01 3 Edy Prahasta Naskah Penelit
01 3 Edy Prahasta Naskah Penelit
Eddy Prahasta
Telp.: 0815-6260942
Email: <eddyprahasta@yahoo.com>
Alamat:
Perumahan Bukit Permata Blok G7 No. 17
Kel. Cilame, Kec. Ngamprah, 40552
Kab. Bandung Barat
2016
Peran Nyata dan Penerapan Hidrografi di dalam
Konteks Pengembangan Tol-Laut di Indonesia
& Poros Maritim Dunia
Oleh: Eddy
Prahasta
<eddyprahasta@yahoo.com>
1. Pendahuluan
Nenek moyang bangsa Indonesia memang para pelaut. Tetapi sayangnya, telah sekian lama pemanfaatan
& pengelolaan sumber-daya alam (SDA) dan sumber-daya manusianya (SDM) tidak sejalan dengan
lingkungan & kehidupan laut yang sebenarnya mendominasi wilayah Indonesia. Meskipun demikian,
untungnya, belum lama ini muncullah gagasan-gagasan penting yang kemungkinan besar dapat
membawa bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang jauh lebih baik. Gagasan-gagasan tersebut adalah
“poros maritim dunia” (PMD) dan “tol-laut” dimana (bidang) hidrografi sangat berperan aktif. Oleh
sebab itu, dengan adanya gagasan-gagasan yang penting ini beserta implementasinya sebagai program-
program pemerintah yang belum lama ini berjalan, diharapkan, sedikit-demi-sedikit, kejayaan yang
pernah digenggam olek nenek moyang kita dahulu juga dapat dinikmati kembali oleh generasi yang
akan datang.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk
menjadi negara poros maritim dunia. Potensi ini sangat besar mengingat bahwa Indonesia terdiri
dari sekitar 17-ribuan pulau, berada di daerah katulistiwa, terletak di antara dua benua (Asia &
Australia), dan dua samudera (Pasifik & Hindia). PMD merupakan sebuah gagasan yang sangat
bernuansa geostrategis & geopolitik dan dapat diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar-
pulau, pengembangan industri perkapalan & perikanan, perbaikan transportasi laut dan keamanan
maritim. Gagasan inilah yang kemudian menjadi visi Joko Widodo ketika belum lama menjabat
sebagai Presiden RI. Dengan visinya ini, beliau mengharapkan, suatu saat, Indonesia bisa menjadi negara
yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasiskan pada ekonomi kelautan, pertahanan & keamanan,
budaya maritim, dan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang di sekitar
kelautan; mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam hingga penataan pembangunan kelautan (Dahuri, 2015).
Selain kelima pilar utama di atas, pemerintahan Joko Widodo pun mengusulkan perlunya pengembangan
& pembangunan infrastruktur antar-pulau dan pantai secepatnya. Dengan demikian, maka infrastrukur
antar-pulau dan pantainya (di setiap pulau) perlu segera dibangun dan dikembangkan. “Jalan” antar-
pulau ini juga perlu benar-benar direalisasikan untuk memperlancar transportasi antar-pulau di
Indonesia. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, untuk dapat menjadi negara PMD, maka sistem
pelabuhan di Indonesia perlu dimodernisasi sesuai dengan standar internasional sehingga pelayanan &
akses di seluruh pelabuhan juga mengakomodasikan prosedur- prosedur yang berlaku secara
internasional.
Sehubungan dengan visi di atas, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai proros maritim dunia,
pemerintah telah memiliki program-program utama, yaitu: [1] penegakkan kedaulatan wilayah laut
NKRI, [2] revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, [3] penguatan dan pengembangan
konektivitas maritim, [4] rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi biodiversity, dan [5]
peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang terkait dengan kelautan (Presidenri, 2015).
Hampir bersamaan dengan populernya visi Indonesia untuk menjadi negara PMD, di lain pihak,
muncullah gagasan mengenai “Tol Laut”. Sebenarnya, “tol-laut” juga merupakan gagasan besar di
sektor maritim yang pada awalnya diusung oleh Joko Widodo sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ketika mulai menjabat sebagai Presiden RI, pada tahun 2014, beliau pun menegaskan kembali ide
besar tersebut sebagai wujud dari keberpihakannya kepada dunia maritim dan masyarakat kelautan
Indonesia. Gagasan ini rupanya sangat sesuai dengan program-program utama pemerintah dan
kelima pilar Indonesia sebagai negara PMD. Artinya, tol-laut merupakan salah satu unsur atau
bagian penting dari cita-cita Indonesia untuk menjadi negara PMD. Sehubungan dengan pentingnya
hal ini, dan juga setelah melakukan berbagai studi dan focus group discussion (FGD) dengan
Berkaitan dengan hal di atas, maka Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengalokasikan
dana hingga triliunan rupiah untuk merealisasikan program “Tol Laut”. Dana tersebut telah
digelontorkan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dan subsidi Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) tahun 2015. Sebagai langkah awal, pemerintah telah mengucurkan dana-dana
PMN untuk PT Pelni (Persero) sebesar Rp500 miliar dan untuk PT Djakarta Lloyd (Persero)
sebesar Rp350 miliar. Alokasi-alokasi PMN tersebut diperuntukkan bagi pengadaan & revitalisasi kapal-
kapal dalam rangka mewujudkan program Tol Laut. Sementara itu, subsidi pemerintah yang telah
dikucurkan melalui APBN 2015 adalah senilai Rp1,16 triliun melalui Kementerian Perhubungan
(Kemenhub); yang digunakan untuk mensubsidi angkutan pendukung program Tol Laut.
Penggunaan subsidi ini adalah untuk mendukung angkutan barang sebesar Rp. 220 miliar, angkutan
ternak Rp. 8 miliar, dan angkutan penumpang (khususnya untuk lalu-lintas di Indonesia bagian timur)
sebesar Rp. 937 miliar. Selain itu, untuk mendukung kelanjutan program yang sama, pemerintah pun
telah mengalokasikan dana APBN 2016 yang diperuntukkan bagi pendukung kelancaran arus pelayaran
sebesar Rp. 761 miliar, fasilitas pelabuhan Rp. 2,08 triliun, dan Rp. 4,65 triliun untuk pengadaan kapal-
kapal perintis (Fajriah, 2016).
Seperti halnya jalan-jalan bebas hambatan di darat, di lain pihak, sebelum jalannya dirancang,
diimplementasikan dengan baik & benar, dan kemudian ditumpangi oleh satu atau lebih
insfrastruktur di atasnya, maka tol-laut pun (khususnya komponen-komponen alur laut, pelabuhan,
berikut regulasi yang terkait dengan lalu-lintas bagi kapal-kapalnya) perlu direncanakan, dirancang,
disurvei, dan diimplementasikan, baru kemudian dapat dioperasikan. Oleh karena itu, adalah
mutlak diperlukan survei hidrografi untuk menghasilkan informasi geospasial (peta-peta) dasar
(IGD) dan atau tematik (IGT) yang menggambarkan situasi di laut dan atau daratan pantai
sekitarnya. Informasi spasial ini dapat berupa peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) 1 , peta
Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) 2 , peta laut (nautical chart) 3 , buku Nautik 4 , peta situasi
1
Peta yang dibuat oleh BIG (Badan Informasi Geospasial, atau dulu BAKOSURTANAL) dengan skala
1:500.000.
2
Peta yang dibuat oleh BIG dengan skala 1:50.000.
3
Peta (chart) yang dibuat oleh Dishidros (Dinas Hidro-Oseanografi) TNI-AL (Hydro-Oceanographic Office,
Indonesian Navy) dengan variasi skala: 1:4.000.000, 1:1.000.1000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000, 1:15.000,
dan sebagainya.
Keberadaan keseluruhan IGD & IGT di atas tentu saja akan menjamin ketersediaan informasi yang
uptodate, lengkap, dan akurat mengenai unsur-unsur: garis pantai, titik-titik kedalaman dan atau
garis-garis kontur, arus, jenis dasar laut, alur pelayaran, tempat berlabuh, informasi navigasi
(rintangan laut / bahaya navigasi, menara suar, pelampung suar), unsur-unsur perairan (stasiun
pasang-surut, batu karang, terumbu, rawa, dan hutan mangrove), unsur-unsur yang terdapat di
sekitar pantai (jalan, vegetasi, bangunan, topografi, batas administrasi, dan sungai/badan air), dan
lain sejenisnya. Meskipun demikian, seperti telah disebutkan, informasi geospasial yang pada
umumnya dituangkan ke dalam bentuk peta dua dimensi ini dihasilkan oleh serangkaian aktivitas
survei hidrografi (survey & pemetaan laut) yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu,
karena informasi ini sangat diperlukan bagi proses-proses perencanaan, perancangan, dan
pengimplementasian “tol-laut” di Indonesia beserta peletakkan infrastrukturnya, maka peran
hidrografi (baik sebagai kelembagaan maupun sebagai bidang keilmuan yang didukung oleh
kelembagaan terkait dan kemajuan teknologi yang menyertai peralatan surveinya) di dalam konteks
pengembangan “tol laut” sudah tidak diragukan lagi; bahkan bisa dianggap dominan.
Fakta bahwa Indonesia adalah negara pantai, kepulauan, dan maritim yang berlokasi di sekitar garis
katulistiwa telah “memaksanya” untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu hidrografi & maritim beserta
keikut-sertaannya di dalam keanggotaan kelembagaan-kelembagaan internasional yang terkait;
khususnya IHO & IMO. Konsekuensinya jelas, regulasi-regulasi yang terkait juga perlu diratifikasi,
diadopsi, dan kemudian diimplementasikan di Indonesia. Sehubungan dengan pentingnya hal ini,
maka kemunculan gagasan mengenai PMD & “tol-laut” telah mempertegas apa saja yang
sebenarnya perlu dilakukan dan kemudian dicapai oleh bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan
& maritim. Meskipun demikian, pengimplementasian gagasan “tol-laut” ini tentu saja bisa
dipandang dari konteks keruangan dimana peran & penerapan hidrografi5 sangat mencolok.
4
Buku yang dibuat oleh Dishidros.
5
Di dalam konteks tol-laut dan aktivitas keseharian yang merupakan aplikasi dari berbagai keilmuan
(khususnya yang tidak lepas dari aktivitas pelayaran & navigasi), dan tentunya juga dengan status Indonesia
sebagai negara maritim dan kepulauan, maka urusan (peran) bidang, aplikasi, dan kelembagaan hidrografi
biasanya juga terkait dengan bidang dan kelembagaan maritim.
Meskipun nenek moyang bangsa Indonesia telah dikenal secara luas sebagai para pelaut, tetapi cita-
cita atau harapan bahwa suatu saat bangsa Indonesia bisa menjadi negara poros maritim dunia
(PMD) adalah sebuah gagasan baru. Jika ingin segera terwujud, dengan mempertimbangkan segala
kondisi nyata yang ada, tentu saja hal ini merupakan sebuah tugas besar & berat yang memerlukan
sumberdaya manusia, biaya, dan waktu yang tidak sedikit. Meskipun demikian, tidak ada yang
mustahil jika semuanya telah dipersiapkan dan direncanakan dengan matang dan kemudian
dijalankan secara konsisten. Apalagi dengan dukungan, keterlibatan, partisipasi aktif, kerjasama
yang harmonis diantara semua komponen bangsa yang ada, dan juga dengan secara cerdas &
efisien memanfaatkan segala sumberdaya lingkungan laut yang kita miliki.
Untuk menuju ke arah itu tentu saja perlu proses dan pembelajaran yang berkesinambungan &
bertahap, bahkan sebagian perlu diuji-coba dan kemudian diimplementasikan terlebih dahulu.
Untungnya, pada saat yang hampir bersamaan, muncullah gagasan yang kedua; yaitu mengenai
“tol-laut”. Kedua gagasan ini ternyata sangat terkait-erat, gagasan yang kedua merupakan salah
satu bagian atau tahapan penting dari gagasan besar yang bertama (PMD). Sebuah keberuntungan!
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bisa mengimplementasikan gagasan yang pertama secara bertahap
dengan terlebih dahulu mengimplementasikan gagasan yang kedua. Pencapaian gagasan yang
pertama juga dapat dievaluasi dari hasil-hasil pengimplementasian gagasan yang kedua. Akibatnya,
bahasan penelitian ini didominasi oleh “tol-laut” (gagasan yang kedua).
Baik gagasan yang pertama maupun yang kedua tentu saja memiliki konteks keruangan yang kental.
Apalagi wilayah perairan negara kita juga merupakan alur laut strategis bagi lalu-lintas pelayaran
internasional. Oleh sebab itu, berdasarkan sudut pandang dan fakta tersebut, muncullah disiplin /
keilmuan, profesi, regulasi, dan kelembagaan hidrografi sebagai salah satu konteks yang penting.
Artinya, hidrografi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam usaha untuk mendukung
keberhasilan program pemerintah yang mewujudkan gagasan “tol-laut” yang pada gilirannya juga
akan mensukseskan cita-cita untuk menjadi negara PMD. Meskipun demikian, untuk menguraikan
dengan baik dan jelas mengenai peran nyata beserta penerapan hidrografi di dalam pengembangan
“tol-laut” di Indonesia beserta kaitannya dengan PMD diperlukan pemahaman yang cukup
mendalam. Oleh sebab itu, paling tidak, diperlukan sebuah penelitian (yang hasilnya kemudian
dituangkan dalam bentuk karya ilmiah) yang melibatkan berbagai literatur yang relevan dan
pemikiran stake-holder-nya.
Berkaitan dengan hal di atas, maka tulisan ini dituangkan sebagai hasil penelitian yang
pada dasarnya menguraikan peran nyata beserta penerapan hidrografi (beserta beberapa aspeknya)
di dalam pengembangan “tol-laut” dalam rangka memujudkan Indonesia sebagai negara PMD
dalam jangka panjang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (yang
Dengan metode yang dipilih, maka hasil penelitian ini akan berupa pemaparan atau deskripsi yang
disajikan dalam bentuk uraian naratif. Pada dasarnya, pemaparan ini akan menjawab atau
mendeskripsikan peran nyata beserta penerapan hidrografi di dalam pengembangan “tol-laut”
sebagaimana dinyatakan di dalam tema, sub-tema, atau judul penelitian itu sendiri. Oleh sebab itu,
peneliti banyak melakukan aktivitas studi literatur terhadap dokumen-dokumen (referensi) yang
relevan dengan objek penelitian dan dengan tahapan sebagai berikut:
Fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan & maritim telah “memaksanya” untuk mengaplikasikan
ilmu & bidang hidrografi beserta keanggotaannya di beberapa lembaga internasional; khususnya
IHO & IMO. Konsekuensinya, regulasi-regulasi yang terkait perlu diimplementasikan di Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini, maka kemunculan gagasan mengenai PMD & “tol-laut” telah
mempertegas apa saja yang sebenarnya perlu dilakukan dan kemudian dicapai oleh Indonesia
sebagai negara kepulauan & maritim. Meskipun demikian, gagasan & pengimplementasiannya,
khususnya mengenai “tol-laut”, tentu saja bisa dipandang dari konteks keruangan (geospasial) dimana
peran & penerapan hidrografi sangat mencolok.
Di dalam pengertian umum, “jalan tol” atau jalan bebas hambatan adalah suatu jalan yang dikembangkan
secara khusus bagi kendaraan-kendaraan yang bersumbu lebih dari dua (mobil, bus, truk, dan lain
sejenisnya) dan bertujuan untuk mempersingkat jarak & waktu tempuh dari satu tempat ke tempat-
tempat lainnya. Sebenarnya, gagasan dasar mengenai “tol laut”ini tidak berbeda jauh dengan ide
mengenai jalan bebas hambatan di darat. Gagasan ini berlatar-belakang pada kondisi wilayah
Indonesia yang lebih dari separuhnya yang terdiri dari wilayah perairan (laut) yang selama ini kurang
mendapatkan perhatian yang memadai. Padahal, wilayah perairan merupakan sarana dasar &
mutlak bagi transportasi di laut. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan sebuah terobosan baru
dengan memanfaatkan potensi wilayahnya. Dengan gagasan ini, maka secara konseptual, pengembangan
“tol-laut” akan dilakukan melalui elaborasi beberapa aspek penting: [1] perencanaan trayek / jalur
angkutan laut, [2] subsidi angkutan laut, [3] revitalisasi pelayaran rakyat, dan [4] pengembangan
industri berbasis komoditi wilayah (Bappenas, 2015).
Sebenarnya, penekanan realisasi gagasan “tol-laut” adalah untuk menghubungkan jalur pelayaran
rutin dari wilayah timur ke wilayah barat Indonesia (dan sebaliknya) dengan biaya-biaya logistik
yang minim (efisien). Dengan “tol-laut”, kapal-kapal (baik yang berukuran kecil maupun yang
besar) diharapkan dapat terus berlayar dengan mudah, cepat, efisien, dan aman hingga arus
perpindahan barang, jasa, dan manusia dari dan ke seluruh wilayah di Indonesia dapat terlaksana
secara efektif & efisien. Di samping itu, juga diharapkan bahwa pengimplementasian gagasan “tol- laut”
akan berdampak pada peningkatan akses niaga dari negara-negara Pasifik bagian selatan ke negara-
negara Asia bagian timur.
6
Sejalan dengan gagasan tersebut, serikat pekerja BUMN juga telah mempresentasikan konsep “tol-
laut” sebagai pembangunan sistem supply chain yang terintegrasi dari suatu kapal ke kapal-kapal
lain. Dengan konsep ini, maka sistem supply chain logistik nasional dapat bekerja dengan efisien.
6
Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu; Arif Poyuono.
Berkaitan dengan hal ini, maka menurut ketua serikat pekerja BUMN yang telah disebutkan,
beberapa negara di dunia sebenarnya sudah cukup lama menerapkan gagasan strategis ini meskipun
mereka sebenarnya sama sekali tidak memiliki wilayah perairan laut yang luas seperti halnya
Indonesia. Singapura adalah salah satu contoh negara yang dimaksud. Dengan menerapkan gagasan
“tol laut”, mereka bisa membuat jalur-jalur pelayaran yang sangat efisien bagi kapal-kapal
dagangnya dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan ke Singapura terlebih dahulu sebelum
akhirnya ke Asia untuk urusan logistik dan barang-barangnya8.
Untuk memudahkan komunikasi & pemahaman bersama terhadap konsep atau gagasan mengenai
“tol-laut” beserta implementasinya, maka dibuatlah skema atau “arsitekturnya”. Sesuai dengan
skema ini, maka pada program “tol-laut” ini akan dibangun 24 pelabuhan strategis di Indonesia;
termasuk pengerjaan pengerukkan pengembangan terminal kontainer, beserta pembebasan
lahannya. Selain itu, untuk mendukung gagasan “tol-laut” dengan skema yang sama, juga akan
dikembangkan program-program “short sea shipping”, fasilitas kargo umum & bulk, pelabuhan
non-komersial, pelabuhan komersial lainnya, transportasi multi-moda untuk mencapai pelabuhan,
revitalisasi industri galangan kapal, dan lain sejenisnya.
Ternyata, pengembangan “tol-laut” tidak dapat dilakukan begitu saja. Program ini pun memerlukan
program pendukung. Oleh sebab itu, sebagai komplemen terhadap program “tol-laut”, pemerintah
juga mengembangkan program transportasi penyeberangan yang telah dituangkan di dalam
dokumen “Arah Kebijakan Pengembangan Transportasi Penyeberangan 2015-2019”. Pada program
pendukung tersebut, terdapat 3 koridor penyeberangan yang mencakup: [1] sabuk utara (yang berisi
lintas Tj. Pinang – Sintete yang belum terhubung dan akan diselesaikan pada periode 2017—2019);
7
Idealnya, “saling-sambut” logistik nasional ini dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau pribumi. Meskipun
demikian, nampaknya, di dalam urusan ini juga dimungkinkan bagi pelaku-pelaku dari pihak asing. Di dalam
pustaka (PR, 2016) dijelaskan bahwa Jepang & Tiongkok berminat dalam investasi baru di sektor
transportasi laut antar-pulau (“Angkot Laut”) untuk angkutan logistik. Rencana investasi tersebut sudah
dalam tahap uji kelayakan.
8
Lihat juga pustaka (Yovanda, 2015).
Dari pemaparan di atas nampak jelas bahwa di dalam gagasan “tol-laut” terkandung aspek-aspek penting
yang berupa konektivitas (melalui media laut), logistik/sumber-daya yang saling- dipertukarkan, beserta
unsur-unsur (infrastruktur) pendukungnya (terutama kapal-kapal besar & kecil beserta pelabuhan-
pelabuhannya). Ini semua merupakan tantangan yang perlu segera ditangani dan dibuatkan solusinya
dalam beberapa tahun ke depan.
Aspek logistik / sumber-daya yang bisa saling dipertukarkan (sistem supply chain logistik nasional)
erat kaitannya dengan keberadaan informasi atau sistem informasi yang terpadu mengenai potensi-
potensi daerah masing-masing. Dengan demikian, untuk mendukung keberhasilan program “tol-
laut”, juga perlu dikembangkan sistem informasi logistik, komoditi, atau sumber-daya di setiap
daerah yang terkoneksi dan terintegrasi dengan sistem logistik nasional. Dengan adanya sistem
informasi seperti ini, maka baik pemerintah pusat maupun daerah (dan juga masyarakat) tidak akan
menemui banyak kendala dalam mengelola & mengatur “lalu-lintas” pertukaran sumberdaya ini
secara efisien dengan menggunakan berbagai jenis kapalnya yang berlayar di atas “tol-laut”; biaya
angkutan logistik menjadi minimalis, aktivitas-aktivitas niaga makin berkembang, dan tingkat
ekonomi masyarakat makin tinggi & sejahtera.
a) Bidang hidrografi.
b) Kelembagaan hidrografi.
c) Kelembagaan maritim.
d) Implikasi-implikasinya.
3.3.1 Hidrografi
Hidrografi, yang oleh beberapa pihak juga dikenal sebagai geodesi kelautan, adalah ilmu terapan
yang berurusan dengan pengukuran dan pendeskripsian unsur-unsur yang terdapat di area laut dan
pantai dengan tujuan utama untuk mendukung navigasi & memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
9
Lihat pustaka (Dishidros, 2016) & (Sudrajat, 2003).
IHO beranggotakan negara-negara yang berkepentingan dengan navigasi laut & keselamatan
pelayaran. Oleh sebab itu, di setiap negara anggota IHO ditunjuk sebuah kantor hidrografi nasional yang
diberi kewenangan sejenis. Dengan demikian, semua publikasi internasional yang dikeluarkan oleh IHO
juga akan diratifikasi oleh kantor hidrografi nasional negara yang bersangkutan. Di Indonesia,
kantor hidrografi yang dimaksud adalah Dinas Hidro-oseanografi (Dishidros) TNI-AL; ditetapkan
berdasarkan Keppres 164 tahun 1960 dan Keppres 288 tahun 1967. Lembaga hidrografi nasional ini
merupakan badan resmi yang berwenang dalam menerbitkan, merevisi, dan meng- update peta-
peta laut berikut ketentuan teknisnya, standar mutu penyelenggaraan survei hidrografi, akreditasi
kualifikasi hidrografer, penerbitan buku nautika (daftar pasut, berita pelaut, daftar pelabuhan,
daftarsuar, daftar rambu, dan almanak nautika), aturan pelayaran, dan lain sejenisnya
10
yang berkaitan dengan hidrografi, navigasi, survei pemetaan laut, dan pelayaran .
10
Ibid.
Selain terkait dengan konteks hidrografi beserta kelembagaannya, PMD & “tol-laut” tentu saja juga
terkait dengan kelembagaan maritim dunia atau IMO (International Maritime Organizational) yang
bermaskas di Inggris. Salah satu dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini dikhususkan
untuk menangani masalah-masalah kemaritiman; terutama mengenai pelayaran internasional.
Dengan demikian, tugas IMO antara lain adalah menetapkan standar internasional untuk
keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan bagi industri pelayaran internasional hingga
berperan dalam menciptakan kerangka regulasi bagi industri pelayaran secara adil dan efektif.
Sebagai negara anggota IMO sejak 18 Januari 1961, Indonesia masih menjadi anggota Dewan dan
telah meratifikasi 19 konvensi IMO terkait aturan keselamatan pelayaran dan perlindungan laut.
Sebagai anggota IMO, Indonesia juga memiliki kewajiban yang antara lain adalah: [1] sebagai
coastal state: menyediakan rambu-rambu navigasi pelayaran, memberikan tanda bahaya bagi
keselamatan pelayaran, memberikan pelayanan hidrografi & sistem pelaporan kapal, pencegahan
pencemaran, dan lan sejenisnya; [2] sebagai port state: melakukan pengawasan terhadap kapal-
kapal asing yang masuk pelabuhan, menyediakan fasilitas penampungan limbah, dan
menyampaikan laporan; [3] sebagai flag state: menerbitkan sertifikat, memberikan persetujuan,
melaksanakan survei, memonitor dan mengaudit organisasi yang diberi limpahan wewenang,
melaksanakan investigasi, dan lain sejenisnya.
Pada prakteknya, IMO dan IHO sering bekerja-sama dan saling melengkapi. Sebagai misal adalah dalam
pekerjaan survei hidrografi, pemasangan rambu-rambu bahaya navigasi, hingga pada pengembangan
ECDIS (electronic char display & information system); IHO membuat standar mengenai isi
(content) & tampilan (display) peta elektronik beserta format pertukaran data dijitalnya, sementara
IMO membuat standard mengenai kinerja ECDIS-nya untuk keselamatan pelayaran. Selain itu, di
lain pihak, sebagai flag state, Indonesia juga perlu melibatkan beberapa lembaga nasional dalam
pengimplementasian instrumen IMO. Lembaga-lembaga tersebut adalah Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Kominfo, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bakamla (Badan Keamanan Laut),
Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Basarnas, Dishidros TNI-AL, dan institusi
/ stakeholder lainnya yang terkait.
3.4 Implikasi-Implikasinya
Sebagai negara maritim & kepulauan dan akibat dari terbentuknya kelembagaan-kelembagaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hidrografi, dan kemaritim dunia beserta keanggotaan di
dalamnya, di dalam konteks keruangan “tol-laut”, maka terdapat beberapa implikasinya terhadap
Indonesia yang berkaitan erat dengan hidrografi & kemaritiman beserta aplikasi & teknologinya; di
a) Batas laut perlu ditetapkan oleh setiap negara pantai untuk menjamin kepastian hukum batas-
batas lautnya, baik dalam konteks internasional maupun nasional. Aktivitas penetapan batas
laut ini merupakan implementasi dari konvensi hukum laut PBB atau UNCLOS yang telah
disepakati sejak tahun 1982 dan mulai berlaku pada tanggal 16
November 1994. Setelah meratifikasinya dengan keluarnya UU No. 17 tahun 1985,
Indonesia bekewajiban untuk secara konsisten melaksanakan ketentuan yang tercantum
di dalamnya. Oleh sebab itu, semua produk perundang-undangan nasional tidak boleh
bertentangan dengan konvensi ini, termasuk yang berkaitan dengan penetapan batas
laut sebagai bagian penting dalam penegakkan hukum laut internasional. Sementara itu,
pada konteks nasional, penetapan batas (laut) daerah baru menjadi salah satu topik yang
penting setelah keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah”.
b) Pelabuhan, pada umumnya, merupakan titik awal sekaligus lokasi tujuan pelayaran atau
navigasi. Ia menjadi nodes di dalam sebuah jaringan transportasi. Oleh sebab itu, keberadaan
pelabuhan adalah mutlak di dalam konsep “tol-laut”. Sehubungan dengan hal ini, sudah
banyak regulasi IHO, IMO, dan nasional yang berkenaan dengan pelabuhan berikut
pengaturannya (di antaranya adalah PP No. 61 tahun 2009 tentang “Pelabuhan”, Peraturan
Menteri Perhubungan RI No. PM51 tahun 2015 tentang “Penyelenggaraan Pelabuhan
Laut”, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 53 tahun 2002 tentang “Tatanan
Pelabuhan Nasional”, dan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 21 tahun 2007
tentang “Sistem dan Prosedur Pelayanan Kapal, Barang, dan Penumpang pada Pelabuhan
Laut”).
c) Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan rute pelayaran & penerbangan bagi
kapal dan pesawat udara asing di wilayah perairan Indonesia. Secara formal,
keberadaan ALKI terkait dengan peraturan/ketentuan: [1] UU No. 17 tahun 1985
tentang “Pengesahan (ratifikasi) konvensi PBB mengenai hukum laut (UNCLOS
1982)”; [2] PP No. 37 tahun 2002 tentang “Hak & Kewajiban Kapal & Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut
Kepulauan yang Ditetapkan”; [3] PP No. 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”; [4]
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun 2011 tentang “Alur Pelayaran di
Laut”.
d) Alur pelayaran sangat diperlukan bagi kapal-kapal yang sedang berlalu-lintas di laut.
Oleh sebab itu, setiap kapal wajib berlayar di alur pelayaran yang telah ditentukan
sehingga penataan & pengaturan ruang mutlak diperlukan; sekaligus mengantisipasi
e) Traffic separation scheme (TSS) adalah suatu tipe aturan lalu-lintas dimana navigasi
kapalnya diatur secara ketat (di area yang lalu-lintasnya relatif padat). Secara praktis, di area
yang bersangkutan akan dibuatkan jalur-jalur lintasan kapal untuk mencegah terjadinya
tabrakan. Tipe aturan ini telah diformalkan pada “Konvensi Regulasi Internasional dalam
Pencegahan Tabrakan di Laut” tahun 1972 (Convention of the International Regulations
for the Preventing of Collisions at Sea; COLREGs’72) dan mulai berlaku sejak 15 Juli
1977. Selain diadopsi oleh IMO, regulasi ini juga diatur atau setidaknya disebutkan di
dalam beberapa peraturan nasional: [1] PP No. 5 tahun
2010 tentang “Kenavigasian”, [2] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun
2011 tentang “Alur Pelayaran di Laut”; [3] UU No. 17 tahun 2008 tentang “Pelayaran”, dan
lain sejenisnya.
f) Di dalam konteks navigasi atau keamanan pelayaran, juga dikenal Vessel Traffic
11
Services yang pada umumnya terdapat di sekitar pelabuhan utama dan TSS . VTS
adalah sistem yang digunakan untuk mengatur lalu-lintas pelayaran kapal di perairan
yang padat seperti halnya pelabuhan, alur perairan pedalaman, dan selat. Sistem ini
diterapkan sesuai dengan konvensi SOLAS12 chapter V/12 dan IMO resolution A.857
(20). Sementara payung hukum nasionalnya di antaranya adalah [1] UU RI No, 17
tahun 2008 tentang “Pelayaran”; [2] PP No, 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”; [3]
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun 2011 tentang “Alur Pelayaran di
Laut”; dan [4] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM26 tahun 2011 tentang
“Telekomunikasi Pelayaran”.
g) Automatic Identification System (AIS) adalah suatu alat atau sistem pelacakan otomatis yang
digunakan pada kapal dan sistem pelayanan lalu-lintas kapal (VTS) untuk mengidentifikasi,
mendapatkan informasi mengenai kapal secara elektronik, dan melaksanakan pertukaran
data baik dengan kapal-kapal lain yang berada di sekitarnya
maupun dengan stasiun pantai yang terdekat. Tujuan utama penggunaan AIS adalah
11
Keberadaan VTS, selain di pelabuhan, terkadang juga disebabkan oleh keberadaan TSS di suatu area. Hal
ini disebabkan karena di area yang bersangkutan terdapat lalu-lintas kapal yang pada dan oleh sebab itu juga perlu
bantu oleh kehadiran VTS.
12
Safety of life at sea (konvensi mengenai keselamatan jiwa di laut).
4. Pembahasan
Ternyata, di dalam gagasan “tol-laut” beserta konteks logisnya, terdapat banyak subjek yang perlu
dibahas lebih lanjut dan kemudian diimplementasikan secara bertahap. Meskipun demikian, agar
lebih fokus, pembahasan ini dibatasi pada subjek-subjek mengenai survei hidrografi, penentuan
batas-batas laut, pulau-pulau kecil terluar, kawsan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS,
VTS, AIS, dan lembaga-lembaga terkait seperti halnya Dishidros TNI-AL.
13
Survei awal yang bertujuan untuk menemukan objek-objek logam (yang berada di dekat atau pada
permukaan dasar laut) dan memetakan unsur-unsur yang dapat membahayakan pelayaran seperti halnya
kedangkalan, bangkai kapal, jalur kabel / pipa (termasuk survei deteksi logam dengan magnetometer), dan
lain sejenisnya.
14
Tabel yang memuat informasi mengenai orde-orde di dalam survei hidrografi beserta akurasinya dapat
dilihat pada dokumen publikasi IHO dan SNI; lihat pustaka (SNI, 2010).
Demikian peliknya titik-titik dasar dan batas-batas laut ini karena banyak aspek penting &
menentukan yang terdapat di dalamnya; politik, diplomasi, kedaulatan negara, luas wilayah, geo-
strategi, pengelolaan sumber-daya-alam laut, penegakkan hukum (terutama terhadap pelaku illegal
fishing), dan akhirnya urusan ekonomi (aset negara). Oleh sebab itu, tidak sedikit persoalan yang
terkait di dalamnya hingga perundingan antar-dua negara yang bertetangga (yang bisa berulang &
melibatkan pakar dari negara masing-masing) mengenai titik-titik dasar ini cukup melelahkan dan
bisa memerlukan waktu hingga puluhan tahun; usulan mengenai lokasi-lokasi titik-titik ini oleh
suatu negara belum tentu disetujui oleh tetangganya (hingga belum bisa didaftarkan di sekertariat
PBB). Sebagai ilustrasi, penyelesaian (sengketa) perbatasan Indonesia dengan Vietnam saja baru
selesai dalam waktu 30 tahun (Tempo, 2010). Sementara dengan Singapura, beberapa titik dasar
masih dalam perundingan. Dengan demikian, bisa dibayangkan kondisi Indonesia yang berbatasan
dengan 10 negara tetangga (belum lagi mengenai persoalan sejenis dalam penentuan batas-batas
laut daerah/nasional dalam konteks otonomi & kewenangan daerah yang terkait dengan UU No. 22 tahun
1999); masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa.
Meskipun demikian, dengan segala kegentingan yang terdapat di dalam persoalan batas-batas laut
ini, nampaknya tidak semua pihak yang menyadari bahwa peran & penerapan hidrografi sangat
16
menentukan. Sebab, untuk menentukan titik-titik dasar, pemerintah (yang biasanya menunjuk
BIG dan atau Dishidros TNI-AL sebagai pelaku utama) terlebih dahulu melakukan survei awal
terhadap titik-titik potensial, menentukan datum vertikal & horrizontal, melakukan survei
hidrografi, dan kemudian menganalisis titik-titik potensial tersebut yang benar-benar akan
diusulkan sebagai titik-titik dasarnya.
15
Lihat pustaka (Djunarjah E. Dkk, 2005) & (Ravin M., 2005).
16
UU RI No. 43 tahun 2008 tentang “Wilayah Negara”; khususnya pasal 10.
Menurut PP No. 62 tahun 2010, pulau terkecil adalah pulau yang memiliki luas lebih kecil atau
sama dengan 2 ribu kilometer persegi (beserta kesatuan ekosistemnya). Sedangkan pulau-pulau
kecil terluar adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang
menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum laut internasional & nasional.
Setelah teridentifikasi, untuk kemudian dianalisis & ditelitinya lebih jauh lagi mengenai
keberadaan, potensi, fungsi dan kemungkinan pengelolaannya, maka baik pada atau di sekitar
pulau-pulau kecil terluar tersebut perlu dilakukan survei hidrografi. Dengan demikian, bisa
dibayangkan bagaimana peran & penerapan hidrografi di Indonesia pada saat ini setelah
17
teridentifikasinya 92 pulau terluar .
17
Daftar nama-nama ke-92 pulau terluar di Indonesia berikut nama-nama negara yang berbatasan dengannya
sudah banyak tersedia, diantaranya adalah di “https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_terluar_Indonesia”.
18
Sedemikian pentingnya persoalan mengenai kawasan pesisir ini hingga pemerintah telah
mengeluarkan beberapa UU/peraturan yang berkaitan dengannya; di antaranya adalah [1] UU
No.27 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, [2] Peraturan
Menteri Kelautan & Perikanan No. Per.17/MEN/ 2008 tentang “Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil”, [3] Peraturan Menteri Kelautan & Perikanan No. Per.17/PERMEN- KP/2013
tentang “Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [4] UU No.1 tahun 2014
tentang “Perubahan atas UU No.27 tahun 2007”, [5] Peraturan Presiden No.122 tahun
2012 tentang “Reklamasi di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [6] PP No.64 tahun 2010
tentang “Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [7] Peraturan Presiden No.73 tahun
2015 tentang “Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil Tingkat
Naional”, dan lain sejenisnya.
4.5 Pelabuhan
Menurut dokumen “Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019 & Implementasinya 2015”,
di dalam program tol-laut akan dibangun 24 pelabuhan strategis & 65 pelabuhan penyeberangan sebagai
komplemennya. Pengembangan & pemeliharaan pelabuhan sebanyak ini, sesuai dengan spesifikasi
masing-masing, tentu saja memerlukan survei-survei hidrografi. Dengan survei-survei ini, maka
akan diketahui beberapa karakteristik penting (arus, pasang-surut, bentuk permukaan / kedalaman dasar
laut, keberadaan & sedimen, dan situasi detil daerahnya) yang diperlukan untuk pengembangan &
pemeliharaan (sebagai misal pengerukan karena terjadinya pendangkalan) pelabuhan, kolam
pelabuhan, dermaga berikut alur-alur masuk-keluar pelabuhannya. Oleh sebab itu, akan tersedia
banyak pekerjaan (dalam jangka pendek & panjang) dimana peran & penerapan
hidrografi tidak diragukan lagi.
18
Subjek mengenai pulau-pulau kecil terluar dan/atau pulau-pulau yang terluar, secara umum, termasuk ke
dalam subjek kawasan pesisir karena pulau-pulau kecil terluar dan/atau pulau-pulau yang terluar merupakan
bagian dari kawasan pesisir. Dengan demikian, tidak mengherankan jika beberapa UU atau PP mencakup
subjek-subjek mengenai pulau-pulau kecil terluar, pulau-pulau yang terluar, dan kawasan/wilayah pesisir di
dalam sebuah UU atau PP.
19
Lihat juga pustaka (Alif TF., 2015).
4.8 TSS
Dengan padatnya lalu-lintas pelayaran internasional, nasional, maupun tradisional, maka juga perlu
dibuat skema pemisahan lalu-lintas laut (traffic separation scheme) untuk lebih menjamin keamanan
& keselamatan pelayaran, baik secara umum maupun berkenaan dengan implementasi gagasan “tol-laut”.
Sebagai pendekatan, pemerintah bisa memprioritaskan, merancang, dan segera menerapkan TSS di ke-
4 jalur pelayaran internasional milik Indonesia yang sudah terbukti padat dan memerlukan
penanganan yang cepat. Setelah itu, perancangan & penerapan yang sama juga bisa dilakukan di
beberapa Selat di Indonesia yang telah terbukti padat lalu-lintasnya; Selat Malaka, Selat Sunda, Selat
Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Selat Wetar. Di lain pihak, untuk memastikan (atau sebagai
indikator) seberapa besar kepadatan lalu-lintasnya di lokasi TSS yang potensial beserta arah-arah
pergerakan kapal-kapalnya, pihak pelaksana bisa memperhatikan data AIS dari sistem pemantauan
yang sudah tersedia. Jika lokasi TSS potensial tersebut sudah ditentukan, maka pekerjaan selanjutnya
adalah melakukan studi kelayakan, survei hidrografi, dan kemudian memplotkan jalur/garis TSS-nya di
peta laut sesuai rancangan dan kondisi lingkungan hidrografisnya.
4.9 VTS
Gagasan “tol-laut” tentu saja tidak bisa lepas dari aspek navigasi & keamanan pelayaran. Oleh
sebab itu, ia juga memerlukan Vessel Traffic Services (VTS), yang pada umumnya terdapat di
sekitar pelabuhan utama dan TSS, untuk mengatur lalu-lintas pelayaran kapal-kapalnya di perairan
yang padat seperti halnya pelabuhan, alur perairan pedalaman, dan selat. Keberadaan VTS di dalam
konteks “tol-laut” pun perlu mempertimbangkan kondisi lingkungan hidrografisnya.
20
Lihat juga pustaka (Rustam, 2015).
22 23 24
Berdasarkan PP No.23 tahun 1951 , Keppres 164 tahun 1960 , dan Keppres 288 tahun 1967 ,
ditetapkan bahwa Dishidros menjadi wakil negara di Lembaga Hidrografi Internasional (IHO) dan
Komisi Hidrografi Asia Timur atau East Asia Hydrographic Commission (EAHC). Selain itu,
Dishidros juga menjadi anggota delegasi pemerintah RI di beberapa organisasi internasional yang terkait
dengan Hidrografi, Oseanografi, dan Navigasi pelayaran seperti halnya International Maritime
Organization (IMO), Inter-Government Oceanographic Commision (IOC), United Nations
Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN), dan United Nations Group of
Experts on Geographical Names (UNGEGN).
Sebagai Lembaga Hidrografi Militer, Dishidros bertanggung jawab untuk menyediakan data & informasi
Hidro-oseanografi yang akurat & mutakhir sebagai data dasar yang akan dianalisa bagi kepentingan
strategi pertahanan nasional. Sedangkan sebagai Lembaga Hidrografi Nasional, Dishidros memiliki
tanggung jawab untuk menjaminan keselamatan navigasi pelayaran di seluruh wilayah perairan
yurisdiksi NKRI. Sementara itu, untuk kepentingan keselamatan navigasi
pelayaran, Dishidros memiliki kewenangan & legalitas tunggal di bidang hidrografi dalam
21
Lihat pustaka (Dishidros, 2014).
22
Tentang “Pejabatan-Pejabatan Hidrografi Pelayaran Sipil”.
23
Tentang “Penggabungan pejabatan Hidrografi jawatan pelayaran Dep. Perhubungan Laut pada Jawatan
Hidrografi Angkatan Laut”.
24
Tentang “Organisasi Hidrografi Internasional”.
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
a) Baik visi mengenai poros maritim dunia (PMD) maupun gagasan mengenai “tol-laut”
memiliki konteks keruangan yang kental dimana peran kunci dan penerapan hidrografi
sudah tidak diragukan lagi. Artinya, peran & penerapan hidrografi sangat mendukung
baik pengimplementasian gagasan “tol-laut” maupun visi mengenai PMD.
b) Di dalam visi PMD & konteks “tol-laut”, dapat dikenali beberapa subjek penting
dimana peran & penerapan hidrografi sangat mencolok & tergambarkan dengan jelas;
bidang & kelembagaan hidrografi itu sendiri, batas-batas laut, pulau-pulau terkecil
terluar & pulau-pulau terluar, kawasan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS, VTS,
AIS, dan Dishidros TNI-AL. Banyak potensi pekerjaan, survei, penelitian, dan analisis
hidrografi yang terdapat di dalam subjek-subjek penting tersebut.
c) Berdasarkan pengalaman (de facto) dan tugas pokok beserta fungsinya (de jure), maka sudah
tidak diragukan lagi bahwa Dishidros TNI-AL memiliki peran kunci di dalam
pengimplementasian visi Indonesia sebagai PMD maupun gagasan “tol-laut” sesuai
dengan konteksnya.
d) Untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai visi PMD & pengimplementasian
gagasan “tol-laut”, diperlukan pemahaman & dukungan penuh dari masyarakat berikut
partisipasi-aktif beserta kerjasama yang harmonis diantara komponen-komponen
bangsa; Dishidros TNI-AL, KKP, Bakamla, Kementerian Perhubungan, BIG, Lapan, BPPT,
Universitas, dan lembaga-lembaga lain yang relevan.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah:
a) Visi mengenai PMD & gagasan mengenai “tol-laut” beserta peran & penerapan
hidrografi di dalamnya perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat luas dalam
bentuk-bentuk yang lebih mudah dipahami.
b) Subjek-subjek penting yang terdapat di dalam konteks “tol-laut” di atas perlu
dieksplorasi dan dianalisis lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan nasional
secara umum dan lembaga-lembaga yang relevan secara khusus.
6. Catatan Akhir
Pada masa yang akan datang, dengan visi Indonesia sebagai PMD dan sedang menjalankan
program “tol-laut”, diharapkan, Dishidros tidak sekedar melakukan tugas pokok & fungsinya
semata dalam menjalankan rutinitas survei & pemetaan hidrografi dan kemudian menyajikannya ke
dalam bentuk-bentuk IGD & IGT kelautan (khususnya peta laut dan lain sejenisnya); baik untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan internal maupun eksternal. Untuk meraih nilai tambah, prestasi
yang lebih tinggi, meningkatkan pelayanan terkait produk-produknya, melayani kebutuhan yang
bersifat strategis & bernuansa “kecerdasan”, dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan pihak
pengambilan keputusan, maka Dishidros TNI-AL perlu mempersiapkan & membuat produk-
produk atau jasa lainnya yang berupa hasil-hasil penelitian atau analisis lanjut terhadap produk-
produk IGD & IGT yang selama ini telah dihasilkannya.
Masalah, keilmuan, dan pekerjaan profesional yang terkait dengan penentuan batas-batas laut,
pulau-pulau kecil terluar, kawasan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS, VTS, dan AIS
merupakan subjek-subjek penting dimana hidrografi beserta penerapannya sangat berperan di
dalam konteks “tol-laut” & PMD. Sehubungan dengan hal ini, maka sebenarnya sudah cukup
banyak program kerja, analisis, dan penelitian yang bisa dikembangkan berdasarkan subjek-subjek
penting ini sebelum beranjak pada subjek-subjek lainnya yang juga penting (sebagai misal adalah
pengaturan & pengelolaan jaringan / utilitas bawah air yang di luar konteks PMD & “tol-laut” yang
dibahas). Kelembagaan & personil Dishidros TNI-AL, sebaiknya, segera mengambil peran & aktif
di dalam di aktivitas-aktivitas pengeksplorasian & penelitian terhadap subjek-subjek tersebut.
Dengan statusnya sebagai kantor hidrografi (wakil IHO), Dishidros menjadi lembaga yang terdepan
di bidang hidrografi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa ia sangat berpotensi untuk
mengkoordinasikan & mengarahkan masyarakat hidrografi Indonesia. Oleh karena itu, lembaga ini perlu
mempersiapkan segala sesuatunya. Meskipun demikian, jika pengembangan keilmuan, keorganisasian,
regenerasi personil, dan modernisasi peralatan survei & pemetaan Dishidros TNI- AL sendiri tidak
dilakukan dengan baik, maka potensi besar ini akan hilang begitu saja hingga
Untuk mencapai itu semua, baik secara kelembagaan maupun personil, tentu saja Dishidros TNI-
AL perlu terlebih dahulu mempersiapkan diri; dengan lebih membuka diri, menerima usulan-usulan
dari berbagai pihak, siap menghadapi perubahan, selalu meningkatkan wawasan & mengikuti
perkembangan IPTEK terkini, bersikap kreatif dalam mengembangkan program kerja, penuh
inisiatif dengan motivasi yang tinggi, mengembangkan organisasi & kemampuan personil,
melakukan sosialisasi dan persentasi mengenai regulasi & perkembangan teknologi hidrografi
kepada masyarakat luas, melakukan koordinasi & kerjasama dengan lembaga-lembaga yang
relevan, dan meningkatkan peran & kontribusinya (solusi hidrografisnya) baik di tingkat nasional
maupun internasional.