Anda di halaman 1dari 20

SMF/BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

AGUSTUS 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

PHYSIOLOGIC EFFECTS OF NEURAXIAL ANESTHESIA


(EFEK FISIOLOGIS ANESTESI NEURAKSIAL)

Disusun Oleh:

Erwin Maurits Riwu, S.Ked

Pembimbing:
dr. Intin Talantan, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU ANESTESI
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2017
2

PHYSIOLOGIC EFFECTS OF NEURAXIAL ANESTHESIA(1)


(EFEK FISIOLOGIS ANESTESI NEURAKSIAL)(1)
Barbara M. Scavone, John Ratliff, Cynthia A. Wong

PENDAHULUAN
Induksi anestesi spinal dan epidural mempunyai dampak yang luas secara
langsung maupun tidak langsung terhadap sejumlah sistem fisiologis termasuk sistem
kardiovaskular, sistem respirasi, gastrointestinal, ginjal, endokrin, dan sistem koagulasi.
Pemahaman terhadap efek-efek ini dan kemampuan dalam mengendalikan efek samping
fisiologis adalah hal penting dalam pelaksanaan anestesi neuraksial yang aman. Pada
referat ini akan dijelaskan mekanisme terjadinya efek-efek fisiologis dari anestesi
neuraksial.

BLOKADE NEURAKSIAL DIFERENSIAL


Kemampuan untuk mengurangi fungsi saraf sensorik, motorik dan simpatis
sampai derajat yang berbeda disebut sebagai blokade diferensial. Blok saraf tidak bersifat
utuh atau absolut. Misalnya, blok terhadap rangsang suhu terjadi lebih awal dan lebih luas
dibandingkan blok motorik setelah injeksi anestesi lokal secara intratekal. Mekanisme
blokade differensial tidak banyak dijelaskan dan mungkin dapat berasal dari beberapa
mekanisme. Saraf dapat diblok pada tingkat-tingkat berbeda juga dapat berkurang pada
tingkat-tingkat berbeda, sehingga blok saraf dapat diobservasi selama onset dan resolusi
blok saraf namun tidak pada keadaan ekuilibrium. Komponen anatomi saraf yang
berbeda-beda termasuk ada tidaknya selubung myelin, dan diameter serabut saraf dapat
mempengaruhi konsentrasi anestesi lokal yang diperlukan untuk memblok konduksi
saraf. Panjang saraf yang diblok mempengaruhi blok konduksi karena penting untuk
memblok panjang tertentu saraf untuk mencegah potensial aksi dari “jumping”
(lompatan) ke segmen saraf yang tidak diblok. Di dalam kanal neuraxial, panjang saraf
sipnal yang terpapar anestesi lokal dapat berbeda tergantung dimana obat tersebut
diinjeksi. Contohnya, panjang saraf yang terpapar terhadap anestesi lokal yang diinjeksi
kedalam ruang epidural dapat berbeda dari panjang saraf yang terpapar setelah injeksi ke
dalam ruang sub arakhnoid. Panjang saraf spinal yang terpapar berbeda-beda di dalam
ruang subarakhnoid lumbar di sekitar kauda equina dibandingkan dengan ruang sub
3

arakhnoid torakal. Selain itu, kanal ion dan membran lipid setiap saraf berbeda-beda dan
dan hal ini juga dapat mempengaruhi konsentrasi anestesi lokal yang dibutuhkan untuk
memblok konduksi. Selain itu blok kanal natrium saraf tergantung pada frekuensi axon
firing. Oleh karena itu, aktivitas saraf yang sedang berlangsung ketika dilakukan blokade
dapat mengakibatkan blokade diferensial. Selama blokade neuraxial konsentrasi anestesi
lokal berkurang sebagai fungsi jarak dari lokasi injeksi. Akhirnya, blokade differensial
dapat dijelaskan melalui penggunaan anestesi lokal tertentu karena setiap agen memiliki
kemampuan penetrasi membran lipid yang berbeda-beda.
Ajaran klasik mengatakan bahwa blokade simpatis meluas dua dermatom lebih
tinggi daripada blokade sensoris selama anestesi spinal. Kesimpulan ini didasarkan pada
pengukuran aktivitas simpatis menggunakan temperatur kulit atau hilangnya sensasi
dingin. metode pengukuran aktivitas saraf simpatis lainnya telah menunjukkan bahwa
perbedaanya mungkin sama besar dengan 6 dermatom dan blokade saraf simpatis
mungkin tidak lengkap.
Umumnya, selama anestesi neuraksial, fungsi sensoris diblok dengan
konsentrasi/massa anestesi lokal yang lebih sedikit dibanding fungsi motorik dan juga
diblok dengan cepat. Blokade sensorik terhadap suhu (hangat dan dingin) diblok pertama
diikuti raba tajam dan akhirnya raba halus. Manifestasi klinis blokade differensial penting
diamati ketika menilai kecukupan blok sensorik dan motorik sebelum memulai prosedur
pembedahan.

EFEK KARDIOVASKULER
Analgesia/anastesia spinal dan epidural terutama berdampak tidak langsung
terhadap sistem kardiovaskular (Tabel 4-1). Berlawanan dengan anestesi spinal, obat
yang terserap ke dalam sirkulasi sistemik dari ruang epidural dapat berefek langsung pada
sistem organ. Efek tidak langsung dimediasi terutama melalui blokade sistem saraf
simpatis dan termasuk respon refleks-refleks terhadap efek kardiovaskular utama.
Luasnya efek blokade neuraxial pada sistem kardiovaskular tergantung pada jumlah dan
posisi segmen saraf spinal yang diblok.
Badan sel serabut saraf simpatis preganglionik terdapat dalam korda spinalis
lumbal tinggi dan torakal (T1 sampai L1-L2) dan diblok sampai derajat bervariasi selama
anestesi spinal. Perluasan rostral blokade saraf simpatis melebihi blokade sensoris
4

sebanyak 6 dermatom, walaupun blokade simpatis seringkali tidak lengkap. Karena


anestesi spinal selalu dimulai di tingkat lumbal hal ini hampir selalu berhubungan dengan
beberapa derajat blokade simpatis. Anestesi epidural di segmen kaudal yang hanya
memblok dermatom sakralis mungkin terhindar dari blokade simpatis, dengan
meningkatkan derajat simpatektomi terkait dengan peningkatan hipotensi sistemik dan
bradikardia. Selain itu derajat kompromais (compromise) kardiovaskular dipengaruhi
oleh posisi pasien dan volume intravaskular, adanya obat-obatan lain yang diberikan baik
kronis maupun akut dan status penyakit dasar pasien.

Hipotensi
Efek anestesi spinal yang paling terlihat adalah hipotensi sistemik yang
diperkirakan terjadi sekitar 16-33%. Faktor risiko terjadi hipotensi pada anestesi spinal
antara lain, blok saraf lebih tinggi dari segmen T5, usia tua, tekanan sistolik dasar kurang
dari 120 mmHg, kombinasi antara anestesi umum dan neuraksial, dan tusukan spinal
(dura) lebih tinggi dari ruang intervertebra L3-L4. Penurunan maksimum pada tekanan
arteri rerata terjadi rata-rata 28 menint setelah pemberian anestesi spinal dan dapat terjadi
pada pasien yang sebelumnya stabil selama 1 jam atau lebih.
Tekanan arteri rerata (MAP) merupakan hasil dari curah jantung dan resistansi
perifer total dan keduanya dipengaruhi selama anestesi neuraxial. Pada model anjing,
Butterworth dkk. menggunakan bypass jantung paru (cardiopulmonary bypass) untuk
mengisolasi efek anestesi spinal terhadap sirkulasi vena dan arteri. Penurunan volume
darah reservoir vena menunjukan peningkatan kapasitansi vena dan dalam setting
tekanan vena sentral dan aliran pompa yang konstan, penurunan tekanan arteri rerata
menunjukan adanya penurunan resistansi vaskular sistemik. Anestesi spinal
meningkatkan kapasitansi vena dan menurunkan resistansi vaskular sistemik.
Rooke dkk. mengamati efek anestesi spinal pada parameter hemodinamik sentral
menggunakan kateter arteri pulmonalis, dan efek pada aliran darah regional
menggunakan radiolabeled red-cell scans (pemindaian sel darah merah dengan label
radioaktif). 15 pasien pria berusia tua dengan penyakit jantung yang telah diketahui
sebelumnya menerima anestesi spinal lidokain hiperbarik (blok median, tinggi T4,
jangkauan T1-10). Tekanan arteri rerata (Mean Arterial Pressure/MAP) menurun dengan
rata-rata 33% sebagai akibat 10% penurunan curah jantung (Cardiac Output/CO) dan
5

26% penurunan resistansi vaskular sistemik (Systemic Vascular Resistance/SVR).


Penurunan curah jantung terutama diakibatkan oleh pengurangan isi sekuncup (Stroke
Volume) sebesar 10%, bukan penurunan denyut jantung. Penurunan isi sekuncup
diakibatkan oleh penurunan volume diastolik akhir ventrikel kiri sebanyak 19%, tanpa
adanya perubahan pada fraksi ejeksi. Terdapat redistribusi darah jauh dari jantung ke
perifer, dimana terjadi pooling (penyatuan, penggabungan) (Gambar 4-1b).
Blokade simpatis berakibat pada vasodilatasi arteri dan vena nmelalui dua
mekanisme: inhibisi langsung aliran keluar saraf simpatis pada saraf-saraf yang
menginervasi pembuluh darah, dan adanya penurunan katekolamin sirkulatorik melalui
inhibisi saraf yang menginervasi kelenjar adrenal. Otot polos arteriola memelihara tonus
otonom bahkan setelah simpatektomi lengkap, sehingga meskipun terjadi penurunan
resistansi perifer total, tekanan darah akan dipertahankan sampai mendekati nilai baseline
(dasar) selama curah jantung dipelihara. Sebaliknya, vena dan venula memiliki otot polos
pembuluh darah yang sangat kecil. Oleh karena itu vena dan venula dapat berdilatasi
secara maksimal setelah simpatektomi tergantung pada tekanan hidrostatik intraluminal.
Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh gravitasi dan posisi pembuluh darah relatif
terhadap atrium kanan.
Luasnya blokade kurang berhubungan dengan beratnya gangguan hemodinamik.
Insidens hipotensi sistemik dan bradikardi meningkat karena peningkatan tinggi segmen
vertebra, khususnya T5 atau di atasnya. Blokade aliran keluar simpatis ke pembuluh
splanknik berakibat pada dilatasi pembuluh splanknik dan peningkatan kapasitans vena
yang bermakna. Sebaliknya otot vena tidak memiliki persarafan simpatis sehingga
blokade neuraksial terbatas pada regio lumbar dan kaudal yang berakibat vasodilatasi
minimal dan perubahan pada kapasitansi vena. Vasokonstriksi kompensatorik dapat
terjadi pada level di atas blok saraf, namun ketika level blok lebih tinggi vasokonstriksi
kompensatorik berkurang dan akhirnya tidak lagi cukup untuk mengimbangi efek
simpatolitik di tubuh bagian bawah.
Seperti yang telah dicatat di atas, hipotensi disertai oleh dilatasi arteriol yang
berfungsi untuk meningkatkan aliran darah melalui pembuluh kapiler pada tekanan arteri
manapun yang diberikan (at any arterial pressure given). Aliran darah tidak diharapkan
meningkat, namun pada pasien dengan penyakit aterosklerotik yang pembuluh darahnya
sulit mengalami vasodilatasi atau pada pasien dengan tekanan arteri rerata yang sangat
6

rendah sehingga tekanan hidrostatik yang tidak cukup dipertahan kan untuk menjaga agar
pembuluh kapiler tetap terbuka. Juga, vasokonstriksi kompensatorik dapat terjadi pada
area tubuh di atas blok saraf dan aliran darah kapiler regional dapat berkurang pada
keadaan hipotensi sistemik. Efek hemodinamik menjadi semakin terlihat selama
hipovolemia dan klinisi harus berhati-hati agar tidak menggunakan teknik neuraksial
sentral dalam situasi seperti ini.
Arginin vasopresin (AVP) dan sistem renin-angiotensin berperan penting dalam
pemeliharaan tekanan darah selama anestesi neuraksial. Konsentrasi renin plasma namun
bukan AVP meningkat setelah hipotensi yang diinduksi natrium nitroprusside. Pada blok
simpatis T11-T1, kadar renin plasma tidak meningkat mamun kadar AVP meningkat.
Pada suatu studi, tekanan darah turun secara signifikan setelah induksi anestesi epidural
pada level sensorik T2 ketika enalapril (salah satu jenis ACE inhibitor) dan antagonis
reseptor V1 AVP diinfus, namun tidak berubah setelah obat antagonis diberikan tunggal
atau setelah infus kontrol salin. Akhirnya, penurunan tekanan darah pada pasien dengan
terapi ACE inhibitor jangka panjang tidak berbeda dengan pasien kontrol. Konsentrasi
AVP plasma meningkat pada kelompok yang menerima terapi ACE inihibitor jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil-hasil ini menunjukan bahwa 2 sistem ini
melengkapi satu sama lain untuk mempertahankan tekanan darah selama anestesi
neuraksial.
Singkatnya, pooling vena (yang berfungsi meningkatkan preload dan oleh
karenanya meningkatkan curah jantung) dan dilatasi arterial (yang berfungsi menurunkan
resistansi vena sistemik) berkombinasi menyebabkan penurunan tekanan arteri rerata.
Dilatasi vaskular tambahan yang diakibatkan oleh hipoksemia, hiperkarbia, asidemia,
akumulasi laktat, atau obat sistemik dapat berakibat pada penurunan tekanan darah lebih
lanjut.

Denyut Jantung
Meskipun penurunan preload merupakan pernyebab utama berkurangnya curah
jantung, denyut jantung juga berperan. Umumnya ketika tingkat blokade bertambah,
denyut jantung menurun. Bradikardi sampai angka kurang dari 50 kali per menit
diperkirakan terjadi pada 9-13% anestesi spinal. Faktor risiko bradikardia antara lain
tingginya blok saraf lebih tinggi dari T5, usia muda, ASA PS 1, denyut jantung dasar
7

kurang dari 60 kali per menit, interval PR memanjang, dan sedang dalam terapi dengan
obat-obat penghambat (penyekat) ß-adrenergik (Kotak 4-2).
Denyut jantung merupakan fungsi kompleks keseimbangan antara tonus simpatis
dan para simpatis juga pengisian jantung, dan respon refleks terhadap penrunan preload.
Selama anestesi spinal yang terbatas pada dermatom torakal bawah atau yang lebih
rendah, refleks meningkatkan aktivitas simpatis di atas level blokade dan juga penurunan
aktivitas vagal cenderung meningkatkan denyut jantung, membantu mempertahankan
curah jantung. Anestesi spinal torakal level tinggi mengurangi output simpatis ke jantung.
Namun demikian, aliran keluar simpatis sentral yang tidak terganggu dapat
mengakibatkan inhibisi refleks vagal sehingga terjadi keseimbangan sistem saraf simpatis
dan parasimpatis seperti yang dinilai pada variabilitas denyut jantung dan aktifitas
barorefleks jantung spontan yang dipertahankan pada sebagian besar pasien selama
anestesi spinal torakal level tinggi. Aliran keluar saraf simpatis dan parasimpatis
menurun.
Pada beberapa pasien bradikardia berat terkait hipotensi terjadi selama anestesi
spinal dan hal ini dapat diakibatkan oleh peningkatan aktivitas parasimpatis yang relatif
terhadap aktivitas simpatis. Pasien yang mengalami bradikardia dan hipotensi selama
anestesi spinal mengalami peningkatan aktivitas vagal yang dinilai dari penurunan
barorefleks jantung spontan, sedangkan pasien yang tetap dalam keadaan stabil tidak
menunjukan adanya peningkatan aktivitas vagal. Demikian pula selama pemulihan dari
anestesi spinal total, bradikardia dan hipotensi berhubungan dengan peningkatan
komponen frekuensi tinggi variabilitas denyut jantung, yang diperantarai oleh sistem
saraf parasimpatis. Akhirnya, faktor-faktor yang mendukung imbalans sistem saraf
otonom sebagai penjelasan terhadap terjadinya bradikardia berat yaitu faktor-faktor risiko
yang telah disebutkan sebelumnya antara lain usia muda, denyut jantung istirahat yang
lambat, dan interval PR memanjang menunjukan adanya tonus parasimpatis istirahat yang
tinggi.
Beberapa respon refleks terhadap penurunan preload dapat berperan pada
bradikardia berat. Aktivitas pacu jantung intrinsik melambat dengan penurunan
peregangan sel-sel miokard. Juga, mekanoreseptor jantung dan vena kava menunjukan
peningkatan aktivitas selama periode penurunan penigisian jantung dan terjadi
bradikardia yang diperantarai reflex vagal. Dipostulasikan bahwa mekanisme refleks ini
8

berfungsi sebagai proteksi yang memungkinkan peningkatan pengisian vena pada kasus-
kasus penurunan preload jantung yang akut/gawat (critical). Penurunan aliran balik vena
yang terjadi selama anestesi spinal lumbar epidural meningkatkan tonus vagal jantung,
karena penurunan diameter ventrikel pada echocardiogram menunjukan onset
bradikardia. Pada individu-individu dengan fungsi simpatis yang utuh, penurunan preload
dan hipotensi yang diakibatkannya diharapkan akan menstimulasi refleks baroreseptor
jantung yang meningkatkan denyut jantung. Ujung eferen refleks baroreseptor
diperantarai melalui sistem saraf simpatis dan oleh sebab itu tidak akan berfungsi pada
keadaan penurunan tonus simpatis.
Analisis klaim tertutup kasus-kasus serangan jantung selama anestesi spinal
mengidentifikasi pemberian sedatif dan kurangnya pengetahuan terkait insufisiensi
respiratorik dan resusitasi segera sebagai faktor pendukung. Kebanyakan kasus-kasus ini
terjadi sebelum penggunaan luas pulse oxymetri dan data-data serta laporan-laporan kasus
terbaru mengungkapkan bahwa insufisiensi respiratorik tidak berperan pada kejadian-
kejadian ini. Dalam suatu review/tinjauan serangan jantung terkait anestesi spinal, Pollard
mengajukan suatu argumen yang meyakinkan yang mendukung etiologi sirkulatorik,
memperdebatkan bahwa asistol menyatakan suatu gambaran jauh yang diawali oleh
bradikardia. Jika ini benar, faktor risiko bradikardia yang disebutkan diatas juga
merupakan faktor risiko serangan jantung. Pemeliharaan preload yang adekuat mungkin
merupakan kunci untuk mengurangi insidens bradikardia dan asistol.

Aliran Darah Organ


Aliran darah otak tetap dipertahankan selama anestesia spinal torakal tinggi dalam
jangkauan autoregulasi serebral. Aliran darah jantung juga tampaknya sedikit
terpengaruh. Penurunan aliran darah jantung yang menyertai hipotensi sistemik
tampaknya diimbangi dengan efek yang menguntungkan pada kerja jantung, yang kiranya
disebabkan oleh penurunan preload, afterload dan denyut jantung. Aliran darah jantung
mungkin meningkat pada pasien dengan penyakit jantung koroner berat selama anestesi
epidural torakal, dan tentunya, anestesi epidural torakal berhubungan dengan
berkurangnya ukuran infark selama iskemia jantung. Juga, blok motorik dan simpatis
berhubungan dengan penurunan konsumsi oksigen dan kemudian diharapkan akan
memberi efek menguntungkan bagi permintaan dan suplai oksigen tubuh total. Aliran
9

darah hepatik menurun secara proporsional sesuai penurunan tekanan arteri rerata
sementara aliran darah ginjal dan urin output dipertahankan dengan baik dalam jangkauan
autoregulasi ginjal.

Perbandingan Blok Spinal dengan Blok Epidural


Terdapat perbedaan efek kardiovaskular antara blok spinal dan blok epidural.
Hipotensi terjadi tidak terlalu sering selama anestesi persalinan sesar yang dilakukan
dibawah anestesi epidural dibanding dengan anestesi spinal. Alasan-alasan terjadinya hal
ini masih belum jelas. Derajat blok simpatis yang terjadi selama anestesi epidural sama
dengan derajat blok simpatis yang terjadi selama anestesi spinal. Pada kedua kasus, blok
simpatis kemungkinan tidak lengkap bahkan setelah blokade segmen torakal tinggi. Telah
dipostulasikan bahwa blok simpatis terjadi lebih lambat selama blok epidural daripada
blok subarachnoid, sehingga memberi kesempatan bagi berbagai mekanisme kompensasi
tubuh untuk mengimbangi konsekuensi hemodinamik negatif.
Absorpsi anestesi lokal dan epinefrin dari ruang epidural mungkin memiliki efek
langsung pada sistem kardiovaskular. Lidokain kadar sedang dalam sirkulasi misalnya
yang terjadi selama anestesi epidural tampaknya memiliki efek stimulasi jantung. Denyut
jantung dan curah jantung meningkat, dengan demikian sebagian mengimbangi efek
negatif blok simpatis. Dosis subkonvulsan mepivakain berakibat pada peningkatan ringan
curah jantung melalui peningkatan denyut jantung dan isi sekuncup. Absorbsi sistemik
epinefrin epidural (80-120 µg) berakibat pada efek agonis β-adrenergik yang menonjol:
peningkatan denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung dan menurunkan SVR
(resistensi vaskular sistemik). Dibandingkan dengan anestesi lidokain epidural atau
anestesi spinal, tekanan arteri rerata menurun jauh ketika epinefrin ditambahkan ke
lidokain epidural karena penurunan SVR lebih besar dari peningkatan curah jantung.

EFEK PADA PARU


Anestesi dan analgesia neuraksial lumbar dan torakal memberikan dampak minor
terhadap fisiologi pernafasan. (Tabel 4-2, Gambar 4-4); perubahan-perubahan ini hanya
berdampak minor pada pasien-pasien yang sehat. Selama anastesi epidural torakal,
kapasitas vital paru menurun sampai 6%, kapasitas total paru menurun sampai 3,5% dan
nilai absolut volum ekspirasi paksa dalam 1s (FEV1) menurun sampai 5%. Rasio
10

FEV1/FVC tidak berubah. Volume tidal (TV) tidak berubah selama anestesi spinal dan
epidural tinggi. Namun, laju alir ekspirasi puncak (Peak Expiratory Flow Rate/PEFR)
menurun setelah anestesi spinal pada pasien dengan kehamilan cukup bulan. Namun,
tekanan ekspirasi puncak (Peak Expiratory Pressure/PEP) berkurang secara signifikan
setelah anestesi epidural dengan 2% lidokain dan epinefrin. Sebaliknya, PEP hanya
berkurang sedikit pada pasien yang diacak untuk menerima bupivakain 0,5% epidural.
Perubahan negatif pada aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow) meningkat ketika
segmen blok saraf semakin tinggi. Akibat-akibat ini kemungkinan disebabkan oleh blok
motorik abdominal dan torakal yang lebih banyak setelah lidokain epidural dengan
epinefrin dibandingkan bupivakain juga ketika blokade saraf sensorik semakin tinggi.
Oleh karena itu, walaupun anestesi epidural padat dan spinal tinggi tidak mempengaruhi
fungsi pernafasan selama pada waktu istirahat, kemampuan batuk dan membersihkan
sekresi dari jalan napas dapat sangat terpengaruh.
Pertukaran gas dan penyesuaian ventilasi/perfusi tetap konstan pada pasien yang
berusia lebih tua setelah anestesia epidural lumbar. Anestesi epidural lumbar maupun
torakal tidak mengganggu respon ventilasi terhadap hiperkarbia atau hipoksia pada
pasien-pasien tua.
Tonus bronkus selama istirahat terutama vagal. Tonus juga dimodulasi oleh sistem
saraf simpatis melalui reseptor β1 dan β2 adrenergik. Ada keprihatinan teoritis bahwa
blok saraf simpatis akan berakibat pada peningkatan resistansi jalan nafas, khususnya
pada individu yang pada dasarnya telah memiliki hiperaktivitas jalan nafas. Groeben dkk.
memberikan anestesi torakal tinggi (blok sensorik T8-C5) pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik. Resistansi jalan nafas tidak berubah, sebagaimana FEV1/FVC dan
kapasitas residual fungsional, dan gas darah arteri. Para penulis menyimpulkan bahwa
anestesi torakal tinggi aman bagi pasien dengan penyakit bronkospastik.
Pada keadaan anestesi spinal total atau tinggi yang tidak disengaja, pasien
mungkin mengalami respiratory arrest dan bahkan penurunan kesadaran. Hal ini
biasanya bukan disebabkan oleh paralisis nervus frenikus atau depresi langsung sistem
saraf pusat karena anestesi lokal. Malahan hipoperfusi berat di otak dan pusat pernapasan
di batang otak menyebabkan apnea dan penurunan kesadaran. Koreksi tekanan darah
sesegera mungkin akan membantu memperbaiki kondisi apnea.
11

Bukti-bukti saat ini menunjukan bahwa anestesi neuraksial berhubungan dengan


meningkatnya morbiditas (penyakit) paru post operatif namun hal ini masih bersifat
kontroversial.

EFEK SISTEM SARAF PUSAT


Aliran darah otak diatur secara otomatis (autoregulated). Jadi, aliran darah ke
sistem saraf pusat akan tetap konstan selama anestesi neuraksial kecuali bila terjadi
hipotensi berat (tekanan arteri rerata kurang dari 55 mmHg pada pasien normotensi).
Penelitian dengan subjek hewan dan manusia mendukung gagasan bahwa blok
neuraksial mungkin berefek langsung pada tingkat kesadaran. Tidak mungkin bahwa
sedasi selama anestesi neuraksial diakibatkan oleh kadar tertentu anestesi lokal di otak,
karena penelitian pada tikus menemukan penurunan dosis hiponotik tiopental yang
diperlukan untuk melemahkan respon refleks tertentu selama anestesi spinal bupivakain
meskipun kadar bupivakain di otak tidak dapat terdeteksi. Pada manusia, konsentrasi
alveolar minimum (MAC) sefovluran berkurang rata-rata 50% selama anestesi epidural
lidokain torakal tinggi. Demikian pula, median dosis efektif propofol berkurang sebanyak
39% selama anestesi spinal bupivakain pada level mid-torakal. Skor sedasi berhubungan
secara langsung dengan luasnya blok spinal dengan blok torakal tinggi menghasilkan
sedasi yang lebih kuat dibanding dengan blok yang terbatas pada dermatom lumbal. Data-
data ini menunjukan penurunan input aferen pada sistem aktivasi retikular yang
mengakibatkan sedasi selama anestesi neuraksial dan berkurangnya kebutuhan depresan
tambahan bagi sistem saraf pusat selama anestesi neuraksial.
Anestesi neuraksial mungkin terkait dengan penurunan insidens disfungsi kognitif
postoperatif dini; namun, dampak jangka panjang tidak berbeda dibandingkan dengan
anestesi umum.

EFEK NEUROENDOKRIN
Trauma pembedahan menginduksi respon imun dan metabolik-endokrin sistemik
yang sering disebut respon stres. Sistem neuroendokrin berperan penting pada respons
ini. Respon stres dapat dipengaruhi oleh jenis anestesi pembedahan dan analgesia post
operatif. Dari sudut pandang teleologis, respon stres berkontribusi terhadap survival
(kelangsungan hidup). Di masa modern respon-respon ini dapat merugikan. Contoh efek
12

respon stres yang tidak diinginkan antara lain ileus paralitik post operatif,
hiperkoagulabilitas dan hiperglikemia. Oleh karena itu kemampuan mempengaruhi
respon stres dengan mengatur asuhan anestesi, atau aspek perioperatif lainnya dapat
mempengaruhi hasil akhir proses pembedahan.
Respon stres melibatkan peningkatan kadar-kadar hormon katabolik di dalam
plasma (yakni ACTH, kortisol, katekolamin, renin, angiotensin II aldosteron, glukagon,
interleukin 6) maupun penurunan kadar hormon anabolik (yakni insulin dan testosteron).
Perubahan-perubahan ini saling mempengaruhi jalur-jalur metabolik dan perubahan-
perubahan cairan juga keseimbangan elektrolit. Intensitas dan durasi respon stres
langsung berhubungan dengan derajat dan lamanya trauma pembedahan. Stimulus aferen
yang disalurkan melalui sistem saraf simpatis dan somatosensorik berperan penting dalam
memunculkan respons neuroendokrin terhadap trauma. Faktor-faktor humoral,
dilepaskan pada lokasi trauma juga berperan secara sistematis dan melalui stimulasi
sistem saraf aferen. Faktor-faktor lain misalnya perdarahan, asidosis atau hipoksemia juga
dapat berkontribusi memunculkan respon stres. Respon stres dapat terjadi selama
beberapa menit sampai beberapa jam.
Mekanisme oleh anestesi neuraksial yang mempengaruhi respon-respon ini belum
dapat dijelaskan secara rinci. Blok neuraksial mungkin berkontribusi terhadap respon
stres yang berkurang melalui blok langsung sinyal-sinyal aferen dan eferen. Terdapat
bukti bahwa anestesi lokal secara langsung memblok respon stres tertentu dan ini
mungkin merupakan suatu mekanisme tambahan dari perubahan respon stres yang terkait
blok epidural. Efek pada respon stres pada blok spinal dibandingkan dengan blok
epidural, besar dan lamanya blok saraf, dan lokasi spesifik anestesi membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Data-data awal menunjukan bahwa supresi respon stres secara
langsung berhubungan dengan besarnya dan durasi blokade neuraksial. Lain dengan
anestesi neuraksial, anestesi inhalasi, intravena atau anestesi umum seimbang (balans)
memiliki efek minimal pada respon stres baik diberikan secara tunggal maupun
dikombinasikan dengan anestesi neuraksial. Morfin epidural dibandingkan anestesi lokal
bersifat kurang efektif dalam hal mengurangi respon stres bahkan ketika kontrol nyeri
yang dimilikinya mirip.
Permulaan respon stres selama dan sesudah prosedur pembedahan dibuktikan oleh
peningkatan kadar berbagai hormon stres dalam serum dan perubahan respon metabolik.
13

Anestesi spinal dan epidural melemahkan namun tidak menghambat peningkatan hormon
stres intraoperatif seperti glukosa (glucose), kortisol, katekolamin dan ACTH. Anestesi
epidural dibanding anestesi umum mengakibatkan peningkatan oksigenasi jaringan.
Blokade neuraksial dapat mempengaruhi fungsi neuroendokrin. Blokade
neuraksial yang lebih tinggi dari T9-T10 berkaitan dengan penurunan konsentrasi
epinefrin dan norepinefrin plasma. Konsentrasi katekolamin menurun sesuai dengan
luasnya blok sensorik cephalad selama anestesi spinal tetrakain. Kadar renin plasma dan
respon vasopresin dapat berubah. Blok torakal level tinggi dapat menghambat respon
normal terhadap hiperglikemia akut. Terlepas dari efek langsung dan tidak langsung
inhibisi sistem saraf simpatis, blokade neuraksial sendiri tidak tampak memiliki efek
mayor terhadap fungsi endokrin dan metabolik secara umum.

Konsumsi Oksigen
Penurunan konsumsi (VO2) dan ekstraksi oksigen (VO2/DO2) menyertai anestesi
spinal. Penurunan ini kemungkinan merupakan respons terhadap reduksi kebutuhan
metabolik oleh karena berkurangnya pembebanan jantung, paralisis otot ndan penurunan
keseluruhan metabolisme. Efek keseluruhan anestesi neuraksial terhadap konsumsi
oksigen dapat dipengaruhi oleh perubahan termoregulasi dan menggigil karena hal ini
dapat meningkatkan konsumsi oksigen.

TERMOREGULASI
Hipotermia berhubungan dengan peningkatan insidens iskemia miokard dan
penyakit jantung lainnya, infeksi luka, gangguan koagulasi dan kehilangan darah.
Hipotermia tampaknya terjadi pada tingkatan yang sama dan dengan berat yang sama
selama anestesi neuraksial mayor (anestesi spinal dan epidural) dibanding dengan
anestesi umum (Gambar 4-8). Sayangnya, penelitian terakhir mengungkapkan bahwa
sebagian besar klinisi tidak memonitor suhu secara rutin selama anestesi spinal dan
epidural. Ketika dilakukan monitor suhu, kebanyakan klinisi umumnya memonitor
temperatur kulit kening yang merupakan cara perkiraan suhu inti yang tidak akurat
khususnya selama anestesi spinal.
Keseimbangan panas tubuh perioperatif berasal dari suatu kompleks yang saling
mempengaruhi antara produksi panas, hilangnya panas tubuh ke lingkungan, distribusi
14

panas dari inti tubuh ke perifer dan respon termoregulasi oleh tubuh untuk meningkatkan
produksi panas dan mengurangi hilangnya panas selama hipotermia. Penyebab utama
berkurangnya temperatur inti tubuh selama anestesi neuraksial adalah redistribusi panas
dari inti ke perifer karena adanya vasodilatasi perifer. Selama 1 jam pertama anestesi
redistribusi berperan 89% hilangnya panas inti tubuh dan selama jam kedua dan jam
ketiga redistribusi berperan 62% hilangnya panas tubuh. Bahkan setelah 3 jam anestesi,
redistribusi masih merupakan penyebab utama hipotermia inti tubuh.
Selain redistribusi panas, terjadi status balans panas negatif (kehilangan panas
melebihi produksi panas) yang ringan. Beberapa faktor dapat berperan sehingga terjadi
balans panas negatif. Laju metabolik menurun dibawah level blok. Secara bersamaan
panas hilang ke lingkungan (melalui radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi) terjadi.
Selain itu kontrol termoregulasi sentral terganggu selama anestesi neuraksial.
Blok simpatis dan motorik menghalangi vasokonstriksi dan menggigil di setengah bagian
bawah tubuh, tetapi bahkan di setengah bagian atas tubuh, anestesi spinal dan epidural
mengurangi ambang batas vasokonstriksi termoregulatorik dan menggigil. Mirip dengan
anestesi umum, vasokonstriksi dan menggigil yang meniadakan hipotermia dipicu pada
temperatur inti yang lebih rendah selama anestesi spinal dan epidural. Gangguan
termoregulasi sentral ini bersifat sekunder karena adanya penurunan input aferen dari
tubuh bagian bawah. Anastesi epidural juga mengurangi keuntungan (intensitas
tambahan meningkat) dan intensitas maksimum menggigil karena hanya tubuh bagian
atas di atas area blok yang terlibat dalam respon menggigil.
Pasien acak (random) yang menerima anestesi spinal dan epidural untuk
persalinan bedah sesar dingin lebih cepat selama 30 menit pertama jika mendapat anestesi
spinal. Setelah 30 menit pertama kedua kelompok dingin pada laju yang sama. Secara
keseluruhan hal ini mengakibatkan suhu inti yang lebih dingin pada pasien yang
dianestesi spinal. Insidens menggigil sama pada kedua kelompok namun ambang batas
menggigil menurun jauh dan intensitas menggigil berkurang pada kelompok pasien yang
mendapat anestesi spinal dibanding epidural. Para penulis menyimpulkan bahwa
termoregulasi lebih terganggu oleh anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural.
Prediktor hipotermia lainnya yakni usia dan luasnya blok saraf. Berkurangnya ambang
batas menggigil yang terjadi setelah blok spinal sesuai dengan jumlah dermatom yang
diblok.
15

Akhirnya, ketika penghangatan kembali udara secara paksa dilakukan post


operatif, pasien yang diberi anestesi spinal menghangat kembali ke 36,5 oC lebih cepat
daripada pasien yang diberi anestesi umum kiranya disebabkan karena vasodilatasi
meningkatkan transfer panas dari perifer ke inti tubuh.

EFEK TERHADAP SISTEM KOAGULASI


Hiperkoagulabilitas merupakan komplikasi pembedahan mayor yang banyak
diketahui. Perubahan koagulasi dan fibrinolisis berkontribusi terhadap keseluruhan
peningkatan koagulabilitas. Imobilisasi dan penurunan aliran darah di ekstremitas bawah
juga berkontribusi terhadap peningkatan kejadian trombosis pada masa post operatif.
Anestesi neuraksial dibanding anestesi umum berkaitan dengan penurunan risiko
trombosis vena dalam dan emboli paru dan berkurangnya risiko trombosis vena dan arteri
setelah prosedur pembedahan vaskular. Mekanisme-mekanisme yang mana anestesi
neuraksial memodifikasi risiko kejadian tromboemboli dapat disebabkan oleh blok aferen
dan eferen atau efek langsung anestesi lokal. Anestesi neuraksial dapat memodifikasi trias
Virchow (aliran darah, dinding pembuluh darah dan komposisi kimia dari komponen
pembekuan darah) dengan mempengaruhi aliran darah dan konsentrasi serta aktivitas
komponen koagulasi. Walaupun terdapat efek bermanfaat dari anestesi neuraksial pada
insidens komplikasi trombosis postoperatif, tidak jelas apakah efek ini tergantung pada
jenis dan luasnya anestesi (spinal vs epidural), lamanya blokade neuraksial (intraoperatif
saja vs intraoperatif dan post operatif), dan obat-obat anestesi neuraksial khusus (anestesi
lokal vs opioid).
Data-data yang ada bertentangan tentang efek anestesia neuraksial pada faktor
koagulasi dan fibrinolisis individual. Misalnya, penelitian-penelitian telah menunjukan
peningkatan dan tidak adanya perubahan pada antigen faktor von willebrand. Blokade
neuraksial tidak memiliki efek pada hitung trombosit post operatif namun menghambat
agregasi platelet. Hiperkoagulasi postoperatif sebagaimana yang dinilai melalui
thromboelastografi (TEG) dihambat oleh kombinasi anestesi umum-epidural
dibandingkan pada anestesi umum pada pasien pembedahan vaskular (sudut α lebih kecil
dan amplitudo maksimum)
Perkiraan kehilangan darah menurun sampai 30% pada penelitian yang
membandingkan anestesi neuraksial dengan anestesi umum pada operasi penggantian
16

pinggul (lihat Bab 7) dan prostatektomi. Mekanismenya tidak jelas namun dapat berkaitan
dengan berkurangnya tekanan arteri dan vena yang mengakibatkan berkurangnya aliran
vena.

EFEK PADA SISTEM GENITOURINARIA


Efek pada Ginjal
Persarafan ginjal berasal dari segmen T10 sampai L1 (Gambar 1-20). Blok
neuraksial sentral dapat mengubah fungsi ginjal melalui beberapa mekanisme. Ini
termasuk efek tidak langsung, yakni perubahan curah jantung (cardiac output) dan
tekanan darah atau sistem endokrin yang diinduksi anestesi neuraksial; atau efek langsung
yang disebabkan oleh blok saraf eferen ginjal atau perubahan respon refleks karena blok
saraf aferen. Selain itu, respon ginjal terhadap blokade neuraksial mungkin tergantung
pada jenis dan durasi prosedur pembedahan, jenis, durasi dan luasnya blokade neuraksial
dan manajemen cairan intra dan post operatif.
Perubahan fungsi ginjal menyertai blok neuraksial memiliki sedikit kepentingan
fisiologis bagi individu sehat yang disebabkan oleh cadangan besar (large reserve).
Sebagai akibat autoregulasi, aliran darah ginjal dan kemudian laju filtrasi glomerulus
tetap konstan di atas tekanan arteri rerata (50-150 mmHg). Ginjal terutama mencapai
homeostasis ini melalui dilatasi arteriol sekunder yang diakibatkan oleh reabsorbsi
berlebihan ion klorida dan vasokonstriksi arteriol eferen melalui aktivasi kaskade renin
angiotensin. Dua mekanisme umpan balik ini yang terjadi dalam beberapa menit
perubahan tekanan arteri rerata yang memungkinkan ginjal sehat mempertahankan aliran
darah ginjal yang konstan. Oleh karena itu hidrasi pre-operatif yang adekuat dan
pemeliharaan tekanan darah sistemik dalam jangkauan autoregulasi berfungsi untuk
melindungi fungsi ginjal ketika terjadi respons hemodinamik terhadap blokade
neuraksial. Adanya hipotensi (tekanan arteri rerata kurang dari 50 mmHg), aliran darah
ginjal berkurang, namun penghantaran oksigen biasanya mencukupi sehingga fungsi
ginjal kembali normal ketika tekanan darah kembali normal.
Efek anestesi neuraksial pada pasien dengan penyakit ginjal berat yang telah ada
sebelumnya tidak terlalu banyak diteliti. Pada tinjauan (review) pasien yang menjalani
oprasi penggantian pinggul total dengan anestesi epidural hipotensif, pasien dengan
disfungsi ginjal kronis di-match dengan pasien yang memiliki fungsi ginjal normal
17

dengan dan tanpa hipertensi. Tidak ada pasien yang mengalami disfungsi ginjal akut
walaupun tiga pasien dengan disfungsi ginjal kronik mengalami perburukan fungsi ginjal
2-3 hari setelah pembedahan yang terkait dengan kehilangan darah akut dan ileus. Para
penulis mengajukan bahwa teknik anestesi ini layak bagi pasien dengan disfungsi ginjal
kronik selama volume intravaskular tetap dipelihara/dipertahankan.

Efek terhadap Kandung Kemih


Retensi urin merupakan komplikasi yang terjadi pada anestesi neuraksial dan
anestesi umum dan didiskusikan secara rinci pada bab 6 dan 11. Kandung kemih
dipersarafi oleh saraf yang melalui segmen radiks S2-S4 (Gambar 1-19 dan 1-20). Saraf
simpatis kandung kemih berasal dari level torakal rendah/lumbar tinggi dan persarafan
parasimpatis berasal dari level sakrum. Blokade terhadap radiks-radiks saraf ini dapat
secara langsung mempengaruhi otot detrusor dan fungsi sphincter urin (Kotak 4-3).
Penyebab retensi urin bersifat multifaktorial, namun pemilihan anestesi lokal yang tepat
dan luasnya blokade saraf, pemilihan agen tambahan (yakni opioid masa kerja pendek vs
opioid masa kerja panjang dan epinefrin) serta pemberian cairan intraoperatif dapat
mempengaruhi terjadinya retensi urin. Insidens juga tergantung usia pasien, jenis
prosedur pembedahan, kecemasan dan nyeri. Bukti terakhir menunjukan bahwa opioid
intratekal merubah fungsi saluran kemih bagian bawah dengan mengurangi kontraktilitas
otot detrusor dan mengurangi sensasi atau keinginan berkemih.

EFEK GASTROINTESTINAL
Suplai saraf simpatis ke viseral abdomen berasal dari segmen T6 sampai T12-L1
(Gambar 1-20) sementara suplai saraf parasimpatis ke usus melalui nervus vagus.
(Gambar 1-19). Oleh karena itu blokade neuraksial pada level mid atau torakal rendah
berakibat pada denervasi simpatis di usus dan dominasi saraf parasimpatis. Hal ini
berakibat pada usus yang berkontraksi, relaksasi sphincter dan peristaltik yang normal.
Hasil-hasil penelitian anestesi neuraksial dan hasil penelitian aliran darah usus
pada manusia dan hewan cukup bertentangan. Misalnya, suatu studi anestesi epidural
torakal dengan menggunakan bupivakain pada manusia menemukan adanya penurunan
aliran serosal red cells kolon dan aliran darah arteri mesenterika inferior dengan hipotensi
yang diinduksi anestesi epidural. Studi pada manusia lainnya menunjukan adanya
18

peningkatan aliran darah usus yang berkaitan dengan anestesi epidural dan penelitian
lainnya tidak menemukan perubahan apapun yang terjadi. Hasil-hasil yang bertentangan
ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan level blokade neuraksial dan dosis bupivakain
yang digunakan, Tekanan darah dan manajemen cairan berbeda pada setiap kelompok
studi, serta teknik pengukuran aliran darah (yaitu tonometri dan flowmetri dopler) yang
digunakan. Secara umum studi pada hewan telah menemukan efek menguntungkan
anestesi epidural pada aliran darah ginjal.
Terdapat perhatian teoritis bahwa dominasi parasimpatis dan peningkatan
motilitas gastrointestinal terkait dengan blokade neuraksial dapat meningkatkan risiko
rusaknya anastomose pembedahan. Suatu studi retrospektif tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kebocoran anastomose setelah esofagoektomi menemukan bahwa
anestesi epidural torakal secara independen berhubungan dengan berkurangnya risiko
kebocoran (OR 0,13, CI 95% 0,02-0,71). Review sistematis terbaru menunjukan bahwa
blokade epidural tidak berhubungan dengan peningkatan risiko rusaknya anastomosis.
Risiko hasil negatif palsu 67% dan studi yang lebih besar dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan ini.
Efek keseluruhan perubahan-perubahan ini pada keadaan post operatif termasuk
lamanya ileus post operatif didiskusikan secara rinci pada bab 9 dan 16. Suatu meta
analisis tentang penelitian-penelitian yang membandingkan analgesia epidural dengan
analgesia sistemik dan anestesi lokal epidural dengan analgesia opioid epidural
menemukan bahwa analgesia epidural torakal (bukan lumbar) dengan anestesi lokal
memiliki efek menguntungkan pada nyeri post operatif dan pemulihan fungsi usus setelah
bedah perut mayor. Penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk menentukan besar optimal
blokade neuraksial, kombinasi obat (dengan dan tanpa opioid), dan waktu (waktu mulai
dan akhir) agar paling efektif mempengaruhi hasil gastrointestinal.

Fungsi Hati
Efek anestesi neuraksial pada fungsi hepar atau efeknya pada perubahan fungsi
hepar yang diinduksi pembedahan tidak banyak dipelajari. Anestesi spinal midtorakal
tidak mengubah bersihan propanolol atau waktu paruh eliminasi obat pada model anjing.
Kadar glutathione S-transferase plasma (suatu penanda injuri sel hati) tidak meningkat
setelah anestesi spinal sepanjang hipotensi berat dapat dihindari.
19

RINGKASAN
Blokade neuraksial berakibat pada perubahan fisiologis berbagai sistem organ.
Perubahan-perubahan ini sebagian besar diakibatkan oleh efek sistem saraf otonom pada
blokade neuraksial dan tergantung pada luasnya blokade saraf simpatis. Secara umum,
blokade segmen lumbar berakibat pada kurangnya gangguan fisiologis dibanding blokade
torakal. Selain itu, kemungkinan terdapat efek langsung anestesi lokal dan obat ajuvan
yang terkait dengan anestesi epidural. Efek langsung setelah anestesi spinal tidak
mungkin terjadi karena dosis obat yang rendah yang dibutuhkan untuk blokade spinal.
Perubahan fisiologis berhubungan dengan blokade neuraksial mungkin dapat bermanfaat
bagi pasien dan hasil pembedahan, atau bahkan dapat mengakibatkan bahaya bagi pasien
kecuali dilakukan monitor dan perawatan yang cermat oleh ahli anestesi. Pengetahuan
tentang perubahan-perubahan ini penting dipelajari agar dapat melakukan praktik anestesi
neuraksial yang aman bagi pasien.
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Scavone BM, Ratliff J, Wong CA. Physiologic Effects of Neuraxial Anesthesia.


In: Spinal and Epidural Anesthesia. 2007. p. 111–26.

Anda mungkin juga menyukai