Anda di halaman 1dari 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.1 KOR PULMONAL KRONIK1


3.1.1 Definisi
Kor pulmonal adalah hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan akibat
hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Untuk
menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal naoas
diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema.1
Hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan
atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran
ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya
waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal,
diperkitakan 80-90% kasus.1

3.1.2 Patofisiologi
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya “vascular bed”
paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia
alveolar yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan
hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya
timbulnya hipertensi pulmonal. Dalam jangka panjang akan mengakibatkan
hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal
jantung kanan.1

3.1.3 Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda
PPOK; asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah;
hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan. 15
3.2 HIPERTENSI
3.2.1 Definisi

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)


tahun 2015, hipertensi adalah keadaan dimana seseorang memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.3

3.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan The Seventh Joint National Committee (JNC VII) on


Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure dalam
Bethesda (MD): National Heart, Lung, and Blood Institute (US) tahun 2004
klasifikasi tekanan darah pada usia ≥ 18 tahun, adalah sebagai berikut :4

Tabel 3.1 Klasifikasi Tekanan Darah 1.4

3.2.3 Patofisiologi

Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung


menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi
diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri,
kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik), Rangsangan
simpatis dan aktivasi SRAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya
akan terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik).5

Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat


terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard dan
gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada
hipertensi.5

3.2.4 Penatalaksanaan

The Eight Joint National Committee (JNC VIII) tahun 2014 telah
mengeluarkan guideline terbaru mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan
darah tinggi. Secara umum, JNC 8 memberikan rekomendasi 9 terbaru terkait
dengan target tekanan darah dan golongan obat hipertensi yang
direkomendasikan.6,7

Dalam jurnal berjudul 2014 Evidence-Based Guideline for the Management


of High Blood Pressure in Adults oleh Paul,dkk dari American Medical
Association, kesembilan rekomendasi tersebut disesuaikan dengan beberapa
Grade berikut :6

Tabel 3.2 Grade of Recommendation JNC 8 .6


Berikut 9 rekomendasi tatalaksana hipertensi menurut JNC 8 oleh Muhadi
dalam jurnal JNC 8 : Evidence-Based Guideline Penanganan Hipertensi Dewasa
tahun 2016: 7
1. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target sistolik
<150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg. (Strong
Recommendation – Grade A).
Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika terapi farmakologis
hipertensi menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah (misalnya
<140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpa efek samping kesehatan dan
kualitas hidup, dosis tidak perlu disesuaikan. (Expert Opinion – Grade
E).
2. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90
mmHg dengan target tekanan darah diastolik <90 mmHg(untuk usia
30-59 tahun Strong Recommendation – Grade A ; untuk usia 18-29
tahun Expert Opinion – Grade E).
3. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg.(Expert
Opinion – Grade E).
4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg
dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan
darah diastolik <90 mmHg.(Expert Opinion – Grade E).
5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis
untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik
<90 mmHg.(Expert Opinion – Grade E).
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan
diabetes, terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe
thiazide,calcium,channel blocker (CCB), angiotensin-converting
enzyme inhibitor (ACEI), atau angiotensin receptor blocker (ARB).
(Moderate Recommendation – Grade B).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes,
terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide
atau CCB. (Untuk populasi kulit hitam: Moderate Recommendation –
Grade B ; untuk kulit hitam dengan diabetes: Weak Recommendation
– Grade C).
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau
ARB untuk meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk
semua pasien penyakit ginjal kronik dengan hipertensi terlepas dari
ras atau status diabetes. (Moderate Recommendation – Grade B).
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan
target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1
bulan perawatan, tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat
kedua dari salah satu kelas yang direkomendasikan dalam
rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic, CCB, ACEI, atau ARB).
Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen
perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan
darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat
ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB
bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat
dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi 6 karena
kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat
antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis,
hipertensi mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat
tercapai dengan strategi di atas atau untuk penanganan pasien
komplikasi yang membutuhkan konsultasi klinis tambahan. (Expert
Opinion – Grade E).
Kesembilan rekomendasi ini diringkas menjadi 1 algoritma penanganan
hipertensi.6,7

Gambar 3.1 Algoritma Penanganan Hipertensi.6,7


3.2.5 Pencegahan

Dalam guideline JNC 8 modiñkasi gaya hidup tidak dibahas secara detail,
mungkin tetap mengacu pada modiñkasi gaya hidup dalam JNC 7 dan beberapa
panduan lain.7
1. Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-20
mmHg/penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinggang <94 cm untuk laki-
laki dan <80 cm untuk wanita indeks massa tubuh <25 kg/m2. Rekomendasi
penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi asupan kalori dan juga
meningkatkan aktivitas ñsik.
2. Adopsi pola makan DASH(Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat
menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mmHg. Lebih banyak makan buah,
sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak
jenuh dan total lebih sedikit, kaya potassium dan calcium.
3. Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari (100 mmol sodium/hari).
Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat.
4. Aktivitas ñsik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg.
Lakukan aktivitas fisik intensitas sedang pada kebanyakan, atau setiap hari
pada 1 minggu (total hariandapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi @10
menit).
5. Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-4
mmHg. Maksimum 2 minuman standar/hari: 1 oz atau 30 mL ethanol;
misalnya bir 24 oz, wine 10 oz, atau 3 oz 80-proof whiskey untuk pria, dan
1 minuman standar/hari untuk wanita.
6. Berhenti merokok untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara
keseluruhan.
3.3 TUBERKULOSIS PARU
3.3.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah TB yang berlokasi
pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena
adanya lesi pada jaringan paru. 8

3.3.2 Diagnosis20

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,


pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi: 8
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci
berdasar keluhan pasien.
Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang
meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk
sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga
gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada
orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien
TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah
pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia yang
berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
2. Pemeriksan Laboratorium: 8
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan
menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang
dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah
bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau
di bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani
rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert
MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan
diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi
hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria
Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya.
Dalam menjamin hasil pemeriksaan laboratorium,
diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada faskes
yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan
TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem
transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan
jika pasien bepergian langsung ke laboratorium.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan foto toraks
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang)
• Aktif lama : Tampak bercak berawan pada lapangan
paru atas yang disertai bintik-bintik kalsifikasi,
infiltrat dan garis fibrosis.
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior
lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau
penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung):
• Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis
disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk
memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus
BTA dahak negatif):
• Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari
satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari
volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB
ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang
telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan
mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.
b. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
3.3.3 Tatalaksana
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB. 8
Tahapan Pengobatan TB: 8
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan
Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT):
Tabel 3.3 OAT Lini Pertama.8
Jenis Sifat Efek Samping
Neuropati perifer
(Gangguan saraf tepi),
Isoniazid (H) Bakterisidal
psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.
Flu syndrome(gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine
Rifampisin (R) Bakterisidal berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid (Z) Bakterisidal gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Nyeri ditempat suntikan,
gangguan keseimbangan
dan pendengaran, renjatan
Streptomisin (S) Bakterisidal
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopeni.
Gangguan penglihatan, buta
Etambutol (E)
Bakteriostatik warna, neuritis perifer
(Gangguan saraf tepi).

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia: 8

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).


2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-
2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,
Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.
Catatan: 8
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di
Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan
3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah
direkomendasikan (Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini Pertama untuk pasien
Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam proses
pengadaan oleh Program TB Nasional.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1
(satu) masa pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan paduan OAT KDT.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu (1)
masa pengobatan.8
3.4 EFUSI PLEURA
3.4.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum)
pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc
cairan.1 Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau
merupakan suatu keadaan terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan
di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam konteks ini perlu di ingat
bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis,
sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat
berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga
pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,
kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5
gr/dl.1,2
a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab
lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites,
serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan
hidrotorak).3
b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi
karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita,
atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih
besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak
membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah
terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi
segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
Penyebab lainnya hemotoraks adalah:
 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan
darahnya ke dalam rongga pleura.
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta)
yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
 Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura
tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.
c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis
iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema.
Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema
sebagai salah satu komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
 Pneumonia
 Infeksi pada cedera di dada
 Pembedahan dada

d. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah
bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain4
:
 Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi
terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau
pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi
daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher,
operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke
mediastinum, granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap
duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit
trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus
torasikus dan menyebabkan kilotoraks.1,2

3.4.2 Fisiologi
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek
yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa
mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial
dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar
daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan
permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam
keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura.1
Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup
untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar
oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura
kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral
pleural parietalis 3. Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis
dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu
sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.1,2,3

3.4.3 Diagnosis20

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,


pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
3.4.4 Diagnosis20

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,


pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.

3.4.5 Diagnosis20

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,


pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai