Pada zaman Yunani, Linguis mempertentangkan fisis dan nomos, analogi dan anomali.
Fisis (alami) memiliki prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak. Nomos (konvensi)
diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan dan mungkin bisa diubah. Analogi adalah proses
atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Anomali
adalah penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis
suatu bahasa. Kaum Sophis, mereka melakukan kerja empiris, mengunakan ukuran tertentu,
mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna.
Tokoh kaum ini, Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat
perintah, kalimat laporan, kalimat doa, dan kalimat undangan. Plato (429-347 SM), seorang
filsuf dalam studinya: memperdebatkan analogi dan anamali, membuat batasan bahasa bahwa
bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata (nomina) dan rhemata
(predikat). Aristoteles (384-322 SM), membagi tiga macam kelas kata: onoma, rhema, dan
syndesmoy (preposisi dan konjungsi). Kaum Staik membedakan studi bahasa secara logika
dan tata bahasa, menciptakan istilah khusus dalam tata bahasa, membagi tiga komponen
bahasa: tanda, makna, dan hal-hal lain di luar bahasa (benda, situasi), membagi legein (bunyi
fonologi yang bermakna) dan propheral (bunyi bahasa yang bermakna), membagi kelas kata:
benda, kerja (komplet, tak komplet, aktif, dan pasif), syndesmoy, dan arthoron. Kaum
Alexandrian, mereka menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata
bahasa tradisional. Sezaman dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana hindu
yang bernama Panini, telah menyusun sekitar 4.000 pemerian tentang struktur bahasa
sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Oleh
karena itu, Panini dianggap sebagai one man of greatest monuments of the human
intelegence oleh Leonard Bloomfield.
Metode yang kedua adalah metode deduktif. Metode ini berguna untuk
memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa) berbahasa seseorang dengan
menganalisis performance (yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan dalam
linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa) untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan
tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-
gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi
metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori
pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya,
epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai
kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur
pengetahuan membangkitkan unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek
pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya
maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang
perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan
fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah
struktur karya maupun bahasa. Dalam konteks inilah, saya berupaya memaparkan
strukturalisme dalam pandangan tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure.
Penutup
Linguistik struktural merupakan kajian linguistik yang membahas bahasa
menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri. Linguistik struktural sering
dipertentangkan dengan linguistik tradisional. Linguistik struktural mengkaji bahasa dari ciri
formal yang ada di dalam bahasa, sedangkan linguistik tradisional mengkaji tataran filsafat
dan semantik.
Linguistik struktural yang juga disebut sebagai linguistik modern lahir karena
ketidakpuasan pada aliran linguistik tradisional yang mengkaji bahasa bukan dari bahasa itu
sendiri tetapi mengkaji menggunakan disiplin ilmu yang lain. Perkembangan linguistik dari
zaman ke zaman mengalami perkembangan dan melahirkan teori-teori dan aliran-aliran
linguistik.
Linguistik struktural pun diterapkan dalam pembelajaran Bahasa, dalam hal ini
khususnya bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, linguistik struktural
melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa.
Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer
Institute of Linguistics.
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081205140017
http://agustrianto17.blogspot.com/2008/02/kontribusi-linguistik-struktural-dan.html
http://cakrabuwana.files.wordpress.com/2008/09/muhammad-arif-cakra-buwana-bab-8-
sejarah-dan-aliran-linguistik.pdf
SELASA, 13 DESEMBER 2011
Metode yang kedua adalah metode deduktif. Metode ini berguna untuk
memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa) berbahasa seseorang dengan
menganalisis performance (yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan dalam
linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa) untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan
tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-
gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi
metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori
pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya,
epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai
kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur
pengetahuan membangkitkan unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek
pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya
maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang
perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan
fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah
struktur karya maupun bahasa. Dalam konteks inilah, saya berupaya memaparkan
strukturalisme dalam pandangan tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure.
Penutup
Linguistik struktural merupakan kajian linguistik yang membahas bahasa
menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri. Linguistik struktural sering
dipertentangkan dengan linguistik tradisional. Linguistik struktural mengkaji bahasa dari ciri
formal yang ada di dalam bahasa, sedangkan linguistik tradisional mengkaji tataran filsafat
dan semantik.
Linguistik struktural yang juga disebut sebagai linguistik modern lahir karena
ketidakpuasan pada aliran linguistik tradisional yang mengkaji bahasa bukan dari bahasa itu
sendiri tetapi mengkaji menggunakan disiplin ilmu yang lain. Perkembangan linguistik dari
zaman ke zaman mengalami perkembangan dan melahirkan teori-teori dan aliran-aliran
linguistik.
Linguistik struktural pun diterapkan dalam pembelajaran Bahasa, dalam hal ini
khususnya bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, linguistik struktural
melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa.
Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer Institute of
Linguistics.
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081205140017
http://agustrianto17.blogspot.com/2008/02/kontribusi-linguistik-struktural-dan.html
http://cakrabuwana.files.wordpress.com/2008/09/muhammad-arif-cakra-buwana-bab-8-sejarah-dan-
aliran-linguistik.pdf
Kajian Linguistik Lanjut
Oleh: Susandi
1. Pendahuluan
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi
ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of
English(2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax,
and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology,
psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural
linguistics.”
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman
Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata
bahasa tradisional dan (2) linguistik modern. Selanjutnya Linguistik dapat dibagi menjadi
beberapa cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
2. Tahapan Studi Linguistik
a. Tahap pertama yaitu tahap spekulasi maksudnya pernyataan tentang bahasa tidak
didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng/cerita dan klasifikasi.
b. Tahap kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahapan ini diadakan pengamatan dan
penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki, tetapi belum sampai pada
merumuskan teori.
c. Tahap ketiga, tahap perumusan teori atau membuat teori-teori, sehingga dapat dikatakan
bersifat ilmiah.
3. Sejarah dan Aliran Linguistik
3.1 Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional, Tata bahasa tradisional menganalisis
bahasa berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan
struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu. Misalnya dalam
merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang
menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja
adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional dikenal linguistik zaman
Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini sangat panjang, yaitu dari lebih kurang
abad ke-5 S.M sampai lebih kurang abad ke 2 M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi
pertentangan pada linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara bahasa bersifat alami
(fisis) dan bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu
mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti
di luar manusia itu sendiri. kaum naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya. Atau
dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis. Sebaliknya
kelompok lain yaitu kaum konvensional, berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi,
artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang
mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara analogi dan anomali. Kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena
adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang
dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya, kelompok anomali
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk
jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs; mengapa bentuk past tense
bahasa Inggris dari write menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M),
Plato (429-347 S.M), Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M), Kaum
Alexandrian.
Kemudian dikenal lingistik zaman Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat
dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya
kerajaan Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 – 27
S.M) dengan karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones
Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan. Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa
mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi
Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu
pengetahuan. Berikutnya, linguistik zaman Renaisans. Dalam sejarah studi bahasa ada dua
hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa
Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah juga
perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik tradisional adalah masa menjelang
lahirnya linguistik modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat penting dalam
sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa Jerman lainnya. Dalam pembicaraan
mengenai linguistik tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran
dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan
dari bahasa lain, terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.
3.2. Linguistik Strukturalis
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas
yang dimiliki bahasa itu. Berikut ini merupakan tokoh dan aliran linguistik strukturalis.
Pertama, Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai
bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya
Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan albert
Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
1) Telaah sinkronik dan diakronik
Telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu
tertentu saja. Sedangkan telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa,
atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya.
2) Perbedaan La Langue dan La Parole
La Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal
antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud
dengan La Parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota
masyarakat bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisis yang
berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain.
3) Perbedaan signifiant dan signifie
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita,
sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
4) Hubungan sintagmatik dan paradigmatif
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu
tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Sedangkan hubungan
paradigmatik adalah hubungan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-
unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
Kedua, Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu
Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-
tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi
itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.
Ketiga, Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain : Louis Hjemslev (1899 –
1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa
sebagai suatu sistem hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik.
Keempat, aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru besar pada Universitas
London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran
yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran Prosodi.
Kelima, aliran sistemik, nama aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama
M.A.K Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai
bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus
Firth dan berdasarkan karangannya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang
dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals and
Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics (SL).
Keenam, Leonard Bloomfield dan strukturalis Amerika. Beberapa faktor yang menyebabkan
berkembangnya aliran strukturalisme :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak
sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperlukan.
2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang
berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme.
3) Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena adanya The Linguistics
Society of America, yang menerbitkan majalah Language; wadah tempat melaporkan hasil
kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan
pentingnya data yang objektif untuk memberikan suatu bahasa.
Ketujuh adalah Aliran Tagmemik. Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh
dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld,
sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini
satuan dasar dan sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal
atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi
slot tersebut.
3.3. Linguistik Tranformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya
Dunia ilmu termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan
kegiatan yang dinamis, berkembang terus menerus sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri
yang selalu mencari kebenaran yang hakiki.
3.3.1. Tata Bahasa Transformasi
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana
inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957),
yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi
dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melaluiAspects of the
Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis
tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative
syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard
theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun
1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah merupakan teori dari bahasa
itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa
tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang
digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar
dengan teori linguistik tertentu.
3.3.2. Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky, antara lain
Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky, memisahkan diri
dari kelompok Chomsky dan membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian
terkenal dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama
sekaligus karena keduanya adalah satu.
3.3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam
karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat dalam buku Bach, E. dan
R. Harms Universal in Linguistic Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas,
yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang terdiri dari
sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini
adalah hubungan antara verba dengan nomina.
3.3.4. Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata
bahasa transformasi.
3.4. Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada catatan yang lengkap,
meskipun studi linguistik di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak. Pada
awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya,
dengan tujuan untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal linguistik di
fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan
guru sampai akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa
tradisional yang sangat bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut
perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada tanggal 15 November 1975, atas
prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya adalah para linguis yang kebanyakan
bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-lembaga
penelitian kebahasaan. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar Indonesia. Misalnya negeri Belanda,
London, Amerika, Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian tentang bahasa-
bahasa Indonesia. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral dalam kajian
linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan aspek
bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan oleh banyak pakar dengan
menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam kajian bahasa
nasional Indonesia, di Indonesia tercatat nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo,
Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan
aspek bahasa Indonesia.
4. Kajian Fonologi
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama yang
digunakan sebagai alat komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial. Interaksi yang
dapat terjadi dapat menggunakan :
A bunyi → verbal
A tulis → lambang terhadap bunyi
Beberapa dasar tentang berbahasa :
Bebicara → bunyi
Mendengarkan → menyimak
Menulis → lambang
Membaca → memahami lambing
4.1 Defenisi Fonologi
Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata bunyi/kaidah bunyi dan cara
menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena wujud bahasa yang paling primer
adalah bunyi. Bunyi adalah Getaran udara yang masuk ke telinga sehingga menimbulkan
suara.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber
tenaga), alat ucap (yang menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara).
Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi terdapat istilah fonem,
fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak atau yang tidak
diartikulasikan. Fonem merupakan aspek bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure),
misalnya /t/. /d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang diartikulasikan
(diucapkan) misalnya {lari}. Alofon adalah perbedaan bunyi yang tidak
menimbulkan perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di daerah artikulator. Disebut juga
huruf hidup karena dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri dari : a, i,
u, e, o. Diftong → au, ai, oi.
ALIRAN STRUKTURALIS
1. Pengantar
Perkembangan linguistik pada saat ini sangatlah pesat. Dalam perkembangannya, terutama
yang berhubungan dengan aliran linguistik, tentu saja akan menimbulkan masalah-masalah
dalam linguistik atau yang berkaitan dengan linguistik. Berawal dari permasalahan-
permasalahan tersebut, banyak sekali ilmuwan yang mengemukakan ide-idenya tentang cara
memahami lingusitik lebih lanjut. Namun tanpa pengetahuan yang memadai mengenai
linguistik, tentu saja akan banyak kendala dalam memahaminya. Oleh karena itu, pemahaman
mengenai hakikat dan objek kajian linguistik merupakan pintu masuk untuk mendalami
aliran-aliran linguistik.
Secara umum, perkembangan kajian linguistik tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori dan
penelitian yang telah dihasilkan serta munculnya bermacam gerakan dan aliran.
Perkembangan teori-teori tersebut merata pada berbagai cabang-cabang linguistik, seperti
pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Bukan itu saja,
penelitian-penelitian yang dilahirkan dari perkembangan teori tersebut juga melahirkan teori
baru, sehingga penelitian yang dihasilkan tidak terlepas dari gerakan dan aliran yang
memayungi dunia linguistik.
Teori linguistik adalah apa yang dikemukakan aliran linguistik tertentu dan aliran linguistik
yang memiliki corak teori tertentu. Kriteria yang dipakai untuk membedakan dan
mengelompokkan teori/aliran linguistik adalah kekhususan cara memahami bahasa dan corak
analisisnya. Ada empat teori besar yang dikategorikan berdasarkan kriteria tersebut, (1)
teori/aliran tradisional yang berdasarkan pada pola pemikiran filosofis dan bermula dari Plato
dan Aristoteles, (2) teori/aliran struktural yang berlandaskan paham behaviorisme yang
beranggapan bahwa jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah
laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak, sehingga aliran struktural mengamati bahasa
dan hakikatnya dalam perwujudan sebagai ujar (3) teori/aliran transformasional yang
dipelopori oleh Noam Chomsky dan ini merupakan aksi penolakan atas konsep
strukturalisme bahwa bahasa adalah faktor kebiasaan (4) aliran/teori tagmemik dan berangkat
dari konsep tagmem yang merupakan bagian dari konstruksi gramatikal dengan empat
macam kelengkapan spesifikasi ciri, yakni: slot, kelas, peran, dan kohesi.
Diskusi ini membataskan diri pada persoalan yang berkaitan dengan aliran struktural. Hal
yang akan disinggung di sini antara lain (a) Sejarah Singkat Strukturalis (b) Ciri-Ciri
Strukturalis (c) Keunggulan Strukturalis (d) Kelamahan Strukturalis (e) Doktrin Pokok
Strukturalis (f) Perkembangan Lanjut Strukturalis
2. Lahirnya Aliran Strukturalis[2]
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas
yang dimiliki bahasa itu. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai bapak
linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de
Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay
tahun 1915. Dalam kaiannya denga bahasa Saussure menegaskan bahwa bahasa sebenarnya
dapat dikaji dengan teori yang mandiri yang disebutnya “Linguistique”[3] untuk mengimbangi
kajian bahasa melalui disiplin psikologi, filologi, dan filsafat.
Strukturalisme merupakan arus penting dri pemikiran Eropa tahun 1960-an. Perhatian utma
ditujukan pada penelitian berkaitan dengan cara dan mekanisme berbahasa yang mencakup
tutur kata dan bunyi dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks di mana
sebuah bahasa berkambang.[4] Aliran Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu
pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya,
mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-
1913)[5] dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak
intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian
diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis ,
teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode,
tetapi juga sebuah gerakan intelektual di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison Assiter[6], ada empat ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk
‘kecenderungan intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari
keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga,
kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup
berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di
bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat
kuat dapat terlihat di bidang sosiologi. Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya
manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert Scholes
mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan keputusasaan. Para
kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi (sistem tanda). Ferdinand de Saussure
adalah penggagas strukturalisme abad ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan
dalam Course in General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah
kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada
penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang mendasari bahasa
(langue). Teori ini lalu muncul dan disebut semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus
terlebih dahulu melalui serangkaian pemeriksaan parole (ucapan).
Dengan demikian, Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus
(kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada bagaimana sesungguhnya kita dapat
mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain ’sinkronis’ daripada ‘diakronis’.
Akhirnya, dia menegaskan bahwa tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah
penanda (pola suara dari sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita
membaca puisi untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dansignified (konsep atau arti kata). Ini sangat berbeda dari
pendekatan sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara kata dan hal-hal di dunia
dengan referensinya.
6.3.2 Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk
(signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam
sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud
dasar sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau
kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
6.4 Individu-sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku berbahasa anggota
masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri perilaku berbahasa masing-
masing anggota berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan perilaku individu tidak akan
menyimpang dari perilaku kolektif yang ada pada kelompok.
6.5 Langue-parole
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan paradigmatik sebagai
bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial.Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat
oleh collective mind bukanindividual mind. Sebagai collective mind, bahasa merupakan
perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar dalam situasi yang
sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah sistem bahasa yang dipakai secara
bersama-sama oleh masyarakat penuturnya.
Gagasan Saussure tentang fakta sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya
mengenai struktur gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar.
Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam
Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan
kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan pembedaan
langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan konsep linguistic
competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun, sesungguhnya kedua
konsep tersebut berbeda.
Konsep langue dan parole menyisakan masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut
dalam bukunya, unit-unit (abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke
dalam langue, masuk dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas.
Morfem disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem
dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu membedakan dan
memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak berkomunikasi. Bedanya dari
morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat – sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus
bertambah. Jika demikian, sintaksis tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.
6.5.1 Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari
setiap individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca,
melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue
adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa
dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh
secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling
memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue
adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama
oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara
alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole merujuk pada cara pembicara
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak
pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa,
solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang
mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu
aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap
pakai, dari penutur-penutur terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat
konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda
bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa
lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi
tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh:
Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat
juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau
dengan tanda-tanda militer.
Langue seperti permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan
permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka
akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi
makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal.
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk.
Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!”
adalah parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya
pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam
setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi
di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 +
1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang
banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Menurut Alwasilah[8],
langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan
sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa)
Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa
langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal.
Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita
tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua
masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk
mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin
mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan.
Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret.
Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah
bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena
ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari
substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah,
putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa
jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk
bunyi).
6.5.2 Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari[9]. Intinya, parole adalah keseluruhan dari
apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan
penutur dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-
konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu.
Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta sosial karena
seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh
penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan
unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk
mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika
diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda
pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-
kombinasi tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap
pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara
langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole. Bersifat individu:
semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Parole
dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan
secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh banyak orang.
6.6 Sintakmatik-paradigmatik
Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan adanya
kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan hubungan
sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengombinasikan ke
dalam konstruksi yang lebih besar.
Bagi Saussure bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional. Tanda-tanda
bahasa itu disusun dalam rangkaian yang disebutnya rangkaian sintagmatik. Dalam hal ini
tanda bahasa ada dalam rangkaian sintakmatik yaitu rangkaian tanda yang berada dalam
ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesenstia.
6.6.1 Sintakmatik (Horizontal)
Hubungan sintakmatik adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan
bersama dalam satu tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun
yang lebih panjang.
Contoh. Budi menendang bola adalah deretan Budiàmenendangàbola. Urutan ketiga kata ini
bukan bersifat manasuka tanpa berpatokan pada kaidah (langue) bahasa Idonesia. Arah panah
pada contoh tidak hanya memperlihatkan urutan (bahasa yang linear) tetapi hubungan
sintaksis subjek—predikatà objek. Meskipun urutan itu diubah, fungsi gramatikal tetap
misalnya BolaàBudià tendang; TendangàbolaàBudi. Terlihat di sini bahwa fungsi gramatikal
bahasa tidak selalu terikat pada aspek linearitas. Kata-kata dalam sebuah bahasa berada
dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur.
Pada kalimat Budi menendang bola terbentuk dari unsur Budi,menendang, bola yang
masing-masing menempati ruang kosong yang kemudian disebut gatra. Kaidah (langue)
bahasa Indonesia gatra dapat diisi dengan unsur bahasa tertentu saja. Jadi, gatra adalah ruang
kosong yang terdapat sebelum, di tengah, dan sesudah panah. Pada contoh kita sebut gatra
[1] à [2] à [3]. Dalam sintaksis [1], [2], [3] disebut fungsi sintaksis dan dalam hal ini setiap
fungsi itu dapat diisi oleh kata tertentu sesuai dengan kaidah. Dalam contoh yang sama
Budià menendangà bola, gatra [1] yang diisi Budi bisa diisi Ali, Candra, Damar, Dia, Mereka,
Adik, dll. Tetapi kata-kata itu tidak dapat berada di ruang dan waktu yang sama. Kata-kata itu
hanya bisa diasosiasikan secara in absentia. Hubungan itu dikatakan hubungan asosiatif atau
kata-kata itu berada dalam relasi asosiatif. Kata-kata yang mengisi gatra tergolong kata
sejenis atau disebut berada dalam paradigma yang sama. Hal yag sama bisa berlaku untuk
kata menendang bisa diisi kata mengambil, melempar, menyembunyikan, membuang; bola
bisa isi dengan kata batu, kelapa, piring. Relasi asosiatif ini kemudian disebut relasi
paradigmatik. Pada tataran langue stiap penutur bahasa menguasai semacam piranti atau
jejaring unsur-unsur bahasa yang tergolong-golong dalam paradigma dan unsur-unsur itu
saling membedakan. Jejaring inilah ang disebut sebagai sistem bahasa.
***
Sumber Rujukan
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaedar A. Alwasilah.1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Fayyadl, Muhammad Al. 2011. Derrida. Yogyakarta: Lkis.
Giddens Anthony, 2009. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur dan
Kontradiksi dalam Analisis Sosial. Dariyatno (Pentj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hoed Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: FIB UI.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. TerjemahanCours de
Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Verhaar, JWM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum, Jogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
[1]
Bahan ini disipakan untuk diskusi dalam Kuliah Linguistik Lanjut, Senin, 22 Oktober 2012,
pada Program Pascasarjana UM.
[2]
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, .Jogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1993, hal. 1-55
[3]
Persoalan ini secara lebih rinci diulas Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial
Budaya, Jakarta: FIB UI, 2008, hal.45-73.
[4]
Muhammad Al Fayyadl, “ Melampaui Strukturalisme, Menuju Emansispasi Teks”
dalamDerrida, Yogyakarta: Lkis, 2011, hal.29-71
[5]
Ferdinand de Saussure, Op.Cit., Loc., Cit.
[6]
Gagasan Alison Assiter ini dapat ditemukan pada artikelnya “ Althusser dan
Strukturalisme” dalam jurnal British Sociology, vol.35 no.2, Blackwell Publishing, 1984.
[7]
Beryl Langer, “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi
Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002, hal.101-110.
[8]
Chaedar A. Alwasilah.Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung, 1993
[9]
Bandingkan Verhaar,JWM. Asas-Asas Linguistik Umum, Jogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010, hal.3-4.
Diposkan oleh BONE RAMPUNG di 24.10.12