Anda di halaman 1dari 16

TUGAS NEUROLOGI

NAMA : NINDY FRANSISKA


NO BP : 1210070100097
JUDUL : TRAUMA KAPITIS
Trauma Kapitis
1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung ataupun tidak langsung sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association
of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2. Etiologi Trauma Kapitis


- Kecelakaan lalu lintas
- Jatuh
- Kekerasan

3. Patofisiologi Trauma Kapitis


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut
lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga
tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.
Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio
coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup). Kerusakan
sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

4. Klasifikasi Trauma Kapitis


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi trauma.
Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar
adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-
fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and
Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu
pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak
menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak dan telah
menembus sampai kepada dura mater. Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara
umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak.
Menurut Brain Injury Association of Michigan, klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :
Ringan - Kehilangan kesadaran < 20
menit
- Amnesia post traumatik < 24
jam
GCS = 13 – 15
Sedang - Kehilangan kesadaran ≥ 20
menit
dan ≤ 36 jam
- Amnesia post traumatik ≥ 24
jam dan ≤ 7 hari
- GCS = 9 - 12
Berat - Kehilangan kesadaran > 36 jam
- Amnesia post traumatik > 7 hari
- GCS = 3 – 8

Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut :


A. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut :
- Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

- Linear or hairline : retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan splintering.

- Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

- Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.


Selain retak terdapat juga hematoma subdural.

Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat.
Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah
pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa
anterior, media dan posterior. Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada
tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang
mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.

B. Luka memar (kontosio)


Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit
tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak
terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada
frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat
suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran.

C. Laserasi (luka robek atau koyak)


Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam
dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada
kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada
penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

D. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

E. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada
kranial terlepas setelah kecederaan.

5. Perdarahan Intrakranial
*Perdarahan Epidural
 Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
 Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan
gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik
setelah beberapa hari.

*Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a) Perdarahan subdural akut

 Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,


respon yang lambat, serta gelisah.

 Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.

 Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
b) Perdarahan subdural subakut

 Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera


dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

 Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat


kesadaran.
c) Perdarahan subdural kronis
 Terjadi karena luka ringan.

 Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

 Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan


secara pelan-pelan ia meluas.

 Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.

 Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

*Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan
otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.

*Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel
otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.

*Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di
mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini
dikenali sebagai counter coup phenomenon)
.
6. Trauma Murni
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada
salah satu regio atau bagian anatomis yang mayor

7. Trauma Multipel
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat
pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi,
kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet).

8. Gejala Klinis Trauma Kepala


Menurut Reissner, gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
*Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)


*Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan


e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.
*Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).


d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

9. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson antara lain:
a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga
pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal.

Tabel : Glasgolw Coma Scale


Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan 4

Mata membuka setelah diperintah 3

Mata membuka setelah diberi rangsang 2


nyeri
Tidak membuka mata 1

Best Motor Response

Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (dekortikasi) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

Tidak ada gerakan 1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar 5

Salah menjawab pertanyaan 4

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15

2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13

3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8


b. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil
yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor
ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera
kepala.
c. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

Tabel : Saraf Kranial


d. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

10. Penatalaksaan Cedera Kepala


a. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 )
 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat 3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fraktur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik atau
medikolagel
 Terapi :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit
b. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 )
 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
 Status neulologis membaik
 CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

c. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 )


 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

- Primary survey dan resusitasi


a. Airway dan breathing
 Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
 Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
 Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
 PCO2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
b. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax.
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti
cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen
- Secondary survey

Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

- Pemeriksaan Neurologis

Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan


terdiri dari :
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera


sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan Intravena
 Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
 Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
 Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
 Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau RL
 Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan
hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara
agresig
B. Hiperventilasi
 Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak
 HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
 PCO2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
 Pertahankan level PC02 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
 Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
 Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal,
kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
 Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
 Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
 Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
 Steroid tidak bermanfaat
 Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
 Bermanfaat untuk menurunkan TIK
 Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi,
karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulsan
 Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
 Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu
ke I
 Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepala


 Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka
dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
 Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak
adekuat
 Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan
dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi
pembuluh besar dan penjahitan luka
 Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada
luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
 Lakukan foto teengkorak / CT Scan
 Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
 Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
 CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya
perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
 Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat
mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian
 Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara
cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang
diberikan
 Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

KRITERIA UNTUK OBSERVASI DAN PERAWATAN

 Post trauma amnesia


 Kesadaran yang menurun
 Riwayat kehilangan kesadaran
 Nyeri kepala sedang atau berat
 Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak, air fluid levele
 Ada tanda fractur basisi
 Cedera berat ditempat lain
 Tidak ada yang menemani di rumah
 Ada tanda fraktur basis cranii
 Cedera berat ditempat lain
 Tidak ada yang menemani di rumaAda tanda fractur basisi
 Cedera berat ditempat lain
 Tidak ada yang menemani di rumah

11. PROGNOSIS
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari
cedera kepala Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai