadana, artinya Rumah sakit
pemerintah mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya
secara langsung, artinya revenue dapat dikelola secara mandiri oleh Rumah sakit
pemerintah, walaupun subsidi masih ada. Unit swadana memang bukan reformasi
kelembagaan, tapi mulai nyata adanya hubungan antara kemandirian pengelolaan
revenue ini dan peningkatan kualitas.

Reformasi ini hanya berjalan lima tahun, dengan dikeluarkannya UU No 20/1997


tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka RSUP yang sudah terbiasa
mengelola anggaran pendapatan fungsionalnya sebagai RS unit swadana harus
mengembalikan dana tersebut ke kas negara. RSUD tidak terkena UU ini.

Tetapi, dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaraan Negara, membuat suatu


terobosan dengan pembentukan badan layanan umum (BLU). Jadi RSUD walau
berbentuk Lembaga Teknis Daerah , namun sistem keuangannya adalah BLU dan
seperti juga unit swadana, maka RS BLU adalah suatu perubahan otonomi sistem
keuangan dan bukan perubahan kelembagaan RS.

Pada rumah sakit berbentuk BLU, bentuknya lebih bersifat otonom dengan manajemen
BLU, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan tersebut harus dikelola
sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk
meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana,
menjalin hubungan dengan pihak ketiga, dan tidak menumpuk keuntungan saja,
sehingga BLU masih tetap harus melayani masyarakat miskin.

Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah


rumah sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam
hal keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga
semakin menurun.

Adapun tujuan dari reformasi bentuk badan hukum dari organisasi dan manajemen
rumah sakit pemerintah ini diantaranya adalah :
1. Dengan adanya perubahan bentuk badan hukum rumah sakit dari berbantuk
PNBP (penerimaan negara bukan pajak) menjadi Badan Layanan Umum,
diharapkan terjadi peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Rumah sakit
pemerintah

2. Dengan adanya perubahan ini para karyawan mendapatkan gaji sesuai dengan
kinerja mereka masing-masing sehingga pada akhirnya tercipta iklim kerja yang
sehat di lingkungan rumah sakit.

3. Dengan adanya perubahan ini diharapkan adanya keleluasaan bagi manajemen


rumah sakit untuk mengelola keuangannya demi peningkatan dan
pengembangan sumber daya, fasilitas dan peralatan rumah sakit

4. Dengan perubahan ini juga diharapkan tidak melupakan fungsi sosial sebuah
rumah sakit yaitu dengan tetap memberi pelayanan bagi rakyat miskin.

Kualitas pelayanan Rumah sakit tergantung pada manajemen pengelolaan Rumah sakit
tersebut. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak
ketiga untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit, bahkan juga
untuk menutup biaya operasional jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-
benar mengkhawatirkan, namun persoalannya ketika sudah menggandeng banyak
pihak, beban untuk peningkatan pelayanan lambat laun akan ditimpakan kepada
pasien. Dengan adanya aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki
keleluasaan dalam mengelola keuangannya dan mutu rumah sakit yang semakin bagus
dengan adanya sistem BLU ini karena manajemen rumah sakit mampu mengelola
keungannya sendiri dan bisa meningkatkan kemampuan SDM nya untuk mewujudkan
mutu rumah sakit yang berkualitas.

H. Sikap Rumah Sakit BLU terhadap Masyarakat Miskin


Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak
sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai
masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.

Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD
dan rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik
karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia
(SDM) yang rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(BLU). Dengan PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.

Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat memungut biaya
kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan
atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang
disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/menteri
kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya, dan kemudian ditetapkan
oleh menteri keuangan/kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan
kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. kontinuitas dan pengembangan layanan;

2. daya beli masyarakat;

3. asas keadilan dan kepatutan; dan

4. kompetisi yang sehat.

Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan
status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS
semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin
jauh dari pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkannya.

Saat ini keuntungan rumah sakit bukan merupakan parameter penting untuk menilai
keberhasilan seorang direktur utama rumah sakit. Pasalnya, di masa lalu banyak rumah
sakit yang untung, tetapi semakin banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Hal ini bisa ditekan bila para dokter bekerja lebih baik, sehingga kepercayaan kepada
dokter meningkat dan tidak akan berobat ke luar negeri.

Pengurangan jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan salah
satu ukuran kesuksesan seorang direktur utama RS BLU. Selain itu, saat ini tidak ada
alasan lagi dari pihak rumah sakit menolak pasien miskin. Karena, saat ini ada program
pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga dengan mekanisme asuransi
kesehatan (Askeskin).
Manajemen keuangan rumah sakit yang sekarang dikelola dengan sistem BLU (Badan
Layanan Umum) berarti rumah sakit mempunyai kelonggaran yang lebih untuk
mendayagunakan uang pendapatan rumah sakit, bahkan masih mendapat subsidi pula.
Kelonggaran mengelola pendapatan rumah sakit hendaknya jangan dimanfaatkan
untuk menumpuk keuntungan saja, tapi untuk meningkatkan mutu pelayanan untuk
semua pasien, meningkatkan mutu sumber daya manusianya serta mengendalikan tarif
pelayanan.

Sekarang ini, parameter keberhasilan telah berubah, bukan lagi semata-mata


keuntungan material, tapi keberhasilan melayani masyarakat menjadi unsur yang jauh
lebih penting, dalam hal ini harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang feasibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.

Indikator perbaikan pelayanan RS adalah indikator yang mengukur tentang kegiatan


pelayanan di salah satu rumah sakit seperti pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan
pelayanan penunjang, dengan demikian akan memberikan kualitas dan kecepatan
pelayanan meningkat.

Sedangkan mutu pelayanan dan manfaat rumah sakit bagi masyarakat adalah dengan
mengukur sejauh mana rumah sakit BLU memberikan fasilitas kepada Masyarakat
Miskin (Maskin), antara lain proporsi penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III diatas 50
persen yang mencerminkan fungsi sosial rumah sakit.

Istilah ‘fungsi sosial”, “subsidi”, dan “merugi”sesungguhnya tidak tepat digunakan untuk
sebuah RS Publik. Penggunaan istilah tersebut dalam berbagai diskusi menunjukkan
bahwa kita tidak memahami atau pemahaman kita telah terdistorsi tanpa
memperhatikan tugas pokok dan fungsi pemerintah. Kita telah mencampur adukan
diskusi tentang RS Publik dengan RS swasta. Istilah fungsi sosial, yang umunya
diartikan memberikan pelayanan bagi masyarakat yang kurang mampu (yang di
Amerika sering disebut uncompensated care), melekat pada RS swasta khususnya
yang bertujuan mencari keuntungan atau uang bagi pemegang sahamnya (for profit
private hospital). Melayani orang tidak mampu, bukan hanya yang miskin, adalah
kewajiban pemerintah yang diberikan antara lain melalui RS Publik, puskesmas, dan
upaya-upaya lain.
Sementara keuangan merupakan indikator yang proporsinya paling kecil yaitu 20
persen, maksudnya adalah rumah sakit tidak semata-mata mencari uang tetapi paling
penting RS harus berkompetisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sejak ditetapkannya rumah sakit menjadi BLU, pendapatannya dari tahun ke tahun
selalu meningkat murni dari peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.

Hal ini juga didukung oleh para Direktur Utama Rumah Sakit untuk ikut mensukseskan
program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas III RS dengan mekanisme
asuransi kesehatan yang dikelola oleh PT. Askes Indonesia.

Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan


pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan
bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi
dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money). Solusi
terhadap permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan
memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD
maupun iur premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang
diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah
memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.

KESIMPULAN
Rumah sakit BLU yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Rumah sakit BLU
dapat dikatakan bermutu jika SPM RS BLU, standar RS BLU bermutu, dan indicator RS
bermutu dapat terpenuhi. BLU yang diterapkan di rumah sakit secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi sistem manajemen rumah sakit yang
bersangkutan. RS BLU yang diharapkan semakin dapat memberikan pelayanan
berkualitas bagi masyarakat menengah ke bawah dan bersifat nirlaba sangat berbeda
dengan sistem privatisasi rumah sakit yang justru cenderung mendorong RS untuk
mendapatkan untung agar dapat terus beroperasi, sehingga semakin menjauhkan
masyarakat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya untuk mereka.

Anda mungkin juga menyukai