Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

ANALISIS KASUS

Kasus Pasien :

Pasien perempuan (24 tahun) datang ke IGD RSUD Bari dengan keluhan
sesak napas sejak ± 1 bulan yang lalu yang dirasakan terus-menerus, semakin hari
semakin memberat, dan sedikit berkurang jika pasien miring ke kanan. Pasien juga
mengeluh batuk-batuk sejak ± 1 bulan yang lalu tanpa dahak dan darah. Nyeri dada
(+), mual (+), muntah (+). Demam (+) sejak 2 hari yang lalu. Pasien sudah
mendapat terapi oksigen dan infus. Cairan di paru kanan pasien sudah dikeluarkan,
dan saat ini pasien merasa sesaknya sudah berkurang. Dari pemeriksaan fisik,
didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit sedang, TD 130/80 mmHg, HR
102x/menit, RR 24x/menit, suhu afebris. Dari pemeriksaan fisik paru, didapatkan
pergerakan dada kanan tertinggal saat dinamis, vocal fremitus kanan melemah,
redup pada paru kanan mulai ICS 4, dan suara napas vesikuler melemah pada paru
kanan. Status generalis lain dalam batas normal. Hasil foto rontgen thorax
menunjukkan kesan efusi pleura dextra dengan TB paru.

Pembahasan :

Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang


termasuk di indonesia. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit,
sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Tuberkulosis paru dapat disertai efusi
pleura yang bukan karena tuberkulosis dan sebaliknya non tuberkulosis paru dapat
disertai efusi pleura karena tuberkulosis. Gambaran klinik dan radiologik antara
transudat dan eksudat bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis
hampir tidak bisa dibedakan, sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat
penting. Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui pungsi percobaan,
kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan akhirnya
dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan

62
maka pengelolaannya menjadi tidak masalah, efusi ditangani seperti efusi pada
umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada
umumnya.

Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan


sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi
(perubahan permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada
proses infeksi dan neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi
sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan kedua pleura yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan disaring keluar pleura parietalis yang
bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura viseralis yang bertekanan
rendah. Disamping sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisn
subepitelial pleura parietalis dan viseralis mempunyai peranan dalam proses
penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura pada umunya ialah kenaikan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan osmotik pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan kavum
pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis terjadinya disertai pecahnya
granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala
demam, berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas
dalam, sehingga pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan
pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada
waktu permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah
cairan meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya
nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di
parunya.
Pengobatan. Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama
dengan efusi pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosintesis agar
keluhan sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi plaura yang berisi
penuh. Sedangkan tuberkulosisnya diterapi dengan OAT seperti tuberkulosis paru,

63
dengan syarat terus menerus, waktu lama dan kombinasi obat. Penderita TB paru
atau dugaan TB dengan efusi dapat diterapi dengan OAT.

Dosis OAT yang sering digunakan adalah :


Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg)/kgBB/hari
(mg/kgBB (mg/kgBB/hari ) maks/hari
/hari) Harian Intermitten (mg) <40 40-60 >60
R 8 – 12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 300 300 300
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S* 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
* Pasien berusia >60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis >500 mg/hari

64
BAB V
KESIMPULAN

Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan


sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi
(perubahan permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada
proses infeksi dan neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi
sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan kedua pleura yang saling
bergerak karena pernapasan. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis terjadinya
disertai pecahnya granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala
demam, berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas
dalam, sehingga pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan
pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada
waktu permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah
cairan meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya
nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di
parunya.
Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi
pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosintesis agar keluhan sesak
penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi plaura yang berisi penuh.
Sedangkan tuberkulosisnya diterapi dengan OAT seperti tuberkulosis paru, dengan
syarat terus menerus, waktu lama dan kombinasi obat.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-


6. Jakarta : EGC;2005.)
2. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad
Z, Anwar J. Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah
Tahunan IV Ilmu Penyakit Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.
3. Herryanto, dkk. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal
di Kabupaten
Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1. hlm:1-6.
4. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura.
Tennessee :
Lippincott Williams & Wilkins, 2007
5. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural
Space. Tennessee : Lippincott Williams & Wilkins, 2007
6. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009
7. Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American
Medical Association. JAMA, January 21, 2009—Vol 301, No. 3
8. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009
9. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrison’s Principles Of Internal Medicine Vol
II. 16th Ed. 2005. Mcgraw-Hill: New York
10. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of
Medicine,Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical
University of South Carolina, Charleston, South Carolina 29425
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta :
DepartemeN
Kesehatan RI, 2007

66
12. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia
13. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Jakarta.
14. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2011.

67

Anda mungkin juga menyukai