Anda di halaman 1dari 7

AKU DAN DIRIKU SENDIRI

Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang


secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan
metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah
suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap
manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia
adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut
idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.

Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya


yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang
tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana
yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat
relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang
menurutnya benar.

Tetapi dalam ruang ontologi, eksistensialisme banyak mempersoalkan


makna keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh
karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan
persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu ? bagaimanakah manusia
yang bebas itu ? eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi
terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.

Sementara di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre,


dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut
Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia
bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari
adanya kebebasab eksistebsialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau,
sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme
mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme
meyakini kebebasan adalah satu-satunya unuversalitas manusia. Maka, batasab
kebebasan setiap individu adalah kebebasan indovidu lain.

Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang


yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia
selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan
berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
eksistensialisme.

Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan
tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh,
mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter atau lainnya
tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau
lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.

Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi


empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara
aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta
pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam
dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme ateis.

Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya


manusia. Sesuatu oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada –
dalam – diri) dan l’etre – pour – soi(berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu
menjadi keberadaan yang an –sich, ada yang bulat, padat, baku, dan
tertutup. Entre – en – soi menaati prinsip what it is.

Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-
sebab yang telah ditentukan oleh adanya. Maka, benda entre – en –
soi terdeteminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda
yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alas an apa pun, tanpa alas an yang kita
berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya
makhluk yang mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak
memiliki prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena
kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung jawab atas keberadaannya;
bahwa “aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam
diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan
mahasiswa; bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia
bereksistensi.

Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu


kesadran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah
kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran
prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang
berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.

Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang


mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa
akan realitas hidupnya menurut Sartre seseorang akan dibawa pada sesuatu yang
dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah kebebasan menurut Sartre
menjadi sesuatu hal yang terkutuk.

Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa


untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi
berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des
daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein tersusun dari dad dan sein. Da berarti
di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya. Menurut
Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu tidak
hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk
dengan tidak henti-hentinya.
Berdasarkan kajian mengenai eksistensialisme tersebut terhadap “aku”
atau diri sendiri, kelahiran saya merupakan awal dari eksistensialisme terhadap
“aku” atau diri sendiri. Tanpa terjadinya proses kelahiran maka tentu saja
eksistensialisme saya di dunia ini tidak akan pernah terjadi. Tentu saja saat
dilahirkan saya tidak menyadari bahwa saya sudah bereksistensi di dunia yang
fana ini. Karena sampai saat ini pun jika tidak ada dokumen kelahiran (Akte
Kelahiran) maka saya tidak akan tahu secara pasti kapan saya lahir dan
bereksistensi di dunia ini.

Eksistensi saya di dunia ini makin hari makin saya rasakan. Saya mulai
mengetahui bahwa saya mampu melihat dengan kedua bola yang berada didalam
rongga pada wajah yang disebut mata. Saya mampu mendengar dengan sesuatu
yang berada di samping kanan dan kiri kepala yang disebut telinga. Saya mampu
mencium sesuatu yang sangat harum dan sangat busuk dengan sesuatu yang
memiliki lubang di wajah yang disebut hidung. Saya mampu berbicara dengan
sesuatu yang bisa dibuka dan ditutup pada wajah yang disebut mulut.

Kemudian saya menyadari bahwa bukan hanya itu saja yang ada dan dapat
saya lakukan pada diri saya sendiri. Saya bisa menggunakan sesuatu yang disebut
kaki untuk berjalan, sesuatu yang disebut tangan untuk mengambil dan memakai
barang. Bahkan saya dapat menggunakan tangan dan kaki secara bersamaan untuk
melakukan gerakan yang diiringi musik dan disebut menari. Bukan hanya itu saja,
saya juga dapat memanfaatkan itu semua untuk membantu orang lain.

Semakin bertambah usia seseorang maka eksistensialisme seseorang pun


makin besar. Saya mulai menghadapi sesuatu yang disebut sekolah. Tempat di
mana seseorang yang terlihat seperti orang yang sudah melahirkan dan
membesarkan saya mengajari berbagai macam hal yang saya tidak pernah tahu
ada hal seperti itu di dunia ini.
Saya menyadari bahwa saya memiliki sesuatu yang ada di dalam kepala
dan disebut otak. Saya belajar membaca, berhitung, menulis, serta kegiatan lain
yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya bertemu orang-orang yang
terlihat seperti saya, mengenakan baju seperti saya saat berada di sekolah dan saya
menyadari bahwa merekalah yang disebut dengan teman sekolah.

Keberadaan sesuatu selain saya ternyata tidak hanya sampai disitu saja,
saya sadar bahwa masih banyak yang harus saya lewati agar saya menyadari
berbagai hal yang ada dan terdapat di dunia ini.

Saat saya mengenal sesuatu yang disebut tugas dan pekerjaan rumah saya
terkadang merasakan sesuatu yang berbeda di dalam kepala saya, perasaan seperti
itulah yang dinamakan sakit. Ketika saya mengerjakan tugas, saya sadar bahwa
saya merasakan sakit dikepala saya. Sakit di kepala ternyata disebut pusing. Lama
kelamaan saya menyadari bahwa sakit bukan hanya dirasakan di kepala, tetapi di
bagian lain pun dapat merasakan sakit.

Saat saya sudah menyelesaikan sekolah yang pertama kali saya masuki,
saya akhirnya sadar bahwa ternyata saya baru memasuki dunia yang dinamakan
pendidikan dan tingkatan yang saya jalani selama ini adalah Taman Kanak-Kanak.
Sejak saat itu saya sadar bahwa saya masih harus menempuh tingkatan pendidikan
yang lebih tinggi.

Saya memasuki bangku yang disebut Sekolah Dasar (SD). Di sinilah saya
menyadari bahwa saya harus memiliki tujuan di masa depan seperti pekerjaan
yang disebut cita-cita. Guru mengatakan bahwa jika ingin menggapai cita-cita
maka saya harus rajin dan giat belajar agar apa yang saya cita-citakan dapat
tercapai. Saya berpikir apa yang saya cita-cita kan?

Saya mulai menyadari bahwa saya harus memiliki cita-cita agar eksistensi
saya makin meluas. Saat di bangku SD saya bercita-cita ingin menjadi seorang
polisi wanita. Eksistensi polisi dijalanan membuat saya kagum. Sebab tanpa polisi
negara ini hanya akan dipenuhi kejahatan seperti yng diberitakan di televisi. Saat
itu di mata saya keberadaan polisi sangat keren dan saya ingin menjadi seperti itu.
Saat saya menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi saya makin sadar
eksistensi saya harus menjadi semakin jelas. Saya sadar bahwa pelajaran yang ada
disekolah makin sulit, teman yang memiliki berbagai macam kepribadian, dan
tugas dan pekerjaan rumah yang makin banyak sehigga mengurangi waktu saya
dalam membebaskan diri dan berekspresi. Saya sadar sekolah itu merupakan
kegiatan untuk menimba ilmu agar saya mendapatkan cita-cita saya.

Saat saya memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya


sadar bahwa tujuan hidup dan cita-cita saya mulai berubah. Saya tidak
memandang eksistensi polisi dalam menjaga keamanan negara sebagai sesuatu
yang keren, apalagi makin banyak dan maraknya kasus kejahatan serta perilaku
beberapa polisi yang meminta uang kepada penilang agar tidak ditilang.

Memasuki bangku Sekolah Menegah Atas (SMA), saya sudah mulai


merencanakan dan mempersiapkan dengan baik apa yang saya cita-citakan dan
saya ingin wujudkan. Saya memantapkan hati bahwa saya ingin menjadi seorang
Duta Besar (Dubes) ataupun diplomat perwakian Indonesia untuk Korea Selatan.
Sejak saat itu saya mulai merencanakan untuk memasuki perguruan tinggi negeri
yang bagus dan terbaik di Indonesia, saya ingin masuk ke jurusan ilmu
komunikasi, ilmu hubungan internasional ataupun bahasa dan kebudayaan Korea.
Tetapi saya sadar bahwa bukan hanya ketiga jurusan itu saja yang dapat
membawa saya menjadi dubes. Maka saya berpikir untuk memasuki jurusan
filsafat.

Dengan demikian saya menyadari bahwa eksistensialisme saya dapat saya


lakukan dengan kerja keras dan usaha. Tidak bisa dipungkiri bahwa perencanaan
dan tujuan memang harus dan perlu dilakukan, meskipun saya baru menyadarinya
dalam waktu yang sangat singkat tapi saya yakin tidak ada yang terlambat jika
mau berusaha dan tidak lupa beribadah.
DAFTAR PUSTAKA

http://historyfileon.blogspot.com/2012/01/eksistensialisme-dalam-
pembelajaran.html

Anda mungkin juga menyukai