Anda di halaman 1dari 4

Rheumatoid Artritis

Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang menjangkiti banyak jaringan
tetapi pada dasarnya menyerang sendi dan menyebabkan sinovitis proliferatif nonsupuratif yang seringkali berkembang
mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan berakibat artritis yang disertai kehilangan
fungsi. Oleh karena Iesi utama menjangkiti sendi dan tulang. Penyakit ini, demikian juga bentuk juvenilis penyakit ini dan
penyakit inflamasi lain dari sendi apabila berkembang dan melibatkan jaringan ekstra artikular sebagai contoh: kulit,
jantung, pembuluh darah, otot dan paru, artiritis reumatoid bisa menyerupai lupus atau skleroderma.
Artritis reumatoid relatif sering terjadi dengan prevalensi kira-kira 1%, dan tiga sampai lima kali lebih sering pada
wanita dari pria. Insidens tertinggi pada dekade ke-dua sampai ke-empat dari kehidupan, akan tetapi tidak ada usia yang
kebal.
AR adalah penyakit autoimun yang masih kurang dipahami, berupa kompleks faktor risiko interaksi genetik,
lingkungan dan sistem imun. Perubahan patologis terutama disebabkan oleh inflamasi yang dimediasi sitokin, di mana
sumber utama sitokin tersebut adalah dari sel limfosit T CD4+ (Gambar 20-18). Banyak pasien yang juga
memproduksi antibodi terhadap peptide sitrulin siklik/cyclic cetrullinated peptides (CCPs) , yang bisa berperan pada
lesi sendi. CCPs berasal dari protein di mana residu arginin dikonversikan menjadi residu sitrulin setelah translasi. Pada
artritis reumatoid antibodi terhadap fibrinogen sitrulin, kolagen tipe II, alfa-enolase dan vimentin amat penting dan bisa
membentuk kompleks imun yang tertimbun di dalam sendi. Antibodi ini adalah tanda diagnostik untuk penyakit AR dan
mungkin terlibat di dalam kerusakan jaringan. Seperti penyakit autoimun lainnya, artritis reumatoid merupakan kelainan
di mana faktor genetik dan lingkungan berperan pada kerusakan toleransi terhadap antigen sendiri.
1. Faktor genetik: Diperkirakan 50% risiko terhadap artritis reumatoid berhubungan dengan faktor genetik.
Kerentanan terhadap artritis reumatoid dihubungkan dengan lokus HLADRBI. Penelitian akhir-akhir ini
mengungkapkan sejumlah besar gen non-HLA yang polimorfisme berhubungan dengan artritis reumatoid.
Terdapat hubungan yang kuat dengan polimorfisme pada gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfat yang telah
diterima sebagai penghambat pengaktifan sel T.
2. Faktor lingkungan: Banyak calon agen infeksi yang
antigennya dipertimbangkan bisa mengaktifkan sel T atau
sel B, tetapi tidak satupun yang meyakinkan terlibat.
Sebagaimana diterangkan di atas, sedikitnya 70% pasien
darahnya mengandungi antibody anti CCP, yang mungkin
diproduksi selama inflamasi. Peradangan dan lingkungan
yang tidak menyenangkan seperti merokok dan infeksi
bisa menyebabkan sitrulinisasi dari beberapa protein itu
sendiri, menghasilkan epitop baru yang memicu reaksi
imun.
Diusulkan bahwa penyakit ini dimulai pada orang yang
mempunyai kecenderungan secara genetik untuk pengaktifan sel
T heiper CD4+ sebagai reaksi terhadap beberapa agen
arthritogenic, kemungkinan mikroba atau antigen diri sendiri
seperti CCP (Gambar 20-18). Sel TE.,1 CD4+ dan TH17, limfosit B aktif, sel plasma, dan makrofag, sebagaimana sel
radang lainnya, ditemukan di dalam sinovium yang meradang dan pada kasus yang berat, mungkin ada folikel limfoid
dengan sentrum germinatifum. Sejumlah sitokin, meliputi IL-1, IL-8, TNF, IL-6, IL-17, dan interferon-g, telah ditemukan
di dalam cairan sinovial. Sitokin diproduksi oleh sel T aktif leukosit baru seperti makrofag, yang produksinya
menyebabkan jejas pada jaringan dan juga mengaktifkan sel sinovial sendi untuk memproduksi enzim proteolitik, seperti
kolagenase, yang merupakan perantara destruksi tulang rawan, ligamen, dan tendon sendi. Peningkatan aktivitas osteoklas
di dalam sendi berperan terhadap kerusakan tulang pada artritis reumatoid; hal ini mungkin disebabkan oleh produksi
ikatan RANK sitokin keluarga TNF oleh sel T aktif. Walaupun berbagai sitokin yang diproduksi di dalam sendi pada
artritis reumatoid, TNF kelihatannya memainkan peranan yang sangat penting. Hal ini didemonstrasikan oleh kemanjuran
yang luar biasa dari penggunaan antagonisTNF pada pengobatan penderita, bahkan pada penderita yang resisten terhadap
terapi yang lain.
Dari pengamatan klinis dan berbagai percobaan dicurigai bahwa antibodi juga memainkan peranan penting pada
penyakit. Peranan dari anti CCP sudah diterangkan sebelumnya. Kira-kira 80% pasien memiliki serum imunoglobulin M
(IgM) (dan kurang sering IgA) autoantibodi yang mengikat bagian Fc dari IgG nya. Autoantibodi ini dinamakan faktor
reumatoid. Mereka bisa membentuk kompleks imun dengan IgG nya sendiri yang dideposit di dalam sendi dan jaringan
lainnya, sehingga menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Bagaimanapun juga, peran faktor reumatoid di dalam
patogenesis lesi pada sendi atau ekstra artikular belum dibuktikan. Yang menarik, ada dua varian artritis reumatoid, satu
yang spesifik adanya anti CCP dan faktor reumatoid dan yang lainnya tidak mempunyai autoantibodi.
Perubahan morfologi yang terlihat pada artritis reumatoid, yang paling parah terjadi pada sendi. Artritis reumatoid ciri
khasnya memperlihatkan sebagai artritis yang simetris, pada dasarnya mengenai sendi kecil dari tangan dan kaki,
pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, siku dan bahu. Paling sering, interfalangeal dan sendi metakarpofalangeal
yang terkena, tetapi sedikit pada sendi interfalangeal distal. Keterlibatan aksial, apabila ada, terbatas pada vertebra
servikalis atas; demikian pula keterlibatan sendi pinggul sangat jarang.
Pada pemeriksaan histologis, sendi yang terkena memperlihatkan sinovitis papiler yang kronik, ciri khasnya
(1) hiperplasia dan proliferasi sel synovial
(2) infiltrat sel radang perivaskular yang padat (seringkali membentuk folikel limfoid) di sinovium yang terdiri atas sel
TCD4+, sel plasma, dan makrofag
(3) vaskularisasi bertambah karena angiogenesis
(4) neutrofil dan kumpulan fibrin di permukaan sinovial dan di rongga sendi
(5) peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya yang penetrasi ke sinovial dan erosi tulang periartikular.
Penampilan yang terbaik adalah panus, yang dibentuk oleh proliferasi sel yang melapisi sinovial bercampur dengan
sel radang, jaringan granulasi, dan jaringan ikat fibrin; pertumbuhan jaringan yang berlebihan ini sangat banyak dan
biasanya tipis, membran sinovial yang licin berubah menjadi tonjolan seperti daun pakis yang banyak (vilus) (Gambar 20-
19, A-C).
Dengan keterlibatan radang pada sendi biasanya berkembang edema jaringan lunak periartikular, yang diperlihatkan
dengan pembengkakan yang fusiform dari sendi interfalangeal proksimal. Dengan perkembangan penyakit, tulang rawan
sendi yang letaknya lebih rendah dari panus mengalami erosi dan akhirnya rusak. Tulang subartikular juga mungkin
terserang dan erosif. Pada akhirnya panus mengisi rongga sendi, dan kemudian terjadi fibrosis dan osifikasi sehingga
bisa menyebabkan ankilosis yang permanen. Ciri khas radiografi ialah efusi sendi dan juxtaarticular osteopenia dengan
erosi dan penyempitan rongga sendi serta hilangnya tulang rawan sendi. Destruksi tendon, ligamen dan kapsula sendi
menghasilkan deformitas yang khas, meliputi penyimpangan pergelangan tangan, kearah radial penyimpangan ulna dari
jari tangan, dan fleksi-hiperekstensi abnormal dari jari tangan (swanneck deformity, boutonniere deformity). Nodul
subkutan reumatoid berkembang kira-kira pada seperempat pasien, terjadi di sepanjang permukaan ekstensor lengan
bawah atau daerah lain mungkin karena tekanan mekanik; jarang sekali yang terbentuk di paru, limpa, jantung, aorta, dan
visera lainnya. Nodul reumatoid keras, tidak empuk, massa lonjong atau bulat dengan garis tengah 2 cm. Mikroskopik
terdapat focus sentral dari nekrosis fibrinoid dikelilingi oleh palisade makrofag yang dikelilingi oleh jaringan granulasi
dan limfosit (Gambar 20-20). Pasien dengan penyakit erosif yang berat, nodul reumatoid, dan titer faktor reumatoid
yang tinggi,mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi sindrom vaskulitis; vaskulitis nekrotik akut dapat
mengenai arteri yang kecil maupun besar. Keterlibatan serosum dapat dilihat sebagai pleuritis fibrinosa atau pericarditis
atau keduanya. Parenkim paru mungkin dirusak oleh fibrosis interstisialis yang progresif. Perubahan mata seperti uveitis
dan keratokonjungtivitis (sama dengan yang terlihat pada sindrom Sjogren, lihat Bab 4) mungkin jelas pada beberapa
kasus.

Gambaran Klinis
Walaupun artritis reumatoid pada dasarnya adalah artritis yang poliartikular dan simetris, bisa juga terdapat keluhan
seperti lemah, malaise dan agak demam. Banyak gejala sistemik merupakan hasil dari mediator yang sama dengan yang
menyebabkan radang sendi (contoh: IL-1, TNF). Artritis pertama kali timbul secara tersembunyi, dengan rasa sakit dan
kaku pada sendi, terutama pagi hari. Ketika penyakit berlanjut, sendi membengkak, gerakan terbatas, dan selanjutnya bisa
terjadi ankilosis lengkap.

Keterlibatan vaskulitis ekstremitas bisa menimbulkan fenomena Raynaud dan ulkus kaki yang kronik. Keterlibatan
multisistem ini harus dibedakan dari lupus, skleroderma, polimiositis, dermatomiositis, penyakit Lyme, dan juga artritis
yang lain. Berguna di dalam menegakkan diagnosis yang benar ialah: (1) gambaran radiografik yang khas; (2) cairan
sinovial keruh, steril, dengan kekentalan dan penggumpalan musin yang berkurang; dan kelompokan neutrofil, dan (3)
anti CCP dan faktor reumatoid (80% pasien).
Gejala klinis artritis reumatoid sangat bervariasi. Minoritas pasien, penyakitnya bisa stabil atau bahkan mundur; pada
sebagian besar pasien penyakitnya diikuti dengan kekambuhan yang kronik, dan hilang timbul. Penyakit ini menimbulkan
kerusakan sendi yang progresif yang mengakibatkan cacat setelah 10 tahun sampai 15 tahun. Hasil terahir ada perbaikan
secara dramatis dengan perkembangan terapi terbaru, meliputi pengobatan yang agresif pada artritis reumatoid awal dan
pemberian agen biologis yang merupakan antagonis TNF yang sangat efektif. Artritis reumatoid merupakan penyebab
yang penting dari amiloidosis reaktif (Bab 4), yang terjadi pada 5% sampai 10% pasien, terutama pada penderita yang
penyakitnya berat dan lama.
KLASIFIKASI
Kriteria klasifikasi RA yang diusulkan oleh American College Reumatologi pada tahun 1987 dibedakan berdasarkan
RA dari penyakit rematik lainnya. Kriteria baru yang diusulkan oleh ACR / EULAR pada tahun 2010 memungkinkan
untuk mengklasifikasikan RA pada tahap-tahap sebelumnya (Gbr. 1), yang memungkinkan untuk mencegah kerusakan
tulang dan perkembangan radiologis berkat penggunaan disease-modifying drugs. Polyarthralgia onset bertahap dengan simetris,
intermiten dan keterlibatan sendi bermigrasi, terutama di tangan dan kaki adalah gambaran klinis yang paling khas dari
RA.
Penting untuk menunjukkan bahwa meskipun fakta
bahwa Keterlibatan kaki bukan bagian dari beberapa
indeks aktivitas (DAS28, SDAI, CDAI), tetapi
keterlibatan kaki dimasukkan dalam EULAR / ACR
2010 klasifikasi karena kepentingan klinisnya.
Peradangan simetris pada artikulasi kecil dan besar
disertai dengan kekakuan pagi, itu adalah gejala umum
RA. Pada saat yang sama, kriteria klasifikasi modern
berkontribusi pada perubahan gambaran klinis
penyakit, meningkatkan jumlah mono dan oligoarthritis
seronegatif sebagai manifestasi klinis awal dan
meningkatkan risiko diagnosa positif yang salah di
antara pasien dengan autolimiting undifferentiated
arthritis.
Kriteria ACR / EULAR 2010 tidak menentukan metode lain untuk diagnosis sinovitis selain pemeriksaan klinis,
walaupun ada kehadiran setidaknya satu artikulasi dengan sinovitis definitif. Rekomendasi EULAR untuk penggunaan
pencitraan di rheumatoid arthritis menyatakan bahwa ketika ada keraguan diagnostik, konvensional radiografi, ultrasound,
atau MRI dapat digunakan untuk meningkatkan kepastian diagnosis RA di atas kriteria klinis saja, MRI dan USG dapat
digunakan untuk memprediksi perkembangan dari tidak terdiferensiasi inflamasi ke RA klinis, dan karena USG dan MRI
lebih unggul dari pemeriksaan klinis dalam deteksi sendi peradangan, teknik ini harus dipertimbangkan untuk lebih bisa
menilai peradangan yang akurat.

Artritis reumatoid pada anak/Juvenile (ARA) bukan satu penyakit tunggal tetapi sekelompok kelainan yang multifaktor
dengan komponen lingkungan dan genetik. Etiologi kelainan ini tidak diketahui dan dibagi berdasarkan penampilannya
yaitu varian oligoartritis, poliartritis dan yang sistemik (penyakit Still). Sering mengenai sendi besar dengan keluhan serta
gejala seperti pembengkakan sendi, rasa hangat, nyeri dan kehilangan fungsi dimulai sebelum usia 16 tahun dan menetap
lebih dari 6 minggu. Peradangan ekstra artikular seperti uveitis juga terlihat. Faktor risiko yang sering meliputi kerentanan
genetik (seperti HLA dan varian gen PTPN22) dan mungkin juga infeksi. Seperti pada artritis reumatoid pada dewasa,
patogenesis sepertinya melibatkan pengaktifan sel TH1 dan TH17, kemudian pengaktifan sel B,makrofag, fibroblas untuk
memproduksi antibodi dan berbagai sitokin meliputi TNF, IL-I, dan IL-6, yang akhirnya menyebabkan kerusakan padan
struktur sendi.

Anda mungkin juga menyukai