REFERAT
HANS NATANAEL
1015129
Kesehatan merupakan hak dasar (asasi) manusia dan salah satu faktor yang
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Kesehatan dan keselamatan bagi
masyarakat pekerja terbukti memiliki korelasi langsung dan nyata terhadap
kesejahteraan tenaga kerja. Pekerja yang sehat memungkinkan tercapainya hasil kerja
yang lebih baik bila dibandingkan dengan pekerja yang terganggu kesehatannya.
Kesehatan kerja merupakan spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta praktiknya
yang bertujuan agar masyarakat atau pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi
tingginya, baik fisik maupun mental, sosial dengan usaha preventif dan kuratif,
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor pekerjaan dan
lingkungan serta terhadap penyakit umum (A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003).
Di tempat kerja, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan
kerja seperti faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis dan faktor psikologis. Semua
faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana kerja dan berpengaruh
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Tarwaka, dkk., 2004).
Faktor fisik yang sekarang menarik untuk dikaji dan diteliti adalah adanya
kebisingan di pabrik yang semakin hari semakin melanda berbagai sektor industri.
Kurangnya perhatian terhadap aspek kebisingan membuat topik ini lebih menarik
untuk diangkat sebagai permasalahan. Pada tahap permulaan penurunan daya dengar
ini bersifat sementara namun dengan menghindari pemaparan lebih lanjut untuk suatu
waktu tertentu daya dengar akan kembali pada keadaan semula, tapi bila pemaparan
terhadap kebisingan berlangsung terus ketulian akan menetap dan pada akhirnya
keadaan sudah tidak mungkin disembuhkan kembali (Zulmiar Yanri, 1999).
2.1.2 Tujuan K3
Tujuan umum dari K3 adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat dan
produktif. Tujuan Hyperkes dapat dirinci sebagai berikut (Rachman, 1990):
1. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam
keadaan sehat dan selamat.
2. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya
hambatan.
Telinga secara anatomi terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga dengan
panjang antara 2,5 – 3 cm. Antara telinga luar dan telinga tengah dibatasi oleh selaput
tipis setebal 0.1 mm berbentuk lonjong disebut gendang telinga. Telinga tengah
merupakan suatu rongga yang berisi udara dan rangkaian tulang-tulang pendengaran
(maleus, inkus dan stapes) serta dihubungkan dengan tenggorok (nasofaring) melalui
suatu saluran yang disebut tuba eustakius. Saluran ini berfungsi untuk
mempertahankan tekanan udara didalam ruang telinga tengah tetap sebesar 1
atmosfer. Telinga dalam terdiri dari rumah siput (koklea) dan Kanalis semisirkularis.
Didalam rumah siput terdapat organ Corti yang merupakan sistem sensor
pendengaran, terdiri dari sel-sel saraf bersilia. Kanalis semisirkularis merupakan
sistem sensor bagi keseimbangan tubuh manusia (Anggraeni, 2012)
2.2.1 Labirin
Antara labirin bagian tulang dan membran terdapat suatu ruangan yang berisi
cairan perilimfe yang berasal dari cairan serebrospinalis dan filtrasi dari darah.
Didalam labirin bagian membran terdapat cairan endolimfe yang diproduksi oleh stria
vaskularis dan diresorbsi pada sakkus endolimfatikus (Moore dkk, 1989)
2.2.2 Vestibulum
2.2.4 Koklea
2.2.6 Perdarahan
Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena auditori
interna mendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis
mendarahi putaran basiler koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus
petrosus inferior. Vena akuaduktus vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis
sampai utrikulus. Vena ini mengikuti duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus
sigmoid (Moore dkk, 1989).
2.2.7 Persarafan
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe
dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala
timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada
waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya membran
basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi
rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan
ke cabang-cabang N. VIII, kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik
pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Soetirto,
1990).
2.4 Kebisingan
Suara ditempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational
hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak diinginkan secara fisik
(menyakitkan pada telinga pekerja) dan psikis (mengganggu konsentrasi dan
kelancaran komunikasi) yang akan menjadi polutan bagi lingkungan, sehingga
kebisingan juga didefinisikan sebagai polusi lingkungan yang disebabkan oleh suara
(Sihar Tigor B.T., 2005).
Bising dapat bersumber dari dua hal, yaitu dari bising okupasi dan non
okupasi. Bising okupasi yaitu bising yang timbul akibat pekerjaan, seperti di pabrik,
industri, alat-alat yang digunakan bekerja yang mengeluarkan suara bising. Bising
non okupasi yaitu yang didapati dalam lingkungan rumah, tempat hiburan atau jalan
raya (Bunde, 2012)
Kebisingan tetap dapat dipisah menjadi dua jenis yaitu, kebisingan dengan
frekuensi terputus dan broad band noise. Kebisingan dengan frekuensi terputus
merupakan kebisingan berupa nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya
suara kipas dan suara mesin.
Bunyi diukur dengan satuan yang disebut desibel, dalam hal ini mengukur
besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan desibel
diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh
manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada
telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, C. Skala
yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA (Anies, 2005).
Pada pengukuran ini dapat digunakan alat “Sound Level Meter”. Alat tersebut
dapat mengukur intensitas kebisingan antara 40-130 dB(A) pada frekuensi antara 20-
20.000 Hz. Sebelum dilakukan pengukuran harus dilakukan countour map lokasi
sumber suara dan sekitarnya. Selanjutnya pada waktu pengukuran “Sound Level
Meter” di pasang pada ketinggian ± (140-150 m) atau setinggi telinga (Tarwaka,
dkk., 2004).
Three decibel doubling rate: Setiap penambahan intensitas 3 dB, waktu pajanan
berkurang 50 %
2.7.1 Definisi
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising
antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar
bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. Bising
industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa
ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran
para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya
permanen.
Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai
setelah presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan
berbagai macam derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat
terpapar bunyi yang keras pada tempat kerjanya. Sedangkan Sataloff dan Sataloff
( 1987) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta
orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja.
Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian adalah bising,
frekuensi, lama pajanan perhari, masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain
yang dapat menimbulkan ketulian. Biasanya bising di dalam dunia industri tidaklah
muncul sebagai faktor pajanan tunggal, tetapi tidak juga dipengaruhi oleh pajanan
lain.
Ada 2 faktor yang terkait dengan kebisingan di tempat kerja yaitu faktor
internal (usia, aterosklerosis, hipertensi, gangguan telinga tengah dan proses penuaan)
dan faktor eksternal (suhu abnormal, getaran, obat atau zat ototoksik).
Jenis pekerjaan yang berisiko terkena gangguan pendengaran akibat bising
antara lain konstruksi (pekerja bangunan, dll), pertambangan (pekerja pengeboran
minyak, pekerja tambang, dll), transportasi (supir angkutan umum/truk, petugas di
lapangan terbang), industri manufaktur (pekerja industri garmen, tekstil, sepatu,
elektronik, otomotif, dll), laundry, katering, dll.
2.7.3 Klasifikasi
1. Trauma Akustik
2. Tuli Sementara
Selama waktu pemaparan pendek dan dalam interval waktu yang lama maka tidak
akan menyebabkan efek permanen. Sebaliknya jika terpapar kebisingan yang
menyebabkan tuli sementara secara berulang-ulang dalam waktu yang cepat, akan
menyebabkan kerusakan pendengaran yang permanen. Pada umumnya hal ini terjadi
pada tingkat pemaparan kebisingan di atas 90 dB.
3. Tuli Permanen
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat
pulih atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh
faktor usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar
pada intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan
kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya
kerusakan pendengaran.
2.7.4 Patogenesis
2.7.6 Diagnosis
2.7.7 Pencegahan
1. Rekayasa enginering
3. Administrasi
4. Individu Pekerja
Individu pekerja dapat melakukan tindakan pencegahan dengan turut serta aktif
dalam berbagai program yang diadakan oleh perusahaan seperti Program Konservasi
Pendengaran (PKP), sebagai berikut: a. Identifikasi sumber bising b. Pengukuran dan
analisis kebisingan (SLM, Octave Band Analyzer) c. Pengendalian bising dalam
bentuk kontol engineering dan kontrol administrasi d. Melakukan tes audiometri
secara berkala e. Mengikuti pelatihan KIE f. Menggunakan APD berupa sumbat
telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). g.
Melakukan pencatatan rutin
2.7.8 Prognosis
Prognosis dari gangguan pendengaran akibat bising adalah buruk. Hal tersebut
dikarenakan jenis gangguan pendengaran atau ketulian akibat bising adalah tuli
sensorineural koklea yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati dengan obat
maupun pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003, Bunga Rampai Hiperkes dan
Keselamatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Anies, 2005, Penyakit akibat Kerja, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Liston SL, Duvall AJ. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga.
Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PH, Ed. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 27-38.
Moore GF, Ogren FP, Yonkers AJ. 1989. Anatomy and embryology of the ear.
Dalam: Lee KJ, Ed. Textbook of otolaryngology and head and neck surgery. New
York: Elsevier Science Publishing.
Soetirto I. Tuli akibat bising (Noise induced hearing loss). 1990. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. h. 37-9.