Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrom Down


Sindrom down adalah sebuah kelainan pada seseorang yang disebabkan oleh
ketidak sempurnaan pada pembentukan kromosom. Peristiwa ini sebenarnya sudah
diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr. Langdon Down dari Inggris, tetapi baru pada awal
tahun 1960an ditemukan diagnosisnya secara pasti yaitu dengan melakukan
pemeriksaan kromosom. Dahulu kelainan ini dikenal dengan mongoloid atau
mongolism karena penderita mempunyai gejala klinis yang khas yaitu wajahnya
seperti bangsa Mongol dengan mata yang sipit membuju ke atas. Namun untuk
menghindari pelecahan ras tertentu sehingga nama yang sering di gunakan adalah
sindrom down (1).
Sindrom down (bahasa Inggris: Down syndrome) adalah satu kerusakan atau
cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental Pengertian lain tentang
sindrom down adalah kelainan salah satu tunagrahita dimana individu memiliki
tingkat inteligensia yang berada di bawah rata-rata yang disertai dengan ketidak
mampuan dalam adaptasi prilaku dalam masa perkembangan (2,3).

1
Sindrom Down termasuk dalam kelainan psikologis dengan kapasitas kognitif,
dan bukan merupakan kelainan fisik dengan ciri yang khas saja. Sindrom down
merupakan bentuk kelainan genetik yang mengakibatkan terjadinya kelainan pada
kromosom dengan penyebab yang sangat kompleks sehingga anak terlahir dengan
cacat congenital, hal ini disebabkan oleh kelebihan satu salinan kromosom 21 atau
yang biasa disebut dengan trisomi 21 (4,5).
Sindrom down merupakan suatu kumpulan gejala akibat dari abnormalitas
kromosom, biasanya kromosom 21, yang tidak dapat memisahkan diri selama meiosis
sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Perkembangan tubuh dan kinerja
otak akan berubah jika terdapat kromosom ekstra atau tidak normal, dan itulah yang
menjadi penyebab sindrom down. Menurut Chaplin1991 sindrom down adalah satu
kerusakan atau cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya
tebal, dan retak-retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan matanya miring (6).
Sedangkan menurut Kartono sindrom down adalah suatu bentuk
keterbelakangan mental, disebabkan oleh satu kromosom tembahan. IQ anak
sindrom down biasanya dibawah 50. Penderita dengan tanda khas sangat mudah
dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang
relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala
mendatar, penderita sindrom down mempunyai paras muka yang hampir sama
seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang
datar. Pangkal hidungnya pendek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di
sudut dalam. Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan
lidah selalu terjulur. Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar
(macroglossia). Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur serta otot yang lemah
(hypotomus) ; mengakibatkan pertumbuhan terganggu (terlambat dalam proses
berguling, merangkak, berjalan, berlari dan berbicara) Sejalan dengan ciri ciri dari
down sindrom Adapun gejala-gejalanya yang dapat dilihat yaitu:

2
1. Anak-anak yang menderita kelainan ini umumnya lebih pendek dari anak yang
umurnya sebaya
2. Kepandaiannya lebih rendah dari normal
3. Lebar tengkorak kepala pendek, mata sipit dan turun, dagu kecil yang mana lidah
kelihatan menonjol keluar dan tangan lebar dengan jari-jari pendek
4. Pada beberapa orang, mempunyai kelaianan jantung bawaan. Juga sering
ditemukan kelainan saluran pencernaan seperti atresia esofagus (penyumbatan
kerongkongan) dan atresia duodenum, jugaa memiliki resiko tinggi menderita
leukimia limfositik akut.Dengan gejala seperti itu anak dapat mengalami
komplikasi retardasi mental, kerusakan hati, bawaan, kelemahan neurosensori,
infeksi saluran nafas berulang, kelainan GI (6).
Anak down sindrom adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental
dan fisik saat bayi masih berada dalam kandungan. Mereka mengalami masalah
lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu, lambat untuk berjalan,
perkembangan otorik halus dan berbahasa atau berbicara. Penderita down sindrom
mempunyai sikap atau perilaku spontan, sikap ramah, ceriah, cermat sabar dan
bertoleransi. Namun kadang kala mereka akan menunjukkan perilaku yang nakal
dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ciri-ciri utama dari anak down sindrom mereka
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain (2,7).

3
B. Teori Terjadinya Sindrom Down (Etiologi)
Sindrom down disebabkan oleh adanya satu ekstra kromosom (bagian sel
tubuh yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
karakteristik manusia) pada penderita. Kromosom ekstra ini adalah pada kromosom
21. Adanya ekstra duplikat kromosom 21 ini menimbulkan pertumbuhan dan
perkembangan fisik khas pada penderita. Kemampuan intelektual penderita juga
berada dibawah rata-rata dibandingankan dengan level intelektual individu normal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan gen, sindrom down dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Trisomi 21
Trisomi merupakan 3 buah Salinan kromosom yang berjumlah lebih banyak dari
normal yang seharusnya sepasang. Merupakan sebagian besar (95%) dari kasus
sindrom down. Keadaan ini bukan kelainan keturunan, kromosom 21 merupakan
kasus aksidental pada saat pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam
kandungan. Kelangsungan hidup embrio dengan trisomy 21 bergantung atas
keseimbangan genetic dari kromosom spesifik yang terlibat. Usia ibu saat
kehamilan berperan penting saat terhadao terjadinya trisomi 21.
2. Mosaic sindrom down
Pada tipe mosaic embrio memiliki 2 deretan sel yang kromosom berbeda meskipun
berasal dari zigot tunggal yang disebabkan oleh non-disjunction atau lambatnya
penyatuan kromosom pada awal embryogenesis atau pada saat pembelahan sel.
Penderita mosaic sindrom down juga memiliki ekstra kromosom 21 pada beberapa
bagian sel tubuh mereka. Sel yang lainnya memiliki standar normal kromosom.
Kasus mosaic sindrom down terjadi sekitar 2% dari seluruh penderita sindrom
down tipe ini merupakan tipe yang sangat jarang.
3. Translokasi sindrom down
Translokasi merupakan perpindahan kromosom yang terjadi pada badan sel.
Biasanya proses ini terjadi pada masa sebelum atau pada saat konsepsi (pada masa
kehamilan yang sangat awal). Kejadian translokasi sindrom down adalah 4%.

4
Sepertiga dari translokasi sindrom down juga ditemukan pada suadara-saudara
ayah atau ibu sehingga bila kasus ini ditemukan, direkomendasikan untuk
melakukan konsultasi gen. Sebanyak 5% kasus sindrom down dihasilkanoleh
translokasi seimbang dari salah satu orang tua, pada umunya translokasi antara
kromosong 14 dan kromosom 2, dapat pula translokasi antara kromosom 14 dan
22 meskinpun jarang (8,9).

C. Distribusi Frekuensi
Frekuensi terjadinya penderita sindrom down di Indonesia adalah 1 dalam 600
kelahiran hidup. Angka kejadian sindrom down berkaitan dengan usia ibu saat
kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda kurang dari 20 tahun adalah 1:2000 setiap
kelahiran. Frekuensi ini akan meningkat menjadi 1:100 pada usia ibu lebih dari 30
tahun sampai usia 45 tahun. Pada usia 30 tahun risiko sindrom down adalah 1:800
wanita, meningkat menjadi 1:100 pada umur 40 tahun dan 1:32 pada usia 45 tahun.

5
Meningkatnya usia ibu saat kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan
resiko melahirkan anak dengan sindrom down sebesar 1:50. (10,11).

D. Faktor RIsiko Terjadinya Sindrom Down

Terlihat dalam beberapa kasus bahwa umur wanita terbukti berpengaruh


besar terhadap munculnya sindrom down pada bayi yang dilahirkannya. Pada wanita
berumur lebih dari 30 tahun mempunyai faktor risiko melahirkan bayi dengan
sindrom down. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya sindrom down
makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan. Wanita yang pernah melahirkan anak
dengan sindrom down juga memiliki kemungkinan 1% akan melahirkan bayi
selanjutnya dengan kondisi yang sama. Orang tua pembawa kelainan genetik
sindrom down juga dapat menurunkan hal ini kepada anak-anak mereka dengan
kemungkinan lebih besar dibandingkan orang tua yang tidak memiliki kelainan ini
(12).
Faktor risiko lain dari sindrom down adalah jarak kelahiran antara kurang dari
24 bulan dan lebih atau sama dengan 24 bulan, urutan kelahiran antara anak ke empat
dan ke lima, ibu yang merokok, imunisasi TT ketika hamil, ibu mengkonsumsi pil besi,

6
lingkungan dan golongan pengeluaran. Namun yang berhubungan secara bermakna
dengan kejadian sindrom down adalah umur ibu, urutan kelahiran dan golongan
pengeluaran. Setelah di kontrol lebih lanjut faktor urutan kelahiran dan golongan
pengeluaran. Ibu-ibu yang melahirkan diatas 35 usia tahun bersiko melahirkan anak
sindrom down sebesar 4,8 kali (13).

E. Skrining Sindrom Down


Setiap negara telah menetapkan program skrining pralahir untuk sindrom
Down (DS), di mana tes skrining awal diikuti oleh tawaran tes diagnostik invasif untuk
perempuan dengan hasil risiko tinggi untuk memungkinkan diagnosis definitif. Tes
pranatal non-invasif (NIPT), yang menganalisis DNA bebas sel dalam plasma ibu,
dengan cepat mengubah pengujian pranatal untuk DS di seluruh dunia. NIPT dapat
digunakan dari 10 minggu pada kehamilan untuk skrining DS dengan sensitivitas
tinggi (99,3%) dan spesifisitas (99,8%) dan dapat mendeteksi aneuploidy kromosom
umum lainnya (Trisomi 18, Trisomi 13, dan Monosomi X). NIPT memungkinkan skrining
untuk kondisi ini dengan spesifisitas yang jauh lebih besar daripada skrining DS
tradisional (DSS) dan dengan demikian secara signifikan mengurangi kebutuhan
untuk pengujian invasif (chorionic villus sampling atau amniocentesis) dengan risiko
keguguran kecil terkait (14).
Mengikuti bukti pertama pada tahun 2008 bahwa NIPT untuk DS layak, tes ini
telah bergerak cepat ke dalam praktik klinis dengan pengujian yang tersedia di sektor
swasta sejak 2011. Beberapa perusahaan berbasis USA dan Hong Kong / Cina sekarang
menawarkan NIPT dan telah melakukan tes komersial mereka secara luas.
Ketersediaan NIPT meskipun sangat tinggi, bervariasi di antara dan di dalam negara
dan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang mendorong perbedaan ini sangat
penting untuk menginformasikan dan mengoptimalkan layanan pengujian pralahir
yang ditawarkan kepada wanita. Sudut pandang pemangku kepentingan sangat
penting untuk memandu pelaksanaan secara luas, terutama di negara-negara di

7
mana NIPT akan menjadi bagian dari program perawatan kesehatan umum. Skrining
USG prenatal membantu mediagnosis sehingga dapat diambil langkah pasti untuk
penatalaksanaan yang baik bagi penderita sindroma Down. Skrining prenatal
dilakukan dengan cara pemeriksaan darah pada trimester pertama maupun trimester
kedua kehamilan. Selain itu, ultrasonogafi (USG) juga dilakukan pada trimester
pertama untuk mengukur jumlah cairan di jaringan bagian belakang leher bayi. Ada
dua pilihan skrining yang berbeda yang pertama adalah First Trimester
Screening (FTS) merupakan skring yang dilakukan pada 3 bulan pertama kehamilan,
biasanya dilakukan antara minggu ke-9 sampai 13 minggu 6 hari kehamilan dan yang
kedua adalah pemeriksaan trimester kedua yang dilakukan saat mingu ke-14 sampai
18 kehamilan. Hasil ini menunjukkan apakah bayi mempunyai risiko mengalami
sindrom Down. FTS akan mengkombinasikan hasil pemeriksaan darah dan USG yang
dihitung dengan software untuk memberikan informasi tentang risiko memiliki bayi
dengan sindrom Down. Tes ini dapat mendeteksi beberapa kelainan lain. FTS juga
dapat memberitahu jika wanita memiliki kehamilan kembar, namun biasanya spina
bifida tidak terdeteksi. Konsentrasi dua hormon dalam darah (b-hCG dan PAPP-A)
akan diperiksa apakah terdapat perubahan selama kehamilan. Jumlah hormon ini
sering berubah ketika bayi mengalami masalah kromosom serius. Pada USG dilakukan
pengukuran ketebalan area di belakang leher bayi. Daerah ini, yang dikenal
sebagai nuchal translucency (NT) seringkali lebih besar pada bayi dengan sindrom
Down. Crown-Rump Length serta diameter biparietal bayi juga diukur untuk
menghitung usia kehamilan (14).
Second Trimester Screening adalah pemeriksaan yang dilakukan saat
kehamilan memasuki 3 bulan kedua. Tes ini sering disebut juga sebagai Maternal
Serum Screening (MSS) atau triple test. Darah diperiksa antara 14 sampai 18 minggu
kehamilan, tetapi idealnya dilakukan antara 15 sampai 17 minggu. Darah ibu diperiksa
untuk tiga hormon yaitu estriol, bebas B-hCG, dan fetoprotein alfa. Diagnostic
testing dilakukan untuk mengkonfirmasi kelainan kromosom yang terjadi pada bayi.

8
Hasil pemeriksaan digunakan untuk memastikan diagnosis serta mengesampingkan
kondisi genetik sebelum bayi lahir. Jenis tes diagnostik ini meliputi Chorionic Villus
Sampling (CVS) dan amniocentesis. CVS adalah pemeriksaan sepotong kecil jaringan
plasenta (villi chorionic) dari rahim selama awal kehamilan untuk skrining cacat
genetik pada bayi. CVS bisa dilakukan melalui leher rahim (transcervical) atau melalui
perut (transabdominal). Hal ini dapat dilakukan sekitar 10 sampai 12 minggu setelah
menstruasi terakhir. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium untuk melihat ada atau
tidaknya kelainan kromosom. Jika hasilnya normal berarti tidak ada tanda-tanda
cacat genetik. Resiko CVS adalah hanya sedikit lebih tinggi daripada sebuah
amniosentesis. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi,
keguguran, ketidakcocokan Rh pada ibu, dan pecah ketuban. Amniosintesis adalah
tes untuk melihat cairan ketuban yang mengelilingi bayi (janin). Cairan ini akan
dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan bayi. Hal ini biasanya
dilakukan pada 15-18 minggu kehamilan, tetapi prosedur amniosentesis sekarang
lebih banyak dilakukan pada 11-14 minggu kehamilan. Risiko keguguran kurang dari 1
dalam 100 (kurang dari 1%). Sebuah penelitian menyatakan bahwa amniosentesis
pada trimester kedua lebih aman daripada CVS transcervical dan amniocentesis pada
trimester awal kehamilan. USG memberikan gambar bayi dalam rahim. USG yang
dilakukan pada trimester kedua kehamilan adalah USG struktural rutin. Hal ini dapat
dilakukan pada 18 -20 minggu kehamilan. USG ini direkomendasikan untuk memeriksa
posisi plasenta, jumlah cairan ketuban, pertumbuhan bayi, dan mendeteksi kelainan
struktural pada janin seperti jantung. anggota badan, perut, tulang, otak, tulang
belakang, dan ginjal (14).

F. Surveilens Sindrom Down


Epidemiologi sindrom down menurut Aryanto pada tahun 2008 di dunia
jumlah penderita down syndrom diperkirakan telah mencapai 8.000.000 kasus. Di
Prancis ada 2690 kasus sindrom down dengan persentase 25,2% kelahiran hidup, 1,7%

9
kematian janin dan 73,1% terminasi kehamilan untuk anomali yang berkaitan dengan
masalah ortodonti struktur anatomi yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan tengkorak, rahang gigi ataupun kombinasi keduanya yang akan
mempengaruhi bentuk wajah. Di Ukraina terdapat 4550 kasus sindrom down yang
dilaporkan dengan persentase 48,8% kelahiran hidup, 3,4% kematian janin dan 49,8%
terminasi kehamilan untuk anomali. Data dari Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 dan
2013 di Indonesia, prevalensi anak sindrom down berjumlah 0,12% dan 0,13%. Data dari

Dinas Pendidikan Provinsi Riau pada tahun 2016, didapatkan hasil angka kejadian
penderita sindrom down di Pekanbaru sebanyak 96 orang anak dari tingkat Sekolah
Dasar (SD) hingga tingkat SMA. Rincian data sebagai berikut, Sekolah Luar Biasa
(SLB) Negeri Pembina Pekanbaru sebanyak 25 orang, SLB Sri Mujinab 20 orang, SLB
Cendana Rumbai Pekanbaru sebanyak 1 orang, SLB Panam Mulia Pekanbaru sebanyak
1 orang, SLB Pendowo Limo Pekanbaru sebanyak 1 orang, SLB Kasih Ibu Pekanbaru
sebanyak 14 orang, SLB Pelita Hati Pekanbaru 20 orang, SLB Melati Rumbai
Pekanbaru sebanyak 1 orang, SLB Al Faqih Pekanbaru sebanyak 1 orang, SLB Kinasih
11 orang, dan SLB Insan Mutiara sebanyak 1 orang. Sindrom down sendiri

10
prosentasenya mengalami peningkatan 0,1% dari tahun 2010 hingga 2013, dimana
prosentasenya berubah dari 0,12% menjadi 0,13% (5,15).

G. Pencegahan dan Penanggulangan Sindrom Down


Pemeriksaan kariotiping pada semua penderita sindrom down untuk mencari
adanya translokasi kromosom. Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom,
ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu mendiagnosa kelainan kromosom
yaitu Pemeriksaan fisik penderita, Chorionic Villus Sampling (CVS) Chorionic Villus
Sampling (CVS), pemeriksaan kromosom Ekokardiogram (ECG), Ultrasonografi
(USG), Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling), dan
Amniosentesis. Dalam prosedur ini, bukan cairan ketuban yang diambil, jumlah kecil
jaringan diambil dari plasenta muda (juga disebut lapisan chorionic). Sel-sel ini berisi
kromosom janin yang dapat diuji untuk sindrom Down. Sel dapat dikumpulkan
dengan cara yang sama seperti amniosentesis, tetapi metode lain untuk
memasukkan sebuah tabung ke dalam rahim melalui vagina. Jika ada maka kedua
ayah dan ibunya harus diperiksa, antara ayah/ibunya karier, maka keluarga lainnya
juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan. Tentunya bukan
merupakan hal yang mudah mengasuh anak sindrom down, karena penyakit ini
mengakibatkan keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak tersebut
sindrom down dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Dapat
juga dilakukan konseling genetik pada kehamilan yang dicurigai akan sangat
membantu mengurangi angka kejadian sindrom down, dengan biologi molekuler
dengan gene targeting atau dikenal juga sebagai homologous recombination sebuah
gen dapat di nonaktifkan. Pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu
hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan lebih dari 3 bulan. Terlebih lagii ibu
hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil

11
di atas usia 35 tahun dengan hati-hati dalam memantau perkembangan janinnya
karena memiliki resiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi (6,16).
Menurut seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
anak sindrom down mampu berkembang seperti anak normal lainnya, hanya saja
masa perkembangannya lebih lambat. Misalnya bila anak normal pada usia 4 bulan
sudah dapat merangkak, anak sindrom down baru dapat merangkak di usia 8 bulan.
Oleh karena itu dibutuhkan beberapa terapi untuk mendukung perkembangan anak
sindrom down, yaitu terapi perilaku untuk membentuk tingkah laku sosial anak,
fisioterapi untuk memperbaiki gerak tubuh anak yang belum stabil dan koordinasi
gerak tubuh, okupasi terapi untuk memperbaiki motorik halus anak, terapi wicara un-

tuk memperbaiki motorik halus anak, terapi wicara untuk melatih anak agar bisa
berkomunikasi dengan baik dan benar, terapi sensor untuk melatih kemampuan
mengolah dan mengartikan integrasi seluruh rangsang sensoris yang diterima dari
tubuh maupun lingkungan dan kemudian menghasilkan respons yang terarah.
Pendidikan formal tidaklah cukup. Dengan intelegensi yang rendah anak sindrom
down perlu pelatihan terus-menrtu untuk mandiri. Anak sindrom down me merlukan
fasilitas yang khusus yang bisa memberikan terapi bagi anak sindrom down yang
sekaligus dapat membekali mereka dengan kemampuan dasar dan ketrampilan.

12
Sehingga anak sindrom down dapat hidup mandiri dan memiliki nilai lebih untuk
diterima di masyarakat. Dengan latihan yang berulang anak sindrom down dapat
berprestasi dalam bidang non akademis. Dukungan orang tua sangat diperlukan.
Sudah banyak anak sindrom down yang berprestasi dan dapat mandiri dengan
penangan yang benar (16).
Dukungan dan penerimaan anak dengan sindrom Down dalam lingkungan
keluarganya akan memberikan kekuatan, kenyamanan dan keamanan serta
meningkatkan kepercayaan diri anak, sehingga mereka cenderung tidak lagi
mengasingkan diri dari orang lain. Adanya dukungan dalam kelurga besar serta
kedekatan secara emosional yang stabil akan membantu meminimalkan hambatan
perkembangan yang dialami oleh anak. Peran lingkungan keluarga dapat berupa
penerimaan dan dukungan keluarga yang berupa dukungan informasi, dukungan
emosional, dukungan instrumen, dukungan penghargaan, dan dukungan jaringan
sosial. Ayah cenderung tinggi dalam memberikan dukungan instrumen dalam
mencukupi fasilitas dan sarana prasarana untuk mendukung perkembangan anak
sehingga waktu yang diberikan lebih banyak didapatkan dari Ibu maupun anggota
keluarga lain. Meskipun menurut teori Friedman (1998) dalam keluarga kelas
menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara
dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang lebih otoritas. Orang tua dengan kelas
sosial ekonomi menengah mempunyai tingkat dukungan, kasih sayang dan
keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial ke atas (11,16).
Data terbanyak yang menjelaskan bahwa Ibu rata-rata tidak bekerja atau
hanya sebagai Ibu Rumah Tangga dapat mendukung data bahwa dukungan informasi
yang diberikan cenderung lebih tinggi. Ibu lebih banyak waktu untuk memberikan
nasehat, membimbing anak dan mencari informasi seputar anak. Hal ini juga
didukung dengan pendidikan orang tua yang rata-rata dengan pendidikan yang tinggi
yaitu lulus SMA dan lulus Perguruan Tinggi sehingga memiliki pengetahuan seputar
anak lebih luas. Data lain yang mendukung adalah bahwa beberapa anak tidak hanya

13
tinggal dengan keluarga inti (orang tua dan saudara kandung) namun juga tinggal
bersama anggota keluarga lain seperti nenek, paman dan bibinya. Sehingga
menyebabkan anak tidak hanya mendapatkan dukungan sosial dari ibu yang
meskipun mempunyai banyak waktu luang karena rata-rata sebagai ibu rumah
tangga. Seperti diketahui bahwa keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki anak
dengan sindrom Down sering membuat mereka merasa terasingkan dengan
lingkungan sekitar sehingga membutuhkan perhatian dan kepedulian dari pihak
terdekatnya khusunya keluarga (11,16).
Pola pengasuhan orang tua sangat berperan besar dalam pencapaian
kemandirian anak sindrom down. Dari hasil observasi masih didapatkan orang tua
yang terlalu memberikan perhatian penuh pada anak mereka. Sehingga keterbatasan
membuat diri mereka menjadi semakin bergantung. Bentuk pola pengasuhan seperti
apa yang diterapkan, itulah yang akan membentuk karakter anak dan mempengaruhi
ketercapaian kemandirian anak sindrom down. Mengacu pada konsep yang
dikemukakan Wong et al (2008), bentuk pola pengasuhan dikelompokan menjadi 3
jenis yaitu: pola pengasuhan permisif, pola pengasuhan otoriter dan pola
pengasuhan demokratis. Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua
yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua terkesan cuek
terhadap anaknya. Sehingga apapun yang dilakukan anak diperbolehkan orang tua
seperti misalnya, tidak sekolah, bandel, melakukan pergaulan bebas negatif dan
sebagainya. Pada jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu
memberi bimbingan dan kontrol terhadap anaknya serta perhatian pun terkesan
kurang (12).
Kendali anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan
permisif biasanya diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain
sehingga lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Anak hanya
diberikan materi atau harta saja dan cenderung diberikan kebebasan untuk
melakukan apapun menurut anak. Pola asuh seperti ini tentunya akan berdampak

14
kepada anak dimana nantinya anak akan berkembang menjadi anak yang kurang
perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak peduli dengan tanggung
jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri yang buruk, salah
dalam bergaul, kurang menghargai orang lain, baik ketika kecil maupun sudah
dewasa serta acuh terhadap kondisi sekitar. Sebagaimana yang dikemukakan Wong
at al (2008), bahwa dalam pola asuh permisif, orang tua memiliki sedikit kontrol atau

tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik
kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari
untuk memaksakan standar prilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk
mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Pada pola pengasuhan
otoriter, orang tua sangat menanamkan nilai kedisiplinan pada anaknya dan
menuntut prestasi tinggi. Namun, dipihak lain orang tua tidak memberikan
kesempatan pada anaknya untuk mengumukakan suatu pendapat, sekaligus
memenuhi kebutuhan anak. Tipe pola asuh otoriter ini membuat anak mandiri karena
sifat orang tua yang terlalu disiplin dan tegas. Namun disisi lain, kemandirian anak
tersebut bukan lahir dari kesadarannya sendiri, melainkan kemandirian karena sikap
orang tua yang terlalu memaksa dalam memperoleh prestasi anak. Dikemukakan
oleh Widyarini (2003), bahwa pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan
orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan

15
kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan
keputusan karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang
otoriter menekankan kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa
banyak bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang
tua kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman
semena-mena kepada anak. Sebagaimana dikemuakkan oleh Wong at al (2008),
bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap
anak melalui perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan yang
dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan
memberi penghargaan atas kepatuhan absolut (12).

Bagi anak-anak bermain clay merupakan sesuatu yang unik dan baru untuk
dapat belajar memahami konsep, meningkatkan kreativitas melatih konsentrasi,
melatih memecahkan masalah, meningkatkan kecerdasan, dan ketekunan,
meningkatkan percaya diri dan mengembangkan ketrampilan fisik (ketrampilan
motorik kasar dan motorik halus). Pentingnya bermain tidak hanya untuk anak–anak
yang memiliki kemampuan motorik yang masih lemah. Hal ini sangat menunjang
mereka terutama bagi anak yang berkebutuhan khusus, yaitu termasuk anak yang

16
mengalami retardasi mental merupakan keterlambatan mencakup retang yang luas.
Banyak anak yang mengalami retardasi mental menjadi lebih baik seiring berjalanya
waktu, terutama bagi mereka yang mendapatkan dukungan, bimbingan dan
kesempatan pendidikan yang besar (17).

Dengan latihan yang berulang anak sindrom down dapat berprestasi dalam
bidang non akademis. Dukungan orang tua sangat diperlukan. Sudah banyak anak
sindrom down yang berprestasi dan dapat mandiri dengan penangan yang benar.
Berikut sejumlah prestasi yang diraih oleh penderita sindrom down mulai dari
menjadi pelatih zumba, konduktor music, penari, guru taman kanak-kanak,
mengelola restoran, actor, anggota dewan, menjadi seorang model.

17
18
Gambar 1.10
Pendidikan formal tidaklah cukup. Dengan intelegensi yang rendah anak down
syndrome perlu dilatih terus menerus untuk mandiri. Anak sindrom down
memerlukan fasilitas yang khusus yang bisa memberikan terapi bagi anak sindrom
down yang sekaligus dapat membekali mereka dengan kemampuan dasar dan
ketrampilan. Sehingga anak sindrom down dapat hidup mandiri dan memiliki nilai
lebih untuk diterima di masyarakat. Untuk mencapai tingkat kemandiran pada anak
dengan sindrom down, anak perlu mendapatkan suatu terapi yang dapat menunjang
proses tersebut. Salah satu terapi yang bisa diberikan kepada anak sindrom down
adalah terapi okupasi. Terapi okupasi atau pekerjaan adalah suatu terapi yang
memadukan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita
kepada suatu aktivitas yang selektif agar kesehatan dapat ditingkatkan dan di
pertahankan, serta dapat mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja
untuk penderita cacat mental ataupun cacat fisik. Terapi okupasi adalah suatu terapi
yang diberikan untuk melatih kemandirian, kognitif (pemahaman), kemampuan
sensorik dan kemampuan motorik anak dengan down syndrome. Terapi ini diberikan
karena pada dasarnya anak dengan sindrom down sangat bergantung dengan orang
lain dan anak dengan sindrom down ini juga acuh sehingga mereka beraktifitas tanpa
adanya komunikasi serta tidak memperdulikan orang lain. Terapi okupasi ini sangat

19
membantu anak dalam mengembangkan kekuatan otot dan koordinasi dengan
menggunakan alat ataupun tanpa menggunakan alat (15,17)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Fadli, A. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta; Pustaka Anggrek. 2010


2. Lestari FA, Lely IM. Resiliensi Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome di
Sidoarjo. Psikologia. 2015. 3(1); 141-155.
3. Pandji D. Anak Special Needs. Jakarta; Elex Media Komputindo. 2013
4. Meinaputri M. Polimorfisme Gen Apolipoprotein E Pada Penderita
Sindrom Down Trisomi 21. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013. 2(1); 14-19.
5. Megasari I, Ika FK. Hubungan Antara Dukungan Sosial Suami dengan
Penerimaan Diri pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome di
Seamarang. Jurnal Empati. 2016. 5(4); 653-659.
6. Marta R. Penanganan Kognitif Down Syndrome melalui Metode Puzzle
pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi. 2017. 1(1); 32-41.
7. Sondakh R, Antonius B, Stefi HH. Pola Komunikasi Guru Dalam Proses
Belajar Anak Down Sindrom di Yayasan Pendidikan Anak Cacat
Malalayang. Acta Djurnal. 2017. 6(1); 1-15.
8. Krishna A. Mengenali Keluhan Anda. Jakarta; Informasi Medika. 2013
9. Sudiono J. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta; EGC.
2009
10. Curtis GB. Kehamilan. Jakarta; EGC. 1997
11. Fitria N, Siti HT, Ayu F. Peran Keluarga terhadap Anak dengan Sindrom
Down di YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Palembang. Syifa Medika.
2013. 4(1); 57-64.
12. Hasanah NU, Hery W, Sahadi H. Pola Asuh Orang Tua dalam Upaya
PembentukaN Kemandirian Anak Down Syndrome. Share Sosial Work
Jurnal. 2015. 5(1); 65-70.
13. Harahap H, Salimar. Kejadian Cacat pada Anak Usia 24-59 Bulan dan Faktor-
faktor yang berkaitan. 2015. 14(3); 206-207.
14. Hill M, dkk. Preferences for prenatal tests for Down syndrome: an
international comparison of the views of pregnant women and health
professionals. European Journal of Human Genetics. 2016. 24(16); 968-975.
15. Raffi I, Ganis I, Sri U. Aktivitas Pemberian Okupasi dalam Meningkatkan
Kemandirian Makan pada Anak Usia Sekolah dengan Down Syndrome.
2018. 5(1); 1-11.
16. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta; EGC. 1995
17. Muliar. Improving the Fine Motor Ability of a Down-syndrome Student by
Playing with Clay at SDLB N 64 Surabayo Lubuk Basung Kabupaten Agam.
2016. 5(1); 1-10.

21
LAMPIRAN

22
Halaman 217

23
Halaman 10

24
Halaman 164

25
Halaman 96-97

26
Halaman 217

27
Halaman 84-85

28

Anda mungkin juga menyukai