Anda di halaman 1dari 50

ABSTRAK

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.)

MELALUI PARAMETER FISIKA KIMIA DI TELUK CIKUNYINYI

Oleh
Musanni

Pesisir Pesawaran yang merupakan bagian dari Teluk Lampung mempunyai


potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut. Salah satu lokasi
yang memiliki potensi cukup besar adalah Teluk Cikunyinyi. Peningkatan
pengelolaan lahan budidaya di Perairan Teluk Cikunyinyi dikhawatirkan dapat
menurunkan kualitas perairan sehingga dapat mengakibatkan kegagalan dalam
budidaya, Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat kesesuaian lahan
budidaya abalon (Haliotis sp.) Teluk Cikunyinyi berdasarkan parameter fisika dan
kimia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2013.
Pengolahan data sampel dilaksanakan di Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Terdapat 8 koordinat titik sampling.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif. Sedangkan metode
penentuan lokasi titik sampling menggunakan metode purposive sampling.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode matching dan scoring.
Berikut adalah nilai kualitas air yang diperoleh selama penelitian : DO 4,15 – 6,
03mg/L, salinitas 31 – 33ppt, suhu 28,9 – 31,4oC, kedalaman 3,5 – 10,5m,
kecerahan 1,1 – 8,2m, kecepatan arus 0,2 – 0,43m/dtk, derajat keasaman (pH)
7,54 – 8,16, fosfat 0,060 – 0,087mg/L, nitrat 0,021 – 0,029mg/L. Hasil matching
dan scoring yang dilakukan menunjukkan nilai sebesar 64% dengan tingkat
kesesuaian yaitu Tidak Sesuai (Not Suitable). Artinya daerah ini mempunyai
pembatas permanen, sehingga tidak dapat dipaksakan untuk budidaya abalon.

Kata Kunci: abalon, Teluk Cikunyinyi, kesesuaian lahan budidaya.


ABSTRACT

LAND SUITABILITY ANALYSIS OF ABALONE (Haliotis sp.) CULTURE

THROUGH PHYSICAL CHEMICAL PARAMETERS IN CIKUNYINYI BAY

By
Musanni

The coast of Pesawaran, which is a part of Lampung Bay, has a great potential in
the marine aquaculture development. One location that has significant potential is
Cikunyinyi Bay. Aquaculture intensification on the Cikunyinyi Bay might
degrade water quality which led to culture failure. The purpose of this study was
to analyze land suitability level of Cikunyinyi Bay for abalone (Haliotis sp.)
culture based on physical and chemical parameters. This research was conducted
from October to November 2013.The data were taken from 8 sampling points.
Sample data processing was held at Water Quality Laboratory in Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. The method used in this research was
descriptive exploratory method and for location determination, pusposive
sampling method was used. Matching and scoring method was used in this
research. Here is a range of physical and chemical parameters were obtained at the
time of the study : Dissolved oxygen (DO) from 4.15 to 6. 03mg/L, Salinity 31 -
33ppt, Themperature 28.9 – 31.4oC, Depth 3.5 – 10.5m, Brightness 1.1 – 8.2m,
the flow speed from 0.2 to 0.43m/sec, degree of acidity (pH) from 7.54 to 8.16,
Phosphate 0.060 - 0.087mg/L, Nitrate 0.021 – 0.029mg/L. Matching and scoring
that had been done showed value of 64%, with the level of conformity is “not
suitable”. It means this area has permanent barrier, so it can not be forced to
culture abalone.

Keywords: abalone, cikunyinyi bay, land suitability.


Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Abalon (Haliotis sp.)
Melalui Parameter Fisika Kimia di Teluk Cikuyinyi

Oleh

MUSANNI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan


Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
RIWAYAT HIDUP

Musanni dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret

1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari

pasangan Bapak Sudaria dan Nurlela Penulis mengawali

pendidikan di SD Negeri 2 Way Halim Permai dan lulus

pada tahun 2001. Selanjutnya penulis menyelesaikan

pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama AL –

Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2004, dan melanjutkan di Madrasah Aliyah

Negeri 1 (Model) Bandar Lampung hingga lulus pada tahun 2007. Penulis

terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif kegiatan organisasi kampus, yaitu

menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA)

sebagai anggota Bidang Minat dan Bakat pada tahun 2009-2010. Penulis juga

pernah mengikuti organisasi kampus lain yaitu ZOOM pada tahun 2011-2012

sebagai anggota

Pada tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan magang di Loka Riset

Pemuliaan Dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT) Subang,

Jawa Barat selama 30 hari pada komunitas ikan Nila. Pada tahun 2011 penulis

mengikuti kegiatan Praktik Umum di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air

Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat selama 40 hari dengan judul “Teknik
Pembenihan Ikan KOI (Cyprinus Carpio Lynn).”, Pada tahun 2014 untuk

mencapai gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) penulis melaksanakan penelitian dan

menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk Skripsi yang berjudul “Analisis

Kesesuaian Lahan Budidaya Abalon (Haliotis sp.) Melalui Parameter Fisika

Kimia di Teluk Cikuyinyi”.


PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsiku ini kepada :

1. Kedua Orang Tuaku, umi dan bapak yang telah memberikan dukungan tiada

henti.

2. Kedua Adikku, Fauza dan Nisa, yang telah menjadi teman suka duka selama ini.

3. Sahabat dan almamaterku tercinta


MOTO

“Sukses Bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaan lah kunci

menuju sukses. Jika anda mencintai apa yang anda kerjakan,

anda akan menjadi orang sukses”

(Herman Cain)

“kasanatteku koukai mo itsuka mirai ni kaete ikeru

machigatte hiroiatsumeta garakuta o migake”

(Suatu hari di masa depan kau akan mampu mengubah

penyesalanmu yang bertumpuk

Memoles sisa yang kau kumpulkan dari kesalahan)

(Rookiez is punkd – Remind Lyric)


SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Abalon (Haliotis sp.) Melalui Parameter

Fisika Kimia di Teluk Cikuyinyi” yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah banyak membantu dan mendukung dalam pelaksanaan penelitian

dan penyelesaian skripsi, yaitu kepada :

1. Bapak dan Umi. Terima kasih atas curahan cinta kasih, iringan doa, nasihat,

dukungan moril maupun materiil serta setiap tetes peluh dan keringat yang

menjadi semangat dalam setiap langkah kakiku.

2. Rahmat Fauza dan Chairunnisya. Terima kasih kalian telah menjadi adik,

teman beda pendapat, teman suka duka selama ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

4. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Universitas Lampung.

5. Bapak Herman Yulianto S.Pi., M.Si. selaku dosen Pembimbing Utama yang

telah sabar membimbing, mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi.


6. Ibu Rara Diantari S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing kedua yang telah

sabar membimbing, mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi.

7. Ibu Esti Harpeni S.Pi., MappSc. selaku dosen Penguji yang telah memberikan

saran bagi kesempurnaan skripsi.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Pertanian, khususnya Program Studi

Budidaya Perairan.

9. Ibu Muawanah dan mas Wahyu dari Lab Kualitas air di Balai Besar

Pengembangan Budidaya Laut atas Bantuannya selama penelitian.

10. Teman seperjuangan penelitian Edi (bendol), candra (momo), Agung, dan

Saka. Kepada Aprian, Angga, Ijonk, mas Bowo, bang Aan Erma Sartika,

semua sahabat “kontrakan” yang selalu memberikan suport dan motivasi

sehinnga skripsi ini dapat diselesaikan, serta rekan - rekan 2007 yang belum

saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, kebersamaan, dan

saran yang diberikan.

Bandar Lampung, April 2015

Musanni
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT .................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... v
COVER DALAM ........................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii
MOTTO .......................................................................................................... ix
SANWACANA ............................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Permasalahan........................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4


2.1. Morfologi Abalon................................................................................. 4
2.2. Distribusi Dan Habitat Abalon ............................................................. 7
2.3 Budidaya Abalon ................................................................................... 8
2.3.1. Reproduksi Abalon ....................................................................... 8
2.3.2. Pemijahan Abalon......................................................................... 9
2.3.3. Pemeliharaan Abalon.................................................................... 10
2.4. Parameter Fisika dan Kimia Untuk Budidaya Abalon......................... 11
2.4.1. Kecerahan ..................................................................................... 12
2.4.2. Suhu .............................................................................................. 12
2.4.3. Salinitas......................................................................................... 12
2.4.4. Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 13
2.4.5. Oksigen Terlarut (Dissolved Oksigen) ......................................... 13
2.4.6. Kecepatan Arus............................................................................. 14
2.4.7. Material Dasar Perairan ................................................................ 14
2.4.8. Kedalaman Perairan...................................................................... 14
2.4.9. Nitrat ............................................................................................. 15
2.4.10 Fosfat ........................................................................................... 15
2.5. Analisis Kesesuaian Lahan .................................................................. 15

III. METODE PENELITIAN....................................................................... 17


3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian............................................................... 17
3.2. Bahan Dan Alat Penelitian ................................................................... 19
3.2.1. Bahan Penelitian .......................................................................... 19
3.2.2. Alat Penelitian.............................................................................. 19
3.3. Metode Penelitian................................................................................. 20
3.3.1. Metode Penentuan Lokasi............................................................. 20
3.3.2. Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 20
A. Fisika Air .................................................................................... 21
B. Kimia Air .................................................................................... 21
3.4. Kriteria Untuk Budidaya Abalon ......................................................... 21
3.4.1. Variabel Primer ............................................................................. 22
3.4.2. Variabel Sekunder......................................................................... 22
3.5. Metode Analisis Data .......................................................................... 22
3.5.1. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Abalon................ 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 27
4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 27
4.2. Kualitas Fisika Air................................................................................ 27
4.2.1. Suhu............................................................................................ 27
4.2.2. Kecerahan Perairan .................................................................... 28
4.2.3. Kedalaman Perairan ................................................................... 30
4.2.4. Kecepatan Arus .......................................................................... 31
4.2.5. Material Dasar Perairan.............................................................. 31
4.3. Kualitas Kimia Perairan ....................................................................... 32
4.3.1. Salinitas ...................................................................................... 32
4.3.2. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) ....................................... 33
4.3.3. Derajat Keasaman (pH) .............................................................. 34
4.3.4. Fosfat .......................................................................................... 35
4.3.5. Nitrat........................................................................................... 36
4.4. Kesesuaian Lahan Budidaya Teluk Cikunyinyi ................................... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 40


5.1. Kesimpulan........................................................................................... 40
5.2 Saran ...................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lokasi Titik Kordinat Penelitian .............................................................. 18

2. Alat Yang digunakan Dalam Penelitian.................................................... 19

3. Tabel Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya ............................... 24

4. Tabel Pembobotan dan Skoring ................................................................ 38


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran 1 Perhitungan scoring stasiun 1 ............................................... 45

2. Lampiran 2 Perhitungan scoring stasiun 2................................................ 45

3. Lampiran 3 Perhitungan scoring stasiun 3................................................ 45

4. Lampiran 4 Perhitungan scoring stasiun 4................................................ 46

5. Lampiran 5 Perhitungan scoring stasiun 5................................................ 46

6. Lampiran 6 Perhitungan scoring stasiun 6................................................ 46

7. Lampiran 7 Perhitungan scoring stasiun 7................................................ 47

8. Lampiran 7 Perhitungan scoring stasiun 8................................................ 47

9. Lampiran 9 pengujian kualitas air parameter fosfat.................................. 47

10. Lampiran 10 pengujian kualitas air parameter nitrat ................................ 48


DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Abalon ...................................................................................................... 5

2. Abalon Yang Menempel Pada Batu.......................................................... 8

3. Peta Teluk Cikunyinyi .............................................................................. 17

4. Gambar 4 Suhu Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ............................................................................................... 28

5. Gambar 5 Kecerahan Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) Pagi Hari,

(b) sore hari ............................................................................................... 29

6. Gambar 6 Kedalaman (DO) Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari, (b)

sore hari..................................................................................................... 30

7. Gambar 7 Kecepatan Arus Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ............................................................................................... 31

8. Gambar 8 Salinitas Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ............................................................................................... 33

9. Gambar 9 Oksigen Terlarut Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari, (b)

sore hari..................................................................................................... 34

10. Gambar 10 Derajat Keasaman (pH) Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi

hari, (b) sore hari....................................................................................... 35

11. Gambar 11 Kandungan Fosfat Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,
(b) sore hari ............................................................................................... 36

12. Gambar 12 Kandungan Nitrat Di Perairan Teluk Cikunyinyi (a) pagi hari,

(b) sore hari ............................................................................................... 37


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abalon (Haliotis squamata) atau siput laut disebut juga awabi, mutton fish,

dan sea ear. Dalam bahasa daerah disebut dengan medau atau kerang mata tujuh

atau kerang telinga laut (Effendy, 2000). Budidaya abalon (Haliotis sp.)

mempunyai prospek yang cukup baik, mengingat permintaan pasar Asia seperti

Jepang, Cina dan Singapura semakin banyak. Permintaan dunia akan abalon

semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan keanekaragaman

sumber protein (Litaay, 2005). Abalon tergolong hewan yang memiliki nilai

eksotik, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pada daerah tertentu jenis

abalon (H. squamata) dalam kondisi hidup di jual dengan harga Rp. 200.000,-/kg.

Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan

akan variasi sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium

(Litaay, 2005)

Permintaan pasar terhadap abalon beberapa tahun terakhir ini semakin

meningkat, sedangkan pada kenyataannya terjadi penurunan populasi abalon.

Penurunan populasi abalon disebabkan oleh penangkapan berlebih, penangkapan

liar, predasi oleh pemangsa abalon, kompetisi dengan bulu babi dan biota lainnya

(Anonymous, 2007). Oleh sebab itu perlu diadakan suatu kegiatan budidaya oleh

1
masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar, dan agar ketersediaan abalon di

alam tetap terjaga.

Salah satu kesalahan dalam pengembangan budidaya abalon adalah

lingkungan yang tidak cocok untuk jenis kultivan yang akan dipelihara. Agar

budidaya dapat berkembang dengan baik diperlukan data yang sesuai dengan jenis

kultivan.

1.2. Permasalahan

Pesisir Pesawaran yang merupakan bagian dari Teluk Lampung

mempunyai potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut. Salah

satu lokasi yang memiliki potensi cukup besar adalah Teluk Cikunyinyi.

Besarnya potensi perairan Teluk Cikunyinyi, mendorong pengusaha

membuka lokasi untuk budidaya laut. Peningkatan pengelolaan lahan budidaya di

Perairan Teluk Cikunyinyi dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas perairan

sehingga dapat mengakibatkan kegagalan dalam suatu budidaya. Pemilihan lokasi

yang tidak tepat justru merupakan faktor terbesar penyumbang kegagalan dalam

budidaya perairan.

Oleh karenanya, agar kegiatan budidaya laut dapat berkembang dengan

baik, diperlukan analisis kesesuaian perairan untuk budidaya. Hal ini harus

didukung oleh ketersediaan data suatu perairan yang akan di gunakan sebagai

lokasi budidaya untuk mencapai produksi perikanan secara optimal dan efesien.

2
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

Menganalisis tingkat kesesuaian lahan budidaya abalon (Haliotis

squamata) Di Teluk Cikunyinyi berdasarkan parameter fisika dan kimia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi

lingkungan perairan Teluk Cikunyinyi dengan parameter kualitas perairan yang

diperlukan dalam kegiatan budidaya abalon dan sebagai masukan agar

memberikan hasil produksi yang optimal.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi abalon

Abalon atau siput mata tujuh adalah kelompok moluska laut yang

tergolong dalam genus Haliotis, hidup di zona intertidal sampai kedalaman 80-

100 m, tersebar di daerah tropis sampai sub-tropis. Dari sekitar 100 spesies abalon

yang tersebar di dunia, terdapat tujuh spesies yang ditemukan di perairan

Indonesia antara lain Haliotis asinina, H. varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra,

H. planate dan H. crebrisculpta (Setyono, 2004b). Spesies Haliotis squamata

merupakan abalon tropis terbesar dengan panjang cangkang mencapai 12 cm,

terdapat di sepanjang perairan Indo-Pasifik, termasuk di perairan Indonesia Timur

seperti Lombok, Surnbawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Setyono, 2004b).

Spesies ini sejak lama ditangkap nelayan karena memiliki nilai ekonomi yang

tinggi.

4
Gambar 1. Abalon Haliotis squamata (Imamura, 2005)

Linnaeus 1758, taksonomi dari abalon (Haliotis squamata) di klasifikasikan

sebagai berikut :

Phyllum : Mollusca

Class : Gastropoda

Ordo : Arcaegastropoda

Family : Haliotididae

Genus : Haliotis

Species : Haliotis squamata

Famili Haliotidae memiliki beberapa ciri yaitu cangkangnya berbentuk

bulat sampai oval, memiliki 2-3 buah puntiran (whorl), memiliki cangkang yang

berbentuk seperti telinga (auriform), biasa disebut ear shell. Puntiran yang

terakhir dan terbesar (body whorl) memiliki rangkaian lubang yang berjumlah

sekitar 4-7 buah tergantung jenis dan terletak di dekat sisi anterior. Setyono,

(2004a) mengungkapkan bahwa abalon memiliki cangkang yang berbentuk seperti

telinga, sehingga masyarakat di Maluku biasa menyebut biota abalon sebagai "bia

5
telinga". Pada bagian kiri cangkang terdapat rangkaian lubang pernafasan. Pada

umumnya, terdapat tujuh buah lubang yang dapat terlihat, namun hanya 4-5 buah

lubang yang tidak tertutup. Tujuh buah lubang inilah yang dijadikan alasan bagi

masyarakat di wilayah Indonesia Timur menyebut abalon sebagai "siput mata

tujuh" di Wilayah Indonesia Timur (Gambar 1).

Abalon tidak memiliki operkulum. Cangkang abalon cembung dan

melekat kuat (dengan kaki ototnya/muscular foot) di permukaan batu pada daerah

sublitoral. Warna cangkang bervariasi antara jenis yang satu dengan jenis yang

lain. Salah satu keistimewaan dari ciri fisik abalon adalah warna cangkang bagian

dalamnya yang beragam. Warna ini dihasilkan oleh nacre (Setyono, 2004a).

Bagian dalam cangkang abalon berwarna seperti pelangi, putih keperakan

sampai hijau kemerahan. Haliotis iris dapat berwarna campuran merah muda dan

merah dengan warna utama biru tua, hijau, dan ungu. Dilihat dari fisiknya, ukuran

tubuh abalon berbeda-beda tergantung dari jenisnya, mulai dari 20 mm (seperti

Haliotispulcherrima) sampai 200 mm atau lebih (seperti Haliotis rufescens).

Abalon ditemukan di perairan dangkal pada daerah yang berkarang atau

berbatu yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Abalon bergerak

dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. Gerakan kaki

abalon sangat lambat, sehingga memudahkan predator untuk memangsanya

(Tahang dkk, 2006).

6
2.2 Distribusi dan habitat abalon

Suku Haliotidae memiliki distribusi yang luas dan meliputi perairan

seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan

pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat.

Abalon paling banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan

bumi bagian selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan

Australia. Sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat laut

Amerika dan Jepang (Anonymous, 2007a). Setyono, (2004a), abalon paling

banyak ditemukan di daerah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang

dapat ditemukan di daerah tropis (termasuk Indonesia) dan daerah Artik.

Penyebaran siput abalon sangat terbatas. Tidak semua pantai yang berkarang atau

barbatu terdapat siput abalon. Secara umum siput abalon tidak ditemukan di

daerah estuaria. Hal ini berkaitan dengan fluktuasi salinitas dan tingkat kekeruhan

yang tinggi dan konsentrasi DO yang rendah.

Siput abalon merupakan hewan herbivora pemakan makroalga (seaweeds)

dan mikroalga. Jenis alga yang biasa dimakan yaitu alga merah (Corallina,

Lhothamium, Gracillaria, Porphya, alga coklat (Laminaria, Macrocysis,

Sargasum), alga hijau Ulva (Tahang dkk., 2006).

Abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai (Gambar 2), terutama

pada daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan dengan salinitas yang tinggi

dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalon. Abalon dewasa lebih

memilih hidup di tempat-tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di daerah

utara (Alaska sampai British Columbia), abalon umumnya berada pada kedalaman

0-5 m, tetapi di California abalon berada pada kedalaman 10 m (Setyono, 2009)

7
Gambar 2. Abalon yang menempel pada batu (Imamura, 2005)

2.3 Budidaya Abalon

2.3.1 Reproduksi abalon

Haliotis squamata termasuk salah satu jenis abalon yang berukuran relatif

besar. Jenis ini dapat mencapai ukuran 8 - 10cm dengan bobot 30-40 g/ekor dalam

waktu pemeliharaan 12-14 bulan. Abalon tergolong hewan berumah dua atau

diocis (betina dan jantan terpisah). Pembuahan telur dan sperma terjadi di luar

tubuh, dimulai dengan keluarnya sperma ke dalam air yang segera diikuti

keluarnya telur dari induk betina. Kematangan gonad induk jantan maupun betina

berlangsung sepanjang tahun dengan puncak memijah terjadi pada bulan Juli dan

Oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter 100 mμ . Di laboratorium telur

yang dipijahkan berdiameter rata-rata 183 mμ (Kordi, 2004).

8
2.3.2 Pemijahan Abalon

Perbedaan betina dan jantannya bisa diketahui melalui warna gonadnya

(alat kelamin). Bila berwana hijau berarti betina dan bila menyerupai putih susu

bisa dipastikan itu adalah jantan. Abalon yang siap memijah dapat dimasukkan ke

dalam bak pemijahan. Selama proses perkawinan ini air di bak pemijahan tersebut

diturunkan pelan-pelan, hingga sang jantan mengeluarkan spermanya. Sementara

induk betina dapat menghasilkan telur seratus ribu hingga satu juta telur setiap

kali pemijahan. Setelah itu induk betina dapat memijah kembali selang 37 hari

kemudian. Induk betina yang lebih muda dapat memijah dengan frekuensi yang

lebih sering ketimbang yang lebih tua. Rasio antara induk jantan dan betina adalah

1: 3. Setelah proses pemijahan, penetasan telur dapat dilakukan di bak yang

terbuat dari fiberglass atau bisa juga tetap menggunakan bak pemijahan yang

berkapasitas satu ton. Air di dalam bak tersebut wajib menggunakan air laut

dengan kondisi yang mengalir. Air ini terlebih dahulu ditreatment agar terbebas

dari hama dan penyakit (Tahang dkk, 2006).

Abalon dapat memijah sepanjang tahun. Sebelum terjadi pemijahan induk

jantan terkebih dahulu melepaskan sperma untuk merangsang induk betina

melepaskan telur. Pemijahaan lazimnya terjadi pada pagi hari antara pukul satu

hingga tiga dini hari. Abalon ini siap untuk berkembang biak saat berumur sekitar

delapan bulan dengan diameter cangkang yang telah mencapai ukuran 35 cm - 40

cm (Rifai and Ermitati, 1993).

9
2.3 3 Pemeliharaan Abalon

Larva yang telah menetas dari telur yang dihasilkan dikumpulkan antara

pukul 6 - 7 pagi. Hal ini dilakukan setelah larva mengeluarkan veliger atau kaki

renang. Saat ini larva memiliki sifat fototeksis positif atau senang bergerak

mendekati sumber cahaya. Larva abalon dapat bergerak (mencari makan) dengan

cara merayap. Oleh sebab itu sebelumnya harus disiapkan dulu wadah atau bak

yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Media air laut yang digunakan harus

disaring (difilter) terlebih dahulu dengan menggunakan saringan air laut yang

berukuran 0,5mickron (Ghufran, 2010).

Pada penebaran larva dalam bak pemeliharaan ini mencapai 150 ribu

hingga 300 ribu setiap bak yang berkapasitas satu ton. Permukaan air di bak harus

tenang, agar larva tidak mudah stress. Bak diaerasi selama 5 hari berturut-turut

dengan kekuatan aerasi yang kecil (lembut). Bak harus ditempatkan di tempat

yang cukup menerima cahaya dan pada malam hari harus dibantu penerangan-nya

dengan lampu TL ber-kekuatan 40 watt. Lampu ini diletakkan sekitar 50 cm dari

permukaan air bak. Setelah hari ke sepuluh air, di bak pemeliharaan harus lebih

sering di saring dan ukuran areasi di perbesar. Selama 60 hari pemeliharan larva

normalnya larva akan tumbuh sepanjang 5-10 cm. Pada saat itu larva sudah

memasuki ukuran juvenil dan telah dapat mengkonsumsi macro algae. Memasuki

masa juvenil ini, pemeliharaan memasuki tahap pembesaran (pemeliharan tahap

II). Bayi Abalone sudah dapat dipindahkan ke dalam keranjang dan dimasukkan

ke dalam bak pemeliharaan dengan memberikan pakan rumput laut dari jenis

Gracilaria sp. (Rohmimohtarto, 2001). Pada tahap ini pemeliharaan II ini,

kepadatan pemeliharaan abalon sekitar 600-1000 ekor per meter persegi.

10
Pemeliharan menggunakan lembaran plastik (yang bentuknya mirip lembaran

seng). Lembaran plastik ini dilubangi dan dihubungkan dengan pipa paralon dan

diletakkan di dalam bak pemeliharaan. Juvenil dianggap berkembang dengan baik

bila selama umur 80 hari cangkangnya bertambah panjang menjadi 30 mm. Selain

rumput laut makanan buatan sudah bisa diberi asupan pakan buatan. Formulanya

27% protein kasar, 5% lemak dan 40% karbohidrat. Pemeliharan abalone dari

ukuran 30 mm sampai berukuran siap panen sekitar 60 mm dapat dilakukan di

karamba. Tingkat kepadatannya adalah 60-100 ekor per meter persegi. Setelah 8

bulan kemudian kerang ini pun siap untuk dipanen (Tahang dkk, 2006).

2.4 Parameter Fisika dan Kimia untuk Budidaya Abalon

Usaha budidaya tidak terlepas dari kebutuhan air sebagai media tempat

hidup hewan yang dipelihara. Debit dan kualitas air akan sangat berpengaruh

terhadap laju pertumbuhan hewan yang dipelihara (Setyono, 2004). Khusus untuk

"onland farming" atau budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat,

maka sumber air (kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama.

Sedangkan untuk budidaya di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain

kondisi air (kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus),

gelombang dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam),

pH (keasaman), kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur,

pasir, batu).

11
2.4.1 Kecerahan

Kecerahan adalah ukuran transparansi laut yang menunjukkan tingkat

penetrasi cahaya yang dapat menembus laut tersebut (SNI 7644-2010). Kecerahan

perairan menentukan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam

suatu perairan. Kemampuan daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat

ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun

anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.

Menurut Tahang dkk, (2006) tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya

abalon tropis berkisar 10 m.

2.4.2 Suhu

Standar Nasional Indonesia (SNI 7644-2010), menyatakan bahwa suhu

adalah suatu besaran fisika yang menyatakan panas yang terkandung dalam air

laut. Suhu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan dan cuaca dilokasi budidaya,

sehingga apabila suhu lingkungan tidak sesuai dengan hewan budidaya atau jika

suhu terus meningkat, ketahanan abalon akan dengan cepat mencapai batas

alaminya sehingga pertumbuhan akan berhenti dan dapat menyebabkan kematian

pada abalon (Fallu 1991). Setyono, (2010) parameter kualitas suhu yang baik

untuk pemeliharaan abalon tropis bervariasi dari 27,5o sampai 28,5oC.

2.4.3 Salinitas

Salinitas adalah jumlah kadar garam terlarut (gram) dalam 1 kg air laut

(SNI 7644-2010). Pada kisaran salinitas optimal dan tetap, energi yang digunakan

12
untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dapat digunakan untuk

pertumbuhan (Ghufran, 2010). Abalon biasanya menyukai kadar garam (salinitas)

yang relatif stabil. Salinitas optimal yang cocok untuk pemeliharaan abalon

berkisar antara 30 sampai 33 ppt (Setyono, 2010).

2.4.4 Derajat keasaman (pH)

pH atau disebut juga derajat keasaman. Sebagian besar biota akuatik

sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7 sampai 8,5

(Effendi, 2003). pH yang cocok untuk pemeliharaan abalon menurut Setyono,

(2010) berkisar antara 7,5 sampai 8,5. Perairan yang terlalu asam akan kurang

produktif dan dapat membunuh ikan. Kandungan oksigen terlarut pada perairan

yang pH-nya rendah (keasaman yang tinggi) akan berkurang, akibatnya konsumsi

oksigen ikan turut menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan

berkurang, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat

mortalitas tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada suasana basa (Ghufran, 2010).

2.4.5 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut adalah jumlah milligram oksigen yang terlarut dalam 1

liter air laut (SNI 7644-2010). Abalon menyukai daerah yang memiliki aliran arus

yang kuat, karena air daerah ini mengandung konsentrasi oksigen terlarut yang

tinggi (Fallu, 1991). Semua jenis abalon menyukai perairan dengan kandungan

oksigen terlarut yang tinggi. (Setyono, 2010) menyatakan kadar oksigen terlarut

yang cocok dalam pemeliharaan abalon adalah lebih dari 5 mg/l.

13
2.4.6 Kecepatan Arus

Menurut (Wibisono, 2005) arus adalah gerakan massa air laut kearah

horizontal dalam skala besar. Daerah yang berombak dan berarus akan

memberikan masukan oksigen kedalam perairan. Kecepatan arus yang ideal untuk

budidaya abalon berkisar antara 0,2 sampai 0,5 m/detik (Tahang dkk. 2006).

2.4.7 Material Dasar Perairan

Abalon biasanya ditemukan di substrat dasar berupa batuan, karena abalon

akan menggunakan batuan tersebut untuk menempel dan bersembunyi. Abalon

membutuhkan substrat yang permukaannya keras. Hal tersebut dinyatakan oleh

Fallu (1991) bahwa kaki abalon tidak cocok digunakan untuk merayap dan

melekat di pasir, karena di substrat berpasir abalon bisa dengan mudah terbalik

dan dengan mudah akan dimangsa predator. Batuan yang ditempeli makroalga

adalah tempat yang sangat cocok untuk dihuni abalon (Lafferty, et al. 2003).

2.4.8 Kedalaman Perairan

Kedalaman perairan berhubungan erat dengan produktivitas, suhu

vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta unsur hara.

Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap biota yang dibudidayakan.

Hal ini berhubungan dengan tekanan yang yang diterima di dalam air,

sebab tekanan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman (Nontji,

2005). Kedalaman perairan yang ideal untuk budidaya abalon 3 sampai dengan

15m (BBPBL, 2001)

14
2.4.9 Nitrat

Nitrat adalah hasil akhir dari oksida nitrogen dalam laut (Hutagalung

dan Rozak, 2004). Elemen penting yang merupakan determinasi produktifitas

organik air adalah nitrat (Bal and Rao, 2000). Nitrat dapat menyebabkan

menurunnya oksigen terlarut, penurunan populasi ikan, air cepat berbau

busuk. Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang dibudidayakan sekitar

0,90 – 3,19 mg/l (DKP, 2010).

2.4.10 Fosfat

Fosfat merupakan unsur potensial dalam pembentukan protein dan

metabolisme sel. Kandungan ortofosfat yang terkandung dalam air dapat

menunjukkan kesuburan perairan. Jika kandungan fosfat lebih dari 0,051 ppm

maka perairan bisa dikatakan baik (Wardoyo, 2002). Kondisi yang mendekati

toleransi batas terendah bagi suatu organisme disebut limitting factor (faktor

pembatas) (Winanto, 2004).

2.5 Analisis Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability)

suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)

lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya,

sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha

pemeliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan

15
berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang

matang (Fauzi, 2009).

Anggoro (2004), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam

pengembangan budidaya Laut adalah adanya perubahan parameter lingkungan

karena hal tersebut mempengaruhi luasan dan area lokasi pengembangan

budidaya. Oleh karena itu sangat penting dikaji bagaimana tingkat kesesuaian

budidaya laut dan daya dukung lingkungan terhadap perubahan parameter

lingkungan sehingga pada prakteknya didapatkan hasil yang maksimal (Agusta,

2012).

Analisa detail spesifikasi wilayah untuk pemanfaatan areal budidaya laut

yang dilakukan selama ini umumnya tanpa diawali dengan penelitian tentang

analisa kesesuaian lahan dan kondisi daya dukung lahan serta status lokasi

sehingga sangat mempengaruhi keberhasilan dan keberlanjutan usaha budidaya

(Nontji, 2005). Tumpang tindihnya pemanfaatan dan belum tertibnya penggunaan

lahan atau kawasan serta belum adanya pengelolaan budidaya yang jelas dan

terkontrol sehingga berpotensi merusak lingkungan dan menjadi ancaman bagi

sumberdaya tersebut (DKP, 2010).

16
III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. (Gambar

3).

Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Penelitian

(Sumber : Goole maps diunduh pada 7 april 2015)

Angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 titik sampling penelitian

17
Penelitian ini secara umum mencakup 3 tahapan yaitu survei lapangan,

pengumpulan data, pengolahan data serta analisis data. Survei lapang dilakukan

pada bulan September 2013. Pengambilan data serta analisis data dilakukan pada

bulan Oktober – November 2013. Proses pengolahan data sampel dilaksanakan di

Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung.

Tabel 1. Lokasi titik koordinat penelitian


Stasiun Koordinat Keterangan
(LU) (LS)
1 5°26’54.79”S 93°82’85.71”T Bagian Timur berbatasan dengan
vegetasi mangrove, bagian Utara
berbatasan dengan bagian tepi teluk,
bagian Barat dan Utara perairan
umum
2 5°26’58.63”S 93°82’36.42”T Bagian mulut teluk terbuka, baik
Timur, Utara Selatan dan Barat
berbatasan dengan perairam umum
3 5°27’3.19”S 93°82’58.87”T Bagian Timur, Utara dan Barat
berbatasan dengan perairan umum
sedangkan bagian Selatan berbatasan
dengan tepi teluk yang berupa pantai
berpasir
4 5°27’7.65”S 93°82’41.25”T Bagian Timur, Utara dan Barat
berbatasan dengan perairan umum
bagian Selatan berbatasan tepi teluk
yang berupa pantai berpasir
5 5°27’11.79”S 93°82’38.78”T Bagian tengah teluk
6 5°26’54.36”S 93°82’53.48”T bagian Utara berbatasan dengan
bagian tepi teluk, bagian Barat,
Selatan dan Utara dengan perairan
umum
7 5°26’34.45”S 93°82’42.79”T Bagian Utara berbatasan dengan tepi
teluk, bagian Barat berbatasan
dengan muara sungai, Timur dan
Selatan perairan umum
8 5°27’54.64”S 93°82’48.79”T Bagian Barat berbatasan dengan
daratan bekas tambak udang, Timur,
Utara dan Selatan dengan perairan
umum

18
3.2. Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : bahan-bahan kimia

untuk analisis sampel air.

3.2.2. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi peralatan untuk


mengukur kualitas air dan penanda lokasi (Tabel 2)

Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian

Parameter Satuan Alat/Metode Keterangan


Oksigen terlarut mg/l Water quality checker In situ
Suhu ºC Thermometer In situ
Kecerahan Meter Secchi disk In situ
Kedalaman Meter Portable Depth Sounder In situ
Salinitas Ppt Refraktometer In situ
Kecepatan arus m/detik Current meter In situ
Fosfat mg/l Spectrofotometer Laboratorium
Nitrat mg/l Spectrofotometer Laboratorium
pH Water quality checker In situ
Material dasar perairan Eikmann Grab Sampler In situ
Koordinat lapangan GPS In situ

19
3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Metode Penentuan Lokasi

Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif.

Sedangkan metode penentuan lokasi titik sampling menggunakan metode

purposive sampling, yaitu penentuan lokasi sampling berdasarkan pertimbangan

tertentu antara lain kemudahan menjangkau lokasi titik sampling, serta efisiensi

waktu dan biaya yang didasari pada interpretasi awal lokasi penelitian dan

pengambilan sampel hanya terbatas pada unit sampel yang sesuai dengan kriteria-

kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Lokasi

pengambilan sampel sebanyak 8 titik sampling yang mewakili semua kondisi

perairan lokasi penelitian. Setiap lokasi pengamatan titik sampling dicatat posisi

geografisnya dengan alat penentu posisi (GPS). Data yang digunakan dalam

penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder (Djarwanto dan Subagyo,

1990).

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel parameter fisika, kimia dan biologi perairan

dilakukan pada saat pagi hari yaitu pada pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul

09.00 WIB, dan juga pada sore hari, yaitu pada pukul 15.00 WIB sampai dengan

pukul 16.00 WIB. Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak 8 stasiun yang

mewakili seluruh perairan di Teluk Cikunyinyi. Pengambilan sampel dilakukan

setiap seminggu sekali selama 4 minggu dan setiap pengambilan sampel

20
dilakukan 2 kali pengulangan. Sampel yang dapat diukur secara langsung

dilakukan secara in situ sedangkan sampel yang lain dianalisis di laboratorium

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Berikut adalah

data yang dikumpulkan dalam penelitian:

A. Fisika Air
Suhu perairan diukur menggunakan water quality checker, kecerahan

diukur menggunakan secchi disk, kedalaman perairan diukur

menggunakan portabel depth sounder, kecepatan arus diukur

menggunakan current meter, Material dasar perairan diukur

menggunakan eikmann grab sampler.

B. Kimia Air
pH , oksigen terlarut, dan salinitas perairan diukur pada tiap titik

sampling dengan menggunakan water quality checker, sedangkan untuk

fosfat dan nitrat dianalisis di laboratorium Balai Besar Pengembangan

Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dengan menggunakan Spectrofotometer.

3.4. Kriteria untuk Budidaya Abalon

Lokasi pengembangan budidaya abalon mempunyai kriteria yang dikelompokan


sebagai berikut :

21
3.4.1. Variabel Primer

Merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam usaha pengembangan

budidaya baik kelangsungan hidup maupun keberlangsungan usaha. Jika syarat

ini tidak terpenuhi dapat menyebabkan kegagalan dari usaha budidaya yang

diinginkan. variabel primer tersebut terdiri dari : Suhu perairan, salinitas dan

DO.

3.4.2. Variabel Sekunder

variabel ini merupakan syarat optimal yang harus dipenuhi oleh suatu

kegiatan usaha budidaya. Syarat ini diperlukan oleh biota, agar kehidupan lebih

baik. variabel tersebut meliputi : Kedalaman, material dasar perairan, kecerahan,

kecepatan arus, pH, fosfat dan nitrat.

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode matching dan

skoring. Tahapan berikut adalah analisis kesesuaian perairan dengan pembuatan

matrik kesesuaian (Tabel 3).

3.5.1. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Abalon

Proses ini diawali dengan mengumpulkan berbagai referensi mengenai

kondisi wilayah perairan yang harus dipenuhi untuk pembudidayaan abalon

Kemudian menentukan batas-batas nilai (klasifikasi kelas kesesuaian) untuk setiap

22
parameter fisika-kimia perairan yang memenuhi persyaratan budidaya abalon.

Dalam penelitian ini parameter yang diamati untuk kelayakan lahan budidaya laut

meliputi: kualitas air laut (pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan,

kedalaman, material dasar perairan, kecepatan arus, kandungan phospat dan

nitrat). Parameter tersebut akan digunakan sebagai dasar skala penilaian dan bobot

pada kelayakan lahan budidaya laut. Parameter yang dapat memberikan pengaruh

lebih kuat sebagai faktor pembatas bagi organisme budidaya diberi bobot lebih

tinggi. Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas (Radiarta et al, 2007), yaitu :

1. Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable)

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan

perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau

tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikan

masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan.

2. Kelas S2 : Cukup Sesuai (Moderately Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk

mempertahankan tingkat perlakukan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan

meningkatkan masukan atau tingkat perlakuan yang diperlukan.

3. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk

mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih

meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan.

23
4. Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala

kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka dan

pertimbangan teknis budidaya, sehingga diketahui peubah syarat yang dijadikan

acuan dalam pemberian bobot. Karena itu, peubah yang dianggap penting dan

dominan menjadi dasar yang kurang dominan. Untuk melihat keberadaan peubah

diatas, maka hubungan antar beberapa peubah dominan yang mungkin terjadi

terhadap peubah syarat, diperlukan sebagai data penunjang. Dengan pembagian

syarat – syarat tersebut maka disusun matrik kesesuaian dengan sistem penilaian

pada tabel 3.

Tabel 3. Sistem Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Abalon


dalam Karamba Jaring Apung.

Parameter Kelas Angka Bobot Skor Sumber


Penilaian
(A) (A) x (B)
Oksigen >5 5 15 Mentri Lingkungan
Terlarut Hidup (2004)
(mg/l) 3-5 3 3 9

<3 1 3

Kedalaman 3 – 15 5 10 BBPBL, Lampung


Perairan (2001)
(meter) 1-3 3 2 6

<1 1 2

Material Batuan berkarang 5 10 Lafferty and Jaeckel


(2004)
Dasar Batuan berpasir 3 2 6

Perairan Lumpur 1 2

24
Kecepatan 0,2 – 0,5 5 5 Tahang, et al (2006)
Arus
(m/detik) 0,05 – 0,1 3 1 3

< 0,05 dan > 0,5 1 1

Kecerahan 10 5 10 Menteri Lingkungan


Perairan Hidup (2004)
(meter) 5-9 3 2 6

<5 1 2
Suhu Perairan 27, 5 – 28,5 5 20 Setyono (2010)

(° C) 25 – 27,4 dan 3 4 12
28,6 - 30
1 4
< 25 dan > 30
Salinitas 30 – 33 5 20 Setyono (2010)
Perairan
(ppt) 27 – 29,9 3 4 12

< 27 dan > 33 1 4

pH 7,5 – 8,5 5 5 Effendi (2003) dan


Setyono (2010)
7 – 7,4 3 1 3

≤ 7 dan ≥ 8,5 1 1

Fosfat ≥0, 2 – ≤0,5 5 2.5 Wardoyo (2002)

(mg/l) ≥0, 5 – 0,7 3 0.5 1.5

< 0,2 dan > 0,8 1 0.5

Nitrat 0,90 - 3,19 5 2.5 DKP (2002) ;

(mg/l) 0,69 - 0,89 dan 3.2 - 3,39 3 0.5 1.5 SK Meneg LH No 51


Tahun 2004
≤ 0,7 dan ≥3,4 1 0.5

Total Skor ( 100 %)

Total skor dari hasil perkalian nilai parameter dengan bobotnya tersebut

selanjutnya dipakai untuk menentukan klas kesesuaian lahan budidaya ikan

kerapu macan berdasarkan karakteristik kualitas perairan dan dapat dihitung

dengan perhitungan (DKP, 2002) :

25
Total skor
Total skoring =. x 100%
Total Skor Max.

Berdasarkan rumus dan perhitungan diatas diperoleh nilai (skor) kesesuaian

lahan sebagai berikut:

 85,00 - 100 = Sangat Sesuai (S1)

 75,00 - 84,99 = Cukup Sesuai (S2)

 65,00 - 74,99 = Sesuai Marginal (S3)

 0 - 64,99 = Tidak Sesuai (N)

26
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan mengenai analisis kesesuaian lahan

untuk budidaya abalon melalui parameter fisika dan kimia maka didapatkan hasil

matching dan skoring yang bernilai 64%. Teluk Cikunyinyi berada pada kelas N

atau tidak sesuai untuk lahan budidaya abalon.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang didapat dalam penelitian, maka tidak disarankan

untuk melakukan budidaya abalon di Teluk Cikunyinyi pada bulan Oktober –

November. Perlu diadakan penelitian lain di luar bulan tersebut untuk melihat

tingkat kesesuaian lahan budidaya abalon pada selain bulan Oktober – November.

0
DAFTAR PUSTAKA

Agusta. C. Paulus. 2012. Model Pengembangan Minapolitan Berbasis Budidaya


Laut di Kab. Kupang. Desertasi. IPB.

Anggoro. S. 2004. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP.


UNDIP, Semarang.

Anonymous. 2006. Budidaya Abalon. Majalah Demersal


http://www.abalondirect.com/abdirect/ About_Abalon/ Facts/facts.html.

Anonymous. 2007a. Abalone. Wikipedia. http://www.wikipedia.org/ wiki/


Abalone.

Anonymous. 2007b. Facts About Abalone. FISHTECH™ INC. California,


http://www.fishtech.com/fact/.

APHA. 2005. Standart Methods for The Examination of Water and


Wastewater, 16 th Edition. American Public Health Association,
Washington DC. 76 pages.

Arif, M,. 2010. Pengaruh Penggunaan Rumput Laut Jenis G. verrucosa, L.


papillosa dan G. arcuata Terhadap Kematangan Gonad Induk Abalon
(H. diversicolor diversicolor) yang di Pelihaara pada Keramba Tancap.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo.
Kendari. 72 hal.

Ariyati R W, Sya’rani L, dan Arini E. 2007. Analisis kesesuaian perairan pulau


karimunjawa dan pulau kemujan sebagai lahan budidaya rumput laut
menggunakan sistem informasi geografis. J. Pasir Laut. 3(1): 27 – 45.

Arsjad M., Y Siawantoro, dan R S Dewi. 2004. Inventarisasi Sumberdaya Alam


dan Lingkungan Hidup. Sebaran Chlorophyll-a di Perairan Indonesia.
Pusat Sumberdaya Alam Laut. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional. Cibinong. Bogor.

As-Syakur A R, Nuarsa I W, dan Sunarta I N. 2010. Pemutakhiran peta


agroklimat klasifikasi oldeman di pulau Lombok dengan aplikasi sistem
informasi geografi. Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia
2010:79- 87.

✁✂
Bal, D.V. and Rao, K.V., 2000. Marine Fisheries. Tata Mcgraw Hill Publishing
Company Ltd. New Delhi.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. 2001. Petunjuk


Teknis Pembesaran Kerapu Macan dan Kerapu Tikus. Direktorat
Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

Degnan S M, and M. Backstorm. 2006. Evolution in temperate and tropical seas:


Disparate patterns in southern hemisphere abalone
(Mollusca:Vetigastropoda: Haliotidae). Molecular Phylogenetics and
Evolution.(41): 249-256.

Departemen Kelautan dan Perikanan.2002. Rencana Strategis Perikanan dan


kelautan. Sulawesi Tenggara.

Djarwanto dan Subagyo. 1990. Statistik Induktif. Penerbit BPFE. Yogyakarta.


Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengolahan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius: Yoyakarta.249 hlm.

Effendy, I.J. 2000. Study on Early Developmental Stages of Donkey Ear Abalon
(H. asinina). Linneaust 1758.Thesis. Institute of Aquaculture. College of
Fisheries.University of Philippines in the Visayas. Miag-ao, Iloilo.
Philippines. 146 pp.

Esri. 2002. Using Spatial Analyst. Environment System Research Institute, Inc.
New York.

Fallu Ric. 1991. Abalone Farming. First published. Fishing News Books :
London.

Fauzi Y dan Imanto. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota
Bengkulu Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Forum Geografi, Vol. 23 No. 2. p. 101 – 111.

Geiger D L. 1999. Distribution and biogeography of the recent haliotide


(Gastropoda : Vetigastropoda) worl-wide. International Journal of
Malacology. (35): 5-12.

Ghufran, M. H. 2010. Pemeliharaan Ikan Napoleon di Keramba Jaring Apung.


Akademia. Jakarta.

Hartoko, A., 2000. Modul Teknologi Pemetaan Dinamis Sumberdaya Ikan


Kerapu Macan Melalui Analisis Terpadu Karakter Oseanografi dan
Data Satelit NOAA, Landsat_TM dan SeaWIFS_GSFC di Perairan
Laut Indonesian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan
Riset Nasional, Jakarta.

✄☎
Hutchins, P. 2007. Culturing Abalone Half-Pearls : The story of the New Zealand
Eyris Blue Pearl™. Wide Bay Valuation Services. Bundaberg.
http://www.australiangemmologist.com.au/ abalone_pearls.pdf.

Imamura, K. 2005. Abalone : Wild Life Notebook Series. Alaska Department of


Fish and Game, http://www.adfg.state.ak.us/

Kordi, K. 2004. Jenis-jenis Abalon. Rineka Cipta. Jakarta.

Lafferty K D, and Jaeckel. 2004. Habitat of endangered white abalone, Haliotis


sorenseni. Biological Conservation. (116): 191-194.

Lepore, C. 1993. Feasibility of abalone culture in British Columbia. Principles of


Aquaculture. Bamfield Marine Station Publications.

Litaay, M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalon. Osean, 30(3): 1
– 7.

Maliao R J, Webb E L, and Jensen K R. 2004. A survey of stock of the donkey’s


ear abalone, Haliotis asinina L. in the Sagay Marine Reserve,
Philippines : evaluating the effectiveness of marine protected area
enforcement. Fisheries Research. (66) : 343-353.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan
Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta.

Mudjiono.1991. Potensi moluska (keong dan kerang) dan biota bentil lain di
kawasan wisata bahari Pulau Belitung.P3O LIPI : 86.

Najmudeen T M and Victor A C C. 2003. Seed production and juvenile rearing of


the tropical abalone Haliotis varia Linnaeus 1758. Aquaculture. (234) :
277-292.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Edisi revisi. Djambatan, Jakarta.

Radiarta, N., S.E Wardoyo, B. Priono dan O. Praseno. 2007. Aplikasi Sistem
Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya
Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. 9 No.1 p. 67 - 79.

Rifai and Ermitati, 1993. Pemijahan Abalon. Pusat Perikanan dan Kelautan.
Departemen Pendidikan Perikanan dan Kelautan. Jakarta.

Romimohtarto K dan Juwana S. 2001. Biologi Laut (Ilmu Pengetahuan tentang


(Biologi Laut). Djambatan : Jakarta. xi + 540 hlm.

✆✝
Setyobudiandi dan B. Priyono 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan
Kelautan :Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan
Laut. Cetakan Pertama. Makaira FPIK IPB : Bogor. vi + 313 hal.

Setyono D E D. 2004a. Abalone (Haliotis asinina L) : 1. A prospective species for


aquaculture in Indonesia. Oseana. 29 (2) :25-30.

Setyono, D.E.D. 2004b. Abalon (Haliotis asinina L): 3. Induction of Spawning.


Oseana XXIX(3): 17-23.

Setyono D E D. 2006. Food preferences for juvenile tropical abalone (Haliotis


asinina). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 41:1-14.

Setyono D E D. 2009. Abalon : Biologi dan Reproduksi. LIPI Press: Jakarta. viii +
92 h.

Setyono D E D. 2010. Abalon : Teknologi Pembenihan. ISOI: Jakarta. xvi + 144h.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 7644. 2010. Basis Data Spasial Oseanografi :
Suhu, Salinitas, Oksigen Terlarut, Derajat Keasaman, Turbiditas, dan
Kecerahan.Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.17 hlm.

Tahang M, Imran dan Bangun. 2006. Pemeliharaan kerang Abalon (Haliotis


asinina) dengan metode Pen-culture (kurungan tancap) dan Keramba
Jaring Apung (KJA). Departemen Kelautan dan Perikanan. Lombok.

Wardoyo, S.T.H., 2002. Water Analysis Manual Tropical Aquatic Biology


Program. Biotrop. P. 81. Bogor.

Wibisono M S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT.Grasindo : Jakarta.xiv + 226


hlm.

✞✞

Anda mungkin juga menyukai