Anda di halaman 1dari 32

SELASA, 13 DESEMBER 2011

LINGUISTIK STRUKTURAL: Sejarah dan Perkembangannya, karakteristik, dan


Penerapannya Oleh: Hasan Kamaruddin, Rizal Effendy Panga, Masrani
Pendahuluan
Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’.
Ferdinand de Saussure dalam bukunya Cours de Linguistique Generale, membedakan kata
dalam bahasa Prancis: langue, langage, dan parole. Bagi Ferdinand de
Saussure, langue adalah satu jenis bahasa sebagai suatu sistem. Langage sebagai bahasa
sebagai sifat khas manusia. Sedangkan, parole ‘tuturan’ adalah bahasa yang digunakan secara
kongkret seperti: logat, ucapan, dan perkataan (Verhaar, 2008:3).
Struktural adalah berkenaan dengan struktur, sedangkan struktur
merupakan pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis (hubungan linier antara unsur-
unsur bahasa dalam tataran tertentu). Dalam hal ini dapat disimpulkan, Linguistik struktural
sebagai kajian linguistik yang membahas bahasa menggunakan pendekatan pada bahasa itu
sendiri.
Dalam pembidangan linguistik, dikenal istilah linguistik struktural. Berbicara tentang
linguistik struktural tentunya tak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya. Dalam kamus
linguistik, Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang
menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Harimurti, 20011:146). Jika kita cermati dari
definisi ini, Linguistik struktural melakukan pendekatan dan penyelidikan bahasa fokus
kepada bahasa sebagai objek.

Sejarah dan Perkembangan linguistik


Tata bahasa tradisional sering dipertentangkan dengan tata bahasa struktural. Hal ini
terjadi karena perbedaan objek analisisnya. Linguistik tradisional menganalisis bahasa
berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan linguistik struktural menganalisis bahasa
berdasarkan struktur struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam bahasa.

Pada zaman Yunani, Linguis mempertentangkan fisis dan nomos, analogi dan anomali.
Fisis (alami) memiliki prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak. Nomos (konvensi)
diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan dan mungkin bisa diubah. Analogi adalah proses
atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Anomali
adalah penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis
suatu bahasa. Kaum Sophis, mereka melakukan kerja empiris, mengunakan ukuran tertentu,
mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna.
Tokoh kaum ini, Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat
perintah, kalimat laporan, kalimat doa, dan kalimat undangan. Plato (429-347 SM), seorang
filsuf dalam studinya: memperdebatkan analogi dan anamali, membuat batasan bahasa bahwa
bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata (nomina) dan rhemata
(predikat). Aristoteles (384-322 SM), membagi tiga macam kelas kata: onoma, rhema, dan
syndesmoy (preposisi dan konjungsi). Kaum Staik membedakan studi bahasa secara logika
dan tata bahasa, menciptakan istilah khusus dalam tata bahasa, membagi tiga komponen
bahasa: tanda, makna, dan hal-hal lain di luar bahasa (benda, situasi), membagi legein (bunyi
fonologi yang bermakna) dan propheral (bunyi bahasa yang bermakna), membagi kelas kata:
benda, kerja (komplet, tak komplet, aktif, dan pasif), syndesmoy, dan arthoron. Kaum
Alexandrian, mereka menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata
bahasa tradisional. Sezaman dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana hindu
yang bernama Panini, telah menyusun sekitar 4.000 pemerian tentang struktur bahasa
sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Oleh
karena itu, Panini dianggap sebagai one man of greatest monuments of the human
intelegence oleh Leonard Bloomfield.

Pada zaman Romawi, Varro dalam bukunya De Lingua Lantina, membicarakan:


pertama, etimologi (mempelajari asal usul kata beserta artinya). Contoh: perubahan
bunyiduellum’perang’ menjadi belum ‘masih dalam keadaan tidak’. Kedua, morfologi
(mempelajari kata dan pembentukannya). Varro membagi kelas kata dalam bahasa latin: kata
benda dan kata sifat, kata kerja, partisipel, aduerbium (pendukung). Pada masa ini, ada
sebuah buku yang paling lengkapInstitutiones Grammaticae (tata bahasa Priscia). Buku ini
menjadi tonggak pembicaraan tata bahasa tradisional. Dalam buku ini dibahas: fonologi,
morfologi, dan sintaksis.
Pada zaman pertengahan (Kaum Modistae) berkembang istilah etimologi. Tata bahasa
spekulativa, menurut tata bahasa ini kata tidak secara langsung mewakili alam dan benda
yang ditunjuk, tetapi hanya mewakili dalam pelbagai cara modus, substansi, aksi, dan kualitas.
Petrus Hispanus, dalam bukunya Summutae Logicales: memasukkan psikologi dalam bahasa,
membedakan nomen menjadi substantivum dan adjectivum dan membedakan partes orations
menjadi categorimatek (semua bentuk yang dapat menjadikan subjek atau predikat) dan
syntategorematik (semua bentuk tutur lainnya).
Pada Zaman Renaisans, dianggap sebagai abad pembukaan pemikiran abad modern.
Masa ini, berkembang bahasa Ibrani, bahasa arab, bahasa Bangsa Eropa, bahasa di luar Eropa
yang menjadi lingua franca dan digunakan untuk kegiatan politik, perdagangan, dan
sebagainya. Perkembangan studi linguistik bandingan atau linguistik historis
komparatif serta studi mengenai hakikat bahasa secara linguistik, maka dimulailah babak
baru dalam sejarah linguistik.
Linguistik struktural disebut juga sebagai linguistik modern. Linguistik modern tidak terlepas
dari peranan Ferdinand de Saussure yang dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Dalam
bukunya Course de Linguistique Generate, memuat: Linguistik sinkronik dan diakronik,
langue, langage, parole, signifiant, singnifie, hubungan sintagmatik, hubungan paradigmatik.

Linguistik struktural pun mengalami perkembangan. Berbagai aliran linguistic pun


bermunculan. Aliran Praha dengan tokohnya Vilem Mathesius, Nikolai S. Trubetskoy,
Roman Jakobson, dan Morris Halle. Aliran ini membedakan fonologi (mempelajari bunyi
dalam suatu sistem) dan fonetik (mempelajari bunyi itu sendiri). Aliran ini mengembangkan
istilah morfonologi (meneliti perubahan fonologis yang terjadi akibat hubungan morfem
dengan morfem). Aliran Glosematik, aliran ini lahir di Denmark dengan tokohnya, Louis
Hjemslev menganggap bahasa mengandung segi ekspresi (signifiant) dan segi isi (signifie).
Masing-masing segi mengandung formal dan substansi. Aliran Fhirtian, dengan tokohnya Joh
R. Firth (London, 1890-1960). Dikenal dengan teori fonologi prosodi (menentukan arti pada
tataran fonetis). Ada tiga macam pokok prosodi: menyangkut gabungan fonem, struktur kata,
suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vocal; prosodi dari sandi atau jeda; prosodi
yang realisasi fonetisnya lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Lahir pula, linguistik sistemik, kelompok ini berpandangan: memberikan perhatian penuh
pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama pada fungsi dan penerapan dalam berbahasa;
memandang bahasa sebagai pelaksana, contoh: pembedaan langue (jajaran pikiran
bergantung penutur bahasa) dan parole (perilaku kebahasaan sebenarnya); mengutamakan
ciri bahasa tertentu dan variasinya; mengenal gradasi atau kontinum; menggambarkan tiga
tataran utama bahasa: substansi, forma, dan situasi. Leonard Bloomfield dengan aliran
strukturalis Amerika. Ada beberapa faktor yang menyebabkan aliran ini berkembang: mereka
memerikan bahasa Indian dengan cara sinkronik; Bloomfield memerikan bahasa aliran
strukturalisme berdasarkan fakta objektive sesuai dengan kenyataan yang diamati;hubungan
baik antar linguis, sehingga menerbitkan majalah Language, sebagai wadah untuk
melaporkan hasil karya mereka. Aliran ini sering disebut Aliran Taksonomi, karena aliran ini
menganalisis dan mengklasifikasikan unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Aliran Linguistik Tagmemik, dipelopori oleh Kenneth L. Pike. Aliran tagmemik tidak
membatasi minatnya pada bahasa, tetapi harus memandang bahasa sebagai konteks yang
lebih luas, yaitu mempelajari perilaku nonverbal biasa dari orang awam, dan juga dalam
konteks perilaku pengamat bahasa yang khusus (linguis). Teori tagmemik merupakan teori
dari pelbagai teori yang menyatakan bagaimana pengamat secara universal mempengaruhi
data dan menjadi bagian dari data tersebut (Pike, 1992: 2).

Karakteristik Linguistik Struktural


Teori kebahasaan struktural mempunyai asumsi dan hipotesis tentang bahasa
berdasarkan pada hasil pemakaian yang otonom tentang bahasa (tidak ada campur tangan
filsafat dan logika). Asumsi dan hipotesis tentang bahasa diuji atau diverifikasi dengan data
bahasa, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan. Selain itu fakta dan data bahasa diberi
kemungkinan untuk dapat dijadikan sumber penciptaan teori-teori bahasa yang bersifat
universal dan spesifik. Teori-teori kebahasaan struktural berasal dari cara kerja metode
keilmuan, yaitu deduktif-induktif dan induktif-deduktif.
Pada permulaan kemunculan linguistik strukturalis, metode yang paling utama
digunakan adalah metode empiris induktif. Metode ini digunakan karena mampu memberikan
informasi gramatika monolingual dalam penelitian lapangan. Metode ini berguna untuk
mencatat bahasa-bahasa yang belum dikenal dan dapat ditata sistemnya. Metode ini, memang
mendasarkan pengetahuan pada panca indera (empiris). Dengan data-data empiris itu orang
dapat membuat satu generalisasi dan sistematisasi tentang bahasa.

Metode yang kedua adalah metode deduktif. Metode ini berguna untuk
memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa) berbahasa seseorang dengan
menganalisis performance (yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan dalam
linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa) untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan
tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-
gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi
metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori
pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya,
epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai
kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur
pengetahuan membangkitkan unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek
pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya
maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang
perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan
fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah
struktur karya maupun bahasa. Dalam konteks inilah, saya berupaya memaparkan
strukturalisme dalam pandangan tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure.

Linguistik Struktural dalam Pengajaran


Pada masa era strukturalis, Linguistik struktural dalam kaitannya dalam pengajaran
bahasa memiliki lima asumsi umum. Asumsi pertama, bahwa prosedur kerja linguistik
struktural dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan
kepada penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan informan asli untuk
menirukan dan latihan lafal. Asumsi kedua menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa
harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum siswa diperkenalkan dengan latihan
menulis. Hal ini mengisyaratkan keterampilan berbahasa berbicara dan menyimak dianggap
lebih penting setelah itu baru diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan makna. Hal ini menimbulkan
asumsi ketiga bahwa tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa. Dalam hal ini
makna dapat ditanyakan saja langsung kepada penutur asli.
Asumsi keempat menyatakan bahwa tidak perlu menyajikan gradasi dan urutan
kekomplekan gramatikal pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini berdasarkan analisis
struktural bahwa ahli bahasa hanya memiliki kontrol sedikit terhadap kekomplekan data yang
diperoleh dari informannya. Alasan mengapa kaum strukturalis kurang memperhatikan
makna dalam analisisnya karena mereka berpendapat bahwa makna itu bersifat abstrak, tidak
dapat diindra, dan makna ini hanya ada di dalam pikiran, dan karena itu makna dianggap pula
bersifat subyektif. Kondisi ini melahirkan asumsi kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu
adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajari dengan cara melakukan. Oleh karena itu,
pembelajar mempelajari bahasa dengan melakukan respon dalam praktik-praktik kegiatan
berbahasa dan penguatan bagi respon yang benar.
Dalam proses pemerolehan atau pembelajaran bahasa terdapat dua teori, yaitu: teori
pembentukan kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik struktural dan teori belajar
kode-kognitif (the cognitive-code learning theory) dari linguistic transformasi generatif.
Pemanfaatan asumsi-asumsi dan teori pemerolehan bahasa di atas, guru bahasa harus
membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan: Pertama, jika pemerolehan bahasa
adalah suatu pembentukan kebiasaan, guru bahasa harus menyusun program secara konkret.
Kedua, jika pemerolehan bahasa adalah belajar tentang kode, guru bahasa harus menjamin
bahwa siswa mampu menginternalkan kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu
menghasilkan kalimat.
Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan kedua teori di atas, J.B. Carol
mengajukan sintesa dari kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan
kebiasan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini, belajar bahasa adalah
rangkaian latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar
yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. Tahap berikutnya
siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan
kalimat baru saja, tidak cukup. Tahapan berikutnya, siswa harus diterjunkan dalam situasi
komunikasi nyata seperti yang terjadi pada penutur asli.

Penutup
Linguistik struktural merupakan kajian linguistik yang membahas bahasa
menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri. Linguistik struktural sering
dipertentangkan dengan linguistik tradisional. Linguistik struktural mengkaji bahasa dari ciri
formal yang ada di dalam bahasa, sedangkan linguistik tradisional mengkaji tataran filsafat
dan semantik.
Linguistik struktural yang juga disebut sebagai linguistik modern lahir karena
ketidakpuasan pada aliran linguistik tradisional yang mengkaji bahasa bukan dari bahasa itu
sendiri tetapi mengkaji menggunakan disiplin ilmu yang lain. Perkembangan linguistik dari
zaman ke zaman mengalami perkembangan dan melahirkan teori-teori dan aliran-aliran
linguistik.
Linguistik struktural pun diterapkan dalam pembelajaran Bahasa, dalam hal ini
khususnya bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, linguistik struktural
melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa.

Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer
Institute of Linguistics.
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081205140017
http://agustrianto17.blogspot.com/2008/02/kontribusi-linguistik-struktural-dan.html
http://cakrabuwana.files.wordpress.com/2008/09/muhammad-arif-cakra-buwana-bab-8-
sejarah-dan-aliran-linguistik.pdf
SELASA, 13 DESEMBER 2011

LINGUISTIK STRUKTURAL: Sejarah dan Perkembangannya, karakteristik, dan


Penerapannya Oleh: Hasan Kamaruddin, Rizal Effendy Panga, Masrani
Pendahuluan
Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’.
Ferdinand de Saussure dalam bukunya Cours de Linguistique Generale, membedakan kata
dalam bahasa Prancis: langue, langage, dan parole. Bagi Ferdinand de
Saussure, langue adalah satu jenis bahasa sebagai suatu sistem. Langage sebagai bahasa
sebagai sifat khas manusia. Sedangkan, parole ‘tuturan’ adalah bahasa yang digunakan secara
kongkret seperti: logat, ucapan, dan perkataan (Verhaar, 2008:3).
Struktural adalah berkenaan dengan struktur, sedangkan struktur
merupakan pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis (hubungan linier antara unsur-
unsur bahasa dalam tataran tertentu). Dalam hal ini dapat disimpulkan, Linguistik struktural
sebagai kajian linguistik yang membahas bahasa menggunakan pendekatan pada bahasa itu
sendiri.
Dalam pembidangan linguistik, dikenal istilah linguistik struktural. Berbicara tentang
linguistik struktural tentunya tak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya. Dalam kamus
linguistik, Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang
menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Harimurti, 20011:146). Jika kita cermati dari
definisi ini, Linguistik struktural melakukan pendekatan dan penyelidikan bahasa fokus
kepada bahasa sebagai objek.

Sejarah dan Perkembangan linguistik


Tata bahasa tradisional sering dipertentangkan dengan tata bahasa struktural. Hal ini
terjadi karena perbedaan objek analisisnya. Linguistik tradisional menganalisis bahasa
berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan linguistik struktural menganalisis bahasa
berdasarkan struktur struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam bahasa.
Pada zaman Yunani, Linguis mempertentangkan fisis dan nomos, analogi dan anomali.
Fisis (alami) memiliki prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak. Nomos (konvensi)
diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan dan mungkin bisa diubah. Analogi adalah proses
atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Anomali
adalah penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis
suatu bahasa. Kaum Sophis, mereka melakukan kerja empiris, mengunakan ukuran tertentu,
mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna.
Tokoh kaum ini, Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat
perintah, kalimat laporan, kalimat doa, dan kalimat undangan. Plato (429-347 SM), seorang
filsuf dalam studinya: memperdebatkan analogi dan anamali, membuat batasan bahasa bahwa
bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata (nomina) dan rhemata
(predikat). Aristoteles (384-322 SM), membagi tiga macam kelas kata: onoma, rhema, dan
syndesmoy (preposisi dan konjungsi). Kaum Staik membedakan studi bahasa secara logika
dan tata bahasa, menciptakan istilah khusus dalam tata bahasa, membagi tiga komponen
bahasa: tanda, makna, dan hal-hal lain di luar bahasa (benda, situasi), membagi legein (bunyi
fonologi yang bermakna) dan propheral (bunyi bahasa yang bermakna), membagi kelas kata:
benda, kerja (komplet, tak komplet, aktif, dan pasif), syndesmoy, dan arthoron. Kaum
Alexandrian, mereka menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata
bahasa tradisional. Sezaman dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana hindu
yang bernama Panini, telah menyusun sekitar 4.000 pemerian tentang struktur bahasa
sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Oleh
karena itu, Panini dianggap sebagai one man of greatest monuments of the human
intelegence oleh Leonard Bloomfield.

Pada zaman Romawi, Varro dalam bukunya De Lingua Lantina, membicarakan:


pertama, etimologi (mempelajari asal usul kata beserta artinya). Contoh: perubahan
bunyiduellum’perang’ menjadi belum ‘masih dalam keadaan tidak’. Kedua, morfologi
(mempelajari kata dan pembentukannya). Varro membagi kelas kata dalam bahasa latin: kata
benda dan kata sifat, kata kerja, partisipel, aduerbium (pendukung). Pada masa ini, ada
sebuah buku yang paling lengkapInstitutiones Grammaticae (tata bahasa Priscia). Buku ini
menjadi tonggak pembicaraan tata bahasa tradisional. Dalam buku ini dibahas: fonologi,
morfologi, dan sintaksis.
Pada zaman pertengahan (Kaum Modistae) berkembang istilah etimologi. Tata bahasa
spekulativa, menurut tata bahasa ini kata tidak secara langsung mewakili alam dan benda
yang ditunjuk, tetapi hanya mewakili dalam pelbagai cara modus, substansi, aksi, dan kualitas.
Petrus Hispanus, dalam bukunya Summutae Logicales: memasukkan psikologi dalam bahasa,
membedakan nomen menjadi substantivum dan adjectivum dan membedakan partes orations
menjadi categorimatek (semua bentuk yang dapat menjadikan subjek atau predikat) dan
syntategorematik (semua bentuk tutur lainnya).
Pada Zaman Renaisans, dianggap sebagai abad pembukaan pemikiran abad modern.
Masa ini, berkembang bahasa Ibrani, bahasa arab, bahasa Bangsa Eropa, bahasa di luar Eropa
yang menjadi lingua franca dan digunakan untuk kegiatan politik, perdagangan, dan
sebagainya. Perkembangan studi linguistik bandingan atau linguistik historis
komparatif serta studi mengenai hakikat bahasa secara linguistik, maka dimulailah babak
baru dalam sejarah linguistik.
Linguistik struktural disebut juga sebagai linguistik modern. Linguistik modern tidak
terlepas dari peranan Ferdinand de Saussure yang dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern.
Dalam bukunya Course de Linguistique Generate, memuat: Linguistik sinkronik dan
diakronik, langue, langage, parole, signifiant, singnifie, hubungan sintagmatik, hubungan
paradigmatik.
Linguistik struktural pun mengalami perkembangan. Berbagai aliran linguistic pun
bermunculan. Aliran Praha dengan tokohnya Vilem Mathesius, Nikolai S. Trubetskoy,
Roman Jakobson, dan Morris Halle. Aliran ini membedakan fonologi (mempelajari bunyi
dalam suatu sistem) dan fonetik (mempelajari bunyi itu sendiri). Aliran ini mengembangkan
istilah morfonologi (meneliti perubahan fonologis yang terjadi akibat hubungan morfem
dengan morfem). Aliran Glosematik, aliran ini lahir di Denmark dengan tokohnya, Louis
Hjemslev menganggap bahasa mengandung segi ekspresi (signifiant) dan segi isi (signifie).
Masing-masing segi mengandung formal dan substansi. Aliran Fhirtian, dengan tokohnya Joh
R. Firth (London, 1890-1960). Dikenal dengan teori fonologi prosodi (menentukan arti pada
tataran fonetis). Ada tiga macam pokok prosodi: menyangkut gabungan fonem, struktur kata,
suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vocal; prosodi dari sandi atau jeda; prosodi
yang realisasi fonetisnya lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Lahir pula, linguistik sistemik, kelompok ini berpandangan: memberikan perhatian
penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama pada fungsi dan penerapan dalam
berbahasa; memandang bahasa sebagai pelaksana, contoh: pembedaan langue (jajaran pikiran
bergantung penutur bahasa) dan parole (perilaku kebahasaan sebenarnya); mengutamakan
ciri bahasa tertentu dan variasinya; mengenal gradasi atau kontinum; menggambarkan tiga
tataran utama bahasa: substansi, forma, dan situasi. Leonard Bloomfield dengan aliran
strukturalis Amerika. Ada beberapa faktor yang menyebabkan aliran ini berkembang: mereka
memerikan bahasa Indian dengan cara sinkronik; Bloomfield memerikan bahasa aliran
strukturalisme berdasarkan fakta objektive sesuai dengan kenyataan yang diamati;hubungan
baik antar linguis, sehingga menerbitkan majalah Language, sebagai wadah untuk
melaporkan hasil karya mereka. Aliran ini sering disebut Aliran Taksonomi, karena aliran ini
menganalisis dan mengklasifikasikan unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Aliran Linguistik Tagmemik, dipelopori oleh Kenneth L. Pike. Aliran tagmemik tidak
membatasi minatnya pada bahasa, tetapi harus memandang bahasa sebagai konteks yang
lebih luas, yaitu mempelajari perilaku nonverbal biasa dari orang awam, dan juga dalam
konteks perilaku pengamat bahasa yang khusus (linguis). Teori tagmemik merupakan teori
dari pelbagai teori yang menyatakan bagaimana pengamat secara universal mempengaruhi
data dan menjadi bagian dari data tersebut (Pike, 1992: 2).

Karakteristik Linguistik Struktural


Teori kebahasaan struktural mempunyai asumsi dan hipotesis tentang bahasa
berdasarkan pada hasil pemakaian yang otonom tentang bahasa (tidak ada campur tangan
filsafat dan logika). Asumsi dan hipotesis tentang bahasa diuji atau diverifikasi dengan data
bahasa, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan. Selain itu fakta dan data bahasa diberi
kemungkinan untuk dapat dijadikan sumber penciptaan teori-teori bahasa yang bersifat
universal dan spesifik. Teori-teori kebahasaan struktural berasal dari cara kerja metode
keilmuan, yaitu deduktif-induktif dan induktif-deduktif.
Pada permulaan kemunculan linguistik strukturalis, metode yang paling utama
digunakan adalah metode empiris induktif. Metode ini digunakan karena mampu memberikan
informasi gramatika monolingual dalam penelitian lapangan. Metode ini berguna untuk
mencatat bahasa-bahasa yang belum dikenal dan dapat ditata sistemnya. Metode ini, memang
mendasarkan pengetahuan pada panca indera (empiris). Dengan data-data empiris itu orang
dapat membuat satu generalisasi dan sistematisasi tentang bahasa.

Metode yang kedua adalah metode deduktif. Metode ini berguna untuk
memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa) berbahasa seseorang dengan
menganalisis performance (yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan dalam
linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa) untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan
tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-
gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi
metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori
pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya,
epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai
kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur
pengetahuan membangkitkan unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek
pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya
maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang
perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan
fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah
struktur karya maupun bahasa. Dalam konteks inilah, saya berupaya memaparkan
strukturalisme dalam pandangan tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure.

Linguistik Struktural dalam Pengajaran


Pada masa era strukturalis, Linguistik struktural dalam kaitannya dalam pengajaran
bahasa memiliki lima asumsi umum. Asumsi pertama, bahwa prosedur kerja linguistik
struktural dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan
kepada penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan informan asli untuk
menirukan dan latihan lafal. Asumsi kedua menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa
harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum siswa diperkenalkan dengan latihan
menulis. Hal ini mengisyaratkan keterampilan berbahasa berbicara dan menyimak dianggap
lebih penting setelah itu baru diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan makna. Hal ini menimbulkan
asumsi ketiga bahwa tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa. Dalam hal ini
makna dapat ditanyakan saja langsung kepada penutur asli.
Asumsi keempat menyatakan bahwa tidak perlu menyajikan gradasi dan urutan
kekomplekan gramatikal pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini berdasarkan analisis
struktural bahwa ahli bahasa hanya memiliki kontrol sedikit terhadap kekomplekan data yang
diperoleh dari informannya. Alasan mengapa kaum strukturalis kurang memperhatikan
makna dalam analisisnya karena mereka berpendapat bahwa makna itu bersifat abstrak, tidak
dapat diindra, dan makna ini hanya ada di dalam pikiran, dan karena itu makna dianggap pula
bersifat subyektif. Kondisi ini melahirkan asumsi kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu
adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajari dengan cara melakukan. Oleh karena itu,
pembelajar mempelajari bahasa dengan melakukan respon dalam praktik-praktik kegiatan
berbahasa dan penguatan bagi respon yang benar.
Dalam proses pemerolehan atau pembelajaran bahasa terdapat dua teori, yaitu: teori
pembentukan kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik struktural dan teori belajar
kode-kognitif (the cognitive-code learning theory) dari linguistic transformasi generatif.
Pemanfaatan asumsi-asumsi dan teori pemerolehan bahasa di atas, guru bahasa harus
membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan: Pertama, jika pemerolehan bahasa
adalah suatu pembentukan kebiasaan, guru bahasa harus menyusun program secara konkret.
Kedua, jika pemerolehan bahasa adalah belajar tentang kode, guru bahasa harus menjamin
bahwa siswa mampu menginternalkan kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu
menghasilkan kalimat.
Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan kedua teori di atas, J.B. Carol
mengajukan sintesa dari kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan
kebiasan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini, belajar bahasa adalah
rangkaian latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar
yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. Tahap berikutnya
siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan
kalimat baru saja, tidak cukup. Tahapan berikutnya, siswa harus diterjunkan dalam situasi
komunikasi nyata seperti yang terjadi pada penutur asli.

Penutup
Linguistik struktural merupakan kajian linguistik yang membahas bahasa
menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri. Linguistik struktural sering
dipertentangkan dengan linguistik tradisional. Linguistik struktural mengkaji bahasa dari ciri
formal yang ada di dalam bahasa, sedangkan linguistik tradisional mengkaji tataran filsafat
dan semantik.
Linguistik struktural yang juga disebut sebagai linguistik modern lahir karena
ketidakpuasan pada aliran linguistik tradisional yang mengkaji bahasa bukan dari bahasa itu
sendiri tetapi mengkaji menggunakan disiplin ilmu yang lain. Perkembangan linguistik dari
zaman ke zaman mengalami perkembangan dan melahirkan teori-teori dan aliran-aliran
linguistik.
Linguistik struktural pun diterapkan dalam pembelajaran Bahasa, dalam hal ini
khususnya bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, linguistik struktural
melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa.

Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer Institute of
Linguistics.
http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081205140017
http://agustrianto17.blogspot.com/2008/02/kontribusi-linguistik-struktural-dan.html
http://cakrabuwana.files.wordpress.com/2008/09/muhammad-arif-cakra-buwana-bab-8-sejarah-dan-
aliran-linguistik.pdf
Kajian Linguistik Lanjut
Oleh: Susandi

1. Pendahuluan
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi
ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of
English(2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax,
and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology,
psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural
linguistics.”
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman
Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata
bahasa tradisional dan (2) linguistik modern. Selanjutnya Linguistik dapat dibagi menjadi
beberapa cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
2. Tahapan Studi Linguistik
a. Tahap pertama yaitu tahap spekulasi maksudnya pernyataan tentang bahasa tidak
didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng/cerita dan klasifikasi.
b. Tahap kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahapan ini diadakan pengamatan dan
penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki, tetapi belum sampai pada
merumuskan teori.
c. Tahap ketiga, tahap perumusan teori atau membuat teori-teori, sehingga dapat dikatakan
bersifat ilmiah.
3. Sejarah dan Aliran Linguistik
3.1 Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional, Tata bahasa tradisional menganalisis
bahasa berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan
struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu. Misalnya dalam
merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang
menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja
adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional dikenal linguistik zaman
Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini sangat panjang, yaitu dari lebih kurang
abad ke-5 S.M sampai lebih kurang abad ke 2 M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi
pertentangan pada linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara bahasa bersifat alami
(fisis) dan bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu
mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti
di luar manusia itu sendiri. kaum naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya. Atau
dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis. Sebaliknya
kelompok lain yaitu kaum konvensional, berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi,
artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang
mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara analogi dan anomali. Kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena
adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang
dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya, kelompok anomali
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk
jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs; mengapa bentuk past tense
bahasa Inggris dari write menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M),
Plato (429-347 S.M), Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M), Kaum
Alexandrian.
Kemudian dikenal lingistik zaman Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat
dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya
kerajaan Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 – 27
S.M) dengan karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones
Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan. Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa
mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi
Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu
pengetahuan. Berikutnya, linguistik zaman Renaisans. Dalam sejarah studi bahasa ada dua
hal pada zaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa
Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah juga
perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik tradisional adalah masa menjelang
lahirnya linguistik modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat penting dalam
sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa Jerman lainnya. Dalam pembicaraan
mengenai linguistik tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran
dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan
dari bahasa lain, terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.
3.2. Linguistik Strukturalis
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas
yang dimiliki bahasa itu. Berikut ini merupakan tokoh dan aliran linguistik strukturalis.
Pertama, Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai
bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya
Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan albert
Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
1) Telaah sinkronik dan diakronik
Telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu
tertentu saja. Sedangkan telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa,
atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya.
2) Perbedaan La Langue dan La Parole
La Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal
antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud
dengan La Parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota
masyarakat bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisis yang
berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain.
3) Perbedaan signifiant dan signifie
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita,
sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.
4) Hubungan sintagmatik dan paradigmatif
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu
tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Sedangkan hubungan
paradigmatik adalah hubungan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-
unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan.
Kedua, Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu
Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-
tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi
itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.
Ketiga, Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain : Louis Hjemslev (1899 –
1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa
sebagai suatu sistem hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik.
Keempat, aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru besar pada Universitas
London sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran
yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran Prosodi.
Kelima, aliran sistemik, nama aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama
M.A.K Halliday, yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai
bahasa, khususnya yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus
Firth dan berdasarkan karangannya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang
dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Scals and
Category Linguistics. Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics (SL).
Keenam, Leonard Bloomfield dan strukturalis Amerika. Beberapa faktor yang menyebabkan
berkembangnya aliran strukturalisme :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak
sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperlukan.
2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang
berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme.
3) Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena adanya The Linguistics
Society of America, yang menerbitkan majalah Language; wadah tempat melaporkan hasil
kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan
pentingnya data yang objektif untuk memberikan suatu bahasa.
Ketujuh adalah Aliran Tagmemik. Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh
dari Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld,
sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini
satuan dasar dan sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal
atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi
slot tersebut.
3.3. Linguistik Tranformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya
Dunia ilmu termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan
kegiatan yang dinamis, berkembang terus menerus sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri
yang selalu mencari kebenaran yang hakiki.
3.3.1. Tata Bahasa Transformasi
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana
inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957),
yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi
dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melaluiAspects of the
Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis
tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative
syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard
theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun
1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah merupakan teori dari bahasa
itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa
tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang
digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar
dengan teori linguistik tertentu.
3.3.2. Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky, antara lain
Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky, memisahkan diri
dari kelompok Chomsky dan membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian
terkenal dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama
sekaligus karena keduanya adalah satu.
3.3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam
karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat dalam buku Bach, E. dan
R. Harms Universal in Linguistic Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas,
yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang terdiri dari
sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini
adalah hubungan antara verba dengan nomina.
3.3.4. Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata
bahasa transformasi.
3.4. Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada catatan yang lengkap,
meskipun studi linguistik di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak. Pada
awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya,
dengan tujuan untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal linguistik di
fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan
guru sampai akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa
tradisional yang sangat bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut
perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada tanggal 15 November 1975, atas
prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya adalah para linguis yang kebanyakan
bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-lembaga
penelitian kebahasaan. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar Indonesia. Misalnya negeri Belanda,
London, Amerika, Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian tentang bahasa-
bahasa Indonesia. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral dalam kajian
linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan aspek
bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan oleh banyak pakar dengan
menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam kajian bahasa
nasional Indonesia, di Indonesia tercatat nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo,
Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan
aspek bahasa Indonesia.
4. Kajian Fonologi
Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama yang
digunakan sebagai alat komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial. Interaksi yang
dapat terjadi dapat menggunakan :
A bunyi → verbal
A tulis → lambang terhadap bunyi
Beberapa dasar tentang berbahasa :
Bebicara → bunyi
Mendengarkan → menyimak
Menulis → lambang
Membaca → memahami lambing
4.1 Defenisi Fonologi
Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata bunyi/kaidah bunyi dan cara
menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena wujud bahasa yang paling primer
adalah bunyi. Bunyi adalah Getaran udara yang masuk ke telinga sehingga menimbulkan
suara.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber
tenaga), alat ucap (yang menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara).
Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi terdapat istilah fonem,
fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak atau yang tidak
diartikulasikan. Fonem merupakan aspek bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure),
misalnya /t/. /d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang diartikulasikan
(diucapkan) misalnya {lari}. Alofon adalah perbedaan bunyi yang tidak
menimbulkan perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di daerah artikulator. Disebut juga
huruf hidup karena dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri dari : a, i,
u, e, o. Diftong → au, ai, oi.

4.2 Klasifikasi vokal :


Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
Berdasarkan tinggi rendah lidah
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
Berdasarkan maju mundurnya lidah
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
4.3 Bunyi Konsonan
Bunyi Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan dalam pengucapan.
4.3.1. Pembentukan konsonan
a) Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b) Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah dan gigi (t, d, h)
c) Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan bibir (f, v)
d) Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e) Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama sekali.
g) Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui geseran.
4.4 Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi
Segmental ada empat macam
1. Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
2. Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
3. Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam
/kau/
4. Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng: yang
ny: nyonya
kh: khusus, khas, khitmad,
pr: produksi, prakarya, proses
kr: kredit, kreatif, kritis, krisis
sy: syarat, syah, syukur
str: struktur, strata, strategi
spr: sprai
tr : tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi Supra Segmental
Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus diselangseling dengan
jeda singkat atau agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi,
panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )
Perhatikan contoh aplikasi bunyi berikut ini!
Doa
Karya Chairil Anwar
Tuhanku//
Dalam/ termangu//
Aku// masih/ menyebut/ namaMu///
Biar/ susah sungguh//
Mengingat Kau// penuh seluruh///
CayaMu// panas suci //
Tinggal// kerdip lilin// di kelam sunyi///
Tuhanku//
aku/ hilang bentuk//
remuk///
Aku/ mengembara// di negeri asing//
Tuhanku//
di pintuMu// aku// mengetuk//
aku// tidak bisa// berpaling#
5. Kajian Morfologi
Jika fonologi mengidentifikasi satuan dasar bahasa sebagai bunyi, morfologi mengidentifikasi
satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Bagian dari kompetensi linguistik seseorang
termasuk pengetahuan mengenai morfologi bahasa, yang meliputi kata, pengucapan kata
tersebut, maknanya, dan bagaimana unsur-unsur tersebut digabungkan (Fromkin & Rodman,
1998:96). Morfologi mempelajari struktur internal kata-kata. Jika pada umumnya kata-kata
dianggap sebagai unit terkecil dalam sintaksis, jelas bahwa dalam kebanyakan bahasa, suatu
kata dapat dihubungkan dengan kata lain melalui aturan. Misalnya, penutur bahasa Inggris
mengetahui kata dog, dogs, dan dog-catcher memiliki hubungan yang erat. Penutur bahasa
Inggris mengetahui hubungan ini dari pengetahuan mereka mengenai aturan pembentukan
kata dalam bahasa Inggris.
Aturan yang dipahami penutur mencerminkan pola-pola tertentu (atau keteraturan) mengenai
bagaimana kata dibentuk dari satuan yang lebih kecil dan bagaimana satuan-satuan tersebut
digunakan dalam wicara. Jadi dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah cabang linguistik
yang mempelajari pola pembentukan kata dalam bahasa, dan berusaha merumuskan aturan
yang menjadi acuan pengetahuan penutur bahasa tersebut. Dalam hubungannya dengan
sintaksis, beberapa relasi gramatikal dapat diekspresikan baik secara infleksional
(morfologis) atau secara sintaksis (sebagai bagian dari struktur kalimat), misalnya pada
kalimat He loves books dan He is a lover of books. Apa yang di dalam suatu bahasa ditandai
dengan afiks infleksional, dalam bahasa lain ditandai dengan urutan kata dan dalam bahasa
yang lain lagi dengan kata fungsi. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimat Maxim defends
Victor (Maxim mengalahkan Victor) memiliki makna yang berbeda dengan kalimat Victor
defends Maxim (Victor mengalahkan Maxim). Urutan kata sangat penting. Demikian halnya
jika bahasa Inggris memiliki penanda have dan be, bahasa Indonesia menggunakan afiksasi
untuk mengungkapkan hal yang sama, misalnya: Dokter memeriksa saya. The doctor
examinesme. Saya diperiksa dokter. I was examined by the doctor. Selain itu, semua morfem
memiliki struktur gramatikal yang dilekatkan padanya. Terkadang, makna gramatikal hanya
tampak jika morfem tersebut digabungkan dengan morfem lain (seperti pada afiks yang dapat
mengubah makna gramatikal). Morfem infleksional adalah morfem yang tidak memiliki
makna di luar makna gramatikal, seperti penanda jamak ”s” dalam bahasa Inggris.
Tetapi morfem lain memiliki pengecualian, seperti pada kata hit – hit (present – past),
atau sheep – sheep (tunggal – jamak). Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep
maupun morfem. Sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis dan tidak semua
morfem punya makna secara filosofis. Morfem dikenalkan oleh kaum strukturalis pada awal
abad ke-20.
5.1 Identifikasi Morfem
Untuk menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan morfem atau bukan kita harus
membandingkan bentuk tersebut di dalam bentuk lain. Bila satuan bentuk tersebut dapat hadir
secara berulang dan punya makna sama, maka bentuk tersebut merupakan morfem. Dalam
studi morfologi satuan bentuk yang merupakan morfem diapit dengan kurung kurawal ({ })
kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
5.2 Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya. Sedangkan Alomorf
nama untuk bentuk bila sudah diketahui status morfemnya (bentuk-bentuk realisasi yang
berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat . me-
Membawa . mem-
Menyanyi . meny-
Menggoda . meng-
5.3 Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
5.3.1 Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam
pertuturan. Sedangkan yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa
digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan
morfem terikat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama bentuk-bentuk seperti :
juang, henti, gaul, dan , baur termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan afiks, tidak
dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk
lazim tersebut disebut prakategorial. Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga
termasuk prakategorial karena bentuk tersebut merupakan pangkal kata, sehingga baru
muncul dalam petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga bentuk seperti : tua
(tua renta), kerontang (kering kerontang), hanya dapat muncul dalam pasangan tertentu juga,
termasuk morfem terikat. Keempat, bentuk seperti ke, daripada, dan kalau secara morfologis
termasuk morfem bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat. Kelima disebut
klitika. Klitka adalah bentuk singkat, biasanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat tetapi tidak dipisahkan .
5.3.2 Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan utuh. Morfem terbagi adalah sebuah
morfem yang terdiri dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu diperhatikan dalam morfem
terbagi. Pertama, semua afiks disebut konfiks termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan
konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandang. Kedua, ada afiks
yang disebut sufiks yakni yang disisipkan di tengah morfem dasar.
5.3.3 Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem segmental. Morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti tekanan,
nada, durasi.
5.3.4 Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi
segmental maupun berupa prosodi melainkan kekosongan.
5.3.5 Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren memiliki makna pada dirinya
sendiri tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem yang tidak bermakna
leksikal adalah tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri.
5.3.6 Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem), dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi bisa diulang dalam suatu
reduplikasi, bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Pangkal
digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses infleksi. Akar digunakan untuk
menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh.
6. Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi membicarakan
tentang struktur internal kata. Sintaksis membicarakan tentang hubungan kata dengan kata
lain.
6.1 Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis.
Dalam fungsi sintaksis ada hal-hal penting yaitu subjek, predikat, dan objek. Dalam kategori
sintaksis ada istilah nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Dalam peran sintaksis ada
istilah pelaku, penderita, dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-fungsi S, P, O, dan
K merupakan kotak kosong yang diisi kategori dan peranan tertentu.
Contohnya: Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
SPOK
pelaku sasaran
Kalimat pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
SPOK
sasaran pelaku
Agar menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus berurutan dan tidak disisipi kata
di antara keduanya. Struktur sintaksis minimal mempunyai fungsi subjek dan predikat seperti
pada verba intransitif yang tidak membutuhkan objek.
Contohnya: Kakek makan.
Verba transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya: Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat jawaban: Sudah!
Kalimat perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang sesuai. Fungsi subjek diisi kategori
nomina, fungsi predikat diisi kategori verba, fungsi objek diisi kategori nomina, dan fungsi
keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya: Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
SOSPO
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba kopula, seperti to be pada bahasa
Inggris.
- Berenang menyehatkan tubuh.
SPO
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud adalah pekerjaan
berenangnya. Peran dalam struktur sintaksis tergantung pada makna gramatikalnya. Kata
yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak berubah walaupun kata kerja yang aktif
diganti menjadi pasif. Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan. Penerima berarti objek
yang dikenai pekerjaan. Makna pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal. Eksistensi
struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan
urutan kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga.
Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek
tidak dapat diselipi kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan perbedaan makna.
Intonasi ada tiga macam yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus deklaratif atau
berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan tanda tanya, dan intonasi interjektif
dengan tanda seru. Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran gramatikal yang berbeda yang disebut
ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan konstituen satu dengan yang lain.
dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor. Konektor koordinatif menghubungkan dua
konstituen sederajat. Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan
kakek pergi ke sawah. Konektor subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak
sederajat. Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan karena. Contohnya: Kalau diundang,
saya tentu akan datang.
7. Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan sintaksis adalah tidak sama.
Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh tataran, yaitu berada di tataran
fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak
dapat diamati secara empiris, sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada tahun 1965,
Chomsky menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh semantik ini.
7.1 Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu
komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan komponen
signifie (yang diartikan) yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian).
Menurut teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut
disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem dasar
maupun morfem afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem itu seringkali
terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Banyak pakar menyatakan
bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam
konteks kalimatnya. Pakar itu juga mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Bahasa
bersifat arbiter, sehingga hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
7.2 Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks
apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, sesuai
dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. Makna gramatikal adalah makna
yang ada jika terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau
kalimatisasi. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu
dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya atau acuannya.
Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak menetap pada satu wujud.
Misalnya : kata-kata pronominal seperti, dia, saya dan kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh
sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Makna konotatif
adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai
rasa dari orang yang menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara
seseorang dengan orang lain.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan
makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
bahasa. Makna asosiasi sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat
bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-
ciri yang ada pada leksem tersebut. Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif, karena
kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan
dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang
kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau
terhadap objek yang dibicarakan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu
yang dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna leksikal, denotatif atau
makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas jika kata
itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Istilah mempunyai
makna yang pasti, jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu,
istilah sering dikatakan bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-
unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Idiom terbagi atas idiom penuh dan
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya telah melebur menjadi satu
kesatuan. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikal sendiri. Peribahasa memilliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna
unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan
sama persis. Ketidaksamaan itu terjadi karena faktor :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau wilayah
3. Faktor keformalan
4. Faktor sosial
5. Faktor bidang kegiatan
6. Faktor nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan
kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi, biasanya makna
pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah maknamakna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh
karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih
berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama dan maknanya
berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Pada
kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf.
Homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan
ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran yang ortografinya dan ejaannya sama, tetapi
ucapan dan maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim dengan polisemi adalah bahwa
homonim yaitu dua buah bentuk ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan
maknanya berbeda, sedangkan polisemi yaitu sebuah bentuk ujaran yang memiliki makna
lebih dari satu. Dengan demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya hubungan sama
sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna
bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.
Ketaksaan terjadi dalam bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur
lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis. Perbedaan homonim
dengan ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk atau lebih yang kebetulan
bentuknya sama, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna atau
lebih. Perbedaan polisemi dengan ambiguitas adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada
tataran kata, dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, sedangkan
ambiguiti adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat
perbedaan tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran.
7.4 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis
ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang relative singkat, makna sebuah kata tidak
akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative lama ada kemungkinan makna tersebut akan
berubah. Ini tidak berlaku untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja,
yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi
Asosiasi dapat berupa hubungan wadah dengan isinya, dan juga berupa hubungan waktu
dengan kejadian. Perubahan makna ada beberapa macam. Ada perubahan meluas, menyempit
dan berubah total. Perubahan yang meluas yaitu jika tadinya sebuah kata bermakna A, maka
kemudian menjadi bermakna B. Perubahan yang menyempit yaitu jika tadinya sebuah kata
memiliki makna yang sangat umum, tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus.
Perubahan makna total yaitu makna yang dimiliki sekarang sudah jauh berbeda dengan
makna aslinya. Dalam pembicaraan tentang perubahan makna, dikenal usaha untuk
menghaluskan dan mengkasarkan ungkapan. Usaha untuk menghaluskan ini dikenal dengan
nama eufemia atau eufemisme. Sedangkan usaha untuk mengkasarkan dikenal dengan nama
disfemia, usaha ini sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi tegas.
Penutup
Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat. Aspek lain yang berkaitan dengan bidang-
bidang kajian bahasa juga berkembang. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu
aspek saja, tetapi telah meluas ke bidang atau aspek-aspek di luar bahasa yang berkaitan
dengan penggunaan bahasa dan kehidupan manusia.
Teori linguistik merupakan cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada teori umum
dan metode-metode umum dalam penelitian bahasa. Cabang linguistik bisa terbagi atas
fonologi, morfologi, sintaksis, dan Semantik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kajian tentang linguistik lanjut sangat luas dan menarik untuk diperbincangkan di kesempatan
berikutnya.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A.Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung
Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: Grasindo
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga
University Press
De Saussure, Ferdinand. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de
Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Finoza, Lamuddin. 2006. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia
I.G.N. Oka dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud
Keraf, Gorys. 1993. Komposisi. Flores: Nusa Indah
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah
Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford
University Press
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Oka, I.G.N dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Depdikbud
Ramlan, M. 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono
Verharr, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

ALIRAN STRUKTURALIS

1. Pengantar
Perkembangan linguistik pada saat ini sangatlah pesat. Dalam perkembangannya, terutama
yang berhubungan dengan aliran linguistik, tentu saja akan menimbulkan masalah-masalah
dalam linguistik atau yang berkaitan dengan linguistik. Berawal dari permasalahan-
permasalahan tersebut, banyak sekali ilmuwan yang mengemukakan ide-idenya tentang cara
memahami lingusitik lebih lanjut. Namun tanpa pengetahuan yang memadai mengenai
linguistik, tentu saja akan banyak kendala dalam memahaminya. Oleh karena itu, pemahaman
mengenai hakikat dan objek kajian linguistik merupakan pintu masuk untuk mendalami
aliran-aliran linguistik.
Secara umum, perkembangan kajian linguistik tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori dan
penelitian yang telah dihasilkan serta munculnya bermacam gerakan dan aliran.
Perkembangan teori-teori tersebut merata pada berbagai cabang-cabang linguistik, seperti
pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Bukan itu saja,
penelitian-penelitian yang dilahirkan dari perkembangan teori tersebut juga melahirkan teori
baru, sehingga penelitian yang dihasilkan tidak terlepas dari gerakan dan aliran yang
memayungi dunia linguistik.
Teori linguistik adalah apa yang dikemukakan aliran linguistik tertentu dan aliran linguistik
yang memiliki corak teori tertentu. Kriteria yang dipakai untuk membedakan dan
mengelompokkan teori/aliran linguistik adalah kekhususan cara memahami bahasa dan corak
analisisnya. Ada empat teori besar yang dikategorikan berdasarkan kriteria tersebut, (1)
teori/aliran tradisional yang berdasarkan pada pola pemikiran filosofis dan bermula dari Plato
dan Aristoteles, (2) teori/aliran struktural yang berlandaskan paham behaviorisme yang
beranggapan bahwa jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah
laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak, sehingga aliran struktural mengamati bahasa
dan hakikatnya dalam perwujudan sebagai ujar (3) teori/aliran transformasional yang
dipelopori oleh Noam Chomsky dan ini merupakan aksi penolakan atas konsep
strukturalisme bahwa bahasa adalah faktor kebiasaan (4) aliran/teori tagmemik dan berangkat
dari konsep tagmem yang merupakan bagian dari konstruksi gramatikal dengan empat
macam kelengkapan spesifikasi ciri, yakni: slot, kelas, peran, dan kohesi.
Diskusi ini membataskan diri pada persoalan yang berkaitan dengan aliran struktural. Hal
yang akan disinggung di sini antara lain (a) Sejarah Singkat Strukturalis (b) Ciri-Ciri
Strukturalis (c) Keunggulan Strukturalis (d) Kelamahan Strukturalis (e) Doktrin Pokok
Strukturalis (f) Perkembangan Lanjut Strukturalis
2. Lahirnya Aliran Strukturalis[2]
Linguistik strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas
yang dimiliki bahasa itu. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap sebagai bapak
linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de
Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay
tahun 1915. Dalam kaiannya denga bahasa Saussure menegaskan bahwa bahasa sebenarnya
dapat dikaji dengan teori yang mandiri yang disebutnya “Linguistique”[3] untuk mengimbangi
kajian bahasa melalui disiplin psikologi, filologi, dan filsafat.
Strukturalisme merupakan arus penting dri pemikiran Eropa tahun 1960-an. Perhatian utma
ditujukan pada penelitian berkaitan dengan cara dan mekanisme berbahasa yang mencakup
tutur kata dan bunyi dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial, dan konteks di mana
sebuah bahasa berkambang.[4] Aliran Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu
pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya,
mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-
1913)[5] dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak
intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian
diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis ,
teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode,
tetapi juga sebuah gerakan intelektual di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison Assiter[6], ada empat ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk
‘kecenderungan intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari
keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga,
kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup
berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di
bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat
kuat dapat terlihat di bidang sosiologi. Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya
manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert Scholes
mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan keputusasaan. Para
kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi (sistem tanda). Ferdinand de Saussure
adalah penggagas strukturalisme abad ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan
dalam Course in General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah
kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada
penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang mendasari bahasa
(langue). Teori ini lalu muncul dan disebut semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus
terlebih dahulu melalui serangkaian pemeriksaan parole (ucapan).
Dengan demikian, Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus
(kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada bagaimana sesungguhnya kita dapat
mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain ’sinkronis’ daripada ‘diakronis’.
Akhirnya, dia menegaskan bahwa tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah
penanda (pola suara dari sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita
membaca puisi untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dansignified (konsep atau arti kata). Ini sangat berbeda dari
pendekatan sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara kata dan hal-hal di dunia
dengan referensinya.

3. Ciri-ciri Aliran Struktural


(a) Berlandaskan pada paham behaviourisme. Proses berbahasa merupakan proses
rangsang-tanggap (stimulus-response).
(b) Bahasa berupa ujaran. Ciri ini menunjukkan bahwa hanya ujaran saja yang termasuk
dalam bahasa. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan
pendekatan oral. Tulisan statusnya sejajar dengan gersture.
(c) Bahasa merupakan sistem tanda (signifie dan signifiant) yang arbitrer dan konvensional.
Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan dua unsur yaitu
signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa yang berada di balik tanda yang berupa
konsep di balik sang penutur atau disebut juga makna. Sedangkan signifiant adalah wujud
fisik atau hanya yang berupa bunyi ujar.
(d) Bahasa merupakan kebiasaan (habit). Berdasarkan sistem habit, pengajaran bahasa
diterapkan metode drill and practice yakni suatu bentuk latihan yang terus menerus dan
berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan.
(e) Kegramatikalan berdasarkan keumuman.
(f) Level-level gramatikal ditegakkan secara rapi. Level gramatikal mulai ditegakkan dari
level terendah yaitu morfem sampai level tertinggi berupa kalimat. Urutan tataran
gramatikalnya adalah morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Tataran di atas kalimat belum
terjangkau oleh aliran ini.
(g) Analisis dimulai dari bidang morfologi.
(h) Bahasa merupakan deret sintakmatik dan paradigmatik
(i) Analisis bahasa secara deskriptif.
(j) Analisis struktur bahasa berdasarkan unsur langsung. Unsur langsung adalah unsur yang
secara langsung membentuk struktur tersebut. Ada empat model analisis unsur langsung yaitu
model Nida, model Hockett, model Nelson, dan model Wells.

4. Keunggulan Aliran Struktural


(a) Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
(b) Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan
(c) Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima masyrakat
awam.
(d) Level kegramatikalan mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
(e) Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.

5. Kelemahan Aliran Struktural


(a) Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
(b) Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dang sangat
menjemukan.
(c) Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis dan
mekanis padahal manusia bukan mesin.
(d) Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun bisa benar
jika dianggap umum.
(e) Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
(f) Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.

6. Pernyataan Pokok Aliran Strukturalis


Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa
merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang dilakukan
Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena Saussure
menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga pendekatannya sering
disebutStructural Linguistics. Kedua, Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam
dikotomi tentang bahasa, yaitu (a) dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk
(form) dan substansi, (c) dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e)
dikotomi individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta sosial adalah istilah
dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalamRules of Sociological Method (1895),[7] untuk
mengacu pada fenomena gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat,
yaitu yang di luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa konvensi
dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah kecenderungan orang
Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh fakta sosial yang berupa aturan-
aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat. Bahasa bisa disetarakan dengan sistem hukum
atau struktur konvensi. Datanya berupa fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan
sistem umumnya adalah langue atau ‘bahasa’. Data konkret parole diproduksi oleh pengujar-
pengujar secara indivual. Karena penguasaan bahasa setiap orang berbeda-beda, suatu bahasa
tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara sempurna hanya di
dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan berupa minda kolektif maupun
gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh Durkheim. Akibat perbedaan tersebut, muncul
dua pendekatan, yaitu pendekatan ‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan
pendekatan Durkheim ‘kolektivisme metodologis’.
6.1 Sinkronik-Diakronik
Gagasan Saussure dapat dipakai sebagai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa kajian
linguistik hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena untuk dapat memotret
pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang bahasa itu untuk satu rentangan
waktu. Sebagai pemakai, bahasa dapat ditelaah dari “keberadaan” bahasa itu sendiri tanpa
terikat oleh rentangan waktu yang berbeda. Kajian diakronik dianggap terlalu sederhana
karena hanya mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah, sedangkan kajian
sinkronik dipandang lebih rumit karena harus mendeskripsikan bahasa itu sendiri.
6.1.1 Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti
waktu, masa. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan
data bahasa adalah rekaman yang diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal.
Linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya
mempelajari bahasa Indonesia di masa reformasi saja.
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu, meskipun beliau
banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Baginya, kajian sinkronis bahasa mengandung
kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak. Bagi penggunanya, sejarah bahasa
tidak memberikan apa-apa kepada pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada
yang perlu bagi pengguna bahasa, yaituétat de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu
keadaan bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak
kesistematisan.
Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa ‘sinkronik’ seperti
sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan suatu unit bahasa) memiliki tempat
tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu dengan buah catur lain, dan kekuatan serta pola
gerak/jalan tersendiri. Suatu keadaan bahasa (État de langue) adalah jaringan keterkaitan
yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar tergantung, langsung atau tak langsung
pada nilai elemen-elemen yang lain.
6.1.2 Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui, dan khronos yang berarti
waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan linguistik diakronis adalah
subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke
masa. Linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh
untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis),
(a) Kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar
Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’.
Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’,
untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
(b) Bupati dari kata Sansekerta bhu = bumi atau tanah dan kataSansekerta patti = kepala
atau penguasa sehingga bupati berarti kepala tanah, penguasa tanah, tuan tanah, kepala
daerah
(c) Kalkulasi: dari kata bahasa Latin Calculus = kerikil atau batu kecil, batu kecil untuk
menghitung. Dahulu orang menghitung dengan menggunakan krikil kemudian berkembang
menjadi sipoa atau sempoa dan yang paling modern orang menghitung dengan menggunakan
kalkulator. Jadi, kalkulasi, kalkulator dilihat secara diakronis merupakan kata yang latin
calculus yang mengalamai evolusi.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue,
melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. Linguistik diakronis akan
menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh
kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk
sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-
hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan
membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
6.2 Bentuk-substansi
Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian linguistik
harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure, substansi penting, namun bentuk
lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak
langsung) sangat bergantung pada nilai unsur lain.
6.3 Signifie-signifiant
Bahasa adalah alat komunikasi di dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang
maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyaraat bahasa tersebut. Tanda
bahasa terdiri atas dua unsur yang tak terpisahkan yaitu unsur citra akustik (bentuk)
(signifiant/petanda) dan unsur konsep (signifie)/penanda). Hubungan kedua unsur ini didasari
konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur ini terdapat di dalam pikiran atau kognisi
pemakai bahasa.
Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu lambang yang
berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran) dengan signifie (signified,
bagian makna). Kedua bagian itu tidak dapat dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan
oleh adanya kontras terhadap lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu
sistem tidak akan ada dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang
ada ataupun konsep-konsep yang ada.
6.3.1 Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (penanda) merupakan pengertian atau
kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda tidak dapat dipisahkan dari tanda
yang lain karena baik lafal maupun maknanya dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dari segi
fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Jadi,
bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat
manusia melalui alat-alat bicaranya. Misalnya gambar meja dilambangkan dengan meja
(Indonesia), table (Inggris), Mensa (Latin).
Apabila ada orang berujar meja dan kita mendengar rentetan bunyi /m, e, j, a/ itulah yang
disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap sebuah meja disebut signifienya, yaitu
sebuah prabot rumah tangga/kantor berkaki, permukaannya datar, bisa berbentuk bundar, atau
bersegi, dan deskripsi lainnya tentang meja.

6.3.2 Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk
(signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam
sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud
dasar sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau
kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
6.4 Individu-sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku berbahasa anggota
masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri perilaku berbahasa masing-
masing anggota berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan perilaku individu tidak akan
menyimpang dari perilaku kolektif yang ada pada kelompok.
6.5 Langue-parole
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan paradigmatik sebagai
bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial.Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat
oleh collective mind bukanindividual mind. Sebagai collective mind, bahasa merupakan
perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar dalam situasi yang
sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah sistem bahasa yang dipakai secara
bersama-sama oleh masyarakat penuturnya.
Gagasan Saussure tentang fakta sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya
mengenai struktur gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar.
Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam
Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan
kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan pembedaan
langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan konsep linguistic
competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun, sesungguhnya kedua
konsep tersebut berbeda.
Konsep langue dan parole menyisakan masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut
dalam bukunya, unit-unit (abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke
dalam langue, masuk dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas.
Morfem disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem
dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu membedakan dan
memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak berkomunikasi. Bedanya dari
morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat – sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus
bertambah. Jika demikian, sintaksis tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.

6.5.1 Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari
setiap individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca,
melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue
adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa
dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh
secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling
memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue
adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama
oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara
alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole merujuk pada cara pembicara
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak
pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa,
solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang
mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu
aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap
pakai, dari penutur-penutur terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat
konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda
bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa
lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi
tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh:
Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat
juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau
dengan tanda-tanda militer.
Langue seperti permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan
permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka
akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi
makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal.
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk.
Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!”
adalah parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya
pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam
setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi
di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 +
1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang
banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Menurut Alwasilah[8],
langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan
sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa)
Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa
langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal.
Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita
tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua
masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk
mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin
mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan.
Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret.
Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah
bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena
ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari
substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah,
putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa
jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk
bunyi).
6.5.2 Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari[9]. Intinya, parole adalah keseluruhan dari
apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan
penutur dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-
konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu.
Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta sosial karena
seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh
penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan
unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk
mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika
diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda
pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-
kombinasi tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap
pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara
langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole. Bersifat individu:
semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Parole
dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan
secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh banyak orang.
6.6 Sintakmatik-paradigmatik
Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan adanya
kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan hubungan
sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengombinasikan ke
dalam konstruksi yang lebih besar.
Bagi Saussure bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional. Tanda-tanda
bahasa itu disusun dalam rangkaian yang disebutnya rangkaian sintagmatik. Dalam hal ini
tanda bahasa ada dalam rangkaian sintakmatik yaitu rangkaian tanda yang berada dalam
ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesenstia.
6.6.1 Sintakmatik (Horizontal)
Hubungan sintakmatik adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan
bersama dalam satu tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun
yang lebih panjang.
Contoh. Budi menendang bola adalah deretan Budiàmenendangàbola. Urutan ketiga kata ini
bukan bersifat manasuka tanpa berpatokan pada kaidah (langue) bahasa Idonesia. Arah panah
pada contoh tidak hanya memperlihatkan urutan (bahasa yang linear) tetapi hubungan
sintaksis subjek—predikatà objek. Meskipun urutan itu diubah, fungsi gramatikal tetap
misalnya BolaàBudià tendang; TendangàbolaàBudi. Terlihat di sini bahwa fungsi gramatikal
bahasa tidak selalu terikat pada aspek linearitas. Kata-kata dalam sebuah bahasa berada
dalam relasi sintagmatik tersusun dalam sebuah struktur.
Pada kalimat Budi menendang bola terbentuk dari unsur Budi,menendang, bola yang
masing-masing menempati ruang kosong yang kemudian disebut gatra. Kaidah (langue)
bahasa Indonesia gatra dapat diisi dengan unsur bahasa tertentu saja. Jadi, gatra adalah ruang
kosong yang terdapat sebelum, di tengah, dan sesudah panah. Pada contoh kita sebut gatra
[1] à [2] à [3]. Dalam sintaksis [1], [2], [3] disebut fungsi sintaksis dan dalam hal ini setiap
fungsi itu dapat diisi oleh kata tertentu sesuai dengan kaidah. Dalam contoh yang sama
Budià menendangà bola, gatra [1] yang diisi Budi bisa diisi Ali, Candra, Damar, Dia, Mereka,
Adik, dll. Tetapi kata-kata itu tidak dapat berada di ruang dan waktu yang sama. Kata-kata itu
hanya bisa diasosiasikan secara in absentia. Hubungan itu dikatakan hubungan asosiatif atau
kata-kata itu berada dalam relasi asosiatif. Kata-kata yang mengisi gatra tergolong kata
sejenis atau disebut berada dalam paradigma yang sama. Hal yag sama bisa berlaku untuk
kata menendang bisa diisi kata mengambil, melempar, menyembunyikan, membuang; bola
bisa isi dengan kata batu, kelapa, piring. Relasi asosiatif ini kemudian disebut relasi
paradigmatik. Pada tataran langue stiap penutur bahasa menguasai semacam piranti atau
jejaring unsur-unsur bahasa yang tergolong-golong dalam paradigma dan unsur-unsur itu
saling membedakan. Jejaring inilah ang disebut sebagai sistem bahasa.

6.6.2 Paradigmatik (vertikal)


Hubungan paradigmatik adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian
dengan bentuk dasar dari unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen
yang dapat saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti
yang tampak pada matriks dibawah ini.
Budi (S) Menendang (P) Bola (O)
S Ali P memotong O kayu
S Candra P memukul O kucing
S Damar P menendang O Batu
S Dia P mengambil O roti
S Mereka P melempar O mangga
S Ibu P menjahit O baju
S ...... P ....... O ......

7. Aliran Lain yang mengembangkan Konsep Struktural


Pendekatan ini juga diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas
(1858–1942) sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884 – 1939)
sarjana Antropologi dan Linguistik; dan Leornard Bloomfield (1887 – 1949) sarjana
Linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguistik struktural. Para sarjana tersebut
mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah diselidiki sebelumnya,
bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran baru dalam kajian linguistik.
Aliran yang berafiliasi pada aliran stuktural ini antara lain
Aliran Praha
Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem
Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama
membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu
sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.
Sumbangan aliran ini dalam dalam bidang fonologis (mempelajari fungsi bunyi tersebut
dalam suatu sistem) dan bidang sintaksis dengan menelaah kalimat melalui pendekatan
fungsional.
Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya antara lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965),
yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai
suatu sistem hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik. Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa
menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis, dan
terminologis sendirian.
Aliran Firthian
Aliran firthian, nama John R. Firth (1890 – 1960) guru besar pada Universitas London sangat
terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang
dikembangkannya dikenal dengan nama aliran Prosodi. Nama John R. Firth terkenal karena
teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan
arti pada tataran fonetis.
Linguistik Sistemik (Sistemic Linguistics)
Aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu salah
seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang
berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan
karangannya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh
Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguisticsatau Scals and Category Linguistics.
Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics (SL). Pokok pandangan aliran
ini adalah: (1) SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa (2) SL
memandang bahasa sebagai pelaksana (3) SL mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa
tertentu beserta variasinya (4)SL mengenal adanya gradasi/kontinum (5)SL menggambarkan
tiga tataran utama bahasa.
Aliran Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran strukturalisme ini (1) masa itu para linguis
di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika
yang belum diperlukan (2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim
filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme (3) Di antara
linguis-linguis itu ada hubungan yang baik, karena adanya The Linguistics Society of America,
yang menerbitkan majalah Language; wadah tempat melaporkan hasil kerja mereka. Ciri
aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya
data yang objektif untuk memberikan suatu bahasa. Disebut aliran Bloomfield karena
bermula dari gagasan Bloomfield. Disebut juga sebagai aliran taksonomi karena aliran ini
menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh dari Summer Institute of
Linguistics, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld, sehingga aliran ini juga
bersifat strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan sintaksis
adalah tagmem (susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan
sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk mengisi slot
tersebut.Tagmem ini tidak dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi saja. Seperti subjek +
predikat + objek dantidak dapat dinyatakan dengan bentuk-bentuk saja, seperti frase benda +
frase kerja + frase benda, melainkan harus diungkapkan kesamaan dan rentetan rumus
seperti: S : FN + P : FV + O : FN artinya, fungsi subjek diisi oleh frase nominal diikuti oleh
fungsi predikat yang diisi oleh frase verbal dan diikuti pula oleh fungsi objek yang diisi oleh
frase nominal.

***

Sumber Rujukan

Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaedar A. Alwasilah.1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Fayyadl, Muhammad Al. 2011. Derrida. Yogyakarta: Lkis.
Giddens Anthony, 2009. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur dan
Kontradiksi dalam Analisis Sosial. Dariyatno (Pentj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hoed Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: FIB UI.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. TerjemahanCours de
Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Verhaar, JWM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum, Jogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

[1]
Bahan ini disipakan untuk diskusi dalam Kuliah Linguistik Lanjut, Senin, 22 Oktober 2012,
pada Program Pascasarjana UM.
[2]
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, .Jogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1993, hal. 1-55
[3]
Persoalan ini secara lebih rinci diulas Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial
Budaya, Jakarta: FIB UI, 2008, hal.45-73.
[4]
Muhammad Al Fayyadl, “ Melampaui Strukturalisme, Menuju Emansispasi Teks”
dalamDerrida, Yogyakarta: Lkis, 2011, hal.29-71
[5]
Ferdinand de Saussure, Op.Cit., Loc., Cit.
[6]
Gagasan Alison Assiter ini dapat ditemukan pada artikelnya “ Althusser dan
Strukturalisme” dalam jurnal British Sociology, vol.35 no.2, Blackwell Publishing, 1984.
[7]
Beryl Langer, “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi
Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002, hal.101-110.
[8]
Chaedar A. Alwasilah.Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung, 1993
[9]
Bandingkan Verhaar,JWM. Asas-Asas Linguistik Umum, Jogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010, hal.3-4.
Diposkan oleh BONE RAMPUNG di 24.10.12

Anda mungkin juga menyukai