Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia Urine adalah pengekuaran urine involunter (tidak
disadari/mengompol) yang cukup menjadi masalah. Inkontinensia Urine
adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat yang tidak tepat
serta menyebabkan masalah kebersihan atau sosial (Watson dalam Maryam
dkk 2008: 118).
Inkontinensia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur
lanjut usia (Aging Structured Population) karena jumlah penduduk berusia 60
tahun ke atas sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia pada
tahun 2006 sebesar kurang dari 19 juta, dengan usia harapan hidup 66,2
tahun. Pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 23,9 jiwa (9,77%)
dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia
harapan hidup 71,1 tahun (Depkes, 2012).
Proses penuaan menimbulkan masalah kesehatan yaitu kurang bergerak
(Immobility), infeksi (Infection), berdiri dan berjalan tidak stabil (Instability),
gangguan intelektual/dementia (Intellectual Impairment), sulit buang air
besar (Impaction), depresi (Isolation), menderita penyakit dari obat-obat
(Iatrogenesis), daya tahan tubuh menurun (Immune Deficiency), gangguan
tidur (Insomnia) dan besar buang air kecil (Urinary Incontinence). Salah satu
pada masalah proses penuaan adalah Inkontinensia Urin (Bustan, 2007:
Tamher, 2009).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk didunia mengalami
Inkontinensia Urin. Di Amerika Serikat jumlah penderita Inkontinensia Urine
mencapai 13 juta dengan 85% diantara perempuan dan lelaki. Jumlah ini
sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab masih
banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Di Indonesia jumlah penderita Inkontinensia Urin sangat signifikan.
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk mengalami

1
Inkontinensia urin, tetapi penanganannya masih sangat kurang. Hal ini di
sebabkan karena masyarakat belum tahu tempat yang tepat untuk berobat
disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang Inkontinensia Urin.

1.2 Rumusan Masalah


Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab ini. Beberapa masalah
tersebut antara lain:
1. Apa Definisi Inkontinesia Urine ?
2. Apa Klasifikasi Inkontinesia Urine?
3. Apa Etiologi Inkontinesia Urine?
4. Apa Manifestasi Klinis Inkontinesia Urine?
5. Apa Pemeriksaan Diagnostik Inkontinesia Urine?
6. Apa Penatalaksaan Inkontinesia Urine?
7. Apa Patofisiologi Inkontinesia Urine ?
8. Apa Konsep Asuhan Keperawatan Inkontinesia Urine ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penulisan
makalah ini agar kami dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan Inkontinensia Urine, yang meliputi sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Definisi Inkontinesia Urine
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi Inkontinesia Urine
3. Untuk Mengetahui Etiologi Inkontinesia Urine
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Inkontinesia Urine
5. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik Inkontinesia Urine
6. Untuk Mengetahui Penatalaksaan Inkontinesia Urine
7. Untuk Mengetahui Patofisiologi Inkontinesia Urine
8. Untuk Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Inkontinesia Urine

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Inkontinensia Urine


Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal sebagai bahasa awam
merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia
urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja,
sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi
atau disertai pengeluaran feses (Brunner, 2011).
Inkontinensia Urine adalah ketidak mampuan otot sfingter eksternal yang
bersifat sementara atau permanen untuk mengontrol aliran urine dari kandung
kemih (Kozier, 2009).
Inkontinensia Urin adalah masalah umum pada pria maupun wanita
lanjut usia, Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak
terkendali keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial,
dan hyginis pada penderita (Cameron, 2013)

2.2 Klasifikasi Inkontinensia Urine


Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, disini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu:
1. Inkontinensia Tekanan (Stres Inkontinence)
Inkontinensia tekanan/stres biasanya disebabkan oleh lemahnya
mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu
batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri
sesudah berbaring atau duduk.
Inkontinensia stres merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui
uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra
abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan
dapat disebabkan oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria,

3
kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan
lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan
kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Inkontinensia Desakan (Urge Incontinence)
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet.
Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat
merupakan faktor yang menyertai: keadaan ini dapat terjadi pada pasien
disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung
kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat infeksi saluran
kemih atau tumor kandung kemih.
3. Inkontinensi Luapan (Overflow Incontinence)
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat
mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering, kandung kemih
tidak pernah kosong. Overflow inkontinence dapat disebabkan oleh
kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan
hiperplasia prostat).
4. Inkontinensia Fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah
yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang
membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya,
demensia Alzheimer) atau gangguan yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.

2.3 Etiologi Inkontinensia Urine


Penyebab inkontinensia urine ada beberapa macam berdasarkan jenisnya.
Dalam Mark et al (2006) etiologi inkontinensia urine yaitu sebagai berikut:
1. Inkontinensia Tekanan (Stres Inkontinence)

4
Pengeluaran urine involunter yang disebabkan oleh dorongan dan
keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi
detrusor secara involunter. Penyebab gangguan neurologic serta infeksi
saluran kemih.
2. Inkontinensia Tekanan (Stres Inkontinence)
Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa atau
peningkatan tekanan intra abdomen lainnya. Penyebabnya sering karena
kelemahan dasar punggul dan kurangnya dukungan unit sfingter vesiko
uretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra intrinsik seperti
akibat mielomeningokel, epispadia, prostatektomi, trauma, radiasi, atau
lesi medulla spinalis bagian sacral.
3. Inkontinensia aliran berlebih (Overflow Incontinence)
Pengeluaran urin involunter akibat distensi kandung kemih yang
berlebihan, bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa
inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat disertai dengan kandung
kemih, obat-obatan, impaksi feses, nefropati diabetic, atau defisisensi
vitamin B12.
4. Inkontinensia fungsional (Inkontinensia Fungsional)
Imobilitas, difisit kognitif, paraplegia, atau daya kembang kandung
kemih yang buruk.

2.4 Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine


1. Inkontinensia Stres
Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini
sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia Urgensi
Ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.
3. Inkontinensia Overflow
Hilangnya kendali miksi involunter yang berhubungan dengan distensi
kandung kemih yang berlebihan.

5
4. Inkontinensia Detrusor
Merupakan inkontinensia total yang merupakan hilangnya kendali miksi
secara menetap dengan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
akibat gangguan kontraktilitas destrusor atau obstruksi kandung kemih.
Kebocoran urin biasanya sedikit dan volume residual pasca kemih
biasanya meningkat.
5. Enuresis Nocturnal
10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama
tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang
abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.

Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine pada Lansia


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
1) Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
2) Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
3) Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

Komplikasi Inkontinensia Urine


Dalam Simon, 2012 dampak akibat inkontinensia urine terdapat 3 macam,
yaitu:
1. Dampak Emosional
Inkontinensia urin mempengaruhi emosional penderita cukup besar.
Pada perempuan yang menderita inkontinensia seringkali mengalami
depresi. Karena tanpa disadari urin keluar secara tidak sadar mebuat
penderita merasa bahwa ia sedang mengompol. Penderita merasa dirinya
menyebabkan bau yang tidak sedap, sehingga penderita sering

6
menyalahkan dirinya sendiri, lalu menyendiri, dan akhirnya menarik diri
dari pergaulan.
2. Pengaruh Spesifik
Bila inkontinensia yang berat penderita memerlukan pemasangan
kateter permanen, sehingga mobilitas penderita terganggu. Inkontinensia
juga akan membuat penderita tidak bisa hidup bebas dan terikat dengan
orang lain. Pada penderita sering mengalami jatuh dan kecelakaan. Hal ini
berkaitan dengan keadaan di mana penderita tergesa-gesa untuk mencapai
toilet sehingga bila tidak berhati-hati bisa jatuh dan mengalami
kecelakaan.
3. Gangguan Rasa Nyaman
Gangguan rasa nyaman ini disebabkan karena tanpa disadari urin keluar
secara tiba-tiba. Hal ini juga akan mengganggu pola tidur klien.

2.5 Pemeriksaan Diagnostic Inkontinensia Urine


Dalam mendiagnosa inkontinensia urine seorang perawat terlebih dahulu
melakukan anamnesa tentang riwayat kesehatan dan kebiasaan hidup
(termasuk asupan cairan). Pemeriksaan fisik diperlukan untuk memeriksa
kemungkinan kondisi yang dapat berpengaruh terhadap masalah. Sample urin
diperlukan untuk menganalisa kemungkinan adanya infeksi.
Jika diperlukan evaluasi yang lebih lanjut, tes yang lebih khusus
(Urodynamic Studies) dapat dilakukan. Urodynamic Studies digunakan untuk
mrnguji seberapa baik kinerja kandung kemih dan uretra. Tes tersebut
meliputi:
1. Postovoid Residual Volume Urine
Postovoid Residual (PVR) uji volume urin untuk mengukur jumlah urin
yang tersisa setelah buang air kecil. Sekitar 50 mL atau kurang dari. Lebih
dari 200 mL adalah abnormal. Jumlah antara 50-200 mL mungkin
memerlukan tes tambahan untuk interpretasi. Metode yang paling umum
untuk mengukur PVR adalah dengan kateter, sebuah pipa kecil yang

7
dimasukan kedalam uretra dalam beberapa menit buang air kecil. USG
yang non invasif juga dapat digunakan.
2. Cystometry
Cystometry juga disebut filling cystometry mengukur seberapa banyak
urin yang dapat ditahan kandung kemih dan tekanan yang terbentuk di
dalam kemih saat terisi. Cystometry dapat dilakukan pada waktu yang
sama seperti tes PVR. Prosedur menggunakan beberapa kateter kecil
dengan cara:
Sebuah kateter double-channel dimasukan melalui uretra dan masuk ke
kandung kemih. Hal ini digunakan untuk mengisi kandung kemih dengan
air dan untuk mengukur tekanan. Kateter lain dimasukkan kedalam rektum
atau vagina, hal ini digunakan untuk mengukur tekanan perut. Selama
prosedur pasien diminta untuk memberitahu bagaimana tekanan
mempengaruhi kebutuhan untuk buang air kecil. Pasien mungkin diminta
untuk batuk atau strain (regangan) untuk mengevaluasi perubahan tekanan
kandung kemih dan tanda-tanda kebocoran.
Otot detrusor dari kandung kemih normal tidak akan berkontraksi selam
pengisian kandung kemih. Kontraksi yang keras pada jumlah rendah cairan
menunjukkan inkontinensia. Stress incontinence dicurigai ketika tidak ada
peningkatan yang signifikan dalam tekanan kandung kemih atau otot
detrusor kontraksi selama mengisi, tapi pasien mengalami kebocoran jika
tekanan perut meningkat.
3. Uroflowmetry
Untuk menentukan apakah kandung kemih terhambat, tes elektronik
yang di sebut Uroflowmetry mengukur kecepatan aliran urin. Untuk
melakukan tes ini pasien kencing ke dalam alat pengukur khusus.
4. Cystoscopy
Cystoscopy juga disebut Urothrocystoscopy dilakukan untuk memeriksa
masalah pada saluran kemih bawah, termasuk uretra dan kandung kemih.
Dokter dapat menentukan adanya masalah struktural termasuk pembesaran
prostat, obstruksi uretra atau leher kandung kemih, kelainan anatomi, atau

8
batu kandung kemih. Tes ini juga dapat mengidentifikasi kanker kandung
kemih, dan menyebabkan darah dalam urin, dan infeksi.
Dalam prosedur ini, tabung tipis dengan cahaya di ujung (Cytoscopy)
dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra, kemudian di sisipkan
instrumen kecil melalui Cystoscope untuk mengambil sampel jaringan
kecil (Biopsi). Cytoscope biasanya dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.
Pasien dapat diberikan anastesi lokal, tulang belakang, atau umum.
5. Electromyography
Electromyography juga disebut Electropysiologic Sphincter Testing
dilakukan jika dokter menduga bahwa masalah saraf atau otot mungkin
menyebabkan inkontinensia. Tes menggunakan sensor khusus untuk
mengukur aktivitas listrik di saraf dan otot di sekitar sfingter. Tes ini
mengevaluasi fungsi saraf yang membantu sfingter dan otot dasar panggul
serta kemampuan pasien untuk mengendalikan otot-otot ini.
6. Vidio Urodynamic Tests
Vidio Urodynamic Tests menggabungkan uji urodynamic dengan tes
penggambaran seperti USG atau tipe khusus prosedur X-Ray yang disebut
Fluoroscopy. Fluoroscopy melibatkan mengisi kandung kemih dengan
pewarna kontras sehingga dokter dapat memeriksa apa yang terjadi ketika
kandung kemih penuh dan di kosongkan.
Ultrasound adalah tes yang tidak menyakitkan yang menggunakan
glombang suara untuk menghasilkan gambar. Dengan USG kandung
kemih di isi dengan air hangat dan sensor ditempatkan pada perut atau di
dalam vagina untuk mencari masalah struktural atau kelainan lainnya.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller


adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan
otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Pemanfaatan Kartu Catatan Berkemih

9
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.
2. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah:
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuwensi
berkemih 6-7 x/hari.
2) Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya.
3) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
4) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan lansia.
5) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
3. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
1) Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol
atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

10
4. Terapi Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non-farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
5. Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepert iurinal, komod dan
bedpan.
1) Kelainan Neurologi (Medulla Spinalis)
2) Penyumbatan Saluran Urin (Obat-Obatan, Tumor)
3) Otot Detrusor Tidak Stabil/ Bereaksi Berlebihan
4) Ingin Kencing Mendadak, Dimalam Hari
5) Disfungsi Neurologi
6) Kontraksi Kandung Kemih terhambat

2.6 Penatalaksanaan Inkontinensia Urine


Penata laksanaan inkontinensia urin menurut Tonagho & Mc Anuch
(2008) meliputi modifikasi lingkungan, terapi perilaku, terapi farmakologi,
terapi pembedahan, da alat bantu.
1. Modifikasi Lingkungan
Bertujuan untuk memudahkan klien dalam melakukan urinasi,
meliputi:
1) Pemasangan bel diruangan yang mudah dijangkau klien
2) Penerangan yang cukup
3) Toilet duduk portable, urinal, dan bedpan atau pispot

11
4) Hindari penggunaan restrain karena akan mempersulit klien ketika
ingin berkemih
5) Melatih ROM pasif dan aktif untuk meningkatkan kekuatan otot
2. Terapi Non-Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi
berkemih 6-7 kali sehari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2
hingga 3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara
mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberi
tahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Latihan
ini dilakukan dengan melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
3. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti oxybutinin, propantteine, dicilomyne, flavoxate,
imipramine. Pada inkontinensia stres diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi uretra. Pada saat
sfingter relksasi dapat diberikan kolinergik agonis seperti bethanechol
atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi Pembedahan

12
Trapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stres dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Terapi Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pembalut urinal, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod, dan
bedpan.

13
2.7 Patofisiologi Inkontinensia Urine

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
INKONTENENSIA URINE
1. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Ny.D
Umur : 70 tahun
Tanggal Lahir : 07-01-1948
Agama : Islam
Alamat : Kebon Turi, Arjawinangun
Nomor Medrek : 001471
Tanggal Masuk RS : Selasa, 05 juli 2018
Tanggal Pengkajian : Selasa, 05 Juli 2018
Diagnosa Medis : Inkontenensia Urine
2. Identitas Orang tua / Keluarga
1) Ayah/Ibu
Nama : -
Umur : -
Agama : -
Suku Bangsa : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Alamat : -
2) Suami/Anak/Saudara terdekat
Nama : Tn. I
Status : Suami
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : S1-Ilmu Komunikasi
Pekerjaan : Reporter

15
Alamat : Jalan Siliwangi, Kota Cirebon
2. Keluahan Utama
Pasien mengatakan sering buang air kecil lebih dari 4 kali dalam sehari dan tidak terkontrol
pada saat batuk, bersin dan mengangkat benda berat.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada tanggal 05 Juli 2018, pukul 08.30 WIB, pasien mengeluh sering membuang air kecil
tidak terkontrol saat batuk, bersin, mengangkat benda berat, dan pasien mengeluh gatal
pada bagian vagina.
4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keluarga pasien mengatakan pasien pernah mengalami penyakit yang dialami sekarang
sebelum masuk ke Rumah Sakit.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa tidak memiliki silsilah penyakit keturunan.
6. Riwayat Kesehatan Sosial
Klien memiliki hubungan sosial yang buruk terlihat acuh terhadap lingkungan sekitar dan
tidak memperdulikan pihak keluarga yang menjenguknya.
7. Riwayat Kesehatan Spiritual
Klien mengatakan bahwa penyakit yang dideritanya saat ini sebagai bentuk cobaan dari
Allah SWT.
8. Riwayat Kesehatan Transkultural
Klien tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, dan sebagian keluarga lebih memilih
menggunakan pengobatan alternatif.
9. Pemeriksaan Umum
Berat Badan Sebelum : 75 kg
Berat Badan Sesudah : 75 kg
Tinggi Badan : 157 cm (1,57 m)
BMI : -
Tingkat Kesadaran : Compos Metis
Eyes : 4 Verbal : 5 Motorik : 6
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pulse Rate : 105 kali/menit

16
Respiration Rate : 23 kali/menit
Suhu : 37˚C
SPO² : 95%
GDS : 84 mg/dL
Cholesterol total : 263 mg/dL
10. Pendekatan Pengkajian Fisik
a. Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : - Kulit kasar, pucat namun tidak terdapat
adanya lesi atau jaringan parut
- Bentuk kuku normal namun
pertumbuhannya buruk dan terlihat
sianosis
- IC tidak tampak
Palpasi : - IC tidak kuat angkat
- Turgor kulit tidak elastic
- Tidak ada nyeri tekan pada bagian sinistra
dada
- CRT > 3 detik
Perkusi : - Resonan (batas jantung tidak melebar)
Auskultasi : - Suara jantung normal S1 dan S2
b. Sistem Respirasi
Inspeksi : - Bentuk hidung normal, tidak ada lesi
- Lubang hidung tampak bersih
- Bentuk dada normal
- Gerakan pernapasan simetris
Palpasi : - Tidak ada nyeri pada daerah sinus
- Ekspansi dada simetris
- Traktil fremitus normal, getaran antara
bagian anterior-posterior dextra dan
sinistra sama.
Perkusi : - Bunyi paru normal Resonan

17
Auskultasi : - Suara paru normal vesicular
c. Sistem Neurologi dan Sistem Indra
Kepala dan Leher : - Bentuk kepala normal, rambut berwarna
hitam tampak beruban, kulit kepala bersih,
tidak menunjukan adanya lesi.
- Bentuk leher normal, tidak ada lesi atau
pembengkakan limfa.
- Reflek menelan normal.
Raut Wajah : - Wajah tampak pucat, lesu, meringis pada
saat dilakukan penekanan pada bagian
midepigastrik.
Mata : - Bentuk mata normal
- Konjungtiva normal
- Sclera mata ikteri
- Pergerakan bola mata isikor
Mulut : - Bentuk bibir agak bengkak dan tampak
sianosis.
- Gigi bersih,
- Tidak ada secret dalam rongga mulut
- Indra pengecapan normal
- Tidak ada gangguan verbal
Telinga : - Bentuk telinga normal
- Antara sisi telinga dextra dan sinistra
simetris
- Telinga tampak bersih, terlihat adanya
serumen
- Tidak ada nyeri tekan (kelenjar parotid)
- Reflek saraf Tochlear normal (S.III)
Neurosensori : - Olfaktori normal
- Opticus normal
- Trigeminal normal

18
- Klien merintih disebabkan nyeri pada
bagian kepala
- Kehilangan kontak mata
d. Sistem Gastrointestinal
Inspeksi : - Bentuk abdomen normal tidak ada lesi,
namun tampak asites
Perkusi : - Tymphani disebabkan karena adanya
distensi abdomen
Auskultasi - Peristaltic usus 12 kali/menit
Palpasi : - Tidak ada nyeri saat dilakukan palpasi.
e. Sistem Genito-Urinary
- Bagian genital tampak kotor, bentuk normal, vagina tampak kemerahan dan
terdapat lesi.
- Perfusi ginjal nornal, warna urin dan fases berwarna kuning
f. Sistem Muskuloskeletal
- Bentuk dan struktur tulang, sendi dan otot normal, refleks sendi normal,
- Sulit tidur disebabkan sering membuang air kencing
- Tampak lemah dengan rentang gerak (ROM) 4.
11. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Hematokrit : 28 %
Leukosit : 3000 mm³
Hemaglobin : 9 mgdL
Trombosit : 122000 mm³
b. Kolesistografi Oral
c. Ultrasonography
d. Bilirubin total : 0,6 mg/dL
e. Serum amilase : 120 unit/100 ml

19
ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
FOKUS KEPERAWATAN
1. Ds : Pasien mengatakan sering Inkonteninsia stress
buang air kecil lebih dari 4 kali berhubungan dengan
dalam sehari dan tidak kelemahan otot pelvis dan
terkontrol pada saat batuk, struktur dasar
bersin dan mengangkat benda penyokongnya, perubahan
berat. degenaratif pada otot-otot
pelvis, defisiensi sfingter
Do : ureter intrinsik
- Keadaan Umum Genito-
Urinary : Tampak kotor
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg
- TB 157 cm
2. Ds : klien mengatakan : Resiko Kerusakan Integitas
merasa perih pada area vagina kulit berhubungan dengan
dan terdapat luka. irigasi konstan oleh urine

Do :
- Keadaan Umum Genito-
Urinary : Tampak kotor
- Vagina terdapat lesi dan
terlihat kemerahan.
- Kesadaran : Komposmentis

20
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg
- TB 157 cm
3. Ds : klien mengatakan : merasa Resiko Isolasi Sosial
malu terhadap keadaan yang berhubungan dengan
dideritanya saat ini sehingga keadaan yang memalukan
tidak ingin bersosialiasi akibat mengompol di depan
dengan lingkungan sekitar orang lain atau takut bau
urine.
Do :
- Keadaan Umum Genito-
Urinary : Tampak kotor
- Klien terlihat menutup diri
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg
- TB 157 cm

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DATA DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL PARAF


FOKUS

1 DX 1 Inkonteninsia stress berhubungan dengan


kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-

21
otot pelvis, defisiensi sfingter ureter intrinsik.
2 DX 2 Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan
dengan irigasi konstan oleh urine.
3 DX 3 Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan
keadaan yang memalukan akibat mengompol di
depan orang lain atau takut bau urine.

INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Inkonteninsia stress NOC : NIC :
berhubungan dengan Inkontenensia - Kaji kebiasaan - Mengetahui perubahan
kelemahan otot pelvis berhenti atau pola berkemih dan pola berkemih
dan struktur dasar berkurang dan gunakan
penyokongnya, catatan berkemih
perubahan degenaratif Kriteria Hasil : sehari.
pada otot-otot pelvis, Setelah dilakukan - Kaji kebiasaan - Mengetahui
defisiensi sfingter tindakan 2 x 24 jam pola berkemih dan efektifitasprogram yang
ureter intrinsik diharapkan : dan gunakan direncanakan untuk
Definisi: - Klien melaporkan catatan berkemih merubah pola berkemih
Inkontenensia stress berkurangnya atau sehari.
pengeluaran hilangnya - Observasi meatus - Mengetahui adakah
involunter urine inkontenensia stress perkemihan untuk obstruksi atau
selama batuk, bersin, - Klien dapat memeriksa kerusakan pada organ
tertawa atau menjelaskan kebocoran saat kemih
mengangat penyebab kandung kemih.
peningkatan intra inkontenensia dan - Intruksikan klien - Mengetahui bagian
abdomen lainnya. rasional terapi batuk dalam posisi mana yang mengalami
litotomi, jika tidak kebocoran pada organ
ada kebocoran, perkemihan
ulangi dengan

22
posisi klien
membentuk sudut
45, lanjutkan
dengan klien
berdiri jika tidak
ada kebocoranyang
lebih dulu.
- Pantau masukan - Mengobservasi input
dan pengeluaran, dan output urine pasien,
pastikan klien dan memaksimalkan
mendapat masukan input yang harus
cairan 2000 ml, diberikan/ sesuai
kecuali harus kebutuhan
dibatasi.
- Ajarkan klien - Untuk mengidentifikasi
untuk kekuatan otot panggul
mengidentifikasi pasien dan
otot dinding pelvis meminimalisir
dan kekuatannya terjadinya penurunan
dengan latihan kekuatan otot.
- Kolaborasi dengan - Untuk menentukan
dokter dalam pengobatan yang tepat
mengkaji efek diberikan pada pasien
medikasi dan
tentukan
kemungkinan
perubahan obat,
dosis / jadwal
pemberian obat
untuk menurunkan
frekuensi

23
inkonteninsia.

2. Resiko Kerusakan NOC : NIC :


Integitas kulit  Tissue Intergity : Pressure
berhubungan dengan Scin mucous Management
irigasi konstan oleh membranes - Anjurkan pasien
urine.  Hemodyalis untuk
Definisi : akses menggunakan
Perubahan atau pakaian yang
gangguan epidermis Kriteria Hasil : longgar
atau dermis. Setelah dilakukan - Jaga kebersiham
tindakan 2 x 24 jam kulit agar tetap
Batasan diharapkan : bersih dan kering
Karakteristik:  Integritas kulit - Mobilisasi pasien
- Kerusakan lapisan yang baik bisa (ubah posisi
kulit (Dermis) dipertahankan pasien) setiap 2
- Gangguan (sensi, elastisitas, jam sekali
permukaan kulit temperatur, - Monitor kulit akan
(Epidermis) hidrasi, adanya kemerahan
- Infasi struktur tubuh pigmentasi) - Mandikan pasien
 Tidak ada luka dengan sabun dan
Faktor yang atau lesi pada air hangat
berhubungan : kulit
- Zat kimia, radiasi  Perfusi jaringan
- Usia yang Ekstrem baik
- Kelembapan  Menununjukan
- Hipertermia, pemahaman
Hipotermia proses perbaikan
- Faktor mekanik kulit dan
(Misalnya gaya mencegah

24
gunting) terjadinya cedera
- Medikasi berulang
- Lembap  Mampu
- Imobilias fisik melindungi kulit
internal dan
- Perubahan status mempertahakan
cairan kulit dan
- Perubahan perawatan alami
pigmentasi
- Perubahan turgor
- Faktor
perkembangan
- Kondisi
ketidakseimbangan
nutrisi
- Penurunan
imunologis
- Penurunan sirkulasi
- Kondisi gangguan
metabolik
- Gangguan sensasi
- Tonjolan tulang

3 Resiko Isolasi Sosial NOC NIC


berhubungan dengan  Social Socialization
keadaan yang interaction skill enhacement
memalukan akibat  Stress level - Fasilitasi dukungan
mengompol di depan  Social suport kepada pasien oleh
orang lain atau takut  Post-trauma keluarga, teman
bau urine. sindrom dan komunitas

25
Definisi : - Dukung pasien
Kesepian yang untuk mengubah
Kriteria hasil ;
dialami oleh individu lingkungan seperti
dan dirasakan saat di Setelah dilakukan pergi jalan-jalan
dorong oleh tindakan 2 x 24 jam dan bioskop
keberadaan orang lain diharapkan : - Fasilitasi pasien
dan sebagai - Iklim sosial untuk
pernyataan negatif keluarga : berpartisipasi
atau mengancam. lingkungan yang dalam diskusi
mendukung yang dengan grup kecil
Batasan bercirikan hubungan - Membantu pasien
karakteristik: dan tujuan anggota mengembangkan
Objektif: keluarga atau meningkatkan
- Tidak ada - Partisipasi waktu keterampilan sosial
dukungan orang luang : interpersonal
yang dianggap menggunakan - Kurangi stigma
penting aktivitas yang isolasi dengan
- Perilaku yang tidak menarik, menghormati
sesuai dengan menyenangkan, dan martabat pasien
perkembangan menenangkan

- Afek tumpul - Keseimbangan ala

- Bukti kecacatan perasaan : mampu

(Misalnya: fisik, menyesuaikan

mental) terhadap emosi

- Ada didalam sebagai respon

subkultural terhadap keadaan

- Sakit, tindakan tertentu

tidak berarti - Keparahan kesepian

- Tidak ada kontak : mengendalikan

mata keparahan respon

- Dipenuhi dengan emosi, sosial atau

26
pikiran sendiri eksistensi terhadap
- Menunjukan isolasi
permusuhan - Penyesuaian yang
- Tindakan berulang tepat terhadap
- Afek sedih, ingin tekanan emosi
sendirian sebagai respon
- Menunujukan terhadadap keadaan
perilaku yang tidak tertentu
dapat diterima oleh - Tingkat stres
kelompok kultural presepsi positif
yang dominan tentang status
- Tidak komunikatif, kesehatan dan status
menarik diri hidup individu
- Meningkatkan
Subjektif:
hubungan yang
- Minat yang tidak efektif dalam
sesuai dengan perilaku pribadi
perkembangan interaksi sosial
- Mengalami dengan orang,
perasaan berbeda kelompok atau
dari orang lain organisasi
- Tidak percaya diri - Ketersediaan dan
saat berhadapan peningkatan
dengan publik pemberian aktual
- Mengungkapkan bantuan yang andal
perasaan dari orang lain
kesendirian yang - Mengungkapkan
didorong orang penurunan perasaan
lain atau pengalaman
- Mengungkapkan diasingkan
perasaan

27
penolakan
- Mengungkapkan
nilai yang tidak
dapat diterima oleh
kelompok kultural
yang dominan

Faktor yang
berhubungan:

- Perubahan status
mental
- Gangguan
penampilan fisik
- Gangguan kondisi
kesehatan
- Faktr yang
ebrperan terhadap
tidak adanya
hubungan personal
yang memuaskan
(Misalnya:
terlambat dalam
menyelesaikan
tugas
perkembangan)
- Minat/ketertarikan
yang imatur
- Ketidakmampuan
menajalani
hubungan yang
memuaskan

28
- Sumber personal
yang tidak adekuat
- Perilaku sosial
yang tidak diterima
- Nilai sosial yang
tidak diterima

IMPELENTASI KEPERAWATAN
NO TANGGAL DIAGNOSA TINDAKAN TTD
KEPERAWATAN PERAWAT
1. Inkonteninsia stress - Mengkaji kebiasaan pola
berhubungan dengan kelemahan berkemih dan gunakan
otot pelvis dan struktur dasar catatan berkemih sehari.
penyokongnya, perubahan - Mengkaji kebiasaan pola
degenaratif pada otot-otot berkemih dan gunakan
pelvis, defisiensi sfingter ureter catatan berkemih sehari.
intrinsik. - Mengobservasi meatus
perkemihan untuk memeriksa
kebocoran saat kandung
kemih.
- Mengintruksikan klien batuk
dalam posisi litotomi, jika
tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien
membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoranyang
lebih dulu.
- Memantau masukan dan
pengeluaran, pastikan klien

29
mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus
dibatasi.
- Mengajarkan klien untuk
mengidentifikasi otot dinding
pelvis dan kekuatannya
dengan latihan.
- Berkolaborasi dengan dokter
dalam mengkaji efek
medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat,
dosis / jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi
inkonteninsia.
2. Resiko Kerusakan Integitas - Menganjurkan pasien untuk
kulit berhubungan dengan menggunakan pakaian yang
irigasi konstan oleh urine. longgar
- Menjaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan kering
- Memobilisasi pasien (ubah
posisi pasien) setiap 2 jam
sekali
- Memonitor kulit akan adanya
kemerahan
- Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
3. Resiko Isolasi Sosial - Memfasilitasi dukungan
berhubungan dengan keadaan kepada pasien oleh keluarga,
yang memalukan akibat teman dan komunitas
mengompol di depan orang lain - Mendukung pasien untuk

30
atau takut bau urine. mengubah lingkungan seperti
pergi jalan-jalan dan bioskop
- Memfasilitasi pasien untuk
berpartisipasi dalam diskusi
dengan grup kecil
- Membantu pasien
mengembangkan atau
meningkatkan keterampilan
sosial interpersonal
- Mengurangi stigma isolasi
dengan menghormati
martabat pasien.

EVALUASI KEPERAWATAN

NO TANGGAL DIAGNOSA EVALUASI


KEPERAWATAN
1 Inkonteninsia stress S : Pasien mengatakan masih sering buang air
berhubungan dengan kecil lebih dari 4 kali dalam sehari dan tidak
kelemahan otot pelvis dan terkontrol pada saat batuk, bersin dan
struktur dasar penyokongnya, mengangkat benda berat.
perubahan degenaratif pada O :
otot-otot pelvis, defisiensi - Keadaan Umum Genito-Urinary : Tampak
sfingter ureter intrinsik. kotor
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg

31
- TB 157 cm
A : Lanjutkan intervensi berkolaborasi dengan
dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis /
jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.
P : Tetap memonitor mengkaji kebiasaan pola
berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
2 Resiko Kerusakan Integitas S : klien mengatakan : masih merasa perih pada
kulit berhubungan dengan area vagina dan merasa gatal.
irigasi konstan oleh urine. O:
- Keadaan Umum Genito-Urinary : Tampak
kotor
- Vagina terdapat lesi dan terlihat
kemerahan.
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg
- TB 157 cm
A : Lanjutkan intervensi Menjaga kebersihan kulit
pada area vagina agar tetap bersih dan kering.
P : Tetap memonitor kulit pada area vagina akan
adanya kemerahan.
3 Resiko Isolasi Sosial S : klien mengatakan : Masih merasa malu
berhubungan dengan keadaan terhadap keadaan yang dideritanya saat ini
yang memalukan akibat sehingga tidak ingin bersosialiasi dengan
mengompol di depan orang lingkungan sekitar

32
lain atau takut bau urine. O:
- Keadaan Umum Genito-Urinary : Tampak
kotor
- Klien terlihat menutup diri
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV : 120/80 MmHg
- Nadi : 105x/menit
- RR : 23 x/menit
- Suhu 370C
- BB 75 Kg
- TB 157 cm
A : Lanjutkan Intervensi dengan memfasilitasi
dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman dan
komunitas.

P : Tetap memonitor Membantu pasien


mengembangkan atau meningkatkan keterampilan
sosial interpersonal.

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin
terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya
sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi
yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan
akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit,
proses tersebut tidak tertandingi.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan
dengan bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien Lanjut
usia dengan masalah Inkontinensia urin.
Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan

34
demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak
lain yang membutuhkannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta


:Salemba Medika Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta :
EGC
2. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep Dan Aplikasi,
Jakarta: Selemba Medika
3. E. Suparman dan J. Rompas. 2008. Inkontinensia Urine Pada Perempuan
Menopause. Manado: Bagian Obstetri dan Ginekologi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
4. Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made
Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

35

Anda mungkin juga menyukai