Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

The Effect of Therapeutic Lumbar Punctures on Acute Mortality


From Cryptococcal Meningitis

Disusun Oleh :

Muhammad Rifa’I Suparta

1102014171

Pembimbing :

dr. M. Tri Wahyu Pamungkas, M.Kes., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD ARJAWINANGUN

SEPTEMBER 2018
Pengaruh Terapi Pungsi lumbal Pada
Kematian Akut yang disebabkan oleh Meningitis
Kriptokokus
Melissa A. Rolfes,1 Kathy Huppler Hullsiek,2 Joshua Rhein,1,3 Henry W. Nabeta,3 Kabanda
Taseera,4 Charlotte Schutz,5 Abdu Musubire,3 Radha Rajasingham,1,3 Darlisha A. Williams,1,3
Friedrich Thienemann,5 Conrad Muzoora,4 Graeme Meintjes,5,6 David B. Meya,1,3,7 and David
R. Boulware1

Pendahuluan : Meningitis kriptokokus adalah penyebab paling umum meningitis


di Afrika sub-Sahara. Tekanan intrakranial yang meningkat (ICP) sering terjadi pada
cryptococcosis. Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan tekanan intracranial
terkait dengan kematian, dan pedoman merekomendasikan pungsi lumbal (LP) untuk
mengontrol peningkatan tekanan intracranial. Namun, besarnya dampak dari lumbal
pungsi terkait mortalitas pada kasus meningitis cryptococcal belum diketahui.
Metode: Singkatnya, 248 individu dengan human immunodeficiency virus (HIV) dengan
meningitis cryptococcal, disaring untuk uji Cryptococcal Optimal ART Timing (COAT)
di Uganda dan Afrika Selatan sekaligus diamati. Individu dilakukan lumbal pungsi untuk
mendiagnosis meningitis, dan LP terapeutik direkomendasikan untuk pasien yang
memiliki tekanan intracranial (> 250 mmH2O) atau gejala baru. Kami membandingkan
kelangsungan hidup selama11 hari, antara individu yang menerima setidaknya 1 Lumbal
Pungsi terapeutik dengan individu yang tidak menerima Lumbal Pungsi terapeutik.
Percobaan COAT diacak pada individu selama 7-11 hari dan follow-up di stop saat
individual meninggal atau pada hari ke 11.
Hasil: Tujuh puluh lima (30%) individu dilakukan setidaknya 1 LP terapeutik. Individu
yang menerima LP terapeutik memiliki lebih tinggi tekanan pembukaan cairan
serebrospinal (CSF), beban jamur CSF yang lebih tinggi, dan lebih mungkin untuk
mengubah status mental awal dari mereka yang tidak memiliki LP terapeutik. Tiga puluh
satu kematian (18%) terjadi di antara 173 orang tanpa LP terapeutik dan 5 kematian (7%)
di antara 75 dengan yang dilakukan setidaknya 1 LP terapeutik. Risiko relatif mortalitas
yang disesuaikan adalah 0,31(95% interval kepercayaan: .12 – .82). Hubungan ini diamati
terlepas dari tekanan pembukaan pada awal.
Kesimpulan: LP terapeutik dikaitkan dengan 69% peningkatan relatif dalam
kelangsungan hidup, terlepas dari tekanan intrakranial awal
. Peran LP terapeutik harus dievaluasi kembali.
Kata kunci: HIV; cryptococcal meningitis; epidemiology; mortality; therapeutic lumbar
punctures.

Latar Belakang
Meskipun kemajuan dalam pengobatan, mortalitas akut akibat human immunodeficiency
virus (HIV) -Asociated meningitis kriptokokal tetap tinggi dengan mortalitas 17% -50%
dalam waktu 2 minggu setelah di diagnosis di antara individu di Afrika sub-Sahara[1-9].
Salah satu komplikasi meningitis kriptokokal adalah tekanan intrakranial yang tinggi
(ICP), didefinisikan sebagai tekanan cairan serebrospinal lebih dari 250 mmH2O (CSF)>
250 mmH2O, dan literatur sebelumnya menunjukkan kematian yang lebih tinggi di antara
pasien kriptokokal dengan peningkatan tekanan intrakranial [10-12].
Peningkatan tekanan intrakranial sering terjadi pada saat diagnosis dan sering
menyebabkan perubahan status mental, sakit kepala, hilang penglihatan dan pendengaran,
atau kematian. Manajemen yang ketat pada peningkatan tekanan intrakranial harus
dilakukan , termasuk pungsi lumbal teurapetik yang dilakukan sehari-hari agar tekanan
intrakranial dan gejala klinis kembali normal [13,14]. Dengan rekomendasi ini,
peningkatan tekanan intrakranial membaik setelah 2 minggu pengobatan terapi antijamur.
Penelitian sebelumnya belum menemukan hubungan antara tekanan awal dan 2 minggu
setelah terapi lumbal pungsi. Perbandingan sebelumnya berdasarkan data-data yang ada
penjadwalan berkala pada terapi lumbal pungsi menurunkan angka kematian 30 hari lebih
rendah di rumah sakit di Tanzania. Kita bertujuan untuk memberikan informasi tambahan
berdasarkan literature sebelumnya dan memperkirakan efek langsung dari lumbal pungsi
secara cohort pada pada individu dengan meningitis criptococus di Uganda dan Afrika
selatan.

Metode
Data yang berasal dari Cryptococcal Optimal ART Timing Trial ( COAT ), yang
dilakukan dari bulan November 2010 sampai April 2012 , dan observasi secara cohort
pada pasien-pasien dengan meningitis cryptococus dari April 2012 sampai dengan
Desember 2012 digunakan pada analisis ini. Persetujuan etis Persetujuan etis diberikan
dari National UgandaDewan Sains dan Teknologi, Obat-Obatan Afrika Selatan Dewan
Kontrol, dan Dewan Tinjauan Kelembagaan di Universitasdari Minnesota, Universitas
Makerere, Universitas CapeKota, dan Universitas Sains dan Teknologi Mbarara.
Percobaan COAT adalah uji coba strategi klinis secara acak pada inisiasi terapi
antiretroviral (ART) dini (1 minggu setelah cryptococcal diagnosis meningitis)
dibandingkan dengan inisiasi ART yang dilakukan(5 minggu setelah diagnosis meningitis
kriptokokal; www.clinicaltrials.gov: NCT01075152). Individu yang terduga terkena
meningitis di ambil dari 3 tempat yaitu dari Rujukan Nasional Mulago Rumah Sakit di
Kampala, Uganda; Mbarara National Referral Rumah Sakit di Mbarara, Uganda; dan
Rumah Sakit GF Jooste di Cape Town, Afrika Selatan. Individu yang berpartisipasi dalam
COAT diacak dalam 7-11 hari dalam pengobatan cryptococcal. Rekrutmen observasi
secara cohort terjadi di Rumah sakit Mulago . Individu dalam kelompok observasi
menerima perawatan yang sama dengan peserta COAT tetapi dengan obat ART yang
ditangguhkan. Orang yang terinfeksi HIV, yang patuh terhadap ART dan memenuhi
syarat untuk mendaftar penelitian cohort yaitu pada kelompok yang berusia di atas 18
tahun, diberikan informed consent tertulis, memiliki meningitis cryptococus berdasarkan
kultur CSF atau antigen kriptokokus, dan menerima pengobatan amphotericin. Individu
yang di terapi dengan antijamur selama lebih dari 1 minggu dengan meningitis
criptococus tidak di masukan. pengobatan Anti jamur termasuk 2 minggu pemberian
mfoterisin B deoxycholate(0,7-1,0 mg / kg / hari) ditambah flukonazol (800 mg / hari).
Gejala klinis dan laboratorium dikumpulkan saat diagnosis meningitis kriptokokal.
Untuk analisis ini, follow up dimulai sehari setelah di diagnosis meningitis kriptokokus
agar memungkinkan peluang individu untuk terapi pungsi lumbal. Untuk individu yang
disaring untuk percobaan COAT, observasi berakhir pada saat kematian atau pada
pengacakan(7 - 11 hari setelah memulai pengobatan untuk meningitis kriptokokus)
karena protokol COAT menunjukkan jadwal pungsi lumbal dilakukan pada pengacakan
dan pada 14 hari. Waktu pengacakan COAT adalah 8 hari setelah dimulai terapi anti
jamur. Untuk individu dalam kelompok observasi, observasi berakhir pada saat kematian
atau setelah 11 hari di follow up
Pungsi lumbal dan parameter CSF
Pungsi lumbal terapeutik setelah pungsi lumbal diagnostik direkomendasikan untuk
mereka yang memiliki tekanan pembukaan CSF awal> 250 mmH2O atau gejala
peningkatan tekanan [14]. Peserta bisa menerima banyak terapi LP berdasarkan
kebijaksanaan dokter ; namun,dalam analisis ini, paparan didefinisikan sebagai menerima
setidaknya 1 Pungsi lumbal terapeutik. Informed consent tertulis diberikan untuk pungsi
lumbal diagnostik awal, dan persetujuan lisan diperlukan sebelum dilakukan Pungsi
lumbal terapeutik berikutnya. Peserta atau pengganti mereka memiliki hak untuk menolak
Pungsi lumbal terapeutik. Jumlah CSF diisolasi selama pencatatan pungsi lumbal, dan
tekanan CSF diukur setiap kali tim studi melakukan pungsi lumbal saat membuka dan
menutup.

Analisis statistik
Karena status pemaparan tidak diketahui pada awal pengamatan,penerimaan Pungsi
lumbal terapeutik dimasukkan sebagai waktu paparan yang bervariasi dalam analisis.
Individu disebut “ no therapeutic LP’’ jika individu telah menerima pungsi lumbal tetapi
meninggal atau telah melewati 11 hari percobaan secara acak COAT. Setelah Pungsi
lumbal terapeutik dilakukan, individu tersebut dimasukan dalam grup "terapi LP". Angka
kematian dihitung sebelum pungsi lumbal teurapetik dan setelah pungsi lumbal
teurapetik. Perbedaan faktor dasar yang mungkin terjadi pada pungsi lumbal dan status
vital dibandingkan menggunakan χ2 dan Wilcoxon rank-sum tests.
ketertarikan penulis ialah terhadap hasil penelitian yaitu mortalitas dalam 11 hari setelah
follow up dilakukan. Waktu kematian digambarkan menggunakan model regresi
posion.Risiko relatif terhadap mortalitas dapat diperkirakan, dibandingkan antara pungsi
lumbal teurapetik dengan pungsi lumbal non teurapetik "[18, 19].

Kemungkinan berdasarkan karakteristik dengan pajanan yang diketahui terkait dengan


mortalitas akut, dan itu mengubah perkiraan risiko relatif > 10% setelah penyesuaian.
Linear, nonlinier, dan bentuk kategoris variabel dianggap. Istilah linier dipilih untuk
semua variabel kecuali Glasgow Coma Scale(GCS) skor, yang dichotomized <15
(menunjukkan diubah status mental) atau 15 untuk semua model.Nilai P <.05 dianggap
signifikan secara statistik. Semua data analisis dilakukan dalam SAS versi 9.3 (SAS
Institute,Cary, NC).

Data yang hilang


Banyak permasalahan yang dilakukan untuk menghitung karakterisik karakteristik.
Karakteristik yang seringkali hilang adalah karakteristik usia (34% hilang), ini
disebabkan oleh kebanyakan penderita merasa sakit atau tidak mampu untuk berdiri
sehingga tidak dapat diukur berat badannya. Faktor karakteristik yang biasanya hilang
adalag tekanan awal CSF ( 16% hilang) dan kadar kalium (12% hilang). Dan banyak
variable yang hilang kira-kira 10% dari semua data. Alasan kehilangan data berasal dari
kurangnya persedian atau volume dari specimen-spesimen dan diasumsikan akan hilang
secara acak. Dengan pengecualian berat badan, yang dapat dikaitkan dengan parahnya
kesakitan dan kematian jangka pendek. Analisis analisis sensitivitas dipertimbangkan
model model variable berat badan yang hilang tetapi ini tidak mengubah kesimpulan
secara keseluruhan

HASIL
Studi populasi
Empat ratus tujuh puluh empat individu di saring dan 257 ditemukan menderita
meningitis steptococus dan ini yang dimasukan dalam penelitian. 9 individu meninggal
dunia sehingga tidak dimasukan dalam kategori analisis sehingga menyisakan 248
individu untuk dianalisis. Termasuk individu yang menderita infeksi HIV di observasi
untuk total sebanyak 1698 orang ( rata rata di follow-up selama 7 hari ). Usia rata rata
dari uji cohort disni sekitar 36 tahun, durasi sakit kepala rata-rata 2 minggu sebelum
diagnosis, 55% adalah laki laki dan 29% telah berubah dari segi status mental (GCS <15).
75 individu (30%) menerima paling tidak 1 kali pungsi lumbal teurapetik setelah
terdiagnosis meningitis criptococus. Rata rata kadar peningkatan tekanan intracranial di
diagnosis diatas 269 mmH2O.(IQR 180-373 mmH2O) dan sangat berbeda secara
signifikan dengan individu yang mendapat terapi pungsi lumbal teurapetik dikemudian
hari. Mayoritas individu mendapatkan pungsi lumbal teurapetik hanya 1 kali selama di
follow up, walaupun 15 individu mendapatkan > dari 2 kali Pungsi lumbal dan 2 individu
mendapatkan 7 kali pungsi lumbal dan 1 individu mendapatkan 8 kali pungsi lumbal
selama periode obsesrvasi. Rata rata terapi pungsi lumbal dilakukan di hari ke 3 setelah
terdiagnosis meningitis sterptococus (IQR 2-4 hari). Pada awal terapi pungsi lumbal m
rata rata tekanan awal adalah 270 mmH2O (IQR: 180-401 mmH2O) secara keseluruhan
lebih tinggi dibanding 250 mmH2O yang terjadi pada 58% pasien. Pada terapi awal
pungsi lumbal tekanan intracranial lebih tinggi dibandingkan pada peningkatan awal saat
pertama kali didiagnosis’ rata rataa tekanannya 329 mmH2O (IQR : 210-430 mmH2O)
dibandingkan dengan tekanan awal saat pertama kali didiagnosis sebesar >250mmH2O,
dan 255 mmH2O (IQR: 160-375 mmH2O) dibadningkan dengna tekanan awal
<250mmH2O saat diagnosis.

Kejadian terapi pungsi lumbal sedikit berbeda pada beberapa studi, dengan pungsi lumbal
lebih sering di Kampala dan Kota Cape. Mereka yang menerima Pungsi lumbal tambahan
memiliki lebih tinggi beban jamur pada CSF, tekanan pembukaan dan penutupan CSF
yang lebih tinggi,dan lebih banyak volume CSF dihilangkan selama diagnostik pertama
pungsi lumbal. Karakteristik klinis dan demografi lainnya umumnya serupa di antara
kelompok-kelompok itu.
Mortalitas akut
Tiga puluh enam meninggal selama observasi berlangsung dengan mortalitas rata-rata
sebesar 2.1 per 100 orang ( 95% confidence interval ) (CI). Rata rata kematian di hari ke
4 (IQR:2-6 hari). Kematian akut terkait dengan kurangnya berat badan, hilangnya berat
badan mendadak, rendahnya nilai GCS, tingginya denyut jantung, tingkat pernafasan
lebih cepat dan tingginya kadar jamur pada CSF saat didiagnosis meningitis criptococus
(table 2). Tekanan awal CSF, jumlah apusan CSF dan jumlah sel darah putih pada
diagnosis pungsi lumbal sama antara yang bertahan hidup dengan yang meninggal.
Kematian pada grup yang mendapatkan terapi lumbal pungsi terjadi lebih lama daripada
kematian pada grup yang tidak mendapatkan terapi lumbal pungsi. Rata rata mortalitas
sebelumnya sekitar 2.4 dari 100 orang (95% CI 1.6-3.3 per 100 orang) dibandingkan
dengan setelah menerima pungsi lumbal theurapetic menjadi 1.3 per 100 orang (95% CI,
4-3.0 per 100 orang). Dari semua orang yang mendapatkan pungsi lumbal dan meninggal,
5 individu tersebut hanya menerima 1 pungsi lumbal.
Hubungan multivariable
Kira-kira , risiko relative yang tidak terhitung dari mortalitas sekitar 0.5 (95% CI, 2,1.4)
dibandingkan dengan yang menerima minimal 1 terapi pungsi lumbal dengan yang tidak
menerima pungsi lumbal. Penyesuaian denyut jantung, beban fungi di CSF , dan indicator
untuk GCS yang rendah menjadi model yang dihasilkan menimbulkan resiko relative
yang ekstrim . setelah disesuaikan untuk denyut jantung , beban fungi di CSF, dan GCS
(penyesuaian model 3), rata rata efek dari terapi pungsi lumbal menurunkan risiko dari
kematian sekitar 69% (95%CI, 18%-88%).Pengaturan tambahan untuk tekanan
pembukaan CSF tidak menghasilkan perubahan terukur dalam risiko relatif (0,3;95% CI,
.1, 1.0). Penyesuaian untuk tekanan penutupan CSF awaldan berat badan tidak mengubah
efek yang diperkirakan.

Kelompok tekanan awal pembukaan


Analisis dilakukan untuk menilai apakah efeknya terapi Pungsi lumbal berbeda dengan
tekanan pembukaan CSF awal. Terapi pungsi lumbal frekuensinya lebih sering pada
pasien dengan tekanan intracranial yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan
intracranial yang rendah. Bagaimanapun, terdapat sedikit bukti heterogenitas dari
perkiraan risiko relative , mengusulkan bahwa efek terapi pungsi lumbal terhadap risiko
kematian tidak berbeda berdasarkan tekanan awal.
Empat puluh individu tidak memiliki pengukuran tekanan awal pada saat pertama kali
didiagnosis, dikarenakan karena staf tidak mempelajari manometer. Karakteristik dasar
nya sama antara yang melakukan pengukuran awal dan yang tidak melakukan
pengukuran kecuali jumlah CSF yang dihilangkan dalam jumlah banyak selama pungsi
lumbal pada mereka dengan pengukuran tekanan awal ( rerata 8ml dihilangkan pada
mereka tanpa pengukuran manometer [IQR: 5–15 mL] vs 16 mL pada mereka dengan
pengukuran [IQR:10–25 mL], P <.001). Dari mereka yang kehilangan data tekanan awal
15% pasien menerima terapi pungsi lumbal selama follow up. Secara keseluruhan ,
mortalitas tertinggi diantara mereka yang tanpa pengukuran tekanan ( 23%) dibandingkan
dengan individu dengan pengukuran tekanan (13%). Ukuran sampel terlalu kecil untuk
menarik kesimpulan yang pasti tentang efek dari LP terapeutik pada kematian pada
mereka tanpa tekanan pembukaan CSF terukur.
Diskusi
Pada penilitian ini , 30% pasien dengan HIV terkait meningitis cryptococus mendapatkan
setidaknya 1 terapi pungsi lumbal; secara keseluruhan 15% meninggal setelah 11 hari di
follow up. Mayoritas yang meninggal 85% tidak mendapatkan sama sekali terapi pungsi
lumbal. Setelah penyesuaian yang membingungkan , 69% bertahan hidup di dapatkan dari
keuntungan terapi pungsi lumbal.
Peningkatan tekanan intracranial sering terjadi pada pasien meningitis cryptococus,
terjadi di >60% pasien di Sub Sahara Africa; penemuan ini mempunyai pengaruh yang
besar kepada penyembuhan meningitis cryptococus. Data sebelumnya menyebutkan
bahwa tekanan intracranial dapat meningkat dari waktu ke waktu dan gejala awalnya
biasanya asimptomatik. Oleh karena itu, penurnan volume CSF sebelum terjadi
peningkatan intrcanial dan bergejala dan merugikan adalah salah satu cara yang mungkin
bisa dijleaskan untuk meningkatkan kelangsungan hidup sestelah terapi pungsi lumbal.
Pada pasien AIDS terkait criptococus , peningkatan tekanan intracranial dihasilkan
karena blockade pada vili arachnoid dan masa granul yang dihasilkan dari sel
cryptopcocus atau dinding polisakarida, inflamasi, atau kombinasi dari faktor-faktor
tersebut. Beberapa penilitian terdapat hubungan yang mungkin berkaitan antara
peningkatan tekanan intracranial dengan mortalitas yang di akibatkan oleh cryptococus.
Bagaimanapun , tidak ada perkiraan langsung tentang efek manajemen dari peningkatan
tekanan intracranial dengan terapi pungsi lumbal. Bukti-bukti dari analisis memberikan
perkiraan langsung keuntungan terapi pungsi lumbal terhadap keberlangsungan hidup dan
sangat mendukung dengan panduan pengobatan sebelumnya, yang menekankan
pentingnya dari manajemen peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan oleh
meningitis cryptococus.
Efek terapi pungsi lumbal tidak hanya pada pasien dengan tekanan awal yang tinggi saja
tapi di sarankan pada semua pasien yang terdiagnosis meningitis cryptococus yang
diharapkan mendapatkan keuntungan dari terapi pungsi lumbal. Bagaimanapun , analisis
yang dilakukan terhadap kelompok sangat minim peserta dan kurang kuat, studi
selanjutnya dari terapi pungsi lumbal diperlukan untuk mengerti apakah semua pasien
dengan mendapatkan keberlangsungan hidup dari keuntungan terapi pungsi lumbal ketika
dalam masa pengobatan antijamur.
Temuan penting lainnya adalah saat melakukan apusan CSF berkurangnya volume yang
diambil tidak di ukur. Selain itu, pasien yang tekanan awal CSF nya yang tidak di ukur
selama pungsi lumbal diagnostic kurang menerima terapi pungsi lumbal ketika di follow
up. Di antara perbedaan lain yang tidak di ukur, memungkinkan bahwa volume yang
dihilangkan tidak adekuat untuk menurunkan tekanan menjadi normal, sebagian
dijelaskan mengapa masih terjadi peningkatan mortalitas pada kelompok ini. Sayangnya,
kebanyakan pasien-pasien di dunia tidak memiliki standar dari tekanan CSF yang diukur
atau kurangnya akses manometer untuk perhitungan yang akurat.
Terdapat bukti yang baik bahwa set tubing intravena dirakit menjadi jarum spinal
ditambah dengan tongkat pengukur meter adalah alat alternative untuk menggantikan
manometer yang berfungsi untuk mengukur tekanan pembukaan pada CSF.
Bagaimanapun, ketidakadaan manometer sebagai alat untuk mengukur tekanan, waktu
yang optimal dan volume CSF yang di hilangkan selama pengulangan pungsi lumbal
tidak jelas. Rekomendasi untuk menghilangkan volume CSF selama pungsi lumbal
diagnostic sebanyak 20ml dan pengulangan terapi pungsi lumbal tiap hari jika dibutuhkan
dan berdasarkan gejala yang ada. Satu masalah dengan rekomendasi ini adalah biasanya
diagnosis Cryptococcus dibuat setelah diagnostik awal pungsi lumbal selesai, dan
hilangnya kesempatan untuk menghilangkan volume CSF dan menurunkan tekanan
intracranial. Grup kita di Uganda sekarang rutin untuk melakukan screening HIV pada
pasien dengan subakut meningitis dengan antigen lateral flow assay (Immy,Inc, Norman,
Oklahoma) menggunakan specimen fingerstick atau darah lengkap / specimen plasma
saat melakukan informed consent untuk dilakukan pungsi lumbal. Untuk pasien-pasien
yang positive antigen cryptococus , manometer dapat di prioritaskan untuk digunakan,
dan tekanan intracranial dapat di normalkan saat pertama kali pasien menerima pungsi
lumbal. Selanjutnya, ketidakmampuan untuk mengendalikan ICP mungkin tidak dapat
dihindari menggunakan strategi berdasarkan gejala yang dilaporkan, yang bila diperparah
oleh tuntutan waktu untuk pengulangan pungsi lumbal, pungsi lumbal yang dilakukan
berulang dan inkonsisten dan jarang sesuai data kita.
Keterbatasan dari analisis kita adlah potensi yang tidak terukur, karena data status klinis
sehari hari passion tidak ada di dalam analisis, khususnya sebelum randomisasi dari
COAT. Karakteristik seperti sakit kepala atau penurunan status mental mungkin terjadi
diantara individu yang meninggal lebih cepat. Jika gejala-gejala juga lebih sering terjadi
pada pasien yang tidak menerima pungsi lumbal mungkin karena pasien menolak
melakukan pungsi lumbal. Meskipun tidak diketahui apakah pembaur itu ada, namun
semua dokter setuju secara seragam bahwa pungsi lumbal di rekomendasikan.
Keseragaman ini menurunkan potensi untuk menjadi kacau. Pendekatan evaluasi awal
berdarsarkan dari tekanan pembukaan saat pertama kali, merupakan indicator untuk
menjalani pungsi lumbal tambahan.
Pada uji cohort terapi pungsi lumbal berdasarkan tekanan awal CSF dan gejala gejala
peningkatan tekanan intracranial, dimana studi lain telah melakukan pendekatan
sistematik terapi terjadwal pungsi lumbal untuk percobaan fase ke 2 untuk melihat
aktivitas obat antifungi. Studi tersebut gagal membuktikan hubungan antara peningkatan
tekanan intracranial dengan peningkatan kematian. Percobaan dimasa yang akan datang
harus memeriksa apakah kelangsungan hidup berbeda antara yang dilakukan terapi
pungsi lumbal berdasarkan tekanan CSF >250 mmH20 dengan menggunakan strategi
yang telah ditentukan jadwal pungsi lumbal (misalnya pada hari ke 1,3,7 dan 14 ) untuk
semua pasien.
Kesimpulannya, analisis kita mendukung kewaspadaan terhadap peningkatan tekanan
intracranial pada pasien yang telah didiagnosis HIV terkait meningitis cryptococus ,
termasuk akses yang lebih baik manometers untuk memonitor tekanan CSF dan
penggunaan terapi pungsi lumbal untuk menurunkan tekanan intracranial selama terapi
antifungi.
Referensi
1. Brouwer AE, Rajanuwong A, Chierakul W, et al. Combination antifungal therapies for HIV-
associated cryptococcal meningitis: A randomised trial. Lancet 2004; 363:1764–7.
2. Heyderman RS, Gangaidzo IT, Hakim JG, et al. Cryptococcal meningitis in human
immunodeficiency virus-infected patients in Harare, Zimbabwe. Clin Infect Dis 1998; 26:284–9.
3. Jarvis JN, Meintjes G, Williams Z, Rebe K, Harrison TS. Symptomatic relapse of HIV-associated
cryptococcal meningitis in South Africa: The role of inadequate secondary prophylaxis. South
African Med J 2010; 100:378–82.
4. Jarvis JN, Bicanic T, Loyse A, et al. Determinants of mortality in a combined cohort of 501
patients with HIV-associated cryptococcal meningitis: implications for improving outcomes. Clin
Infect Dis 2014; 58:736–45.
5. Kambugu A, Meya DB, Rhein J, et al. Outcomes of cryptococcal meningitis in Uganda before
and after the availability of highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2008; 46:1694–
701.
6. Kisenge PR, Hawkins AT, Maro VP, et al. Low CD4 count plus coma predicts cryptococcal
meningitis in Tanzania. BMC Infect Dis 2007; 7:39.
7. Loyse A, Wilson D, Meintjes G, et al. Comparison of the early fungicidal activity of high-dose
fluconazole, voriconazole, and flucytosine as second-line drugs given in combination with
amphotericin B for the treatment of HIV-associated cryptococcal meningitis. Clin Infect Dis 2012;
54:121–8.
8. McCarthy KM, Morgan J, Wannemuehler KA, et al. Population-based surveillance for
cryptococcosis in an antiretroviral-naive South African province with a high HIV seroprevalence.
AIDS 2006; 20:2199–206.
9. Mwaba P, Mwansa J, Chintu C, et al. Clinical presentation, natural history, and cumulative
death rates of 230 adults with primary cryptococcal meningitis in Zambian AIDS patients treated
under local conditions. Postgrad Med J 2001; 77:769–73.
10. Van Der Horst C, Saag M, Cloud G, et al. Treatment of cryptococcal meningitis associated
with the acquired immunodeficiency syndrome. N Engl J Med 1997; 337:15–21.
11. Graybill JR, Sobel J, Saag M, et al. Diagnosis and management of increased intracranial
pressure in patients with AIDS and cryptococcal meningitis. The NIAID Mycoses Study Group and
AIDS Cooperative Treatment Groups. Clin Infect Dis 2000; 30:47–54.
12. Fessler R, Sobel J, Guyot L, et al. Management of elevated intracranial pressure in patients
with cryptococcal meningitis. J Acquir Immune Defic Syndr 1998; 17:137–42.
13. World Health Organization. Rapid advice: Diagnosis, prevention and management of
cryptococcal disease in HIV-infected adult, adolescents, and children. Geneva: World Health
Organization, 2011.
14. Perfect JR, Dismukes WE, Dromer F, et al. Clinical practice guidelines for the management of
cryptococcal disease: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis
2010; 50:291–322.
15. Bicanic T, Brouwer AE, Meintjes G, et al. Relationship of cerebrospinal fluid pressure, fungal
burden and outcome in patients with cryptococcal meningitis undergoing serial lumbar
punctures. AIDS 2009; 23:701–6.
16. Schaars CF, Meintjes GA, Morroni C, Post FA, Maartens G. Outcome of AIDS-associated
cryptococcal meningitis initially treated with 200 mg/ day or 400 mg/day of fluconazole. BMC
Infect Dis 2006; 6:118.
17. Meda J, Kalluvya S, Downs JA, et al. Cryptococcal meningitis management in Tanzania with
strict schedule of serial lumber punctures using intravenous tubing sets: an operational research
study. J Acquir Immune Defic Syndr Hum Retrovirol 2014; 66:e31–6.
18. Zou G. A Modified Poisson regression approach to prospective studies with binary data. Am
J Epidemiol 2004; 159:702–6.
19. Spiegelman D, Hertzmark E. Easy SAS calculations for risk or prevalence ratios and
differences. Am J Epidemiol 2005; 162:199–200.
20. Rothman KJ, Greenland S, Lash TL. Modern epidemiology. 3rd ed. Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins, 2008.
21. Denning D, Armstrong R, Lewis B, Stevens D. Elevated cerebrospinal fluid pressures in
patients with cryptococcal meningitis and acquired immunodeficiency syndrome. Am J Med
1991; 91:267–72.
22. Loyse A, Wainwright H, Jarvis JN, et al. Histopathology of the arachnoid granulations and
brain in HIV-associated cryptococcal meningitis: correlation with cerebrospinal fluid pressure.
AIDS 2010; 24:405–10.
23. Lee SC, Dickson DW, Casadevall A. Pathology of cryptococcal meningoencephalitis: analysis
of 27 patients with pathogenetic implications. Hum Pathol 1996; 27:839–47.
24. Shoham S, Cover C, Donegan N, Fulnecky E, Kumar P. Cryptococcus neoformans meningitis
at 2 hospitals in Washington, DC: Adherence of healthcare providers to published practice
guidelines for the management of cryptococcal disease. Clin Infect Dis 2005; 40:477–479.
25. Harrison TS. The burden of HIV-associated cryptococcal disease. AIDS 2009; 23:531–2.
26. Govender N, Meintjes GA, Bicanic T, et al. Guideline for the prevention, diagnosis and
management of cryptococcal meningitis among HIVinfected persons: 2013 update. SAJHIVMED
2013; 14:76–86.

Anda mungkin juga menyukai