Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Educational Psychology Final Exam

OLEH :
HILMAN/081051201017
JURUSAN PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2018
1. Psikologi Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang dapat menjawab pertanyaan
“Mengapa sebagian siswa lebih belajar dari siswa lainnya ?” Berikanlah penjelasan
seluas2nya mengenai hal tersebut berdasarkan sudut pandang psikologi pendidikan!

Penjelasan :

Salah satu metode pembelajaran yang berkembang adalah Humanistic Learning,


Pembelajaran secara humanistik berarti menempatkan sebagai bagian dari kehidupan
nyata manusia. Proses pembelajarannya menempatkan peserta didik sebagai subyek yang
bebas menemukan pemahaman berdasarkan pengalamannya sehari-hari (Susilo, 2008).
Nuansa belajar humanistik dalam pembelajaran di sekolah akan mengakibatkan
pembelajaran dapat memberikan dorongan hati (impulse) kepada siswa, sehingga dapat
menyentuh dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan
mereka.
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembelajaran humanistik diperlukan
adanya evaluasi. Menurut Stufflebeam (Ansyar, 1989), evaluasi adalah proses
memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk mempertimbangkan
alternatif-alternatif pengambilan keputusan. Evaluasi yang ditawarkan di sini ialah
evaluasi dengan model CIPP (Context, Input, Process and Product). Alasannya, karena
model ini bersifat mendasar, menyeluruh, dan terpadu. Bersifat mendasar, karena men-
cakup obyek-obyek inti pembelajaran humanistik, yakni tujuan, materi, proses
pembelajaran, dan evaluasi itu sendiri. Bersifat menyeluruh, karena evaluasi difokuskan
pada seluruh pihak yang terkait dalam proses pembelajaran dan pengimplementasian
pembelajaran humanistik. Bersifat terpadu, karena proses evaluasi ini melibatkan seluruh
pihak yang terkait dalam proses pembelajaran, terutama siswa.
Aliran humanistik dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Arthur Combs, Abraham H.
Maslow dan Carl R. Roger, sebagai bentuk reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan
psikoanalisa dan behavioristik (http://aliran-humanistik.html). Konsep belajar humanistik
(Baharuddin & Wahyuni, 2008: 142-143) memandang bahwa belajar bukan sekedar
pengembangan kualitas kognitif saja. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran
menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai
yang dimiliki setiap siswa. Pembelajaran humanistik memandang proses belajar bukan
hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar
merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep pembelajaran yang humanistik di sekolah, tidak hanya berkaitan dengan berbagai
pandangan pembelajaran yang mungkin dari dan hubungannya dengan logika semata,
tetapi juga berkaitan dengan dorongan mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman
dan emosi terdalam dari diri manusia. Sebagaimana Brown (1996) mengatakan:
“In seeking to elaborate upon the concept of humanistic mathematics education, we have
used the helpful heuristic of seeking alternatives to the view of mathematics as driven by
logic alone…. A significant humanistic agenda might begin with an impulse to connect
mathematics curriculum with the deepest of human experience and emotions.”
Dalam pembelajaran humanistik, guru berperan sebagai fasilitator dan motivator bagi
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran serta memberikan siswa kesempatan untuk
maju sesuai dengan kecepatannya (kemampuannya).
White (dalam Susilo, 2004) menjelaskan bahwa humanistik mencakup dua aspek
pembelajaran, yakni: 1) Pembelajaran yang manusiawi, yaitu proses pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai subyek untuk membangun pengetahuannya dengan
memahami kondisi-kondisi, baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Siswa
aktif mencari, menyelidiki, merumuskan, membuktikan, dan mengaplikasikan apa yang
dipelajari. 2) Pembelajaran secara manusiawi, yaitu proses pembelajaran tidak hanya
berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga intuisi dan kreativitas siswa. Selain memahami
dan menguasai konsep , siswa akan terlatih bekerja mandiri maupun bekerjasama dalam
kelompok, bersikap kritis, kreatif, konsisten, berpikir logis, sistematis, menghargai
pendapat, jujur, percaya diri, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dijabarkan beberapa ciri umum pembelajaran
humanistik, seperti disebutkan oleh Haglund (1997), yaitu: (1) Menempatkan siswa
sebagai penemu (inquirer); (2) Memberikan siswa kesempatan untuk saling membantu
memahami masalah dan pemecahannya yang lebih mendalam; (3) Belajar berbagai
macam cara untuk menyelesaikan masalah; (4) Menunjukkan latar belakang sejarah
sebagai suatu penemuan atau usaha keras (endeavor); (5) Menggunakan masalah-
masalah yang menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended); (6) Menggunakan berbagai
teknik penilaian, tidak hanya menilai kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja; (7)
Mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar yang membentuk
sejarah dan budaya; (8) Membantu siswa melihat sebagai studi terhadap pola-pola.
Termasuk aspek keindahan dan kreativitas; (9) Membantu siswa mengembangkan sikap
percaya diri, mandiri, dan penasaran (curiosity); dan (10) Mengajarkan materi-materi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan pembelajaran humanistik, maka
diperlukan adanya evaluasi. Secara harfiah, evaluasi berasal dari kata dalam bahasa
Inggris “evaluation” yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols & Hasan
Shadily: 1983). Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of
delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives”.
Artinya, evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan
informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan. Djaali, Mulyono
dan Ramli (2000) mendefinisikan evaluasi sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan
standar obyektif yang telah ditetapkan kemudian diambil keputusan atas obyek yang
dievaluasi. Dengan demikian, evaluasi merupakan suatu proses secara sistematis yang
dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu pembelajaran
yang bersangkutan, termasuk di dalamnya untuk mengetahui keberhasilan seluruh
subyek belajar yang menempuh suatu pembelajaran.
Evaluasi dalam pembelajaran banyak ditemukan berorientasi hasil, padahal banyak aspek
yang perlu dievaluasi selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, penulis
memilih evaluasi dengan model CIPP. Hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih
komprehensif dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi CIPP
dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam, dkk (1967) di Ohio State University. Model
evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and
Secondary Education Act). CIPP adalah singkatan dari context evaluation (evaluasi
terhadap konteks), input evaluation (evaluasi terhadap masukan), process evaluation
(evaluasi terhadap proses), dan product evaluation (evaluasi terhadap hasil).
Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar evaluasi yang bertujuan
menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam menentukan tujuan (Baline R. Worthern &
James R. Sanders: 1979). Karenanya upaya yang dilakukan evaluator dalam
evaluasi konteks ini ialah memberikan gambaran dan rincian terhadap lingkungan,
kebutuhan dan tujuan (goal). Stufflebeam (1983) menyatakan evaluasi konteks sebagai
fokus institusi yang mengidentifikasi peluang dan menilai kebutuhan. Kebutuhan dalam
hal ini dirumuskan sebagai suatu kesenjangan (discrepancy view) antara kondisi nyata
(reality) dengan kondisi yang diharapkan (ideality). Evaluasi konteks juga mendiagnostik
suatu kebutuhan yang selayaknya tersedia sehingga tidak menimbulkan kerugian jangka
panjang (Isaac & Michael: 1981).
Evaluasi masukan (input evaluation) meliputi analisis personal yang berhubungan dengan
bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia dan alternatif-alternatif strategi
yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu program (Suharsimi, 1988: 39).
Komponen evaluasi masukan meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana
pendukung serta berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
Evaluasi proses (process evaluation), termasuk di dalamnya ialah mengidentifikasi
permasalahan prosedur pada pelaksanaan kejadian dan aktivitas. Setiap perubahan yang
terjadi pada aktivitas dimonitor secara jujur dan cermat. Stufflebeam (dalam Badrujaman,
2009: 66), juga mengatakan bahwa evaluasi proses merupakan pengecekan yang
berkelanjutan atas implementasi perencanaan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
evaluasi proses juga bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai dasar memperbaiki
program serta untuk mencatat, dan menilai prosedur kegiatan dan peristiwa.
Evaluasi produk (product evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur,
menginterpretasikan dan menilai pencapaian program (Stufflebeam & Shienfield, 1985:
176). Di dalam analisis produk diperlukan pembanding antara tujuan yang ditetapkan
dalam rancangan dengan hasil program yang dicapai. Hasil yang dinilai dapat berupa skor
tes, prosentase, data observasi, diagram data, sosiometri dan sebaginya, yang dapat
ditelusuri kaitannya dengan tujuan-tujuan yang lebih rinci. Selanjutnya dilakukan analisis
kualitatif tentang mengapa hasilnya demikian. Evaluasi produk dapat dilakukan dengan
membuat definisi operasional dan mengukur kriteria pengukuran yang telah dicapai
(obyektif), melalui pengumpulan nilai dari Stakeholder dengan unjuk kerja (performing),
baik menggunakan analisis kuantitatif maupun kualitatif (Trotter et al., 1998:136).
Gambar: Diagram Model Evaluasi CIPP (Stufflebeam, 2003)

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach
structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru)
dalam membuat keputusan. Stufflebeam (dalam Eko Putro Widoyoko. 1993: 118)
mengungkapkan bahwa, “the CIPP approach is based on the view that the most important
purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh
Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting dari evaluasi adalah bukan
membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
Sebagai contoh, Ibu Astuti hendak menerapkan pembelajaran humanistik pada pokok
bahasan volume bangun ruang kubus. Segala perencanaan, mulai dari strategi
pembelajaran, bahan ajar, media hingga penilaian telah disiapkan. Berikut instrumen
evaluasi CIPP yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran yang
dilakukan.
Berdasarkan kajian teoritis, CIPP dalam mengevaluasi pembelajaran humanistik, dari segi
konteksnya sudah memadai. Hal ini dikarenakan tujuan pembelajaran humanistik sesuai
dengan kondisi lingkungan dan karakteristik peserta didik yang semakin berkembang rasa
ingin tahunya seiring perkembangan zaman, sehingga mengarahkan guru menjadi
fasilitator dan motivator mereka yang profesional. Pembelajaran humanistik mampu
menjawab dan memfasilitasi kebutuhan peserta didik saat ini, bahwa dalam belajar juga
diperlukan keterampilan sosial
Dari segi input, guru dan siswa dalam pembelajaran humanistik mampu bekerja sama
dengan baik sesuai dengan kapasitas tugasnya masing-masing. Selain itu, disertai
kejelasan aturan dan prosedur kerja dalam pembelajaran humanistik. Begitu pula sumber
belajar yang digunakan tidak hanya berasal dari guru, melainkan siswa dapat
menggunakan buku apapun yang relevan untuk membangun pengetahuan mereka. Tentu
lebih menarik lagi karena dilengkapi penggunaaan media belajar oleh guru selama
pembelajaran berlangsung, walaupun sederhana.
Dipandang dari prosesnya, sudah berjalan dengan baik. Siswa tidak lagi dijadikan obyek
belajar yang pasif menerima informasi dan prosedur, melainkan sebagai subyek belajar
yang aktif dalam membangun pengetahuan dan keterampilannya. Selama pembelajaran
humanistik berlangsung, guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Siswa aktif
mencari, menyelidiki, merumuskan, membuktikan, dan mengaplikasikan apa yang
dipelajari. Ini berakibat tidak hanya pengetahuan kognitif yang dibangun, tetapi siswa juga
dilatihkan beberapa keterampilan sosial, seperti bekerja mandiri maupun bekerjasama
dalam kelompok, bersikap kritis, kreatif, konsisten, berpikir logis, sistematis, menghargai
pendapat, jujur, percaya diri, dan bertanggung jawab. Selama pembelajaran guru
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga dalam menerima pelajaran
siswa tidak lagi merasa didoktrin, melainkan dapat belajar tanpa paksaan dan itu lebih
bermakna bagi mereka.
Dari segi produk, pembelajaran humanistik menghasilkan siswa yang aktif, kreatif dan
bertanggung jawab, di samping unggul dalam pengetahuan kognitif. Ini dikarenakan
dalam pembelajarannya, guru tidak hanya menilai kognitifnya saja melainkan juga aspek
afektif dan psikomotorik. Dalam hidup bermasyarakat, siswa tidak hanya membutuhkan
pengetahuan kognitif melainkan juga nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan
yang dapat ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran humanistik.
CIPP dalam mengevaluasi pembelajaran humanistik sudah mencakup keseluruhan aspek
penting dalam evaluai. Namun, keberlanjutan informasi dan evaluasi sangat diperlukan
dalam pengembangan program pembelajaran. Meskipun berdasarkan hasil evaluasi
ternyata program pembelajaran humanistik sudah memadai, namun pemberian umpan
balik, pemodifikasian, dan penyesuaian tetap diperlukan, sebab sekolah selalu
menghendaki adanya perubahan yang signifikan ke depannya.
Model evaluasi CIPP merupakan model evaluasi program pembelajaran yang lebih
komprehensif dibandingkan model evaluasi lainnya. Ini dikarenakan cakupan evaluan
yang lebih kompleks, meliputi konteks, masukan, proses dan produk. Jika evaluasi
program pembelajaran model CIPP diterapkan pada wilayah terbatas, hasil evaluasi dapat
digeneralisasikan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan terhadap program pembelajaran yang berlaku.
Berdasarkan evaluasi CIPP, pembelajaran humanistik sangat relevan dalam dunia
pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran humanistik selalu mendorong
peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi
positif yang dimiliki setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses
pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi
pendidikan dari waktu ke waktu, humanistik memberi arahan yang signifikan dalam
pencapaian tujuan pembelajaran, khususnya . Namun, tetap diperlukan pemodifikasian
demi kesempurnaan hasil pencapaian, agar pembelajaran lebih bermakna.
http://kajianpsikologi.blogspot.com/2011/01/pendekatan-psikologi-humanistik-
dalam.html. (Diakses 16 Oktober 2012).
http://Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) _ Tama Indra Brilian
Blog’s.htm. (Diakses 16 Oktober 2012).
http://Model pembelajaran:aliran-humanistik.html. (Diakses 16 Oktober 2012).
http://Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Dan Penilaian Dalam Dunia Pendidikan «
Navel’s Blog.htm. (Diakses 16 Oktober 2012).
http://setiawan-pendidikanmatematika.blogspot.com/2011/03/teori-belajar-
humanistik.html. (Diakses 16 Oktober 2012).
2. Salah satu dasar - dasar pembelajaran berdasarkan hukum Thorndike, yakni law of
readines, law of excercises, dan law of effect. Berikan satu contoh aktivitas belajar
mengajar di sekolah yg menunjukkan hukum-hukum tersebut. Anda bebas memilih mata
pelajaran dan tingkatan.

Penjelasan :

a. Hukum kesiapan “Law of Readiness”


Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang
belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar
agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki
kesiapan, baik fisik dan psikis, siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit,
yang mana bisa menagganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis
adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-
lain.
Disamping sesorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam
kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang
mendasarinya.
Contoh : Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan
siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang
dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang kontinu, hal ini
dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap di ingat oleh siswa.
b. Hukum Latihan”Law of Exercise”
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu
stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-
ulang, adapun latihan atau pengulangan prilaku yang cocok yang telah ditemukan
dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang
cocok tersebut agar tindakan tersebut semakin kuat(Law of Use). Dalam suatu teknik
agar seseorang dapat mentrasfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke
long time memory ini di butuhkan pengulangan sebanyak-banyak nya dengan harapan
pesan yang telah di dapat tidak mudah hilang dari benaknya.
Adapun dalam percobaan Throndike pada seekor kucing yang lapar yang ditaruh
dalam kandang, pertama-tama kucing tadi membutuhkan waktu yang lama untuk
mengetahui pintu kandang tersebut dan untuk menemukan pintu tersebut
membutuhkan pecobaan tingkah laku yang berulang-ulang dan membutuhkan waktu
yang relative lama untuk mendapatkan tingkah laku yang cocok, sehingga kucing tadi
untuk keluartidak membutuhkan waktu yang lama.
Contoh penerapan dalam kelas adalah u l a n g a n m e r u p a k a n h a k y a n g
p e r t a m a dalam belajar. Makin sering suatu pelajaran yang diulang makin
mantaplahbahan pelajaran tersebut dalam diri siswa.%ada prakteknya tentu
diperlukanberbagai &ariasi" bukan ulangan sembarang ulangan.Dan pengaturan
waktudistribusi frekuensi ulangan dapat menentukan hasil belajar.
Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa
mengingat materi terkait lebih lama.
c. Hukum Akibat “Law of Effect”
Setiap organisme memiliki respon sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan
situasi yang baru, apabila suatu organisme telah menetukan respon atau tindakan
yang melahirkan kepuasan dan keocokan dengan situasi maka hal ini pasti akan di
pegang dan dilakuakn sewaktu-waktu ia di hadapkan dengan situasi yang sama.
Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan kepuasaan dalam menghadapi situasi
dan stimulus maka respon yang seperti ini aka ditinggalkan selama-lamanya oleh
pelaku. Hal ini terjadi secara otomatis bagi semua binantang (otomatisme).
Hukum belajar ini timbul dari percobaan thorndike pada seekor kucing yang lapar dan
ditaruh dalam kandang, yang ditaruh makanan diluar kandang tersebut tepat didepan
pintu kandang. Makanan ini merupakan effect positif atau juga bisa dikatakan bentuk
dari ganjaran yang telah diberikan dari respon yang dilakukan dalam menghadapi
situsai yang ada.
Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya
bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya.
Contoh Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan seseoranng
dalam memberikan punishment atau reward . Akan tetapi dalam dunia pendidikan
menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan
inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut teori
koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana disini
terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan
situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya(Effect).
Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan cara yang
menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap,
dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi yang
diberikan.
3. Apa yang membuat guru sukses di dalam karirnya ? Jelaskan dengan argumen yg relevan
dan didukung contoh yg nyata!

Penjelasan :

1. Guru yang sukses itu adalah guru yang memiliki jiwa pendidik karena sekarang ini
banyak guru hanya menganggap bahwa seorang guru itu hanya sebuah profesi atau
pekerjaan, apabila seorang guru memiliki jiwa sebagai pendidik, selain sebagai tenaga
pengajar juga sebagai pendidik. Sebagai contoh : menjadi tauladan disekolah dalam
setiap tindakan yang dilakukan.
2. Guru yang sukses itu harus memiliki integritas karena sebagai ujung tombak
pendidikan.
3. Guru yang sukses itu selalu berbicara positif seperti memotivasi dan menginspirasi
sehingga peserta didik tetap semangat dalam belajar serta menjadi peserta didik yang
aktif, kreatif dan inovatif.
4. Guru yang sukses itu menguasai metodologi pembelajaran sehingga anak-anak
senang, anak-anak berproses sesuai zamannya, Guru harus banyak belajar tentang
teknologi.
5. Guru yang sukses itu harus mempunyai komitmen dan tanggungjawab sehingga dapat
menciptakan anak-anak yang terdidik dan cerdas serta menyandang nama besar
seorang guru.
6. Guru yang sukses itu harus selalu bersemangat, sabar dan ikhlas dalam menjalankan
kewajibannya.

Anda mungkin juga menyukai