Anda di halaman 1dari 22

PENYAKIT AKIBAT KERJA

YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEBISINGAN

REFERAT

HANS NATANAEL
1015129

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Peningkatan industrialisasi di negara kita saat ini tidak dapat dipisahkan


dengan peningkatan teknologi modern. Apabila kita sudah menerapkan teknologi
modern dalam usaha pembangunan dan peningkatkan kesejahteraan rakyat, kita juga
akan menerima efek samping dari teknologi ini serta harus mempersiapkan diri untuk
mencegah akibat yang tidak dikehendaki. Penerapan teknik dan teknologi yang
modern disamping membawa kemudahan juga dapat berdampak negatif seperti
penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, pencemaran lingkungan kerja, serta
pencemaran lingkungan umum yang dapat menimpa tenaga kerja dan masyarakat.
Penerapan teknologi pengendalian untuk mengantisipasi segala dampak negatif perlu
dipikirkan sehingga efek samping yang negatif dapat ditekan sekecil mungkin.
Percepatan teknologi yang ada masih belum seimbang dengan kemampuan tenaga
kerja yang menanganinya, sehingga peran Hiperkes dan Keselamatan Kerja sangat
diperlukan didalamnya (Suma’mur P.K, 1996)

Kesehatan merupakan hak dasar (asasi) manusia dan salah satu faktor yang
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Kesehatan dan keselamatan bagi
masyarakat pekerja terbukti memiliki korelasi langsung dan nyata terhadap
kesejahteraan tenaga kerja. Pekerja yang sehat memungkinkan tercapainya hasil kerja
yang lebih baik bila dibandingkan dengan pekerja yang terganggu kesehatannya.
Kesehatan kerja merupakan spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta praktiknya
yang bertujuan agar masyarakat atau pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi
tingginya, baik fisik maupun mental, sosial dengan usaha preventif dan kuratif,
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor pekerjaan dan
lingkungan serta terhadap penyakit umum (A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003).
Di tempat kerja, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan
kerja seperti faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis dan faktor psikologis. Semua
faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana kerja dan berpengaruh
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Tarwaka, dkk., 2004).

Faktor fisik yang sekarang menarik untuk dikaji dan diteliti adalah adanya
kebisingan di pabrik yang semakin hari semakin melanda berbagai sektor industri.
Kurangnya perhatian terhadap aspek kebisingan membuat topik ini lebih menarik
untuk diangkat sebagai permasalahan. Pada tahap permulaan penurunan daya dengar
ini bersifat sementara namun dengan menghindari pemaparan lebih lanjut untuk suatu
waktu tertentu daya dengar akan kembali pada keadaan semula, tapi bila pemaparan
terhadap kebisingan berlangsung terus ketulian akan menetap dan pada akhirnya
keadaan sudah tidak mungkin disembuhkan kembali (Zulmiar Yanri, 1999).

Kebisingan di tempat kerja seringkali merupakan problem tersendiri bagi


tenaga kerja, umumnya berasal dari mesin kerja. Sayangnya, banyak tenaga kerja
yang telah terbiasa dengan kebisingan tersebut, meskipun tidak mengeluh gangguan
kesehatan tetap terjadi, sedangkan efek kebisingan terhadap kesehatan tergantung
pada intensitasnya (Anies, 2005).

Faktor kebisingan yang tidak terkendali dengan baik menyebabkan dampak


auditorial yaitu berhubungan langsung dengan fungsi pendengaran seperti
menurunnya daya dengar tenaga kerja, juga menimbulkan dampak non-auditorial
yang salah satunya berupa kelelahan tenaga kerja (Suma’mur P.K, 1996)

Pekerjaan yang menimbulkan bising dengan intensitas tinggi umumnya


terdapat di pabrik tekstil, genarator pabrik yang digunakan sebagai pembangkit
tenaga listrik, pekerjaan pemotongan plat baja, pekerjaan bubut, gurinda,
pengamplasan bahan logam dan sebagainya (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003).

Pada umumnya, kebisingan yang bernada tinggi sangat mengganggu, terlebih


jika kebisingan tersebut berjenis terputus-putus atau yang datang hilangnya secara
tiba-tiba dan tidak terduga dapat menimbulkan gangguan berupa tekanan darah,
peningkatan nadi, kontruksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki,
serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Pengaruh kebisingan sangat
terasa, apabila tidak diketahui apa dan dimana tempat sumbernya (Suma’mur P.K.,
2009).

Untuk pengendalian intensitas kebisingan secara baik terhadap sebuah sumber


bising atau mesin, maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah pengukuran
intensitas bunyi pada sumber, menentukan sasaran atau tingkat intensitas bunyi yang
diinginkan, menghitung pengurangan bising yang diperlukan dan penerapan teknologi
pengendalian kebisingan (Soeripto, 1995).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil


judul referat penyakit akibat kerja berhubungan dengan kebisingan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


2.1.1 Pengertian K3
Menurut Sumakmur (1988) kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat
pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau
mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-
penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan
upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya
menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan
adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia
merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang
mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi
dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis
kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan
tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai
tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003
tentang ketenaga kerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau
buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat serta nilai-nilai agama. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka
dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids
Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi
kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di
darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di
dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga
mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Keselamatan kerja sama dengan Hygiene Perusahaan. Kesehatan kerja
memiliki sifat sebagai berikut :

1. Sasarannya adalah manusia


2. Bersifat medis.
3. Sedangkan keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sasarannya adalah lingkungan kerja
b. Bersifat teknik.
Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan kerja (atau sebaliknya) bermacam
macam; ada yang menyebutnya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hyperkes)
dan ada yang hanya disingkat K3, dan dalam istilah asing dikenal Occupational
Safety and Health.

2.1.2 Tujuan K3

Tujuan umum dari K3 adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat dan
produktif. Tujuan Hyperkes dapat dirinci sebagai berikut (Rachman, 1990):
1. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam
keadaan sehat dan selamat.
2. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya
hambatan.

2.1.3 Ruang Lingkup K3


Ruang lingkup Hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman, 1990):

1. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat kerja yang di


dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja
dan usaha yang dikerjakan.
2. Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :
a. Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
b. Peralatan dan bahan yang dipergunakan
c. Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial.
d. Proses produksi
e. Karakteristik dan sifat pekerjaan
f. Teknologi dan metodologi kerja
3. Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak perencanaan hingga
perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa.
4. Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/ perusahaan ikut bertanggung
jawab atas keberhasilan usaha hyperkes.

2.2 Anatomi Telinga

Telinga secara anatomi terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga dengan
panjang antara 2,5 – 3 cm. Antara telinga luar dan telinga tengah dibatasi oleh selaput
tipis setebal 0.1 mm berbentuk lonjong disebut gendang telinga. Telinga tengah
merupakan suatu rongga yang berisi udara dan rangkaian tulang-tulang pendengaran
(maleus, inkus dan stapes) serta dihubungkan dengan tenggorok (nasofaring) melalui
suatu saluran yang disebut tuba eustakius. Saluran ini berfungsi untuk
mempertahankan tekanan udara didalam ruang telinga tengah tetap sebesar 1
atmosfer. Telinga dalam terdiri dari rumah siput (koklea) dan Kanalis semisirkularis.
Didalam rumah siput terdapat organ Corti yang merupakan sistem sensor
pendengaran, terdiri dari sel-sel saraf bersilia. Kanalis semisirkularis merupakan
sistem sensor bagi keseimbangan tubuh manusia (Anggraeni, 2012)

2.2.1 Labirin

Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan,


terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri atas dua, yaitu labirin bagian
tulang (kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea) dan labirin bagian membran
(kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta
koklea); yang terletak didalam labirin bagian tulang (Moore dkk, 1989).

Antara labirin bagian tulang dan membran terdapat suatu ruangan yang berisi
cairan perilimfe yang berasal dari cairan serebrospinalis dan filtrasi dari darah.
Didalam labirin bagian membran terdapat cairan endolimfe yang diproduksi oleh stria
vaskularis dan diresorbsi pada sakkus endolimfatikus (Moore dkk, 1989)

2.2.2 Vestibulum

Vestibulum adalah suatu ruangan kecil yang berbentuk oval, berukuran ± 5 x


3 mm dan memisahkan koklea dari kanalis semisirkularis. Pada dinding lateral
terdapat foramen ovale (fenestra vestibuli) dimana footplate dari stapes melekat
disana. Sedangkan foramen rotundum terdapat pada lateral bawah. Pada dinding
medial bagian anterior terdapat lekukan berbentuk spheris yang berisi makula sakkuli
dan terdapat lubang kecil yang berisi serabut saraf vestibular inferior. Makula utrikuli
terletak disebelah belakang atas daerah ini. Pada dinding posterior terdapat muara
dari kanalis semisirkularis dan bagian anterior berhubungan dengan skala vestibuli
koklea (Wright, 1997).

2.2.3 Kanalis Semisirkularis

Terdapat 3 buah kanalis semisirkularis, yaitu superior, posterior dan lateral


yang membentuk sudut 90° satu sama lain. Masing-masing kanal membentuk 2/3
lingkaran, berdiameter antara 0,8 – 1,0 mm dan membesar hampir dua kali lipat pada
bagian ampula. Pada vestibulum terdapat 5 muara kanalis semisirkularis dimana
kanalis superior dan posterior bersatu membentuk krus kommune sebelum memasuki
vestibulum (Moore dkk, 1989; Wright, 1997).

2.2.4 Koklea

Terletak didepan vestibulum menyerupai rumah siput dengan panjang ± 30 –


35 mm. Koklea membentuk 2 ½ - 2 ¾ kali putaran dengan sumbunya yang disebut
modiolus yang berisi berkas saraf dan suplai darah dari arteri vertebralis. Kemudian
serabut saraf ini berjalan ke lamina spiralis ossea untuk mencapai sel-sel sensorik
organ Corti. Koklea bagian tulang dibagi dua oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini
adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea,
sehingga ruang yang mengandung perilimfe terbagi 2 yaitu skala vestibuli dan skala
timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema. Skala
vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen
rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer
membentuk suatu membran yang tipis yang disebut membran Reissner yang
memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis
berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat
penyambung periosteal dan mengandung end organ dari N. koklearis dan organ Corti.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan perantaraan duktus Reuniens.
Organ Corti terletak diatas membran basilaris yang mengandung organel-organel
penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu
baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan 3 baris sel rambut luar yang
berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan
horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung
saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel
rambut terdapat strereosilia yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar
yang dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong
oleh limbus (Moore dkk, 1989; Wright, 1997; Liston & Duvall, 1997).
2.2.5 Sakulus dan Utrikulus

Terletak didalam vestibulum yang dilapisi oleh perilimfe kecuali tempat


masuknya saraf didaerah makula. Sakulus jauh lebih kecil dari utrikulus tetapi
strukturnya sama. Sakulus dan utrikulus ini berhubungan satu sama lain dengan
perantaraan duktus utrikulo-sakkularis yang bercabang menjadi duktus
endolimfatikus dan berakhir pada suatu lipatan dari duramater pada bagian belakang
os piramidalis yang disebut sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu. Sel-sel persepsi
disini sebagai sel-sel rambut yang dikelilingi oleh sel-sel penunjang yang terletak
pada makula. Pada sakulus terdapat makula sakuli dan pada utrikulus terdapat makula
utrikuli (Moore dkk, 1989; Wright, 1997).

2.2.6 Perdarahan

Telinga dalam memperoleh perdarahan dari a. auditori interna (a. labirintin)


yang berasal dari a. serebelli inferior anterior atau langsung dari a. basilaris yang
merupakan suatu end arteri dan tidak mempunyai pembuluh darah anastomosis.
Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini bercabang 3 yaitu : 1. Arteri
vestibularis anterior yang mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli, krista
ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus dan
sakulus. 2. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli, kanalis semisirkularis
posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran basal dari koklea. 3.
Arteri koklearis yang memasuki modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri
spiral yang mendarahi organ Corti, skala vestibuli, skala timpani sebelum berakhir
pada stria vaskularis (Moore dkk, 1989; Wright, 1997).

Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena auditori
interna mendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis
mendarahi putaran basiler koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus
petrosus inferior. Vena akuaduktus vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis
sampai utrikulus. Vena ini mengikuti duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus
sigmoid (Moore dkk, 1989).

2.2.7 Persarafan

N. akustikus bersama N. fasialis masuk ke dalam porus dari meatus akustikus


internus dan bercabang dua sebagai N. vestibularis dan N. koklearis. Pada dasar
meatus akustikus internus terletak ganglion vestibulare dan pada modiolus terletak
ganglion spirale (Moore dkk, 1989).

2.3 Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe
dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala
timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada
waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya membran
basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi
rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan
ke cabang-cabang N. VIII, kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik
pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Soetirto,
1990).

2.4 Kebisingan

2.4.1 Pengertian Bising


Bising menurut kamus besar Bahasa Indonesia edisi IV tahun 2008 adalah
suara atau bunyi ramai, hiruk-pikuk yang memekakkan telinga, atau secara kesehatan
masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan yang tidak menyenangkan yang
menggangu masuknya suara yang diinginkan ke dalam telinga atau suara yang
diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan (Bunde, 2012)

Suara ditempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational
hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak diinginkan secara fisik
(menyakitkan pada telinga pekerja) dan psikis (mengganggu konsentrasi dan
kelancaran komunikasi) yang akan menjadi polutan bagi lingkungan, sehingga
kebisingan juga didefinisikan sebagai polusi lingkungan yang disebabkan oleh suara
(Sihar Tigor B.T., 2005).

Pengertian kebisingan menurut Sartilo Wirawan Sarwono (1995), kebisingan


adalah suara yang tidak dikehendaki yang sifatnya subjektif dan psikologik. Subjektif
karena bergantung pada orang yang bersangkutan dan secara psikologik, bising
adalah penimbul stres karena sifatnya yang mengganggu.

2.4.2 Sumber Bising

Bising dapat bersumber dari dua hal, yaitu dari bising okupasi dan non
okupasi. Bising okupasi yaitu bising yang timbul akibat pekerjaan, seperti di pabrik,
industri, alat-alat yang digunakan bekerja yang mengeluarkan suara bising. Bising
non okupasi yaitu yang didapati dalam lingkungan rumah, tempat hiburan atau jalan
raya (Bunde, 2012)

2..4.3 Jenis Bising

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan


besar, yaitu kebisingan tetap dan kebisingan tidak tetap (Sihar Tigor B.T., 2005).
1. Kebisingan tetap

Kebisingan tetap dapat dipisah menjadi dua jenis yaitu, kebisingan dengan
frekuensi terputus dan broad band noise. Kebisingan dengan frekuensi terputus
merupakan kebisingan berupa nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya
suara kipas dan suara mesin.

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama


digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad
band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni), misalnya
gergaji sirkuler, katub gas, dan lain-lain.

2. Kebisingan tidak tetap

Kebisingan tidak tetap dibagi menjadi kebisingan fluktuatif (fluctuating noise),


Intermittent noise, dan Impulsive noise. Kebisingan fluktuatif adalah kebisingan yang
selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu, misalnya mesin tempa di
perusahaan. Intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya
dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan pada mesin di perusahaan. Dan kebisingan
impulsif dihasilkan oleh suara berintensitas tinggi (memekakan telinga) dalam waktu
relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat sejenisnya.

2.4.4 Pengukuran Bising

Bunyi diukur dengan satuan yang disebut desibel, dalam hal ini mengukur
besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan desibel
diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh
manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada
telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, C. Skala
yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies, 2005).

Pada pengukuran ini dapat digunakan alat “Sound Level Meter”. Alat tersebut
dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130 dB(A) pada frekuensi antara 20-
20.000 Hz. Sebelum dilakukan pengukuran harus dilakukan countour map lokasi
sumber suara dan sekitarnya. Selanjutnya pada waktu pengukuran “Sound Level
Meter” di pasang pada ketinggian ± (140-150 m) atau setinggi telinga (Tarwaka,
dkk., 2004).

2.4.5 Intensitas dan Waktu Pajanan Bising

Menurut SK Menaker RI No 51/1999, Pajanan bising yang diperkenankan


maksimum 85 dB, 8 jam per hari; 40 jam per minggu tanpa APP (alat pelindung
pendengaran).

Intensitas / Waktu ( jam / hari )

82 B maksimal pajanan 24 jam

85 B maksimal pajanan 16 jam

88 B maksimal pajanan 8 jam

91 B maksimal pajanan 4 jam

94 B maksimal pajanan 2 jam

97 B maksimal pajanan 1 jam

97 dB maksimal pajanan ½ jam

100 dB maksimal pajanan 1/4 jam

Three decibel doubling rate: Setiap penambahan intensitas 3 dB, waktu pajanan
berkurang 50 %

2.5 Hubungan Kebisingan dengan Kesehatan


Hubungan utama dari kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada
indera pendengar yang menyebabkan ketulian progresif. Mula-mula kebisingan pada
pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan
kerja di tempat bising (Suma’mur P.K, 1996).

Menurut A.M Sugeng Budiono (2003), hubungan kebisingan terhadap


kesehatan pekerja adalah, (1) stres; (2) tekanan darah naik; (3) pusing; (4) denyut
jantung bertambah; (5) menggaggu konsentrasi.

2.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Menurut Kepmenker RI Nomor: Kep-51/Men1999, Nilai Ambang Batas


(NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai
pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk
waktu tidak melebihi 8 jam sehari dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam
seminggu. NAB kebisingan adalah 85 dB(A).

2.7 Gangguan Pendengaran Akibat Bising

2.7.1 Definisi

Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) disebut juga sebagai Noise


Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan adanya penurunan pendengaran atau tuli
akibat pajanan bising yang melebihi nilai ambang batas (NAB) di lingkungan kerja
dari individu pekerja. Tuli akibat bising merupakan jenis sensorineural yang paling
sering dijumpai setelah presbikusis.

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising
antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar
bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. Bising
industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa
ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran
para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya
permanen.

Sedangkan bagi pihak industri, bising dapat menyebabkan kerugian ekonomi


karena biaya ganti rugi. Oleh karena itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan
terhadap pabrik dan pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala.
Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan
reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf
koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga.

2.7.2 Insidensi dan Faktor Risiko

Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai
setelah presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan
berbagai macam derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat
terpapar bunyi yang keras pada tempat kerjanya. Sedangkan Sataloff dan Sataloff
( 1987) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta
orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja.

Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian adalah bising,
frekuensi, lama pajanan perhari, masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain
yang dapat menimbulkan ketulian. Biasanya bising di dalam dunia industri tidaklah
muncul sebagai faktor pajanan tunggal, tetapi tidak juga dipengaruhi oleh pajanan
lain.

Ada 2 faktor yang terkait dengan kebisingan di tempat kerja yaitu faktor
internal (usia, aterosklerosis, hipertensi, gangguan telinga tengah dan proses penuaan)
dan faktor eksternal (suhu abnormal, getaran, obat atau zat ototoksik).
Jenis pekerjaan yang berisiko terkena gangguan pendengaran akibat bising
antara lain konstruksi (pekerja bangunan, dll), pertambangan (pekerja pengeboran
minyak, pekerja tambang, dll), transportasi (supir angkutan umum/truk, petugas di
lapangan terbang), industri manufaktur (pekerja industri garmen, tekstil, sepatu,
elektronik, otomotif, dll), laundry, katering, dll.

2.7.3 Klasifikasi

1. Trauma Akustik

Trauma akustik berhubungan dengan efek pemaparan tunggal atau pemaparan


yang jarang, biasanya pada peledakan-peladakan alamiah. Selama terjadinya
pemaparan jenis ini intensitas suara yang ekstrim mencapai telinga bagian dalam dan
dapat menyebabkan struktur pada telinga bagian dalam melampaui batas fisiologis
dengan rusaknya gendang telinga dan sel-sel bulu rambut. Akibat ini pada akhirnya
secara keseluruhan merusak organ Corti yang mungkin membutuhkan waktu
beberapa bulan untuk kembali menstabilkannya.

2. Tuli Sementara

Selama waktu pemaparan pendek dan dalam interval waktu yang lama maka tidak
akan menyebabkan efek permanen. Sebaliknya jika terpapar kebisingan yang
menyebabkan tuli sementara secara berulang-ulang dalam waktu yang cepat, akan
menyebabkan kerusakan pendengaran yang permanen. Pada umumnya hal ini terjadi
pada tingkat pemaparan kebisingan di atas 90 dB.

3. Tuli Permanen

Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat
pulih atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh
faktor usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar
pada intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan
kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya
kerusakan pendengaran.

2.7.4 Patogenesis

Suara bising menimbulkan pengaruh terhadap organ telinga dalam yaitu


koklea. Pengaruh pada koklea telinga akibat bising ditimbulkan oleh mikrotrauma
sehingga terjadi kerusakan pada sel rambut berakibat kekakuan sampai kematian sel
rambut yang ada di dalam koklea. Bila kerusakannya berat maka terjadi kerusakan
total pada organ Corti dalam koklea, degenerasi saraf pendengaran dan jaringan parut
pada inti pendengaran di batang otak. Disamping itu, bising menyebabkan perubahan
pembuluh darah, perubahan kimiawi dan perubahan metabolik pada koklea. Pengaruh
suara bising pada gilirannya menyebabkan gangguan pendengaran, dan bila fatal
mengakibatkan ketulian yang permanen dan tidak dapat diobari. Gangguan yang
diakibatkan suara bising disebut Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) atau
Noise Induced Hearing Loss (NIHL).

2.7.5 Gejala Klinis

Gejala GPAB dapat berupa:

 Pendengaran berkurang (berangsur)


 Telinga berdenging (tinnitus)

 Sulit memahami percakapan dgn kekerasan biasa.

 Sulit memahami percakapan di lingkungan bising (background noise)

 Distorsi kualitas suara (musik)

2.7.6 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan langkah-langkah berikut : 1. Diagnosis


klinis tuli sensorineurinal. 2. Menentukan adanya pajanan di tempat kerja yaitu bising
dan pajanan lain yang dapat mempengaruhi. 3. Menentukan adanya hubungan
pajanan dengan diagnosis klinis; bising dapat menyebabkan tuli sensorineurinal. 4.
Menentukan besaran pajanan bising > 85 dB, 8 jam sehari, 40 jam seminggu (di atas
NAB) 5. Peranan faktor individu: riwayat genetik pada telinga, riwayat minum obat
(ototoksik), penyakit kronik lainnya, dll. 6. Faktor risiko di luar pekerjaan: hobi
mendengarkan musik keras, menembak, dll. 7. Diagnosis penyakit akibat kerja:
penurunan pendengaran akibat bising di tempat kerja (Noise Induced Hearing Loss).

2.7.7 Pencegahan

1. Rekayasa enginering

Yaitu dengan mengusahakan agar di lingkungan kerja kebisingan di bawah 85


dB, bisa dengan cara meredam sumber bunyi yang berasal dari generator diesel,
mesin tenun, mesin pengecoran baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan
oleh aktivitas pekerja seperti penempaan logam.

3. Administrasi

Dilakukan dengan menghindarkan pekerja dari sumber bising dengan melakukan


rotasi jam kerja. OSHA (Occupational safety and Health Administration) membuat
peraturan yang dikenal sebgai hukum 5dB. Apabila intensitas bising meningkat 5 dB,
maka waktu pajanan yang diperkenankan harus dikurangi separuhnya.

4. Individu Pekerja

Individu pekerja dapat melakukan tindakan pencegahan dengan turut serta aktif
dalam berbagai program yang diadakan oleh perusahaan seperti Program Konservasi
Pendengaran (PKP), sebagai berikut: a. Identifikasi sumber bising b. Pengukuran dan
analisis kebisingan (SLM, Octave Band Analyzer) c. Pengendalian bising dalam
bentuk kontol engineering dan kontrol administrasi d. Melakukan tes audiometri
secara berkala e. Mengikuti pelatihan KIE f. Menggunakan APD berupa sumbat
telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). g.
Melakukan pencatatan rutin

2.7.8 Prognosis

Prognosis dari gangguan pendengaran akibat bising adalah buruk. Hal tersebut
dikarenakan jenis gangguan pendengaran atau ketulian akibat bising adalah tuli
sensorineural koklea yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati dengan obat
maupun pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003, Bunga Rampai Hiperkes dan
Keselamatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Anggraeni, Ratna. 2012. Kebisingan dapat menyebabkan tuli menetap.


Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Bandung: FK
Unpad.

Anies, 2005, Penyakit akibat Kerja, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Bunde, Yan Edwin. 2012. Bising Mengepung. Komnas Penanggulangan


Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Bandung.

Liston SL, Duvall AJ. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga.
Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PH, Ed. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 27-38.

Moore GF, Ogren FP, Yonkers AJ. 1989. Anatomy and embryology of the ear.
Dalam: Lee KJ, Ed. Textbook of otolaryngology and head and neck surgery. New
York: Elsevier Science Publishing.

Soeripto, 1995. Penelitian Pembuatan Sumbat Telinga. Majalah Hiperkes dan


Keselamatan Kerja Volume XXVIII No. 3. Jakarta: Pusat Hiperkes.

Soetirto I. Tuli akibat bising (Noise induced hearing loss). 1990. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. h. 37-9.

Suma’mur P.K. 1996. Keselamatan dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV.


Gunung Agung

Tarwaka, dkk., 2004, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan


Produktivitas, Surakarta: UNIBA PRESS.
Wright A. 1997. Anatomy and ultrastructure of the human ear. Dalam:
Gleeson M, Ed. Scott Brown’s Basic sciences. 6th Ed. Great Britain :
ButterworthHeinemann . h 1/1/28-49.

Zulmiar Yanri, 1999. Pengendalian Bahaya Kebisingan di Tempat Kerja.


Jakarta: Seminar Sehari Manajemen K3.

Anda mungkin juga menyukai