Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nurul Kartika

Kelas : C
NPM : 071 000 197
Mata kuliah : Sosiologi hukum
Dosen : Dr. Anthon F. Susanto, S.H.,Hum

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA :


Peninjauan atas UU PKDRT dari sudut Sosiologi Hukum

Sosiologi salah satunya membahas gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat seperti norma-
norma, kelompok , lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses , perubahan dan
kebudayaan, serta perwujudannya. Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan gejala
abnormal atau gejalapatologis. Hal itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya,sehingga menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah –
masalah tersebut berbeda dengan problema-problema lain dalam masyarakat, karena maslaah-
masalah tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hal ini
dinamakan masalah karena bersangkut paut dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan
dalam masyarakat. Dengan demikian, masalah-masalah menyangkut nilai-nilai yang mencangkup
pula segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan sebagai masalah harus
digunakan penilaian sebagai pengukurannya. Apabila suatu masyarakat menganggap sakit jiwa,
bunuh diri, perceraian, penyalahgunaan obat bius (narcotics addiction) sebagai masalah , maka
masyarakat tersebut tidak semata-mata menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang. Akan tetapi
sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum mengenai segi moral. Setiap masyarakat
tentunya mempunyai ukuran yang berbeda mengenai hal ini seperti minsalnya soal gelandangan
merupakan masalah nyata menghadapi kota-kota besar di Indonesia. Tetapi belum tentu masalah tadi
dianggap sebagai masalah di tempat lainnya. Hal ini juga tergantung dari faktor waktu. Mungkin
pada waktu-waktu lampau permainan judi dianggap sebagai masalah yang penting akan tetapi
dewasa ini tidak
Isu penindasan terhadap wanita terus-menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya
adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT sering disuarakan
oleh organisasi atau kelempok bahkan Negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. dan
berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB paada
tanggal 20 desember 1993 dan tealah diratifikasikan oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia
telah disahkan Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga’. Negara Indonesia sendiri telah mengenal bentuk–bentuk tindak kekerasan terhadap
perempuan dri mulai jaman dahulu. Bentuk-bentuk seperti kawin paksa, poligami, perceraian secara
sepihak tanpa mempertimbangkan keadilan bagi istri dan anak, tindak pemukulan dan penganiayaan,
dan bentuk-bentuk kesewenangan lain terhadap perempuan, merupakan contoki yang tidak sulit
untuk ditemukan pada masyarakat Indonesia.
Tindak kekerasan ini terjadi dalam seluruh aspek hubungan antara manusia, yaitu dalam
hubungan keluarga dan dengan orang-orang terdekat lainnya, dalm hubungan kerja, maupun dalam
menjalankan hubungan sosial kemasyarakatan secara umum. Kekerasan yang dialami oleh
perempuan ini sangat banyak pula bentuknya, baik yang bersiffat psikologi, fisik, seksual, ekonomis,
budaya dan keagamaan, hingga merupakan bagian dari sebuah system pengorganisasian lintas
Negara. Beberapa propagantis anti-KDRT beranggapan bahwa KDRT adalah masalah gender, yakni
disebabkan karena ketidak-adilan gender. Adanya posisi perempuan telah menempatakn mereka
sebagai kekerasan oleh pria. Dan ajaran agama (islam) dituduh melancarkan budaya ini. Beberapa
syariat Islam dicap sebagai upaya memposisikan posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum
pria untuk memperlakukan wanita dengan semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan.
Menurut Jill Steans, Gender adalah : (jender) tidak mengacu pada perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki melainkan hubungan ideologis dan materil antara kedu kelompok jenis
kelamin tersebut dengan menggunakan terminology ‘maskulin’ dan ‘feminin’.
Setiap masyarakat dan kebudayaan memiliki karakteristik emosional dan psiologis tertentu
tentang laki-laki dan perempuan dan oleh karena itu setiap individu diharapkan mampu menjalankan
hidupnya berdasarkan karakternya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa gender lebuh
merupakan harapan masyarakat sekitar akan seperangkat karakter dan perilaku tertentu yang harus
atau biasa dimiliki seseoarang berdasarkan jenis kelaminnya
Kejahatan,dalam hal ini kekerasan , terhadap perempuan sebelum disahkannya keberlakuan
UU PKDRT oleh Negara, hanya diatur oleh satu-satunya produk hukum yang dapat dijadikan acuan
yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (‘KUHP’). Semua persoalan kekerasan yang dihadapi
perempuan, baik dewasa maupun anak-anak hanya bisa mengacu pada KUHP,karena dalam tingkat
nasional memang belum ada alternative perangkat hukum lainnya. Fakta menunjukan bahwa KUHP
yang selama ini ddigunakan oleh pihak Kepoloisian, Kejaksaan dan Pengadilan justru merugikan
perempuan sebagai korban kekerasan. Sering terjadi, kategori kekerasan yang secara factual dialami
oleh perempuan unsure-unsurnya tidak memenuhi pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Dan kemudian
pihak penegak hukum menghentikan proses hukum yang sedang dijalankan. Kasus yang dilaporkan
tidak dapat dilanjutkan hingga ke pengadilan. Ini menunjukan bahwa secara umum Negara masih
belum mampu memberikan perlindungan terhadap perempuan, khususnya mereka yang menjadi
korban. Kebijakan dan peraturan termasuk tetapi tidak terbatas pada KUHP.
Sebagai tanggapan atas segenap masalah yang terjadi di masyarakat tersebut, maka pada
tahun 2004, pemerintah Negara Republik Indonesia kemudian mengesahkan keberlakuan UU
PKDRT dan selanjutnya diikuti dengan pengesahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.Dalam
hal sudah berlakunya UU PKDRT, dengan kata lain sudah ada instrument hukum yang menjamin
perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan rumah tangga.
Sehubungan dengan diundangkan UU PKDRT, ysaitu bahwa instrument hukum yang
melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, akan dapat efektif untuk menghapuskan, atau
setidaknya mengurangi terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, jika didukung dengan
budaya hukum masyarakat yang menempatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang setara dengan
dengan laki-laki.
Suatu harapan yang mulia agar Negara yang telah memiliki UU PKDRT ini dapat
menindaklanjutinya dengan memadukan berbagai upaya dari berbagai pihak dalam hal ini para
penegak hukum (polosi, jaksa, hakim, pengacara), civitas akademis hukum, tokoh agama,
budayawan dan masyarakat luas. Pihak-pihak ini semertinya saling membahu menciptakan system
penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga secara terpadu, serta membangun suatu budaya
keadilan jender yang mampu menentralisir pengaruh negative dari kekerasan terhadap perempuan.
Upaya terpadu tersebut dan terus-menerus melakukan transformasi sosial bahwa UU PKDRT dapat
benar-benar ditegakkan untuk mengakhiri penderitaan perempuan.

Anda mungkin juga menyukai