Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


AUTISME PADA ANAK

Ditulis untuk memenuhi tugas Keperawatan Anak

Oleh:
Adinda Dwi Karnita 1511001
Bunga Innashofa 1511003
Farikha Nur Mulya Saputri 1511004
Rina Wahyu Anggraeni 1511012

PENDIDIKAN NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PATRIA HUSADA BLITAR
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada
seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Pada umumnya
penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak
ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial
(pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective
Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang
menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku
yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan
terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil
yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang
pertambahan ini mencapai 40% sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002
disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang
kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan
semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini
penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan
dokter di dunia. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000-15.000 anak
dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam
10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal
tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1
diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 :
1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di
Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya
jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austime dapat mencapai 150-200
ribu orang.
Berdasarkan hal diatas, maka kami sebagai penulis tertarik untuk lebih memahami
konsep anak dengan autisme, dimana konsep ini saling terkait satu sama lain. Semoga
Askep ini dapat membantu para orang tua, masyarakat umum dan khusnya kami
(mahasiswa keperawatan) dalam memahami anak dengan autisme, sehingga kami
harapkan kedua anak dengan kondisi ini dapat diperlakukan dengan baik.

B. Tujuan
1. Tujuan umum: Agar mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan pada anak
dengan autisme.
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa memahami pengertian autisme.
b) Mahasiswa memahami etiologi dan manifestasi klinik autism.
c) Mahasiswa memahami cara mengetahui autis pada anak.
d) Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan anak dengan autisme.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Istilah autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran. Jadi
autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri (Purwati, 2007).
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada bayi atau anak yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan autis adalah salah satu perkembangan pervasif
berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006).

B. ETIOLOGI
Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah factor-faktor yang
menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya yaitu:
1. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan kromosom
yang disebutkan syndrome fragile-x (ditemukan pada 5-20% penyandang autis).
2. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)
Disini penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak, yang
berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan ataupun setelah
persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital Rubella, Herpes Simplex
Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
3. Faktor Kelahiran dan Persalinan
Proses kehamilan ibu juga salah satu faktor yang cukup berperan dalam timbulnya
gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan dan persalinan. Seperti adanya
pendarahan yang disertai terhisapnya cairan ketuban yang bercampur feces, dan obat-
obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya keracunan seperti logam berat timah,
arsen, ataupun merkuri yang bisa saja berasal dari polusi udara, air bahkan makanan.
Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi
makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang
mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah
laku dan fisik termasuk autis.
C. PATOFISIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls
listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di
lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama
mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat
sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang
berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik
melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar
anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan
sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan
dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian
otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan
sinaps.
Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses-proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal
pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-
derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-
related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak untuk mengatur penambahan sel
saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain
growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal
pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without
guidance sehingga bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain.
Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar
hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya
sel Purkinyediduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem
saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau
sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas,
peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian
sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme
disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang
terjadi sejak awal masa kehamilan.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi
gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi
selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta
kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,
kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan
mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang
dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran
sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan
proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam
proses memori).
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan
oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid,
asam lemak esensial, serta asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol,
keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa
kehamilan, radiasi, serta kokain.
D. PATHWAY

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Di bidang komunikasi :
a) Perkembangan bahasa anak autis lambat atau sama sekali tidak ada. Anak nampak
seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara lalu kemudian hilang kemampuan
bicara.
b) Terkadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
c) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dimengerti
orang lain.
d) Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. Senang meniru atau membeo
(Echolalia).
e) Bila senang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian yang didengar tanpa
mengerti artinya.
f) Sebagian dari anak autis tidak berbicara (bukan kata-kata) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa.
g) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang dia inginkan,
misalnya bila ingin meminta sesuatu.
2. Di bidang interaksi sosial :
a) Anak autis lebih suka menyendiri
b) Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau menghindari tatapan
muka atau mata dengan orang lain.
c) Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang
lebih tua dari umurnya.
d) Bila diajak bermain, anak autis itu tidak mau dan menjauh.
3. Di bidang sensoris :
a) Anak autis tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b) Anak autis bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c) Anak autis senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda yang ada
disekitarnya. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Di bidang pola bermain :
a) Anak autis tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b) Anak autis tida suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.
c) Tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
d) Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar.
e) Senang terhadap benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda, dan
sejenisnya.
f) Sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-
mana.
5. Di bidang perilaku :
a) Anak autis dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan
berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b) Memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang diri sendiri seperti
bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung.
c) Berputar-putar mendekatkan mata ke pesawat televisi, lari atau berjalan dengan
bolak-balik, dan melakukan gerakan yang diulang-ulang.
d) Tidak suka terhadap perubahan.
e) Duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Di bidang emosi :
a) Anak autis sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan
b) Dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.
c) Kadang agresif dan merusak.
d) Kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri.
e) Tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang ada disekitarnya
atau didekatnya.

F. KLASIFIKASI
Berdasarkan waktu munculnya gangguan, Kurniasih (2002) membagi autisme
menjadi dua yaitu:
1. Autisme sejak bayi (Autisme Infantil)
Anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non autistik,
dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.
2. Autisme Regresif
Ditandai dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang
sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan perkembangan ini
berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Dan jika awalnya sudah bisa
mulai mengucapkan beberapa patah kata, hilang kemampuan bicaranya.

Sedangkan Yatim, Faisal Yatim (dalam buku karangan purwati, 2007)


mengelompokkan autisme menjadi :
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan
sudah timbul sebelum lahir
2. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak-anak usia lebih besar (6-7 tahun) sebelum
anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu-minggu
pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan-gerakan tertentu berulang-
ulang dan kadang-kadang disertai kejang-kejang.

G. FAKTOR RESIKO
Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang
mempengaruhi. Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak ahli. Hal
ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko gangguan autis.
Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat resiko anak menjadi autis lebih besar.
Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan
melakukan intervensi sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko
tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti:
1. Periode Kehamilan
Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya.
Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat
terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu
tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan
mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko
terjadinya autisme
2. Periode Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi
selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan
kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh
bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap
gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak
baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya. Gangguan persalinan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6), komplikasi selama
persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah (<
2500 gram)
3. Periode Usia Bayi
Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan
yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko
untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk
terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat
badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan
metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering
buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal,
kelemahan otot.

H. PENATALAKSANAAN
Terapi yang dilakukan untuk anak dengan autisme
1. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian
dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi
pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement
(hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang
paling banyak dipakai di Indonesia.
2. Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan
berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic
yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya
cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk
berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan
berbahasa akan sangat menolong.
3. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.
4. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.
Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan
tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam
ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat
bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka
untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
6. Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam
hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7. Terapi Perilaku.
Anak autisme seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka
banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka
sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari
perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan
lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
8. Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan
sosial, emosional dan intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi
perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9. Terapi Visual
Individu autistime lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar
komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture
Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk
mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10. Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam
DAN (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistime.
Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan
fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan,
darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan,
sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami
kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari
dalam tubuh sendiri (biomedis).

Tatalaksana autis dibagi menjadi 2 bagian :


1. Edukasi kepada keluarga
Keluarga memerankan peran yang penting dalam membantu perkembangan
anak, karena orang tua adalah orang terdekat mereka yang dapat membantu untuk
belajar berkomunikasi, berperilaku terhadap lingkungan dan orang sekitar, intinya
keluarga adalah jendela bagi penderita untuk masuk ke dunia luar, walaupun
diakui hal ini bukanlah hal yang mudah.
2. Penggunaan obat-obatan
Penggunaan obat-obatan pada penderita autisme harus dibawah pengawasan
dokter. Penggunaan obat-obatan ini diberikan jika dicurigai terdapat kerusakan di
otak yang mengganggu pusat emosi dari penderita, yang seringkali menimbulkan
gangguan emosi mendadak, agresifitas, hiperaktif dan stereotipik. Beberapa obat
yang diberikan adalah Haloperidol (antipsikotik), fenfluramin, naltrexone
(antiopiat), clompramin (mengurangi kejang dan perilaku agresif).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, No. MR
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD)
Pada kehamilan ibu pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku
anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme Gangguan pada otak inilah
nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya,
termasuk resiko terjadinya autisme. Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada
bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, lamanya
persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram)
b. Riwayat Kesehatan Sekarang (RKK)
Anak dengan autis biasanya sulit bergabung dengan anak-anak yang lain,
tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya
sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, lebih
senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak membentuk hubungan pribadi
yang terbuka, jarang memainkan permainan khayalan, memutar benda, terpaku pada
benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik,
secara fisik terlalu.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Dilihat dari faktor keluarga apakah keluarga ada yang menderita autisme.
3. Psikososial
a. Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
b. Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
c. Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
d. Perilaku menstimulasi diri
e. Pola tidur tidak teratur
f. Permainan stereotip
g. Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
h. Tantrum yang sering
i. Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
j. Kemampuan bertutur kata menurun
k. Menolak mengonsumsi makanan yang tidak halus
4. Neurologis
a. Respons yang tidak sesuai dengan stimulus
b. Refleks mengisap buruk
c. Tidak mampu menangis ketika lapar
5. Gastrointestinal
a. Penurunan nafsu makan
b. Penurunan berat badan

B. KUESIONER CHAT
Tujuanya adalah untuk mendeteksi secara dini adanya autism pada anak umur 18-36
bulan. Jadwal deteksi dini autism pada anak prasekolah dilakukan atas indikasi atau bila ada
keluhan dari ibu atau pengasuh anak atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan,
BKB, petugas PAUD, pengolah TPA dan guru TK. Keluhan tersebut dapat berubah berupa
salah satu atau lebih keadaan di bawah ini :
1. Keterlambatan bicara
2. Gangguan komunikasi atau interaksi social
3. Perilaku yang berulang-ulang.

Alat yang digunakan adalah CHAT. CHAT ini ada dua jenis pertanyaan, yaitu :
1. Ada 9 pertanyaan yang dijawab oleh orang tua pengasuh anak.
Pertanyaan diajukan secara berurutan, satu persatu.Jelaskan kepada orang tua untuk tidak
ragu-ragu atau takut menjawab.
2. Ada 5 pertanyaan bagi anak, untuk melaksanakan tugas seperti yang tertulis CHAT

Cara menggunakan CHAT:


1. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu-persatu perilaku yang tertulis
pada CHAT kepada orang tua atau pengasuh anak.
2. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan tugas CHAT.
3. Catat jawaban orang tua atau pengasuh anak dan kesimpulan hasil pengamatan
kemampuan anak, ya atau tidak.Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.
Interpretasi
1. Resiko tinggi menderita autis : bila jawaban “tidak” pada pertanyaan A5, A7, B2, B3 dan
B4.
2. Resiko rendah menderita autis : bila jawaban “tidak” pada pertanyaan A7 dan B4.
3. Kemungkinan gangguan perkembangan lain : bila jawaban “tidak” jumlahnya 3 atau lebih
untuk pertanyaan A1-A4, A6, A8, A9, B1 dan B5.
4. Anak dalam batas normal bila tidak termasuk dalam kategori 1,2,dan 3.

Intervensi:
Bila anak resiko menderita autis atau kemungkinan ada gangguan perkembangan,
rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang anak.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Ketidakmampuan Koping Individu
2. Harga Diri Rendah
3. Kecemasan Pada Orangtua
4. Kurangnya Pengetahuan
5. Gangguan Tumbuh Kembang

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Ketidakmampuan koping individu.
Pengertian : Ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang benar dari stressor,
pemilihan respon tidak adekuat, dan atau ketidakmampuan dalam menggunakan
sumber-sumber yang tersedia.
Tanda dan gejala : Gangguan tidur, Penurunan dukungan social, Pemecahan masalah
tak adekuat, Perubahan pola komunikasi.
2. Harga diri rendah.
Pengertian : Keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai diri
atau kemampuan diri yang negative.
Tanda dan gejala : Mengevaluasi diri tidak mampu menangani situasi baru, Kurang
kontak mata, Mencari ketenangan berlebihan.
3. Kecemasan pada orang tua.
Pengertian : Perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah
disertai dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu), perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal
peringatan akan adanya bahaya dan memungkinkan individu untuk mengambil
langkah untuk menghadapinya.
Tanda dan gejala : Gelisah, Mudah tersinggung, Khawatir.
4. Kurang pengetahuan pada orang tua.
Pengertian : Tidak ada atau kurang informasi kognitif berhubungan dengan topic yang
spesifik.
Tanda dan gejala : Mengungkapkan adanya masalah, Mengikuti instruksi tidak akurat,
Perilaku berlebihan atau tidak sesuai.
5. Gangguan tumbuh kembang
Pengertian: kondisi individu mengalami gangguan kemampuan bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan kelompok usia.
Tanda dan gejala: tidak mampu melakukan keterampilan atau perilaku khas sesuai
usia, Pertumbuhan fisik terganggu.

E. INTERVENSI
1. Ketidakmampuan Koping Individu.
Tujuan : Klien mampu memecahkan masalah dengan koping yang efektif.
NOC : Koping
Indicator :
a. Mengidentifikasi pola koping yang efektif.
b. Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan.
c. Menggunakan prilaku untuk menurunkan stress.
d. Mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi koping.
e. Melaporkan penurunan perasaan negatif.
NIC : Peningkatan Koping
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya.
b. Beri kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
c. Beri bimbingan kepada anak untuk dapat mengambil keputusan.
d. Anjurkan kepada orang tua untuk lebih sering bersama anaknya.
e. Hadirkan sibling untuk memberikan motivasi
f. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mengurangi tingkat stress
anak.
2. Harga Diri Rendah.
Tujuan : Klien dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
NOC : Harga Diri
Indicator :
a. Mengungkapkan penerimaan diri secara verbal.
b. Mempertahankan postur tubuh tegak.
c. Mempertahankan kontak mata.
d. Mempertahankan kerapihan/hygiene.
e. Menerima kritikan dari orang lain.
NIC : Peningkatan Harga Diri
a. Beri motivasi pada anak.
b. Beri kesempatan anak mengungkapkan perasaannya.
c. Beri latihan intensif pada anak untuk pemahaman belajar berkomunikasi.
d. Modifikasi cara belajar sehingga anak lebih tertarik.
e. Beri reward pada keberhasilan anak.
f. Gunakan alat bantu/peraga dalam belajar berkomunikasi.
g. Berikan suasana yang nyaman dan tidak menegangkan.
h. Anjurkan kepada keluarga untuk mendekatkan anak pada sibling.
3. Kecemasan Pada Orang Tua.
Tujuan : Kecemasan orang tua tidak berkelanjutan.
NOC : Kontrol Ansietas
Indicator :
a. Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress.
b. Mempertahankan penampilan peran.
c. Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
d. Manifestasi prilaku akibat kecemasan tidak ada.
e. Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
NIC : Pengurangan Ansietas
a. Anjurkan orang tua untuk selalu memotivasi anaknya.
b. Anjurkan orang tua untuk memberikan anaknya bimbingan belajar intensif.
c. Anjurkan orang tua agar selalu memantau prilaku anak.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk keseimbangan gizi anak.
e. Anjurkan orang tua untuk membawa anaknya ke dokter bila perlu.
f. Beri penjelasan tentang kondisi anak kepada orang tua.
4. Kurang pengetahuan pada orang tua.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah.
NOC:
Indicator :
a. Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut penanganan
yang di anjurkan.
b. Menunjukkan kemampan melaksanaan aktivitas.
NIC
a. Anjurkan orang tua bersama dengan anak untuk membuat jadwal belajar
berkomunikasi.
b. Luangkan waktu kepada orang tua untuk mendengarkan keluhan.
c. Anjurkan orang tua untuk lebih memperhatikan perkembangan anak.
d. Berikan anak makanan seimbang, 4 sehat 5 sempurna untuk menutrisi otak.
e. Berikan suplemen bila perlu.
f. Kenali cara/metoda belajar anak.
g. Biarkan anak menggunakan inisiatif/pemikirannya selama masih dalam batas yang
wajar.
5. Gangguan tumbuh kembang
Tujuan:
NOC:
Indicator:
a. Anak dapat berpakaian sendri tanpa bantuan
b. Anak dapat menggunakan kalimat lengkap dengan lima kata
c. Anak dapat mengikuti aturan sederhana dari permainan interaktif bersama teman
sebaya
NIC:
a. Bangun hubungan saling percaya dengan anak
b. Lakukan interaksi personal dengan anak
c. Identifikasi kebutuhan unik setiap anak dan tingkat adaptasi yang diperlukan
d. Demonstrasikan kepada orangtua mengenai kegiatan yang mendukung
kemampuan tumbuh kembang anak
e. Berikan kesempatan dan mendukung kegiatan motorik
f. Bantu anak untuk belajar mandiri, misalnya berpakaian
BAB IV
APLIKASI KASUS AUTISME

A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
Nama : Nn.AK
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir : Manado, 1 Januari 2012
Umur : 5 Tahun/Bulan.
Anak ke :2
Nama Ayah : Tn. BK
Nama Ibu : Ny. AN
Pekerjaan Ayah : Swasta
Pekerjaan Ibu : URT
Pendidikan Ayah : SMA
Pendidikan Ibu : SMA
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Minahasa
Alamat : Manado
Tanggal Masuk Rumah Sakit :
Diagnosa Medis : Autisme
Sumber Informasi : Orang Tua

2. ALASAN MASUK
Klien datang dengan Kesulitan dalam berkomunikasi.

3. FAKTOR PREDIPOSISI
a. Orang Tua Klien mengatakan sudah Pernah mengalami gangguan jiwa di masa
lalu, klien mengalami perkembangan perpasif. orangtua klien tampak cemas
dengan penyakit anaknya.
b. Tidak Ada anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa
c. Klien Tidak memiliki Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
4. PEMERIKSAAN FISIK
a. Tanda Vital : TD: mmHg, HR: x/mnt, S: ºC, RR: x/mnt
b. Ukur : TB: cm, BB kg,□ naik□ turun
c. Keluhan Fisik :

5. PSIKOSOSIAL
a. Konsep Diri
 Citra Tubuh : klien akan mengatakan bagian tubuh yang dia sukai
 Identitas : klien masih mengenali dirinya
 Peran : klien sulit untuk berbicara terlalu panjang
 Ideal Diri : klien selalu melakukan sesuatu yang tidak jelas
 Harga Diri : orang tua klien mengatakan, klien menjadi kurang bergaul dengan
teman-temannya, klien lebih suka menyendiri.
Masalah keperawatan : Harga Diri Rendah
b. Hubungan Sosial
 Orang Terdekat klien adalah Ibu
 Klien kurang Peran serta dalam kegiatan kelompok
c. Spiritual
 Nilai dan keyakinan :klien beragama islam dank lien selalu di bombing orang
tuanya untuk beribadah
 Kegiatan ibadah : klien selalu ikut dengan ibunya kalau pergi beribadah

6. STATUS MENTAL
a. Penampilan : klien selalu berpenampilan sederhana
b. Pembicaraan : sulit di mengerti kalau klien di ajak bicara, Menunjukan echolalia
c. Aktivitas motorik : klien lebih suka menyendiri
d. Alam perasaan : klien kadang-kadang terlihat depresi
e. Afek : keadaan klien tampak tenang, tidak mau menangis jika lapar
f. Interaksi selama wawancara : kontak mata kurang, klien lebih suka selalu duduk
lama dan sibuk dengan tangannya, menatap pada satu objek.
g. Persepsi : klien tidak mau bergabung dengan teman-temannya.
h. Proses pikir : klien sulit untuk berpikir, sehingga klien tidak terlalu focus pada
pembicaraan
i. Isi pikir : belum bisa di tebak isi pikir klien.
j. Tingkat kesadaran : klien terlihat compos mentis
k. Memori : klien mengalami IQ kurang
l. Tingkat kosentrasi dan berhitung : klien belum bisa mengenal tulisan dan
berhitung
m. Kemampuan penilaian : klien belum bisa memberikan penilaian
n. Daya tilik diri : klien tidak tahu apa-apa dengan penyakit yang di deritanya

7. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG


a. Makan : klien sudah bisa makan 3x sehari
b. BAB/BAK : Normal
c. Mandi :1x sehari
d. Berpakaian/ berhias : rapi
e. Istirahat tidur : normal
f. Penggunaan obat : rajin minum obat
g. Pemeliharaan kesehatan : orang tua harus lebih focus pada kesehaatn klien
h. Aktifitas dirumah : klien harus di ajak untuk berbicara
i. Aktifitas di luar rumah : utamakan hubungan bermain pada anak jika berada
dengan teman-temannya di luar rumah

8. MEKANISME KOPING
Klien tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, klien terlihat lebih suka
dengan kesibukannya sendiri yaitu sibuk dengan tangannya dan menjilat-jilat benda.

9. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN :


d. Menarik diri dan tidak responsive terhadap orang tua
e. Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
f. Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
g. Prilaku menstimulasi diri
h. Permainan stereotip
i. Prilaku dekstruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
j. Tantrum yang sering
k. Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
l. Kemampuan bertutur kata menurun
m. Menolak mengonsumsi makanan yang tidak halus

10. KURANG PENGETAHUAN


Keluarga Klien belum terlalu Tahu tentang pengobatan penyakit yang di derita
anaknya, keluarga klien kurang mendapatkan informasi.

11. ASPEK PENUNJANG


Diagnosa medis : autisme
Terapi medis : Terapi akupunktur, Terapi musik, Terapi balur, Terapi perilaku, terapi
lumba-lumba

12. MASALAH KEPERAWATAN


b. Ketidakmampuan Koping Individu
c. Harga Diri Rendah
d. Kecemasan pada orangtua
e. Kurangnya pengetahuan

B. PENGELOMPOKAN DATA
DATA SUBJEKTIF :
1. Orang Tua klien mengatakan klien tidak suka bergaul dengan teman-temannya
2. Klien belum bisa menyelesaikan masalahnya sendiri
3. Orangtua klien mengatakan perkembangan anaknya perpasif
4. Orangtua kurang tahu tentang cara pengobatannya
DATA OBJEKTIF :
1. Klien lebih suka menyendiri
2. Klien terlihat sibuk dengan tangannya, lebih sering duduk lama, dan selalu menjilat-jilat
benda yang tak jelas.
3. Orangtua klien tampak cemas
4. Keluarga Kurang informasi tentang pengobatan penyakit ini
C. ANALISA DATA
DATA MASALAH
Ds : Klien belum bisa menyelesaikan
masalahnya sendiri

Ketidakmampuan Koping Individu


Do : Klien terlihat sibuk dengan tangannya,
lebih sering duduk lama, dan selalu menjilat-
jilat benda yang tak jelas
Ds : Orang Tua klien mengatakan klien tidak
suka bergaul dengan teman-temannya
Harga Diri Rendah

Do : Klien lebih suka menyendiri


Ds : Orangtua klien mengatakan
perkembangan anaknya perpasif
Kecemasan pada orangtua

Do : Orangtua klien tampak cemas


Ds : Orangtua kurang tahu tentang cara
pengobatannya
Kurangnya pengetahuan
Do : Keluarga Kurang informasi tentang
pengobatan penyakit ini

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Ketidakmampuan koping individu.
Pengertian : Ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang benar dari stressor,
pemilihan respon tidak adekuat, dan atau ketidakmampuan dalam menggunakan
sumber-sumber yang tersedia.
Tanda dan gejala : Gangguan tidur, Penurunan dukungan social, Pemecahan masalah
tak adekuat, Perubahan pola komunikasi.
2. Harga diri rendah.
Pengertian : Keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai diri
atau kemampuan diri yang negative.
Tanda dan gejala : Mengevaluasi diri tidak mampu menangani situasi baru, Kurang
kontak mata, Mencari ketenangan berlebihan.
3. Kecemasan pada orang tua.
Pengertian : Perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah
disertai dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu), perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal
peringatan akan adanya bahaya dan memungkinkan individu untuk mengambil
langkah untuk menghadapinya.
Tanda dan gejala : Gelisah, Mudah tersinggung, Khawatir.
4. Kurang pengetahuan pada orang tua.
Pengertian : Tidak ada atau kurang informasi kognitif berhubungan dengan topic yang
spesifik.
Tanda dan gejala : Mengungkapkan adanya masalah, Mengikuti instruksi tidak akurat,
Perilaku berlebihan atau tidak sesuai.

E. INTERVENSI
1. Ketidakmampuan Koping Individu.
Tujuan : Klien mampu memecahkan masalah dengan koping yang efektif.
NOC : Koping
Indicator :
a. Mengidentifikasi pola koping yang efektif.
b. Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan.
c. Menggunakan prilaku untuk menurunkan stress.
d. Mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi koping.
e. Melaporkan penurunan perasaan negatif.
NIC : Peningkatan Koping
a. Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya.
b. Beri kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
c. Beri bimbingan kepada anak untuk dapat mengambil keputusan.
d. Anjurkan kepada orang tua untuk lebih sering bersama anaknya.
e. Hadirkan sibling untuk memberikan motivasi
f. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mengurangi tingkat stress
anak.
2. Harga Diri Rendah.
Tujuan : Klien dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
NOC : Harga Diri
Indicator :
a. Mengungkapkan penerimaan diri secara verbal.
b. Mempertahankan postur tubuh tegak.
c. Mempertahankan kontak mata.
d. Mempertahankan kerapihan/hygiene.
e. Menerima kritikan dari orang lain.
NIC : Peningkatan Harga Diri
a. Beri motivasi pada anak.
b. Beri kesempatan anak mengungkapkan perasaannya.
c. Beri latihan intensif pada anak untuk pemahaman belajar berkomunikasi.
d. Modifikasi cara belajar sehingga anak lebih tertarik.
e. Beri reward pada keberhasilan anak.
f. Gunakan alat bantu/peraga dalam belajar berkomunikasi.
g. Berikan suasana yang nyaman dan tidak menegangkan.
h. Anjurkan kepada keluarga untuk mendekatkan anak pada sibling.
i. Kecemasan Pada Orang Tua.
Tujuan : Kecemasan orang tua tidak berkelanjutan.
NOC : Kontrol Ansietas
Indicator :
a. Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress.
b. Mempertahankan penampilan peran.
c. Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
d. Manifestasi prilaku akibat kecemasan tidak ada.
e. Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
NIC : Pengurangan Ansietas
a. Anjurkan orang tua untuk selalu memotivasi anaknya.
b. Anjurkan orang tua untuk memberikan anaknya bimbingan belajar intensif.
c. Anjurkan orang tua agar selalu memantau prilaku anak.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk keseimbangan gizi anak.
e. Anjurkan orang tua untuk membawa anaknya ke dokter bila perlu.
f. Beri penjelasan tentang kondisi anak kepada orang tua.
g. Kurang pengetahuan pada orang tua.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah.
NOC:
Indicator :
b. Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut penanganan
yang di anjurkan.
c. Menunjukkan kemampan melaksanaan aktivitas.
NIC
a. Anjurkan orang tua bersama dengan anak untuk membuat jadwal belajar
berkomunikasi.
b. Luangkan waktu kepada orang tua untuk mendengarkan keluhan.
c. Anjurkan orang tua untuk lebih memperhatikan perkembangan anak.
d. Berikan anak makanan seimbang, 4 sehat 5 sempurna untuk menutrisi otak.
e. Berikan suplemen bila perlu.
f. Kenali cara/metoda belajar anak.
g. Biarkan anak menggunakan inisiatif/pemikirannya selama masih dalam batas yang
wajar.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada bayi atau anak yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan autis adalah salah satu perkembangan pervasif
berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006).
Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya yaitu : Faktor
Genetik, Faktor Cacat (kelainan pada bayi), Faktor Kelahiran dan Persalinan

B. SARAN
Besar harapan kelompok agar makalah ini dapat dijadikan salah satu panduan
memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan autisme.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Aris, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta


Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC : Jakarta
NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai