Anda di halaman 1dari 12

ABSTRAK

Peranan dan fungsi karantina dalam era perdagangan bebas (impor dan ekspor), globalisasi
ekonomi dan kemajuan teknologi (transportasi, telekomunikasi dan informasi) semakin
dirasakan sangat penting. Maksud dan tujuan dalam pengawasan dan pemeriksaan
karantina terhadap importasi pangan asal hewan (produk hewan) adalah untuk memastikan
dan meyakinkan bahwa media pembawa tersebut tidak mengandung /tidak tertular atau
tidak dapat lagi menularkan hama penyakit hewan karantina serta tidak lagi membahayakan
kesehatan manusia. Untuk lebih efektif dan efisiensi pelaksanaan tindakan karantina dalam
pengawasan lalu-lintas media pembawa hama penyakit hewan karantina, perlu
adanya harmonisasi seluruh perangkat peraturan perundangan yang mengatur
pelaksanaan pemasukan /pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, sehingga semua kepentingan dapat terakomodasi.

Kata kunci: Pengawasan, impor, bahan pangan

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Peranan dan fungsi karantina dalam era perdagangan bebas, globalisasi ekonomi dan
kemajuan teknologi (transportasi, telekomunikasi dan informasi) semakin dirasakan sangat
penting. Akibat perkembangan global meningkatkan tuntutan konsumen mengenai
keamanan pangan yang mewajibkan komoditi pertanian bebas mikroba pathogen yang
berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk itu Karantina Pertanian berperan untuk
menjalankan Sanitary and Pythosanitary (SPS)-WTO terhadap lalu lintas produk pertanian
dalam melindungi kehidupan dari ancaman bahaya masuknya penyakit zoonosa atau
makanan yang tercemar mikroba dan residu (antibiotika, logam berat, hormon, pertisida dan
bahan kimia berbahaya lainnya) yang dikenal sebagai new emergency food borne
diseases dapat berakibat pada kematian atau gangguan kesehatan manusia atau kesehatan
hewan.

Selain sebagai unit pelayanan masyarakat, karantina juga saat ini berperan sebagai alat
perdagangan dalam proteksi membanjirnya produk-produk import yang secara potensial
dapat merugikan sisi perekonomian negara dan masyarakat. Praktek-praktek subsidi,
dumping dan perdagangan tidak sehat lainnya banyak terjadi dengan berkedok sebagai
technical barrier to trade (mutu, grade, residu, bioterrorism, genetic modified organism
(gmo), transgenetika, dan lain-lain). Untuk itu petugas karantina yang merupakan aparat
penegakan hukum yang diberi kewenangan dalam melakukan penyidikan dan penindakan
terhadap pelanggaran hukum perkarantinaan yang berlaku harus bersikap tegas dan
memberi sangsi sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan diproses secara
hukum bagi pelaku pelanggaran tindak karantina. Tanpa adanya penegakan hukum, maka
peran karantina akan dipandang sebelah mata dalam kancah perdagangan bebas yang saat
ini telah terjadi.
2. Maksud dan Tujuan
Berkaitan dengan isu tersebut diatas, kedudukan dan peran Karantina Pertanian
khususnya Karantina Hewan menjadi sangat penting dan strategis. Sebagai lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas antara lain mencegah masuknya dan tersebarnya hama
penyakit hewan yang dapat mengancam kesehatan manusia, kesehatan hewan serta
kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup, maka dalam melaksanakan
tugas dan fungsi tersebut, Badan Karantina Pertanian melalui unit pelaksana teknis (UPT)
Karantina di pintu-pintu masuk dan keluar (entry/exit point) diharuskan melakukan
pengawasan dan tindakan karantina. Pengawasan dilakukan terhadap lalu lintas (masuk
dan keluar) produk pertanian (bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan,
dan media pembawa yang tergolong benda lain) yang dapat bertindak
sebagai media pembawa hama penyakit hewan.

Maksud dan tujuan dalam pengawasan dan pemeriksaan karantina terhadap importasi
pangan asal hewan adalah untuk memastikan dan meyakinkan bahwa media pembawa
tersebut tidak mengandung atau tidak dapat lagi menularkan hama penyakit hewan
karantina serta tidak lagi membahayakan kesehatan manusia, menjaga ketenteraman bathin
masyarakat, mengangkat harkat dan martabat hidup masyarakat melalui kecukupan pangan
yang bermutu dan bergizi, serta ikut menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup.

Berdasarkan ketentuan SPS Agreement, Badan Karantina Pertanian sebagai salah satu
unsur CIQ (Custom, Immigration and Quarantine) di setiap pelabuhan laut atau bandar
udara internasional secara tidak langsung diserahi tugas untuk melaksanakan pengawasan
ketentuan-ketentuan tersebut diatas, khususnya dalam lalu lintas perdagangan masuk dan
keluar produk pertanian.

3. Ruang Lingkup
Dalam melaksanakan pengawasan importasi pangan asal hewan Karantina Hewan yang
diserahi kewenangan sebagai “enquiry point”. Dalam prosedur importasi pangan asal
hewan memerlukan pelayanan yang CEPAT, karena merupakan komoditi yang peka waktu
sehingga perlu ditetapkan Prosedur Pelayanan yang cepat namun tetap efektif dari sisi
Pengawasan. Untuk memudahkan pengawasan perlu adanya koordinasi dan kerjasama
dengan intansi terkait (Dirjen Bina Produksi Peternakan, Bea dan Cukai, Deperindag, Polri,
Dephub, Depkes, BPOM, LP POM MUI dan lain-lainnya baik di tingkat pusat maupun
daerah).

******

II. TINJAUAN PUSTAKA


Karantina adalah tempat pengasingan dan /atau tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri
dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia, dan Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit
ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area
lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia (UU No.
16 Tahun 1992).

Media pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area
lain, transit di dalam, dan atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
dikenakan tindakan karantina. Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan,
pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan
pembebasan. Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa yang
membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan instansi yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis (PP No. 82 Tahun 2000).

Media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina adalah hewan, bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang dapat
membawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina, Sedangkan yang dimaksud
dengan Bahan asal hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah
lebih lanjut (UU NO 16 Tahun 1992).

Sesuai dengan Pasal 19 dan Pasal 40 PP No. 82 Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap
pemasukan media pembawa harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan
dokumen serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum
diturunkan atau melewati tempat pemasukan, kecuali alat angkut udara yaitu segera setelah
pesawat tersebut mendarat. Demikian juga terhadap setiap pengeluaran mediapembawa
harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen serta kesehatannya
oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina atau tempat asal
sebelum dimuat ke alat angkut. Bilamana dokumen yang dipersyaratkan tidak dapat
dipenuhi (tindak lengkap, tidak benar/tidak sesuai dan tidak sah), maka mediapembawa
tersebut ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya atau pemakai jasa karantinanya untuk
daerah pengeluaran, serta ditolak pemasukannya untuk daerah pemasukan.

******

BAB III
MATERI DAN METODE
Materi (bahan) tulisan adalah pengalaman kerja dan praktek yang dilaksanakan di instalasi
karantina hewan. Metode (cara) yang digunakan adalah dengan study literature yang terkait
dan sesuai dengan pokok bahasan.

******

IV. PEMBAHASAN

1. Fakta
Badan Karantina Pertanian dalam hal pemasukan dan pengeluaran komoditi strategis hasil
pertanian mengambil kebijakan umum berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang No.
16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dan Peraturan Pemerintah
No. 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan bahwa setiap pemasukan maupun
pengeluaran komoditi hasil pertanian (hewan, bahan asal hewan, dan hasil bahan asal
hewan) harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut :
a. Harus disertai Sertifikat Kesehatan Hewan, Bahan asal hewan, atau Hasil bahan asal
hewan;
b. Harus melalui pintu masuk dan atau pintu keluar yang telah ditetapkan pemerintah
c. Harus dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk dilakukan tindakan
karantina.

Disamping ketiga persyaratan tersebut, lalu-lintas komditi hasil pertanian (hewan, bahan
asal hewan, maupun hasil bahan asal hewan) dapat pula diwajibkan memenuhi persyaratan
teknis lainnya yang ditetapkan pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian
SPS –WTO. Sebagaimana diketahui pelaksanaan tindakan karantina didasarkan atas UU
No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan merupakan bagian dari
pelaksanaan perjanjian SPS dengan tujuan untuk mencegah masuk, tersebar dan keluarnya
hama penyakit berbahaya yang dapat mengancam keamanan dan kesehatan manusia,
hewan, ikan, dan tumbuhan, serta kelestarian lingkungan hidup.

Secara umum pelaksanaan tindakan karantina khususnya terhadap media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina terdiri dari :

Pemeriksaan:
Dalam pemeriksaan yang dilakukan adalah memeriksa dokumen (Surat Keterangan
Kesehatan Hewan /Health Certificate) termasuk keabsahannya dan memeriksa keadaan
fisik dan kesehatan hewan/media pembawa tesebut apakah sehat/layak atau tidak.

Pengasingan:
Setelah pemeriksaan selesai untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap adanya hama dan
penyakit hewan yang kemungkinan terbawa oleh hewan / media pembawa tersebut.

Pengamatan:
Selama pengasingan dilakukan pengamatan untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam rangka
mendeteksi adanya hama dan penyakit hewan karantina atau tidak.

Perlakuan:
Perlakuan diberikan untuk mencegah/mengebalkan hewan apabila di daerah asalny belum
terdapat penyakit hewan karantina golongan II sebagaimana yang terdapat (yang ada) di
daerah tujuan, juga diberikan untuk mengobati/memperlakukan apabila
diperlukan/ditemukan penyakit hewan yang bukan penyakit hewan karantina.

Penahanan:
Penahanan dilakukan apabila dokumen yang menyertainya tidak lengkap atau dalam
pemeriksaan masih diperlukan konfirmasi lebih lanjut.

Penolakan:
Dilakukan penolakan apabila media pembawa tersebut berasal dari daerah/negara
terlarang karena masih terdapat/tertular atau sedang wabah penyakit hewan karantina
golongan I, atau pada waktu pemeriksaan ditemukan gejala adanya penyakit hewan
karantina golongan I, atau pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi dengan dokumen
karantina (sertifikat kesehatan).
Pemusnahan:
Pemusnahan dilakukan apabila media pembawa yang ditahan tersebut melewati batas
waktu yang ditentukan dan pemilik/kuasanya tidak dapat memenuhi persyaratan yang
diperlukan, atau terhadap media pembawa tersebut ditemukan adanya hama dan penyakit
hewan karantina golongan I atau golongan II tetapi telah diobati ternyata tidak dapat
disembuhkan, atau hewan yang ditolak tidak segera di berangkatkan/tidak mungkin
dilakukan penolakan dan media pembawa tersebut berasal dari daerah terlarang atau
daerah yang tidak bebas dari penyakit hewan karantina golongan I.

Pembebasan:
Pembebasan dilakukan apabila semua kewajiban dan persyaratan untuk
memasukkan/mengeluarkan media pembawa tersebut telah dipenuhi dan dalam
pemeriksaan tidak ditemukan adanya/dugaan adanya gejala hama dan penyakit hewan
karantina, atau selama pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya hama dan
penyakit hewan karantina. Pembebasan untuk masuk diberikan dengan sertifikat
pelepasan/pembebasan sedang pembebasan keluar diberikan dengan Sertifikat kesehatan.

Kebijakan tindakan karantina terhadap pangan asal hewan (daging, daging olahan, telur,
susu, dan lain-lainnya) dapat dikaitkan dari segi kesehatan masyarakat veteriner. Untuk itu
kebijakan importasi diharapkan untuk bersikap hati-hati terhadap kemungkinan masuknya
dan tersebarnya agen penyakit atau bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan
manusia, sehingga karantina mempunyai kewajiban untuk mengamankan melalui
pemeriksaan dari segi keamanan dan mutu produk pertanian tersebut.
Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 ditegaskan bahwa pemasukan
dan pengeluaran harus telah diuji atau diperiksa dari segi keamanan, mutu dan atau gizi
serta dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan. Dalam
melaksanakan tugas ini karantina perlu dibekali dengan seperangkat alat deteksi dan
laboratorium yang sedapat mungkin telah terakreditasi sehingga diakui dunia internasional.

Pengawasan pemasukan dan pengeluaran terhadap media pembawa berupa pangan asal
hewan dilakukan pada pintu-pintu pemasukan/pengeluaran, baik melalui bandara,
pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan (ferry), cek point lintas darat,
dan kantor pos.

Sesuai dengan Pasal 19 dan Pasal 40 PP No. 82 Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap
pemasukan media pembawa harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan
dokumen serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum
diturunkan atau melewati tempat pemasukan, kecuali alat angkut udara yaitu segera setelah
pesawat tersebut mendarat. Demikian juga terhadap setiap pengeluaran mediapembawa
harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen serta kesehatannya
oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina atau tempat asal
sebelum dimuat ke alat angkut. Bilamana dokumen yang dipersyaratkan tidak dapat
dipenuhi (tindak lengkap, tidak benar/tidak sesuai dan tidak sah), maka mediapembawa
tersebut ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya atau pemakai jasa karantinanya untuk
daerah pengeluaran, serta ditolak pemasukannya untuk daerah pemasukan.

2. KASUS
SALAH SATU KASUS YANG MENIMBULKAN PERMASALAHAN PENGAWASAN
KARANTINA TERHADAP BAHAN ASAL HEWAN PADA TAHUN 2004 ADALAH MASALAH
IMPORTASI DAGING ASAL USA, YANG MELIBATKAN INSTANSI TERKAIT DALAM
PENYELESAINYA. SEBAGAIMANA DIMAKLUMI BAHWA SEJAK TANGGAL 24
DESEMBER 2003 YANG LALU DILAKUKAN PENGHENTIAN SEMENTARA PEMASUKAN
(IMPOR) RUMINANSIA DAN PRODUKNYA DARI AMERIKA SERIKAT SEHUBUNGAN
DENGAN KASUS KEJADIAN PENYAKIT SAPI GILA (BOVINE SPONGIFORM
ENCEPHALOPATHY/BSE) DI NEGARA BAGIAN WASHINGTON, SEHINGGA TIDAK
DITERBITKAN PERSETUJUAN PEMASUKANNYA DARI INSTITUSI YANG BERWENANG
BERDASARKAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI
PETERNAKAN NOMOR: 96/KL.050/F.1/12.03 DAN DITINDAKLANJUTI OLEH BADAN
KARANTINA PERTANIAN DENGAN MENGELUARKAN SURAT EDARAN NOMOR
1736/PD.670.210/L/12/03.
Penghentian sementara ini telah dilakukan sosialisasi kepada semua stakeholder sebagai
upaya untuk menanggulangi kemungkinan masuk dan menyebarnya penyakit BSE tersebut
melalui media pembawa (daging sapi) dari negara yang tertular BSE. Namun berdasarkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor: 2882/PD.630/F.5/05/04
tanggal 31 Mei 2004 dinyatakan bahwa terhadap produk-produk ruminansia dapat disetujui
kembali pemasukannya secara bertahap, karena kejadian penyakit BSE (single case) di
Amerika Serikat telah dilakukan penanganan sesuai standar internasional, yang kemudian
disetujui dalam Sidang Umum OIE ke 72 pada akhir bulan Mei 2004 lalu.
Komoditas produk ruminansia yang disetujui pemasukannya antara lain daging, semen,
ova, hati dan jantung, sedangkan pemasukan paru-paru, daging dengan tulang serta Meat
Bone Meal tetap dilarang. Hal ini menimbulkan permasalahan dilapangan dengan
banyaknya kontainer daging dari USA yang ditahan oleh Bea dan Cukai maupun Karantina
Hewan. Dimana dalam pemusnahan dan re-ekspor kontainer yang ditahan pemerintah
mengeluarkan biaya yang cukup besar dan melibatkan banyak instansi terkait.

3. Permasalahan
A. Teknis
a. Sistem dan Prosedur Pengawasan Importasi Pangan Asal Hewan.
Belum adanya kesepakatan bersama dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait baik
di pelabuhan laut dan udara dalam penanganan importasi pangan asal hewan.
Misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mempunyai otoritas dalam
pengawasan dan perijinan importasi bahan pangan hewani olahan. Dirjen Bea dan Cukai
dalam prosedur pengawasan importasi komoditi pertanian yang wajib periksa karantina
dikatagorikan berdasarkan analyzing point, manajemen resiko sesuai dengan profil importir
dan profil komoditi, adanya jalur pelayanan melalui jalur merah, jalur hijau dan jalur
prioritas. Lembaga Pengujian dan Pemeriksaan Obat, Makanan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM –MUI) menangani sertifikasi halal pangan asal hewan. Akibat
kelemahan ini, dalam kegiatan importasi pangan asal hewan dalam rangka mencegah
masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular seringkali tidak diindahkan oleh pelaku
bisnis (Importir).

b. Kekeliruan kebijakan penetapan pintu pemasukan/tempat pengeluaran dan kurangnya


sumberdaya manusia serta sarana, prasarana dalam pengawasan
Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang
sebagai pintu masuk/keluar sehingga semakin besar kemungkinan lolosnya lalulintas
pangan asal hewan yang tidak melalui pengawasan dan pemeriksaan karantina hewan,
sehingga terjadi pemasukan melalui tempat yang bukan tempat pemasukan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau,
sedemikian luas pantainya dan jumlahnya cukup banyak yang rawan penyelundupan
terutama lalu-lintas domestik merupakan titik rawan yang harus segera diatasi. Kurangnya
ketrampilan dan pengetahuan petugas karantina mengenai penanganan, penyelidikan dan
penyidikan kasus-kasus pelanggaran tindakan karantina terutama didaerah perbatasan
sebagai dukungan pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi karantina hewan dalam
pemeriksaan dan pengawasan lalulintas pangan asal hewan.

c. Masalah Transit di Negara ketiga


Lalu lintas pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri dalam sistim perdagangan
Internasional yang memungkinkan terjadinya persinggahan di tempat/pelabuhan antara
(transit/transhipment), sehingga ketentuan teknis yang telah ditetapkan seringkali
diabaikan. Akibat dari importasi yang senantiasa melalui pelabuhan transit, akan
menyebabkan terjadinya kemungkinan dilakukan repacking, labeling, pencampuran dengan
bahan-bahan lain dan sebagainya. Ketentuan teknis karantina tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi resiko kemungkinan masuknya penyakit hewan menular dari luar negeri
melalui media pembawa sehingga harus langsung diangkut dari negara pengekspor
(negara asal). Transit di negara ketiga dapat dilakukan, jika mendapat persetujuan dari
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Diajukan sebagai persyaratan pada saat
importir meminta ijin Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) pangan asal hewan.

B. Ekonomis
a. Perbedaan Harga yang Tajam
Adanya perbedaan harga komoditas daging yang cukup tajam antara dalam negeri dan luar
negeri, sehingga menimbulkan peluang bagi pihak yang tidak bertangggung jawab dan
hanya mementingkan keuntungan finansial semata dengan melakukan tindakan illegal
/penyelundupan pangan asal hewan tanpa memperhatikan aspek-aspek teknis yang
dipersyaratkan terutama di daerah perbatasan darat, perbatasan laut dan perbatasan udara.
Hal ini merupakan ancaman masuk dan tersebarnya penyakit hewan eksotik dan penyakit
hewan berbahaya lainnya, serta dapat mengancam dan mengganggu perekonomian
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sumber daya alam hayati Indonesia.

b. Produksi dan Produktivitas Dalam Negeri


Akibat suplai produksi dan produktifitas pangan asal hewan dalam negeri yang belum dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dan belum terdistribusi merata di seluruh
wilayah Indonesia maka memberi peluang bagi pemasukan pangan asal hewan dari luar
negeri (importasi) baik dilakukan secara legal maupun ilegal ditempuh untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.

c. Penerapan Peraturan Pemerintah mengenai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Akibat adanya kenaikan pungutan PNBP yang cukup tinggi pada beberapa komoditas wajib
periksa karantina merupakan salah satu faktor indikasi orang melakukan penyelundupan
pangan asal hewan dari luar negeri dan tidak melaporkan ke pada petugas karantina baik di
pintu pemasukan/pengeluaran untuk menghindari pungutan PNBP tersebut. Hal ini
menambah beban biaya pengeluaran importir yang akhirnya dibebankan pada konsumen.

C. Sosial dan Budaya


Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, terjaminnya kehalalan pangan
asal hewan sangatlah penting agar tidak menimbulkan gangguan akan ketentramanan batin
masyarakat. Dengan adanya pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri (importasi)
yang tidakjelas status kesehatan dan kehalalan akan memberi dampak negatif terhadap
perekonomian dan keresahan pada masyarakat.

Meningkatnya tingkat pendapatan dan pendidikan dan gaya hidup menimbulkan


kesenjangan sosial di Indonesia, dimana konsumen golongan mampu lebih peduli akan
pangan yang aman dan berkualitas, sedangkan konsumen yang kurang mampu kurang
peduli terhadap keamanan dan mutu pangan asal hewan. Hal ini memberi peluang pratek
illegal importasi pangan asal hewan.
D. Filosofi
Dengan semakin meningkatnya arus lalu lintas hewan, produk hewan maupun orang antar
negara dalam abad ini, membuat batas antar negara tidak tampak. Sebagai akibat
terbukanya perdagangan antar negara berdampak pula pada terbukanya pasar
hewan/ternak, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dari suatu negara ke negara lain
tanpa hambatan yang berarti. Keadaan ini menimbulkan ancaman bagi keamanan dan
kesehatan hewan, yang berdampak pada kerugian sosial-ekonomi yang sangat luas pada
suatu negara.

Hal tersebut menyebabkan peranan karantina hewan sangat penting dalam era
perdagangan bebas ini sesuai dengan tupoksi karantina hewan melakukan tindakan
penolakan, pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan menular, penyakit baru
(exotic disease) dan pencegahan penyebarannya di dalam wilayah negara Republik
Indonesia melalui pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan, bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan media pembawa. Disamping itu Karantina hewan juga berperan
dalam kesehatan bahan pangan asal hewan yang dilalulintaskan dari bahaya penyakit yang
berasal dari hewan dan kontaminasinya, menjaga ketentraman batin masyarakat melalui
pengawasan keamanan pangan yang dilalu lintaskan sehingga produk hewan yang dilalu
lintaskan Aman. Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
PEMECAHAN MASALAH
Untuk melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan pangan asal hewan agar sesuai
dengan tugas dan fungsi pokok karantina. Maka disarankan ditindak lanjuti dengan :
1. Memperkuat sistem peraturan perundangan dan prosedur tindakan karantina yang baku
dengan membuat Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Menteri yang diamanatkan UU
No. 16 tahun 1992 tentang karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dan PP. No. 82 tahun
2000 tentang Karantina Hewan sehingga tindakan karantina dapat berjalan secara
professional sesuai internasional; menyiapkan petugas karantina yang handal dan
professional serta dilengkapi dengan PPNS yang dapat menegakkan peraturan karantina
(law enforcement); serta mempersiapkan sarana dan prasarana karantina yang modern dan
berstandar internasional; mengelola suatu sistem kesiagaan darurat yang handal pada
kemungkinan terjadinya wabah penyakit hewan; mengelola suatu system informasi dan
deteksi dini (early warning system) penyakit-penyakit hewan melalui suatu analisa resiko
(risk analysis) penyakit hewan dan peta penyakit hewan karantina.

2. Menerapkan perjanjian Sanitary And Phytosanitary – World Trade Organitation (SPS –


WTO) untuk meningkatkan pengawasan/ monitoring/screening lalulintas perdagangan
pangan asal hewan dan media pembawanya secara ketat di pintu-pintu masuk dan keluar
untuk menghambat laju importasi pangan asal hewan; memberikan pelayanan teknis
karantina hewan yang optimal sehingga komoditi pertanian yang dihasilkan memenuhi
persyaratan teknis kesehatan, keamanan dan mutu yang berlaku sesuai standar nasional
dan internasional.

3. Pengembangan Kerjasama Internasional melalui kerjasama bilateral dan multilateral di


bidang karantina hewan, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner dalam
bentuk magang, pelatihan, symposium, seminar, workshop, public awareness.
4. Peningkatan sarana karantina hewan melalui peningkatan sarana laboratorium karantina
hewan yang terakreditasi dengan ditujukan terhadap pemeriksaan sederhana, cepat dan
tidak memerlukan teknik pemeriksaan yang rumit dengan melakukan networking atau
bekerjasama dengan laboratorium lain (BPPV, Balivet, Laboratorium Dinas Peternakan dan
lain-lain); peningkatan sarana instalasi karantina hewan terutama kandang dan tempat
penyimpanan produk hewan yang memenuhi standar internasional serta diadakan secara
selektif melalui pertimbangan persyaratan teknis lokasi dan instalasi karantina.

5. Meningkatan koordinasi, sosialisasi, konsolidasi dengan instansi terkait (Direktorat


Jenderal Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen
Perhubungan, BPOM, Dinas yang menangani Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Masyarakat dan lain-lainnya) dan pengguna jasa karantina dengan membuat sistem
prosedur pengawasan dan pemeriksaan di pintu-pintu pemasukan/pengeluaran serta segera
ditindaklanjuti dalam suatu kesepakatan bersama yang berbentuk MoU yang berkekuatan
hukum jelas dan tegas. Kerjasama dan koordinasi lintas sektoral perlu terjalin dengan baik
sehingga akan terjadi sinkronisasi dan harmonisasi yang baik. Dengan demikian dapat
mampu menbangun dan mengembangkan kewaspadaan karantina (Quarantine Awareness)
yaitu suatu sitem pengawasan lalulintas yang komprehensif dan efisien.

******

V. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dan
disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam era globalisasi dan kemajuan tehnologi transportasi serta semangat otonomi
daerah, masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap pelayanan yang diperoleh. Untuk
mengantisipasi perkembangan dan tuntutan masyarakat tersebut, diperlukan perangkat
aturan hukum yang memadai dan dapat mengakomodasikan semua kepentingan yang
terkait di dalamnya, sehingga secara teknis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan sekaligus
mengurangi pelanggaran terhadap pemasukan/pengeluaran media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina.

2. Kebijakan tindakan karantina hewan dan pelaksanaan karantina hewan didasarkan atas
ketentuan perundangan dan ketentuan teknis yang diselaraskan dengan
ketentuan/kesepakatan internasional. Tindakan karantina yang terdiri dari 8 P(pemeriksaan,
pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan
pembebasan) dilaksanakan dengan mengacu kepada UU No.16 / 1992 dan PP No. 82
Tahun 2000 serta ketentuan pelaksanaan lainnya pada pintu-pintu masuk dan pintu keluar
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3. Belum semua pintu pemasukan/pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina ditetapkan pemerintah dan dilengkapi dengan sarana prasarana, serta tenaga
teknis karantina hewan. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan penyebarluasan informasi
tentang pentingnya karantina hewan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyakit hewan karantina.

4. Untuk lebih efektif dan efisiensi pelaksanaan tindakan karantina dalam pengawasan lalu-
lintas media pembawa hama penyakit hewan, perlu adanya harmonisasi seluruh perangkat
peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan
pemasukan/pengeluaranmedia pembawa hama dan penyakit hewan karantina, sehingga
semua kepentingan dapat terakomodasi termasuk kepentingan masyarakat yang
membutuhkan pelayanan jasa yang mudah, cepat dan akurat serta aman bagi kepentingan
masyarakat/ daerahnya. Hal ini dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat secara terpadu,
yang didukung oleh pengetahuan dan perhatian aparat di daerah terhadap pentingnya
peranan karantina hewan. Upaya lainnya dalam rangka peningkatan pengawasan lalu-
lintas media pembawa hama dan penyakit hewan karantina dilakukan melalui
penyebarluasan informasi tentang prosedur, persyaratan dan tata cara tindakan karantina,
baik melalui media massa, papan peringatan, sticker, spanduk, maupun pertemuan-
pertemuan.

******

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2000


Tentang Karantina Hewan.

Anonimous, 1992. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 Tentang
karantina Hewan Ikan dan tumbuhan.

Bambang Erman. 2005. Konsep Sistem dan Prosedur Pengawasan dan Pemeriksaan
Produk Pangan. Rapat Pembahasan dan Penyusunan ” Pedoman Sertifikasi Impor dan
Ekspor Produk Pangan dalam Rangka Pengawasan Keamanan Pangan” tanggal 22- 23
Maret 2005 di Bogor.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2005. Prosedur Pengawasan Importasi Komoditi
Pertanian Yang Wajib Karantina. RAPAT TIM KERJA TERPADU Bidang Pengawasan &
Penegakan Hukum. Jakarta.

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2004. Kumpulan Peraturan dan Perundangan


Kesehatan Masyarakat Veteriner. Edisi ke II.

Pusat Karantina Hewan. 2003. Buku Saku Peraturan Perundangan Karantina Hewan.
Pusat Karantina Hewan. 2001. Rencana Strategis Pusat Karantina Hewan Tahun 2001-
2005.

Anda mungkin juga menyukai