Anda di halaman 1dari 51

Nama Peserta: dr.

Andriany Chairunnisa

Nama Wahana: Puskesmas Kecamatan Kalideres

Topik: Efusi Pleura pada TB Paru

Tanggal (Kasus): 3 Agustus 2018

Nama Pasien: Tn. R No RM: 05-53-01

Tanggal Presentasi: - Nama Pendamping: dr. Rina Handayani

Tempat Presentasi: Puskesmas Kecamatan Kalideres

Obyektif Presentasi:

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka


 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja Dewasa  Lansia  Bumil


Deskripsi:
Tn. R, 48 tahun, datang keluhan ke Puskesmas Kecamatan Kalideres dengan sesak sejak 3
hari. Terutama sesak saat malam hari. Sesak dirasakan pasien terus menerus, dan semakin
memberat. Sesak timbul tidak tentu, tidak dipengaruhi istirahat maupun aktifitas. Menurut
pasien, sesak tidak disertai bunyi “ngik ngik”. Sesak juga tidak hilang dengan perubahan
posisi, maupun tidak berkurang dengan penggunaan bantal yang tinggi saat tidur. Tidak ada
keluhan bengkak di tubuh pasien. Pasien tidak memiliki keluhan nyeri dada. Pasien juga
mengatakan batuk hilang timbul sejak 2 bulan. Batuk yang dialaminya batuk berdahak
kuning tidak ada darah, dan berbau. Tidak ada nyeri dada yang dialaminya. Riwayat berat
badan dan nafsu makan turun selama beberapa bulan terakhir.. Pasien sering merasa lemas,
tetapi demam dan keringat malam disangkal pasien. BAB dan BAK dalam batas normal.

1
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit lain seperti Asma, Alergi, Hipertensi,
Kencing manis, dan penyakit lainnya. Riwayat pengobatan paru 6 bulan disangkal. Pasien
tidak memiliki riwayat dirawat di rumah sakit.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama di keluarga pasien disangkal. Tidak ada riwayat Asma
Hipertensi, DM, keganasan, maupun penyakit paru di keluarga.

Riwayat Kebiasaan
Pasien riwayat merokok selama 30 tahun dan baru berhenti 1 bulan yang lalu. Pasien tidak
sedang mengkonsumsi obat tertentu. Pasien tinggal Bersama istri dan tiga orang anaknya,
dan tidak ada riwayat keluhan yang sama di rumah maupun di lingkungan sekitar. Pasien
tinggal di rumah dengan ventilasi minim, dan lingkungan padat penduduk.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : E4M6V5
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 102x/menit, irama teratur,isi cukup
Suhu : 36,8o C
Pernafasan : 28 x/menit, SpO2: 96%

Status Gizi : TB : 165 cm


BB : 54 kg
IMT : 19,83 kg/m2
Kepala : Normochepal, rambut tersebar merata, tidak mudah dicabut.

Wajah : Ekspresi wajah simetris, tidak ada parese, tidak ada nyeri tekan sinus

2
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+

Telinga : Normotia +/+, nyeri tekan tragus dan anti tragus -/- , serumen +/+
minimal
Hidung : Deviasi septum -/-, sekret -/-, konka hiperemis -/-
Mulut : Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, tidak ada gigi karies

Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid
tidak teraba membesar, JVP 5-2cm𝐻2 𝑂
Thoraks :
Pemeriksaan dada depan
Paru I : Bentuk dada normal, bintik kemerahan (-), luka (-), bekas luka (-),
benjolan (-), perubahan warna (-), memar (-), spider nevi (-), pelebaran
sela iga (-), kedua dinding dada simetris saat statis dan dinamis.
P : Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-), vokal fremitus kiri
melemah dibanding kanan
P : Lapang paru kiri redup mulai ICS 6, lapang paru kanan sonor.
A : Vesikuler melemah pada paru kiri, ronkhi -/+, wheezing -/-
Jantung I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS 5 AAL sinistra
P : Batas Kanan : ICS 5 PSL dekstra; batas kiri : ICS 5 AAL sinistra;
pinggang jantung : ICS 3 PSL sinistra
A : S1 S2 Normal reguler, murmur (-), galllop (-)

Pemeriksaan dada belakang


Paru I : Luka (-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna (-), memar (-),
nevus pigmentosus (-)
P : Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-), vokal fremitus kiri
melemah dibanding kanan
P : Redup pada paru kiri, sonor pada paru kanan
A : Vesikuler melemah pada paru kiri, ronkhi -/+, wheezing -/-

3
Abdomen I : Datar, luka (-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna (-),
memar (-), spider nevi (-).
P : Nyeri tekan (-), benjolan (-), Hepar dan lien tidak teraba membesar
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal
−/−
Ektremitas : akral hangat, edema −/− , clubbing finger (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Gula Darah Sewaktu 101 mg/Dl <200 mg/dL

Laju Endap Darah 80 mm/jam 0-15 mm/jam

VCT Non Reaktif Non Reaktif

Sputum BTA Pagi: Nanah/Lendir: Positif Negatif


Sewaktu: Nanah/Lendir: Positif

 Radiologi Thorax

Kesan: Efusi pleura kiri. Fibrosis suprahilar kiri. Elongasio arkus aorta

4
 Tujuan: Menentukan diagnosis dan managemen tatalaksana kasus Efusi Pleura pada TB
Paru
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit

Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos

Data Pasien Nama: Tn. R No Registrasi: 05-53-01

Faskes: Puskesmas Kec.Kalideres Telpon: Terdaftar sejak: 3 -8- 2018

Dasar Diagnosis :
GEJALA KLINIS (ANAMNESIS)

Seorang pria berusia 48 tahun datang dengan keluhan sesak yang semakin memberat sejak
3 hari yang lalu. Sesak tidak terdapat bunyi ngik dan tidak dipengaruhi oleh allergen, suhu,
dan cuaca, hal ini mengarahkan diagnosa tidak ke arah asma bronkhiale. Selain itu sesak
tidak dipengaruhi posisi dan tidak terdapat bengkak di tubuh pasien, hingga diagnose tidak
mengarah pada kongesti paru akibat penyakit lain seperti CKD overload maupun CHF.
Sesak disertai batuk yang sudah berlangsung selama 2 bulan. Menandakan bahwa penyakit
tergolong kronis, dan disertai dengan nafsu makan dan berat badan yang menurun selama
sakit. Pasien memiliki riwayat merokok lama yang dapat mengarahkan bahwa terdapat
kemungkinan kelainan di paru akibat terpapar asap rokok lama. Rumah dengan ventilasi
yang kurang dan lingkungan padat penduduk juga menjadi faktor resiko penularan kuman
TB.

PEMERIKSAAN FISIK

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tanda vital laju pernafasan cepat, yaitu 28x
permenit, dan saturasi oksigen menurun 96% menandakan adanya gangguan pada perfusi
oksigen di jaringan. Pada pemeriksaan paru didapatkan vocal fremitus melemah pada satu
sisi, perkusi redup pada paru kiri, serta pada auskultasi, suara nafas vesikuler melemah
pada paru kiri serta rhonki basah kasar pada paru kiri. Hal ini dapat menandakan bahwa

5
terdapat cairan di dalam rongga paru, yaitu paru kiri. Hasil pemeriksaan fisik lainnya
dalam batas normal, tidak ditemukan adanya oedema dan sianosis pada pasien.

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA :

- Efusi Pleura et causa TB Paru

DIAGNOSIS BANDING:

- Efusi Pleura et causa Keganasan

- PPOK eksaserbasi Akut

PENATALAKSANAAN

Inhalasi Ventholin 1 amp

FDC OAT Kategori 1

Rujuk Sp.Paru

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura adalah membran tipis yang melapisi diluar paru dan didalam rongga dada yang terdiri
dari 2 lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral menempel di paru, bronkus dan
fisura mayor, sedangkan pleura parietal melekat di dinding dada bagian dalam dan mediastinum.
Kedua lapisan ini dipisahkan oleh rongga kedap udara yang berisi cairan lubrikan. Kedua lapisan
pleura bersatu didaerah hilus dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus , arteri dan

6
vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara histologis, kedua lapisan ini terdiri dari sel
mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. 5

Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap, dan semitransparan. Luas permukaan
pleura visceral sekitar 4000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg. Pleura parietal
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pleura kostalis yang berbatasan dengan iga dan otot-otot
intercostal, pleura diafragmatik, pleura servikal sepanjang 2-3 cm menyusur sepertiga medial
klavikula di belakang otot-otot sternokleidomastoideus, dan pleura mediastinal yang membungkus
organ-organ mediastinum.5
Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik sistemik di pleura
parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura parietal melewati
mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang terbuka langsung menuju
sistem limfatik.5
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh
rongga pleura. Tekanan pleura bersama dengan tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan
transpulmoner yang selanjutnya akan mempengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.6
Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstisial paru, saluran
limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks, dan rongga peritoneum. Jumlah cairan pleura
bergantung pada mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem
penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawa-senyawa protein, sel-sel, dan zat-zat
partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini. Seseorang dengan berat

7
badan 60 kg akan memiliki nilai aliran limfatik dari masing-masing sisi rongga pleura sebesar 20
mL/jam atau 500 mL/hari.6

Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di dalam rongga pleura.6

Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura ada;ah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri,
dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum,
kejadian efusi pleura sama antara laki-laki dan perempuan. Namun, penyebab tertentu memiliki
kecenderungan seks.Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas terjadi pada perempuan.Efusi pleura ganas
berhubungan secara signifikan dengan keganasan payudara dan ginekologi.Efusi pleura yang terkait
dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.1

Etiologi dan Faktor Resiko6

 Gagal jantung kongestif


 Sirosis hati
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
 Keganasan
 Atelektasis paru
 Pneumotoraks.
 TB paru

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi

8
melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan
jaringan interstitial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar paru. Efusi pleura dapat berupa
transudat atau eksudat.6

Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman
piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi empiema / piotoraks. Bila proses ini mengenai
pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Efusi cairan yang berupa transudat
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpi oleh pleura
lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada :6

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intrapleura

Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis
hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit,
jamur, pneumonia atipik, keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis
reumatoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat
radiasi.6

Klasifikasi 6

1. Transudat

9
– (filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural
terganggu  ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik.

– Biasanya hal ini terdapat pada:

• Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

• Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal

• Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

• Menurunnya tekanan intra pleura

• Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

– Gagal jantung kiri (terbanyak) Sindrom nefrotik

– Obstruksi vena cava superior

– Asites pada sirosis hati

• Eksudat

– merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang permeable
abnormal dan berisi protein transudat  akibat inflamasi oleh produk bakteri
atautumor yang mengenai permukaan pleural.

– Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

– infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada pleura,infark paru, karsinoma


bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan ikat/kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).

• Hidrotoraks dan pleuritis eksudativa terjadi karena infeksi

• Rongga pleura berisi darah  hemotoraks

• Rongga pleura berisi cairan limfe  kilotoraks

• Rongga pleura berisi pus/nanah  empiema/piotoraks

• Rongga pleura berisi udara  pneumotoraks

10
Manifestasi klinis 1,7

Gejala

 Sesak napas
 Batuk
 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura
Tanda
 Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
 Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)

PePemeriksaan Penunjang
Foto Thoraks (X-Ray)

Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva
dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal
dari lateral ke medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau
dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura
dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus,
cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura juga dapat tidak membentuk kurva
karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru yang
berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan efusi subpulmonik. Cairan dalam
pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam
foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, dapat juga mengumpul di daerah paramediastinal
dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung
sehingga terlihat sebagai kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi, gambaran
seperti bayangan dengan densitas keras di atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor
paru. Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum
pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping itu, gambaran foto dada dapat juga menerangkan
asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor,
adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.6

11
12
13
Torakosentesis

Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14
atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada sekali aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-
paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan
karena adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui
permeabilitas kapiler yang abnormal. 6
Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:
- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila laserasinya cukup
dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli
udara. Untuk mencegah emboli ini terjadi emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan
pada sisi kiri dibagian bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara tersebut dapat
terperangkap diatrium kanan. 6

Berikut ini adalah aspek-aspek yang dinilai dalam menegakkan diagnosis cairan pleura:

Warna cairan . biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan ( serous-santokrom). Bila
agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma
aorta. Bila kuning kehijauan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah kecoklatan,
ini menunjukkan adanya abses karena amuba.6

Biokimia. Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.

Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3

14
Kadar protein dalam efusi <0.5 >0.5

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200

Kadar LDH dalam efusi <0.6 >0.6

Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016

Rivalta Negatif positif

Sitologi . pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura sangat penting untuk diagnostik penyakit
pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel tertentu.

o Sel neutrofil : menunjukkan adanya infeksi akut


o Sel limfosit : menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna
o Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat , ini menunjukkan adanya infark paru. Biasanya juga
ditemukan banyak sel eritrosit
o Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
o Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid
o Sel L.E : pada lupus eritematosus sistemik
o Sel maligna : pada tumor paru / metastasis

Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme,
apalagi bilacairannya purulen (menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung
kuman-kuman yang aerob atau anaerob. 6

Biopsi pleura. Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 – 75 % diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Bila ternyata
hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Komplikasi biopsi
adalah pneumotoraks, hematotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada. 6

15
Tatalaksana
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri dan sesak yang
dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar, mencegah fibrosis pleura, dan mencegah kekambuhan.8

a) Aspirasi cairan pleura


Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik.Berikut ini cara melakukan torakosentesis :
 Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan di
atas bantal. Jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan dalam posisi
tidur terlentang.
 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas
suara sonor dan redup.
 Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
ukuran besar, misalnya nomor 18.
 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada sekali
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau
edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang
terlalu cepat.8

Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:


- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena
pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.Untuk mencegah emboli ini terjadi
emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri dibagian
bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara tersebut dapat
terperangkap diatrium kanan.

16
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang atau dengan
pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD).Cairan
yang dikeluarkan pada setiap pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml untuk mencegah
terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak. Selain itu, pengeluaran
cairan dalam jumlah besar secara tiba-tiba dapat menimbulkan refleks vagal, berupa batuk-
batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.9
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat namun aman dan sempurna.
Pemasangan WSD dapat dilakukan sebagai berikut:
 Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya diruang sela iga 7, 8 atau 9
linea aksilaris media atauruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikularis
 Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis
 Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang
 Jaringan subkutis dibebaskan dengan klem sampai menemukan pleura
parietalis
 Selang dan trokar dimasukkan kedalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik
 Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks
 Setelah posisi benar, selang dijepit dengan klem dan luka kulit dijahit dengan
serta dibebat dengan kassa dan plester
 Selang dihubungkan dengan dengan botol penampung cairan pleura
 Ujung selang sebaiknya diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2
cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk kedalam rongga pleura

WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang, maka
cairan mungkin sudah habis dan jaringan paru sudah mengembang.Untuk memastikan hal ini,
dapat dilakukan pembuatan foto toraks.Selang toraks dapat dicabut jika prosuksi cairan kurang
dari 100 ml dan jaringan paru telah mengembang, ditandai dengan terdengarnya kembali suara

17
napas dan terlihat pengembangan paru pada foto toraks. Selang dicabut pada waktu ekspirasi
maksimum.9

Indikasi pemasangan WSD:


- Hemotoraks, efusi pleura
- Pneumotoraks > 25 %
- Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
- Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan WSD:

- Infeksi pada tempat pemasangan


- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

b) Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan pleura parietalis,
dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga pleura sehingga
terjadi keadaan pleuritis obliteratif.Pleurodesis merupakan penanganan terpilih pada efusi
keganasan.Bahan kimia yang lazim digunakan adalah sitostatika seperti kedtiotepa, bleomisin,
nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin dan doksorubisin.Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan
selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari,
jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang murah dan
mudah didapatkan adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD harus dipasang dan paru
sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan kedalam 3050 ml larutan
garam faal, kemudian dimasukkan kedalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah
dengan larutan garam faal, kemudian ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml untuk
membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh
obat ini. Analgesik narkotik yang diberikan 11.5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga
berguna juga untuk mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam

18
dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata diseluruh bagian rongga
pleura. Apabila dalam waktu 24-48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat dicabut.10

c) Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi pleura
keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan pembedahan
menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi duktus toraksikus dan
pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama dilakukan pada efusi pleura
keganasan akibat limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan mediastinum,
dimana cairan pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis.10

TUBERKULOSIS PARU
Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).11

Etiologi dan Epidemiologi


Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat, dimana
jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan
China.Indonesia menyumbang sekitar 10% dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada tahun 2004,
diperkirakan terdapat 539.000 kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.11
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit system pernapasan
merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit system sirkulasi, dan TB merupakan penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.12
Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB. Selain itu,
diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB terjadi di negara berkembang.
Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia meningkatkan angka kejadian TB secara
signifikan. Di samping itu, masalah resistensi kuman terhadap obat (multidrug resistance / MDR)
menjadi masalah berat dalam menanggulangi dan menurunkan angka kejadian TB di dunia.11

19
Klasifikasi
a) pembagian secara patologis :6

 Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)


 Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)
b) pembagian secara aktivitas radiologis. Tuberkulosis paru aktif, non aktif, dan quiescent (bentuk
aktif yang mulai menyembuh).6
c) pembagian secara radiologis (luas lesi)

 Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas pada satu paru maupun
kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
 Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlah
infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih
dari sepertiga bagian satu paru.
 Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberikan klasifikasi6

 Kategori 0 : tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes tuberculin
negative.
 Kategori I : terpajan tuberculosis tetapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat kontak positif, tes
tuberculin negative.
 Kategori II : terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan
sputum negative.
 Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Klasifikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah :6

 Tuberculosis paru
 Bekas tuberculosis paru

20
 Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a) TB paru tersangka yang diobati. Sputum
BTA negative tetapi tanda lain postif. B) TB paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA
negative dan tanda lain meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan termasuk TB paru aktif atau bekas TB paru.
Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1) status bakteriologi, 2) Mikroskopis sputum BTA
(langsung), 3) biakan sputum BTA, 4) status radiologis, 5) status kemoterapi, riwayat pengobatan
dengan obat anti tuberculosis.6
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :6
Kategori I :

 Kasus baru dengan sputum positif


 Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II :

 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III :

 Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas


 Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV : TB kronik.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:13


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

21
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:13
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru
BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.13


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan
atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan:

22
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya13

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis


dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).

3) Kasus setelah putus berobat (Default )


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.

23
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun
menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik
(biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

Patogenesis
Kuman M.tuberculosis dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka
terbuka pada kulit. Infeksi TB sering terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit
yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit
(biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas ini biasanya lokal melibatkan makrofag
yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitivitas selular (lambat).1
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran
hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi inflamasi. Leukosit polimorfonuklear terdapat pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia
akut. Pneumonia seluler ini akan sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal
atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.1
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari. Nekrosis
bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat dan seperti keju yang disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.1

24
Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan kumpulan dari kelenjar getah bening regional yang
terserang dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini
dapat dilihat pada orang sehat yang menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang dapat
terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang
berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat
menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau
pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah yang kecil yang terkadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran
ini disebut sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier, ini terjadi jika
fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular
dan tersebar ke organ-organ tubuh.1

Patofisiologi
Tuberkulosis Primer
Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet
nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam
tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam
suasana yang lembab dan gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan direspon pertama
kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.6
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Disini ia
dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang lain. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang
(fokus) Ghon. Sarang primer ini terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura,
maka dapat terjadi efusi pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran pencernaan, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan

25
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) dan
juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis
local dengan limfadenitis regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini membutuhkan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :6

 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotic, kalsifikasi di hilus, keadaan
ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm dan sekitar 10% diantaranya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dorman.
 Berkomplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, b)
secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen, ke organ
tubuh lain, d) secara hematogen, ke organ lain.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai
infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (Tuberkulosis sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai
90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hilus paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang
pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri
dari sel-sel Histiosit dan sel Datia Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan jaringan ikat.
TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung
dari jumlah kuman, virulensi, dan imunitas pasien, sarang dini ini menjadi :6

 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan sebukan jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang
meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian

26
tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lunak membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
semakin menebal karena infiltrasi jaringan fibrosis dalam jumlah besar sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein
lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan
sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain adalah cryptic disseminate TB yang terjadi
pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Kavitas dapat : a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru
sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti sudah dijelaskan. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan
TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura, b) memadat atau membungkus diri sehingga
menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur atau menyembuh atau dapat kembali aktif
menjadi cair dan jadi kavitas lagi.6
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang : 1) sarang yang sudah sembuh. Sarang tipe
ini tidak butuh pengobatan lagi. 2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini butuh pengobatan
yang lengkap dan sempurna, 3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini
akan sembuh spontan, tetapi sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.6

Manifestasi Klinis 6,13


Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak
kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan
penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan
kematian. Adapun gejala utama penderita TB yaitu batuk terus-menerus dan berdahak selama
dua sampai tiga minggu atau lebih. Selain itu, gejala yang sering dijumpai yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.

Diagnosis 6,13
Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek lokal di bagian tubuh

27
mana pun atau efek sistemik infeksi kronis.

Anamnesis. Dalam melakukan anamnesis pada pasien TB, diperlukan indeks


kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari daerah
endernisnya. Orang yang terkena TB dpat mengalami banyak gejala, baik gejala local maupun
sistemik.

Berikut adalah gejala – gejala yang sering didapatkan dari anamnesis pada penderita
TB.

Gejala lokal:

 Batuk
 sesak napas
 hemoptisis
 limfadenopati
 ruam (rnisalnya lupus vulgaris)
 kelainan rontgen toraks
 gangguan GI.

Efek sistemik:

 Demam,
 keringat malam
 anoreksia
 penurunan berat badan

Riwayat penyakit dahulu . Pada pasien yang kita curigai menderita TB, pertanyaan – pertanyaan
berikut harus disertakan pada anamnesis riwayat penyakit dulu.
 Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?
 Apakah pasien mengalarni imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?
 Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal?

28
 Adakah riwayat vaksinasi BeG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis TB?

Obat-obatan
Pertanyaan mengenai obat- obatan juga perlu ditanyakan.
 Pemahkah pasien menjalani terapi TB?
 Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya
 Bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan terapi?

Riwayat keluarga dan sosial


 Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial?
 Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena?
 Riwayat bepergian ke luar negeri.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan konjunktiva mata atau
kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (Subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang
penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena
hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seeara palpasi, perkusi
dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila
dieurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar,
dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi
vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum
atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas

29
yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah
paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor
pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular
lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis
yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara
napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologi ada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan
pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada
tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh
melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di
daerah hilus menyerupai rumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi
sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi
ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis, Lama-lama dinding
jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

30
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru sdalah penebalan
pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radio-Iusen di pinggir paru pleura pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis- garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non
sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan
tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau
karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu
perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik,
oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif,
sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte,
sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi, yakni
untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis, Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di
rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih
superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan
dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks
paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut, Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan
koronal.

31
Pemeriksaan laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri. Jumlah lirnfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju
endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun,
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik, Pemeriksaan serologis yang pernah
dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria
positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat
perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni
Peroksidase Anti Peroksida (pAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai
sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain
meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu PAP-
TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal
untuk diagnosis TB, Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen M.tuberculosis. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.
tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara
ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1: 10.000 didapatkan hasil
uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadangkadang masih didapatkan pada pasien reumatik,
kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji PAP-
TB adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang dilekatkan
pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi
spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang
intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.

32
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan
murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah
untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak
+ 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan mernberikan tambahan obat-
obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil dengan brushing
atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar rnungkin. .
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50%
pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka,
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam I mL sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiarn Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara perncriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus)
 Pemeriksaan dengan biakan (kultur).
 Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun sensitivitasnya
tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (aurarnin-rho-damin) dicurigai
bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 mmggu penanaman sputum dalam medium

33
biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak
juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Lowenstein
Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTAdengan cara Bactec (Bactec
400 Radiometric System), di mana kurnan sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Di samping itu
dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi 0 A kuman TB dalam waktu
yang lebih cepat atau mendeteksi Mituberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari
hasil biakan biasanya dilaku kan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan idenrifikasi
kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif), tetapi
pada biakan hasilnya negatif. lni terjadi pad a fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli
yang disebabkan kcampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mcmatikan
kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain
sputum dapatjuga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan
lambung, jaringan kelenjar, eairan serebrospinal, urin, dan tinja.

3.2.8 Tatalaksana 6,14

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan
4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

· INH

-Rifampisin

34
· Pirazinamid

· Streptomisin

· Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

· Kanamisin

· Amikasin

· Kuinolon

· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat

· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

o Kapreomisin

o Sikloserino

o PAS (dulu tersedia)

o Derivat rifampisin dan INH

o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan :

- Obat tunggal,

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol.

- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

35
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan
strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan
paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.
Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak
disengaja

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi

36
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan
oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius
harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.

37
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES /
1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi
dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter
spesialis paru.

e) TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
 Berobat > 4 bulan
i. BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

ii. BTA saat ini positif


Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
 Berobat < 4 bulan
i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan.
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

f) TB Paru kasus kronik

38
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam
OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB
paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

C. EFEK SAMPING OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya
efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simptomatis maka

pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

39
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya
efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah
:

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,
rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan

40
serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta


warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada
dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kgBB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis
yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan
fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing
dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

41
F. EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi
keteraturan berobat.

a) Evaluasi klinik
 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
 Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
b) Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
- Sebelum pengobatan dimulai

42
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
 Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
c) Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
d) Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap.
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat
diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila
menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus
diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa muda
umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman.
e) Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga
dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Kriteria Sembuh

43
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan

- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

Tujuan pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah


kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

44
Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
- Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi ecara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan

45
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di


Indonesia:
o Kategori 1: 2 (HRZE) / 4(HR)3
o Kategori 2: 2 (HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak.
 Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
 Paket kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.

46
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan
meningkatkan kepatuhan pasien.

1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru

47
3 .OAT Sisipan (RHZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan
selama sebulan (28 hari). 2

48
Komplikasi

Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:14

 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncen’t atrhopathy
 Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca paru, ARDS.

Prognosis

Prognosis TB paru tergantung dari derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi,

status imun, dan komorbiditas.14

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta :
EGC;2005.)
2. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad Z, Anwar J. Naskah
Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ilmu Penyakit Dalam,
Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.
3. Herryanto, dkk. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di Kabupaten
Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1. hlm:1-6.
4. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura. Tennessee :
Lippincott Williams & Wilkins, 2007
5. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural Space. Tennessee :
Lippincott Williams & Wilkins, 2007
6. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2009
7. Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American Medical Association.
JAMA, January 21, 2009—Vol 301, No. 3
8. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2009
9. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrison’s Principles Of Internal Medicine Vol II. 16th Ed. 2005.
Mcgraw-Hill: New York
10. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of Medicine,Division
of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of South Carolina, Charleston,
South Carolina 29425
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI, 2007
12. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia
13. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
14. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Departemen Kesehatan
RI. 2011.

50
51

Anda mungkin juga menyukai