Anda di halaman 1dari 7

Nama : Klaudia Efivania

NIM : D1091171024
Mata Kuliah : Tata Guna dan Pengembangan Lahan
Dosen : Riska Aprilia A, ST., MT

1. Tanah adalah merupakan keseluruhan kemampuan muka daratan beserta segala gejala di
bawah permukaannya yang bersangkut paut dengan pemanfaatannya bagi manusia.
Pengertian tersebut menunjukan bahwa tanah merupakan suatu bentang alam sebagai modal
utama kegiatan, sebagai tempat dimana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan
kehidupannya dengan memanfaatkan tanah itu sendiri. Sedangkan penggunaan tanah adalah
suatu usaha pemanfaatan tanah dari waktu ke waktu untuk memperoleh hasil. Penggunaan
tanah oleh manusia bisa diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap tanah dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebutuhan material maupun non
material (spiritual). Kota merupakan suatu kawasan yang dihuni oleh penduduk yang
biasanya memiliki ciri modern. Penduduk yang menempati kawasan perkotaan umumnya
memiliki pencaharian di bidang nonagraris yang beraneka ragam. Pemanfaatan tanah di kota
lebih kompleks dari pedesaan karena struktur dan kondisi masyarakatnya pun lebih
beragam. Tanah perumahan di perkotaan biasanya sangat rapat, karena jumlah penduduknya
banyak. Selain perumahan, tanah digunakan pula untuk membangun sarana perkantoran
yang biasanya memiliki lebih dari satu lantai dan sarana perekonomian lainnya. Selain
perumahan dan perkantoran, tanah di kawasan perkotaan juga biasa digunakan untuk
membangun sarana-sarana pemerintahan. Ini terjadi karena kota biasanya menjadi pusat
pemerintahan. Keberadaan kawasan perkotaan sebagai pusat pemerintahan akhirnya
mendorong masyarakat untuk lebih banyak melakukan transaksi perdagangan di perkotaan.
Oleh karena itu, ada pula sebagian tanah yang dimanfaatkan untuk keperluan perdagangan
(pasar, mall, grosir, dan sebagainya).

2. Ciri-ciri penggunaan tanah di perkotaan :


 Pemanfaatannya dengan intensitas yang tinggi yang disebabkan oleh populasi
penduduk yang lebih tinggi dari kawasan pedesaan. Dengan demikian, dalam pasar
investasi tingkat permintaan akan tanah juga tinggi dan nilai guna tanah kawasan
perkotaan cenderung lebih tinggi pula.
 Adanya keterkaitan yang erat antar unit-unit penggunaan tanah.
 Ukuran unit-unit penggunaan tanah didominasi luasan yang relatif kecil. Hal ini sangat
berbeda dengan kawasan pedesaan yang memungkinkan sebentang tanah yang luas
memiliki satu fungsi yang sama sehingga cocok untuk kegiatan budi daya agraria.

3. Secara umum, klasifikasi penggunaan tanah pada kawasan perkotaan dapat dibagi menjadi
7 jenis, antara lain :
 Perumahan, berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal lengkap dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
 Perdagangan, berupa tempat transaksi barang da jasa yang secara fisik berupa bangunan
pasar, toko, pergudangan dan lain sebagainya.
 Industri, adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi
barang setangah jadi atau barang jadi.
 Jasa, berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, semi komersial, kesehatan,
sosial, budaya dan pendidikan.
 Taman, adalah kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan
taman kota.
 Perairan, adalah areal genangan atau aliran air permanen atau musiman yang terjadi
secara buatan dan alami.
 tanah kosong, berupa tanah yang tidak dimanfaatkan.

7. Berbagai fenomena dinamika penggunaan tanah telah terjadi dari waktu ke waktu. Dinamika
penggunaan tanah merupakan segala campur tangan manusia, baik secara permanen
maupun siklis terhadap suatu kumpulan sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang
secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhannya baik
kebendaan maupun spiritual atau keduanya. Seseorang melakukan perubahan penggunaan
tanah dengan maksud untuk memaksimalkan sumberdaya tanah tersebut sehingga
diharapkan akan memperoleh keuntungan yang maksimal pula. Perubahan penggunaan
tanah yang terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk
yang secara langsung berdampak pada kebutuhan terhadap tanah yang semakin meningkat.
Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan tanah. Karena tanah
tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan tanah yang
cenderung menurunkan proporsi tanah yang sebelumnya merupakan penggunaan tanah
pertanian menjadi tanah non pertanian.
8. Bentuk kompak mempunyai 7 macam bentuk, yaitu:
 Bentuk Bujur Sangkar (The Squre city) ; Kota berbentuk bujur sangkar menunjukan
adanya kesempatan perluasan kota ke segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala
fisikal “relatif” tidak begitu berarti. Hanya saja, adanya jalur transportasi pada sisi-sisi
memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada arah jalur yang
bersangkutan.
 Bentuk Empat Persegi Panjang (The Rectangular Cities) ; melihat bentuknya sudah
terlihat jelas bahwa dimensi memanjang sedikit lebih besar daripada dimensi melebar.
Hal ini dimungkinkan timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap
perkembangan areal kota pada salah satu sisi-sisinya. Hambatan-hambatan tersebut
antara lain dapat berupa lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan, dan lain
sebagainya. “Space” untuk perkembangan arealnya cukup besar baik melebar maupun
memanjang.
 Bentuk Kipas (Fan Shaped Cities) ; bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk
sebagian lingkaran. Dalam hal ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan
mempunyai kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu
pada bagian-bagian lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal
kekotaannya yang dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu hambatan-hambatan alami
(natural constraints), misalnya perairan, pegunungan serta hambatan-hambatan
artificial (artificial constraints), misalnya saluran buatan, zoning, ring road.
 Bentuk Bulat (Rounded Cities) ; bentuk kota seperti ini merupakan bentuk paling ideal
daripada kota. Hal ini disebabkan karena kesempatan perkembangan areal ke arah
bagian luarnya sama. Tidak ada kendala-kendala fisik yang berarti pada sisi-sisi luar
kotanya. Pada bagian-bagian yang terlalu lambat perkembangannya, dipacu dengan
peraturan-peraturan misalnya Planned Unit Development sedang untuk bagian-bagian
yang terlalu cepat perkembangan areal kekotaannya dapat dihentikan, misalnya dengan
Devolopment Moratoria. Batas terluar dari pada kotanya ditandai dengan green belt
zoning atau growth limitation dengan ring roads. Dengan demikian terciptalah bentuk
bulat artifisial.
 Bentuk Pita (Ribbon Shaped Cities) ; sebenarnya bentuk ini juga mirip rectangular city
namun karena dimensi memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi melebar maka
bentuk ini menempati klasifikasi tersendiri dan mengambarkan bentuk pita. Dalam hal
ini jelas terlihat adanya peranan jalur memanjang (jalur transportasi) yang sangat
dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal kekotaannya, serta terhambatnya
perluasan areal ke samping. Sepanjang lembah pegunungan, sepanjang jalur
transportasi darat utama adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya bentuk
seperti ini. Space untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang
saja.
 Bentuk Gurita / Bintang (Octopus/Star Shaped Cities) ; peranan jalur transportasi pada
bentuk ini juga sangat dominan sebagaimana dalam ribbon-shaped city. Hanya saja,
pada bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke
luar kota. Hal ini hanya dimungkinkan apabila daerah hinterland dan pinggirannya
tidak memberikan halangan-halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal
kekotaanya.
 Bentuk Yang Tidak Berpola (Unpatterned Cities) ; kota seperti ini merupakan kota
yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Daerah di
mana kota tersebut berada telah menciptakan latar belakang khusus dengan kendala-
kendala pertumbuhan sendiri. Sebuah cekungan struktural dengan beberapa sisi terjal
sebagai kendala perkembangan areal kekotaannya, sangat mungkin pula ditempati oleh
suatu kota dengan bentuk yang khusus pula. Contohnya adalah sebuah kota pulau yang
mempunyai bentuk khusus, karena perkembangan arealnya terhambat oleh laut dari
berbagai arah.

9. Struktur Kota terdiri dari :


 Teori konsentris dapat dikatakan bahwa kota meluas secara merata dari suatu inti asal,
sehingga tumbuhlah zona-zona yang masing-masing meluas sejajar dengan pentahapan
kolonisasi ke arah zona yang letaknya paling luar. Dengan demikian dapat ditemukan
sejumlah sejumlah zona yang letaknya konsentris, sehingga strukturnya bergelang.
Dalam kenyataannya zona-zona konsentris ini tidak dapat ditemukan dalam bentuknya
yang murni. Konsentrasi pelayanan berada di suatu pusat, dengan jaringan transportasi
yang terarah ke suatu titik.
Keterangan model teori konsentrik menurut Teori Konsentris Dari Ernest W. Burgess
(1929) :
• Zona pusat wilayah kegiatan
• Zona peralihan
• Zona permukiman kelas proletar.
• Zona permukiman kelas menengah.
• Zona penglaju.
 Teori Sektoral. Menurut Hommer Hoyt (1939), pengelompokkan tata guna lahan di
kota menyebar dari pusat ke arah luar berupa sektor. Hal ini disebabkan oleh sifat
masyarakat kotanya, latar belakang ekonomis, kondisi fisik geografis kotanya, serta
rute pengangkutan. Namun pada dasarnya teori ini merupakan modifikasi dari teori
konsentris Burgess. Dari teori ini, terjadi proses penyaringan (filtering process) dari
penduduk yang tinggal pada sektor-sektor yang ada.
Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt :
• Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.
• Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.
• Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
• Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
• Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
 Teori inti ganda (multiple nuclei) menurut Harris dan Ullman (1945), pola konsentris
dan sektoral itu akan ada, namun dalam kenyataannya sifatnya lebih rumit lagi.
Pertumbuhan kota mulai dari intinya dirumitkan lagi oleh adanya beberapa pusat
tambahan. Di sekeliling suatu inti tata guna lahan yang saling bertalian, munculah
sekelompok tata guna tanah yang akan menciptakan suatu struktur perkotaan yang
memiliki sel-sel pertumbuhan lengkap. Teori ini disebut teori multiple nuclei yang
sifatnya serba akurat, tertib, dan fleksibel. Pembentukan inti-inti ganda merupakan
gejala lanjut dari kota yang berpola sektoral, sedangkan makin menuju ke kota makin
jelas adanya pola konsentris teori inti ganda ini sesuai dengan keadaan kota-kota besar
10. Selain tuntutan-tuntutan pembangunan kota yang akan dihadapi dalam jangka
menengah dan panjang tersebut, kota-kota menghadapi berbagai tantangan. Tantangan-
tantangan itu antara lain sebagai berikut :
 Tantanagn dalam pelayanan umum seperti air bersih dari PDAM hanya dapat
dinikmati oleh 51,7% dari jumlah penduduk kota. Penduduk kota lainnya harus
memperoleh air bersih dari sumber-sumber alam langsung. Sistem pembuangan
sampah hanya mampu melayani 32% dari seluruh penduduk perkotaan. Beberapa
kota bahkan tidak mempunyai sistem pembuangan sampah yang memadai. Hanya
58,7% dari seluruh volume sampah kota yang diangkut, selebihnya dibakar di tempat
atau dibuang ke sungai.
 Dalam penggelontoran air limbah, jumlah penduduk perkotaan yang mendapatkan
pelayanan dari pemerintah kota hanya 25,5%, selebihnya menggunakan sistem on-
site yang tidak ramah lingkungan. Saluran drainase perkotaan terdapat pada 88%
dari seluruh jumlah kelurahan di kota-kota, namun saluran drainase yang baik hanya
terdapat di 48,4% dari seluruh kelurahan dan desa. Selebihnya dibangun tanpa
mengindahkan wilayah tangkapan air, sehingga menimbulkan kemampetan atau
genangan, yang berpotensi menyebabkan buruknya kesehatan masyarakat.
Pemerintah kota-kota juga menghadapi keterbatasan jaringan jalan dan tingkat
pelayanan angkutan umum kota yang menyebabkan kemacetan dan kesulitan
melakukan pergerakan.
 Tantangan kemiskinan ; kota-kota besar menghadapi masalah sosial ekonomi berupa
banyaknya penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Jumlah
penduduk miskin ini melonjak pada saat krisis ekonomi, namun kemudian mulai
menurun. Menurut BPS, pada tahun 2001 tercatat ada 8,5 juta orang penduduk
perkotaan di Indonesia yang tergolong miskin, jumlah itu adalah sekitar 9,76% dari
jumlah penduduk seluruhnya.
 Tantangan lingkungan ; kualitas lingkungan kota-kota besar di Indonesia umumnya
di bawah standar universal. Polusi udara buruk karena BBM yang masih
mengandung timbal dan asap kendaraan yang tidak tersaring baik, polusi suara juga
semakin terasa karena bunyi mesin kendaraan umum yang melebihi ambang
toleransi. Kota-kota di Indonesia terjebak pada pertumbuhan kendaraan pribadi yang
tidak terkendali karena angkutan kota tidak mampu memenuhi kebutuhan layanan
pergerakan penduduk. Air tanah yang menjadi sumber bagi sebagian penduduk kota-
kota kualitasnya kurang baik karena tercemar limbah rumah tangga dan industri.
Banjir di berbagai kota terjadi karena pengendalian pemanfaatan lahan di wilayah
tangkapan air yang tidak efektif.
 Tantangan tata ruang ; upaya penataan ruang kota-kota seringkali tidak diimbangi
dengan pengelolaan penggunaan lahan yang efektif sehingga menimbulkan
kesemrawutan kota, yang terwujud dalam penggunaan tempat-tempat umum bagi
kegiatan PKL, seperti trotoar/pinggir jalan, taman, terminal/stasiun, kolong
jembatan, dll. Keterbatasan sarana rekreasi yang murah menyebabkan penduduk
kota menggunakan jalan atau gang sempit sebagai tempat bermain sepakbola.
Permukiman kumuh tumbuh di berbagai sudut kota, khususnya di sempadan sungai,
jalur kereta api dan di lahan-lahan kosong. Meningkatnya jumlah penduduk kota
menyebabkan kampung-kampung kota semakin sesak, tidak sehat dan rawan
kriminalitas.

Anda mungkin juga menyukai