Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN THT-KL REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2018

UNIVERSITAS HALUOLEO

DEVIASI SEPTUM NASI

PENYUSUN :

IKWAN ASRIN ALI MANSYUR (K1A109048)

INDRA DIKA PRATAMA (K1A112070)

PEMBIMBING :

dr. DAUD RANTETASAK, Sp.THT-KL

KAPANITERAAN KLINIK THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Ikwan Asrin Ali Mansyur (K1A109048)

Indra Dika Pratama (K1A112070)

Judul Referat : Deviasi Septum Nasi

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2018


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Daud Rantetasak, Sp. THT-KL

2
DEVIASI SEPTUM NASI

Ikwan Asrin Ali Mansyur, Indra Dika Pratama, Daud Rantetasak

A. PENDAHULUAN
Deviasi septum merupakan suatu keadaan dimana terjadi pergeseran dinding
pemisah hidung dari garis median. Melalui berbagai fase perkembangan komponen
tulang dan tulang rawan selama pertumbuhan septum, hanya pada sebagian kecil
orang, dinding hidung terbentuk tepat di tengah; pada sebagian besar orang, septum
sedikit tertekuk. Pada kebanyakan kasus, tekukan tersebut tidak menimbulkan gejala.
Namun, bila deviasi lebih mencolok, dapat terjadi penggeseran saluran hidung ke satu
sisi.1
Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai,
biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum nasi.
Diperkirakan 75%-85% dari seluruh populasi mengalami kelainan bentuk anatomi
hidung, dan yang paling banyak adalah deviasi septum. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan sumbatan hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau menimbulkan gangguan estetik
wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.2
Deviasi dan dislokasi septum dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan
yang tidak seimbang antara kartilago dengan tulang septum, traumatik akibat fraktur
fasial, fraktur nasal, fraktur septum atau akibat trauma saat lahir. Trauma selama
masa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai dampak lebih besar dibandingkan
dengan trauma serupa yang dialami setelah dewasa.3,4
Struktur hidung luar baik tulang maupun kartilago dapat diibaratkan “piramid
atau “tenda” dengan suatu penyangga sentral, yaitu septum. Cedera dapat
menyebabkan sumbatan melalui salah satu mekanisme berikut: (1) Kolaps dinding
samping ke medial, sehingga memepersempit fosa nasalis (2) Pergeseran septum,
pergeseran unilateral mempersempit satu saluran dan memperbesar yang lainnya,

3
menimbulkan obstruksi unilateral (3) Fraktur dan pergeseran kubah dan septum
nasalis membengkokkan “piramid”.4
Gejala utama adalah hidung tersumbat, biasanya unilateral dan dapat
intermitten. hiposmia atau anosmia dan sakit kepala dengan derajat yang bervariasi.
Diagnosis septum deviasi ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
dengan melakukan rinoskopi anterior maupun dengan nasoendoskopi. Pemeriksaan
penunjang seperti Rontgen sinus paranasal dan tomografi komputer lebih ditujukan
untuk menilai komplikasi maupun struktur anatomi hidung dan sinus paranasal
lainnya dan tidak penting untuk menegakkandiagnosis septum deviasi.3
Penatalaksanaan septum deviasi sangat tergantung dari keluhan maupun
komplikasi yang ditimbulkannya. Septoplasti dilakukan jika terdapat keluhan akibat
septum deviasi seperti hidung tersumbat, untuk memperbesar akses kemeatus media
pada saat melakukan bedah sinusendoskopi fungsional sakit kepala akibat kontak
poin dengan septum deviasi, epistaksis dan sebagai akses untuk melakukan
tindakanoperasi tertentu dan alasan kosmetik. 3
Septoplasti merupakan prosedur operasi yang dilakukan untuk koreksi kelainan
septum. Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti, antara lain septoplasti
tradisional atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi
dan teknik open book septoplasty. Dimana teknik septoplasti konvensional masih
sering dipergunakan dan masih memberikakan hasil yang baik.3

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG


1. Anatomi Hidung5
A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi

4
5.Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar7


Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi

5
Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar7

B. Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi
bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares
posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,tepatnya
dibelakang nares anterior disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu;dinding
medial,lateral,inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh
tulang rawan dan tulang, dimana bagian tulangnya adalah lamina
perpendikularis os etmoid,vomer,krista nasalis os palatina,sedangkan bagian
tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periosteum pada bagian tulangnya,sedangkan diluarnya dilapisi oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager

6
nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung

Gambar 3.Septum Nasi7


Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu

7
celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior.Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid

Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi7

Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan ventilasi dan
drenase dari sinus sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal.

Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.Etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.Oftalmika dari a.Karotis interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.Fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang a.Sfenopalatina,

8
a.Etmoid anterior, a.Labialis superior dan a.Palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis
dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.

2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah

9
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
5) refleks nasal.

C. DEFINISI
Deviasi septum merupakan suatu keadaan dimana terjadi pergeseran dinding
pemisah hidung dari garis median. Bentuk septum normal ialah lurus ditengah rongga
hidung tetapi sangat jarang septum yang tegak lurus dan sempurna di garis median.
Pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah.6,7
Deviasi septum yang ringan tidak akan menggangu, akan tetapi bila deviasi itu
cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian
dapat menggangu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.6

D. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian deviasi septum nasi yang dilaporkan sangat bervariasi.
Diperkirakan 75%-85% dari seluruh populasi mengalami kelainan bentuk anatomi
hidung, dan yang paling banyak adalah deviasi septum. Studi klinis menunjukkan
bahwa prevalensi deviasi septum meningkat seiring dengan usia.8
Van der Veken dalam Harar et al mendapatkan bahwa prevalensi deviasi septum
pada anak-anak meningkat dari 16% sampai 72% secara linear dari usia 3 hingga 14
tahun, sedangkan Gray dalam Harar et al melaporkan di antara 2112 orang dewasa,
kejadian deviasi septum adalah 79%.8

E. ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah
lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intra uterin. Penyebab lainnya
adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh,
meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah
deviasi pada septum nasi tersebut.6

10
Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray paa
tahun 1972 menerangkannya dengan teori birth moulding. Posisi intra uterin yang
abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat
terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran
dapat menambah trauma pada septum.3

F. KLASIFIKASI

Bentuk – bentuk deformitas dari deviasi septum, ialah : (1) Deviasi biasanya
berbentuk huruf C atau S; (2) Dislokasi, yaitu bagian bawah septum kartilago keluar
dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; (3) Penonjolan tulang atau
tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista dan bila
sangat runcing dan pipih disebut spina; (4) Bila deviasi atau krista septum bertemu
dan melekat dekan konkadihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah
beratnya obstruksi.6
Deviasi septum dari beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi3, yaitu:
1. Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).
4. Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

11
Gambar 5. Kasifikasi deviasi septum nasi menurut Mladina8

Jin RH dkk membagi deviasi septum menjadi 49, yaitu :


1. Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal.
2. Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir.
3. Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal.
4. Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar

12
Fig. 1. Proposed descriptors for morphology of SD. Localized deviation (A), curved deviation (B) and
angulated deviations (C, D) of the septum.
Gambar 6. Klasifikasi Deviasi septum menurut Jin RH dkk9

Jin RH dkk juga membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya
keluhan yaitu9 :
1. Ringan : deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang : deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat : deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral
hidung.

G. GEJALA KLINIK
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan dapat unilateral dan dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat
konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi,
sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan
sekitar mata. Bila dinding hidung yang menekuk berbenturan dengan komponen
tulang di sebelah lateral daerah sempit, dapat terjadi epitaksis berulang.1,5
Selain itu penciuman dapat terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Suatu deviasi septum yang sangat berlebihan
memberikan keluhan hidung tersumbat, rinosinusitis berulang, perubahan bentuk luar
hidung, dan sakit kepala.6,7

13
H. DIAGNOSIS
Deviasi septum nasi dapat mudah terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung
spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga
dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya konka. Sering
terlihat pengerutan di concha nasalis inferior ipsilateral dan hipertrofi kompensatorik
di sisi yang normal.3
Piramid hidung, palatum dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini
sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. Pemeriksaan
nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian
posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi
sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan radiologi sinus paranasal.1,

I. PENATALAKSANAAN
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan
koreksi septum. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Dekongestan,
digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.6
Penatalaksanaan baku pada septum deviasi adalah operasi reposisi dari septum.
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada penderita dengan keluhan
yang nyata yaitu reseksi submukosa septum dan septoplasti.6
 Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR)
Pada operasi ini muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan
muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi

14
ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.6
 Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan prosedur operasi yang dilakukan untuk koreksi
deviasi septum nasi. Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi.
Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini
dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose yaitu
pendataran hidung yang disebabkan oleh abses dan pembentukan abses.. Saat
ini dikenal berbagai teknik septoplasti antara lain septoplasti tradisional atau
yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan teknik
open book septoplasty.3,10

F. KOMPLIKASI

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor


predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang
hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi,
diantaranya11:

1. Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung
atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2. Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan
darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan.
3. Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4. External Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.

15
5. Anosmia. Biasanya jarang terjadi pada pasien dan sulit untuk dilakukan
perbaikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Nagel P, Robert G. Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam: Dasar-dasar Ilmu THT.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2012. Hal.33-58

2. Budiman BJ, Pulungan MR. Penatalaksanaan Septum Deviasi Dengan Septoplasti


Endoskopi Metode Open Book. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2011:pp 1-6

3. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum


Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2012:pp 1-6

4. Hilgler, Peter A. Penyakit Hidung. Dalam: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997.Hal.200-239

5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. Hal.
118-122

6. Mangunkusumo, Nizar, WN. Kelainan Septum. Dalam: Soepardi EA, Iskandar


N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. Hal. 126-134

7. Broek DVP, Feenstra L. Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam: Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga, Edisi 12. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran. 2010. Hal.96-131

8. Toluhula TT, Punagi AQ, Perkasa MF. Hubungan tipe deviasi septum nasi
klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius .
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
Universitas Hasanuddin. 2013. Vol. 43 No.2. pp 1-11

9. Jin RH, Lee YJ. New description method and calssification system for septal
deviation. J Rhinol 2007; 14(1). pp 27-31

10. MV, Mehta, Lucente FE. Obstruksi, Kongesti, dan Drainase Hidung. Dalam:
Lucente FE. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Jakarta: EGC. 2011. Hal. 205-219.

11. Bull PD. The Nasal Septum. Dalam: Lecture Notes on Disease 0f The Ear, Nose
and Throat. Ninth Edition USA: Blackwell Science ltd 2002: pp 81-85

17

Anda mungkin juga menyukai