Saraf
Saraf
PENDAHULUAN
LATAR BEAKANG
Sistem saraf adalah sebuah sistem organ yang mengandung jaringan sel-sel khusus
yang disebut neuron yang mengkoordinasikan tindakan hewan dan mengirimkan sinyal antara
berbagai bagian tubuhnya. Pada kebanyakan hewan sistem saraf terdiri dari dua bagian, pusat
dan perifer. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai
(berurutan) antara reseptor dan efektor. Fungsi sel saraf adalah mengirimkan impuls berupa
rangsang atau tanggapan. Adapun beberapa contoh penyakit yang dapat menyerang sistem
saraf pada hewan yaitu rabies dan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE).
Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang susunan saraf
pusat. Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan kematian.
Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan,
kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian
ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena biaya penyidikan,
pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya post exposure treatment.
BSE termasuk salah satu penyakit yang tergolong dalam Transmissible Spongiform
Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala
histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong
di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit Subacute
Spongiform Encephalopathy (SSE). Untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut penyakit pada
sistem saraf ini, dibuatlah makalah penyakit sistem saraf pada hewan dalam hal ini rabies dan
BSE.
TUJUAN
Adapun tujuan dilakukan penyusunan makalah ini untuk mengetahui etiologi, patofisiologi,
gejala klinis, dan pengendalian dari rabies dan BSE pada hewan.
BAB II
ISI
RABIES
ETIOLOGI
Rabies dihasilkan oleh virus ultramicroscopic. Virus ini ditemukan sebagai virus yang
sangat virulent ketika diambil dari sistem syaraf pusat (otak atau spinal cord) dibandingkan
ketika didapat dari syaraf tepi, kelenjar saliva dan kelenjar lain. Infeksi tidak terlihat pada
darah hewan yang terinfeksi. Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam ordo
Mononegavirales famili Rhabdoviridae, Genus Lyssa Virus.
Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut
dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari
ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya
yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah.
Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.Virus berukuran
panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.
Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium, fenol
dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada
suhu 60oC virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried)
atau pada suhu 4oC dapat tahan selama bebarapa tahun.
PATOFIOLOGI
Penularan virus ini melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak
dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku
hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang
ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta
kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada
mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies
yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering. Luka
gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk
melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu
virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-
ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.21 Bagian
otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus
kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama
mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian
virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak
dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling
menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam
sitoplasma sel ganglion besar.
GEJALA KLINIS
Dalam bentuk ini, perkembangan rabies dibagi menjadi tiga tahap yaitu :
a. Fase Prodormal
Sebagai fase awal penyakit berlangsung selama 2-3 hari gejalanya biasanya
ditandai dengan adanya perubahan kebiasaan hewan seperti hewan mencari tempat-
tempat yang gelap dan menyendiri, dapat lebih menjadi agresif dan reflek kornea
berkurang/hilang, pupil meluas dan kornea kering. Pada fase awal terinfeksi
penyakit ini nafsu makan hewan tidak banyak terjadi perubahan.
b. Fase Eksitasi
Fase ini berlangsung selama 3-7 hari. Pada fase ini terjadi perubahan yang sangat
tinggi. Hewan akan memakan makanan yang tidak layak dicerna seperti kayu,
kotorannya sendiri, dan menjilat urinnya, hewan akan menyerang siapa saja yang
ada disekitarnya, mata menjadi keruh dan terbuka, tubuh gemetaran.
c. Fase paralisa
Ekor jatuh, mandibula jatuh, lidah keluar, hypersalivasi, kaki belakang terseret,
Cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek hilang. Pada stadium ini
sangat singkat dan biasanya diikuti dengan kematian hewan tersebut.
2. Rabies Jinak (Dumb Rabies)
Anjing ini terlihat diam, berpenampilan tenang namun akan ganas kalau didekati.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.
Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis selama 10-15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing
yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau
kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya).
2. Diagnosis Laboratorium
Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :
a. Penemuan badan negri (negri body)
b. Penemuan antigen
c. Penemuan virus (isolasi)23
Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan
kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat
ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat
mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap
terjamin sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak,
hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar
ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah
sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya
hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).
a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan cepat
Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.
b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi atau
reaksi peningkatan komplemen dan FAT Isolasi virus secara biologis pada
mencit atau in vitro pada biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan cara
pewarnaan FAT atau uji virus netralisasi.
c.
PENANGANAN
Virus rabies yang menyerang anjing tidak dapat diobati setelah gejala klinis muncul.
Pencegahan rabies dapat dilakukan dengan memvaksinasi hewan peliharaan rutin, hindari
memelihara hewan liar di rumah, jika anda bepergian ke daerah yang terjangkit rabies,
segeralah ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan vaksinasi rabies.
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan
oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan (letal).
Pemberian vaksinasi melalui post-exposure prophylaxis (PEP) yang diberikan setelah
terjadi kontak dengan hewan yang diduga atau dikonfirmasi terinfeksi rabies, tidak
disarankan untuk diberikan pada anjing sehat. Vaksinasi tersebut tidak disarankan karena
dapat meningkatkan paparan virus terhadap manusia.
BSE
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
BSE biasanya ditransmisikan ketika hewan atau manusia memakan jaringan yang
mengandung prion BSE. Prion tersebut akan bereplikasi pada Peyer’s patches dari ileum, dan
akan menyebar melalui saraf-saraf tepi menuju sistem saraf pusat. Pada ternak, prion dapat
terakumulasi di dalam otak setelah 24 bulan ternak terinfeksi BSE. Konsentrasi prion terbesar
berada pada susunan saraf pusat dan ileum. Secara alami pada ternak yang terinfeksi, prion
BSE akan ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang, retina dan ileum bagian distal.
Namun dengan teknik uji yang lebih sensitif, prion dapat dideteksi pada dorsal root ganglia,
saraf-saraf tepi dan kelenjar adrenal.
Pada beberapa penelitian, prion juga ditemukan di tonsil dan sumsum tulang
belakang. Beberapa sumber juga menyebutkan prion dapat ditemukan di jaringan limfatik
pada membrane nictitans. Beberapa jaringan bisa mengandung prion setelah lama terinfeksi
BSE. Adanya akumulasi prion pada saraf tepi dan kelenjar adrenal merupakan penyebab
adanya akumulasi prion pada susunan saraf pusat. Prion BSE tidak ditemukan pada otot,
namun daging dapat terkontaminasi jaringan saraf pusat pada saat tahap pemotongan dan
proses di RPH. Secara bukti epidemiologis dan studi ilmiah, BSE tidak ditransmisikan
melalui susu, semen atau embrio.
Penularan BSE dari hewan ke hewan secara horizontal masih belum dapat dibuktikan.
Penularan secara vertical dari induk ke anak pun jarang terjadi. Hewan yang masih muda
sangat peka terhadap infeksi dan kebanyakan ternak terinfeksi BSE saat umur enam bulan
pertama. Transmisi pada domba percobaan menyerupai transmisi pada sapi, tetapi prion lebih
tersebar di seluruh tubuh. Pada domba yang diinokulasi secara oral, prion ditemukan pada
jaringan limfatik seperti limfonodus dan gut-associated lymphoid-tissue (GALT) serta
susunan saraf pusat. Transmisi melalui darah (Blood-Borne Transmission) juga terjadi pada
domba.
Masa inkubasi BSE pada sapi 2-8 tahun. Kejadian penyakit ini umumnya pada hewan
berumur 4-5 tahun. Pada percobaan yang pernah dilakukan pada domba umur 6 bulan, masa
inkubasi BSE berlangsung selama 21-38 bulan. Pada domba berumur dua minggu masa
inkubasi berlangsung selama 18-24 bulan. Pada monyet Macaca yang diinfeksikan secara
peroral, masa inkubasi berlangsung selama 3-5 tahun.
GEJALA KLINIS
Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) merupakan penyakit neurologis yang
umumnya bersifat subklinis dan membahayakan pada ternak sapi. BSE dapat dibedakan
secara klinis dari gejala neurologik yang khas. Gejala klinis umumnya berupa perubahan
tingkah laku dan temperamen berupa mudah terkejut, gugup dan ketakutan. Kemudian terjadi
perubahan postur tubuh dan gerakan, seperti ataksia kaki depan, tremor, mudah terjatuh dan
bentuk kepala yang abnormal. Hewan masih dapat makan tetapi sangat cepat kehilangan
berat badan dan menunjukan gejala kyposis. Hewan yang terinfeksi akan terlihat sangat peka
terhadap suara dan sentuhan, menendang, gerakan berlebihan pada telinga dan menjilat
hidung. Gejala ini akan berakhir dengan inkoordinasi, paresis dan paralysis.
Gejala lain yang khas pada BSE adalah sapi aktif berjalan kesana kemari. Pada
beberapa hewan terdapat gejala pruritus dimana hewan sering menjilat dan menggosokkan
badannya karena gatal. Terdapat pula gejala nonspesifik seperti kelemahan umum,
kehilangan bobot badan, menggesekkan antara gigi atas dan bawah (kemungkinan
dikarenakan kesakitan pada perut dan gangguan saraf), dan penurunan produksi susu. Muncul
juga gejala seperti penurunan aktivitas memamah biak, bradikardia dan aritmia. Gambaran
klinis yang dapat mendiferensiasi BSE adalah peradangan pada CNS akibat infeksi viral dan
bakterial (Scott et al., 1990). Namun demikian gejala klinis tersebut tidak mampu
mengkonfirmasi diagnosa terhadap penyakit BSE, karena banyak penyakit lain yang
menunjukkan gejala klinis yang sama seperti keracunan, infeksi viral dan bakterial. Gejala
klinis BSE lama kelamaan semakin memburuk setelah beberapa minggu sampai enam bulan,
namun pernah juga dapat bersifat akut dan langsung menunjukkan keparahan. Sifat akut dan
cepat ini terjadi pada ruminansia liar dan hewan liar. Ketika gejala klinis muncul, maka
penyakit BSE akan bersifat progresif dan mematikan. Pada tahap akhir gejala, hewan akan
lelah, roboh, koma dan mati.
DIAGNOSA
Encephalopathy adalah kelainan patologis pada jaringan otak yang digambarkan
berupa degenerasi dan nekrosis sistem syaraf pusat. Kelainan encephalopathy merupakan
salah satu kelainan patologis yang karakteristik pada kasus penyakit BSE. Berbagai penyebab
dapat menimbulkan kelainan encephalopathy, antara lain keracunan organofosfat (Cookson,
2001; Purdey, 1996), milk fever (Forslund et al., 1983), tanaman beracun, chronic wasting
disease, dan agen mikroorganisme seperti virus, bakteri dan parasit (Davis et al., 1991).
Sedangkan prion (PrPsc maupun PrPres) merupakan indikator utama untuk menetapkan
diagnosa penyakit (Hope et al., 1988; Bradley dan Wilesmith, 1993). Dari beberapa kelainan
encephalopathy, prion tersebut pernah terdeteksi dari hewan yang mengalami keracunan
organofosfat, chronic wasting disease, keracunan tanaman, milk fever, penyakit Kuru dan
CJD (Purdey, 1992).
Penyakit yang disebabkan oleh prion ini sulit untuk didiagnosa menggunakan metode
konvensional seperti PCR, serologi dan kultur sel. Hal ini karena prion memiliki struktur
protein yang hampir sama dengan protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda
asing di dalam tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran
prion yang tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam tubuh
ditemukan pada sistem syaraf dan konsentrasi pion yang rendah ditemukan pada cairan
tubuh seperti darah dan urin. Sampai saat ini, belum ada uji penyakit BSE pada hewan hidup.
Diagnosa penyakit ini hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi secara postmortem
dengan mendeteksi prion (PrPres) pada jaringan saraf pusat. Akumulasi prion bisa didapatkan
dari otak dengan teknik immunohistokimia. Dapat juga dilakukan dengan uji ELISA
(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dan Western Blotting. Rapid test dapat dilakukan
pada saat surveillance namun membutuhkan jumlah sampel yang banyak untuk diuji. Sampel
yang positif pada rapid test dapat dilanjutkan dengan uji konfirmasi yang lebih spesifik
seperti pemeriksaan immunohistokimia dan immunoblotting. Diagnosa dari BSE juga dapat
dikonfirmasi dengan mengidentifikasi prion fibril yang disebut Scrapie-Associated Fibril
(SAF) dengan mikroskop electron pada organ otak baik specimen beku maupun yang sudah
autolysis. Prion dapat dideteksi pada otak saat 3-6 bulan setelah masa onset berlangsung.
Berikut adalah beberapa cara untuk mendeteksi penyakit BSE:
1) Histopatologi dan Imunohistokimia
Metode diagnosa menggunakan histologi atau imunohistokimia tidak hanya mendeteksi
keberadaan prion BSE tetapi juga penyebarannya di otak dan jaringan limfoid. Secara
histopatologis, otak hewan yang terkena BSE akan mengalami spongiosis. Perluasan astrosit
pada jaringan otak dapat dideteksi secara imunohistokimia menggunakan antibody terhadap
astrocytic marker protein Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP).
2) Western Blotting
Deteksi prion terjadi setelah pemisahan sampel oleh elektroforesis dan transfer menuju
membrane menggunakan antibodi spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali fosfatase-coupled
yang menghasilkan chemiluminescence. Hasil positif ditandai dengan keberadaan sinyal
PrPimmunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band yang khas.
3) Serial Protein Misfolding Cyclic Amplification (sPMCA
Teknik ini merupakan sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Emerging
Infectious Disease (2012). Teknik ini digunakan untuk mendeteksi prion PrPsc pada saliva
sapi sebelum dan setelah onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntkan dengan prion
BSE lalu diambil salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva yang diambil
dianalisa dengan menggunakan metode sodium phosphotungstic. Setelah itu sampel
diamplifikasi sebanyak 3-8 tabung.
Diagnosa secara tentative dapat dilakukan melalui sejarah penyakit atau anamnesa,
gejala klinis yang telihat dan adanya atrofi bagian cortex melalui Magnetic Resonance
Imaging (MRI) pada otak. Pada tahap awal penyakit pemeriksaan menggunakan
Electroencephalogram (EEG) terlihat normal, namun akan terlihat adanya kelainan setelah
mencapai tahap berikutnya. Diagnosa secara definitif dapat dilakukan jika prion ditemukan
pada biopsy tonsil menggunakan immunoblot (Western Blotting) atau immunohistokimia.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada jaringan otak setelah dilakukan
nekropsi.
Pada pemeriksaan histopatologi akan banyak ditemukan akumulasi amyloid yang
dikeilingi oleh vakuola. Prion akan banyak diteukan disekeliling akumulasi amyloid tersebut
dan terlihat dengan teknik pewarnaan immunohistokimia.
DIAGNOSA BANDING
Kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang menyerang susunan
syaraf pusat seperti pada Bovine Encephalitis (Rabies). Keracunan logam berat seperti
keracunan Pb juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada BSE. Disamping itu terdapat
beberapa penyakit metabolis yang juga menyebabkan gejala syaraf seperti nervous ketosis
dan hypomagnesaemia.
POLA PENGENDALIAN
Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas dari penyakit BSE, akan tetapi
Indonesia pernah mengimpor produk MBM dan produk ternak dari negara yang terinfeksi
penyakit BSE sebelum tahun 1996. Disamping itu, petugas kesehatan hewan di Indonesia
belum berpengalaman di dalam mendiagnosa penyakit tersebut. Investistigasi yang mendalam
tentang penyakit ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena perlu
mempertimbangkan pola-pola pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak
berjangkit di Indonesia.
Dampak penyakit BSE adalah sangat nyata terhadap faktor sosial ekonomi. Meskipun
penyakit tidak pernah muncul di Indonesia sampai saat ini; petugas kesehatan hewan,
laboratorium kesehatan hewan dan patologis harus memiliki pengalaman tentang gejala-
gejala khas dari penyakit tersebut. Disamping teknik diagnosa yang akurat perlu
dikembangkan untuk mengantisipasi penyakit BSE. Beberapa teknologi diagnosa dapat
diterapkan untuk mendeteksi penyakit ini, antara lain teknik immunohistochemistry,
bioassay, histopatologi, Western blotting dan ELISA (Novakofski et al., 2005). Disamping
itu, saat ini sudah tersedia kit diagnostik komersial yang pada umumnya berdasarkan reaksi
imunologis (Novakofski et al., 2005).
Untuk mengurangi resiko masuknya penyakit BSE ke Indonesia, maka perlu
melakukan surveilans dan monitoring penyakit secara komprehensif, melaksanakan
pelarangan impor ternak ruminansia hidup, produk ternak dan MBM dari negara-negara yang
terinfeksi. Selanjutnya perlu dilakukan penyebaran informasi mengenai penyakit BSE kepada
masyarakat veteriner dan industri ternak ruminansia agar dapat membantu pelaksanaan
kegiatan surveilans dan monitoring penyakit tersebut. Peraturan-peraturan kesehatan harus
ditempatkan pada posisi utama dalam mengantisipasi penyakit BSE.
Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005. Penyakit rabies di Indonesia dan
pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : 165 – 172
Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging Infectious Diseasses.
11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret 2011.
McElhinney.L.M., A.R.Fooks, and A.D.Radford. 2008. Diagnostic tools for the detection of
rabies virus.EJCAP-Vol.18-issue 3 December 2008. 224-231.
Rahman A. dan R. Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies Sebagai
Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat
Hewan.13 (2008).
Rupprecth C.E., M.D. Leonard-Blass, K. Smith, L.A. Orciari, M. Niezgoda, S.G. Whitfield,
R.V. Gibbons, M. Guerra, dan C.A. Hanion. 2001. Human Infection Due to
Recombinant Vaccinia-Rabies Glycoprotein Virus. The New England Journal of
Medicine: 345 (8): 582-586.
Victor, Oscar Brumley. 1950. A Text-Book Of The Disease Of The Small Domestic Animals.
Lea & Febiger. Philadelphia.
Scott, P.R., B.M. Aldrige, M. Clarke and R.G. Will. 1990b. Cerebrospinal fluid studies in
normal cows and cases of bovine spongioform encephalopathy. Br. Vet. J. 195: 1745 –
1747.
Purdey, M., 1996. Organophosphate theory of BSE. Med. Hypotheses 46 (5): 445 – 454.
Forslund, K., C. Bjorkmann and M. Abrahamsson. 1983. Cholinesterase levels in blood
plasma and erythrocytes from calves, normal delivering cows and cows suffering from
parturient paresis. Acta. Vet. Scand. 24:185 – 199.
Davis, A.J., A.L. Jenny and L.D. Miller, 1991. Diagnostic characteristic of bovine
spongioform encephalopathy. J. Vet. Diagn. Invest. 7: 266 – 271.
Hope, J., L.J.D. Reekie, N. Hunter, G. Multihaup, K. Beyreuther, H. White, A.C. Scott, M.J.
Stack, M. Dawson and G.A.H. Wells. 1988. Fibrils from brains of cows with new cattle
disease contain scrapie- associated protein. Nature 336: 390 – 392.
Bradley, R., and J.W. Wilesmith. 1993 Epidemiology and control of bovine spongioform
encephalopathy (BSE). Brit. Med. Bull. 49 (4): 932 – 959.
Purdey, M., 1992. Mad Cows and Warble Flies: A link between BSE and organophosphates
The Ecologist. 22(2): 52 – 57.
Novakofski, J., M.S. Brewer, N. Mateus- Pinilla, J. Killefer and R.H. McCusker. 2005. Prion
biology relevant to bovine spongioform encephalopathy. J. Anim. Sci. 83:1455 – 1476.