Anda di halaman 1dari 82

PERHITUNGAN DAMPAK BANJIR PERKOTAAN DENGAN

MENGGUNAKAN ANALISA ALGORITHMIC FRAMEWORK


DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Fabian Priandani
Dit. Irigasi, Ditjen. Sumber Daya Air

Abstrak

Banjir telah menjadi tantangan bagi banyak kota di Indonesia. Tidak hanya
karena frekuensinya yang relatif sering, namun juga karena dampaknya yang luas baik
dari segi fisik maupun segi finansial. Untuk menciptakan kota yang adaptif terhadap
banjir, menurut Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
adalah dengan cara pencegahan sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana,
dan pemulihan akibat bencana. Pencegahan sebagaimana dimaksud disini dilakukan,
baik melalui kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan pencegahan banjir
dalam kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Dalam kaitan tersebut, diperlukan sebuah “tool” yang
dapat digunakan untuk mensimulasi penyebaran banjir di daerah perkotaan, dan
sekaligus mampu menghasilkan estimasi kerugian dampak bencana tersebut agar
selanjutnya dapat juga bermanfaat dalam pengalokasian dana penanggulangan bencana
alam.
Salah satu alat yang dapat digunakan adalah algorithmic framework yang
mengintegrasikan unit damage model, dengan output flood hazard map, dan
mengorelasian antara banjir dan ekonomi. Perhitungan dampak kerugian ekonomis
banjir dalam framework diperoleh dari database ratio kemungkinan dampak banjir dari
setiap jenis properti terhadap lama genangan banjir.

Keywords : banjir, algorithmic framework

I. LATAR BELAKANG
Bencana banjir menimbulkan dampak yang luas, baik dari segi kerusakan
fisik maupun kerugian finansial yang besar. Menurut Konig et al. (2002)
kerusakan yang diakibatkan oleh banjir diperkotaan dibagi menjadi tiga kategori
yaitu (1) kerusakan langsung (direct damage) diakibatkan oleh air atau aliran air,
(2) kerusakan tidak langsung (indirect damage), contohnya: kemacetan lalu lintas,
administrative dan biaya pegawai, kehilangan produksi, dan penyebaran wabah
penyakit, dan (3) dampak negatif jangka panjang pada masyarakat, contohnya:
terhambatnya pembangunan ekonomi. Selain itu, kerusakan akibat banjir juga
dapat diklasifikasikan sebagai dampak „tangible‟ dan „intangible‟. Kerusakan
tangible adalah kerusakan yang dapat dengan mudah dikalkulasi secara moneter,
contohnya kerusakan asset, kehilangan produksi, dan lain-lain. Kerusakan
intangible adalah kerusakan yang tidak dapat dengan mudah dikalkulasi secara
moneter dan sering kali terlupakan, contohnya adalah kematian, dampak terhadap
kesehatan, perasaan tidak nyaman dan trauma, dan sebagainya (Smith and Ward,
1998). Gambar berikut memberikan ilustrasi bagaimana kerusakan intangible
berkaitan dengan kerugian ekonomis:

Gambar 1. Hubungan antara Kedalaman Banjir, Anxiety, Produktivitas dan


Pendapatan (Ediriweera, 2007)

Menurut Dutta and Herath (2001), terdapat dua metode untuk menghitung
kerugian dampak banjir. Yang pertama adalah dengan survey terhadap Orang
Terkena Dampak (OTD) dan evaluasi terhadap property yang rusak. Kedua adalah
dengan stage-damage functions, dimana kerugian akibat banjir dibedakan
berdasarkan perbedaan jenis properti dan lamanya genangan banjir. Pemetaan
fungsi ini diperoleh dari analisa data historis banijr atau melalui deskripsi analitis
dampak banjir dari berbagai jenis properti yang pada akhirnya dapat
menghasilkan ratio kemungkinan kerusakan terhadap durasi lamanya genangan
banjir.
Permasalahan yang ditimbulkan akibat banjir semakin hari semakin
meningkat, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti contohnya alih
fungsi lahan di daerah resapan atau dataran tinggi, urbanisasi di daerah tangkapan
banjir, perumahan yang tidak teratur/liar dan konstruksi dibawah standar, dan
meningkatnya jumlah rumah penduduk (Munich Re., 2002; Pelling, 2003).
Bencana ini merupakan salah satu ancaman utama bagi kota-kota di
Indonesia, misalnya kejadian banjir pada awal Februari tahun 2007 di kota Jakarta
yang berdasarkan data pemerintah telah merugikan sekitar 8.6 triliun rupiah
(www.detik.com). Karenanya, salah satu tantangan Penataan Ruang Nasional
adalah mengupayakan terciptanya kondisi kota yang adaptif terhadap bencana
banjir.
Salah satu strategi adaptasi dalam mendukung kebijakan-kebijakan
lingkungan tata ruang adalah pengembangan zona regulasi sebagai alat dalam
mengelola pendayagunaan ruang dalam resiko area-area tinggi, menengah, dan
rendah, seperti contohnya banjir, dan menurut menurut Undang Undang RI
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah dengan cara pencegahan
sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana, dan pemulihan akibat
bencana. Pencegahan sebagaimana dimaksud disini dilakukan, baik melalui
kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan pencegahan banjir dalam
kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Untuk itulah diperlukan sebuah “tool” yang dapat
digunakan untuk mensimulasi penyebaran banjir di daerah perkotaan, dan
sekaligus mampu menghasilkan estimasi kerugian dampak bencana tersebut agar
selanjutnya dapat juga bermanfaat dalam pengalokasian dana penanggulangan
bencana alam.

II. “TOOL”
“Tool” atau alat yang dijabarkan dalam makalah ini merupakan integrasi
framework yang dapat digunakan untuk memprediksi daerah yang berpotensi
banjir, dan sekaligus menghitung dampak kerugiannya, seperti tampak dalam
diagram berikut ini:

Gambar 2. Framework Perhitungan Total Biaya Kerugian Akibat Banjir


di Perkotaan

Untuk mendapatkan total kerugian dampak banjir, terdapat dua tahap.


Tahap pertama adalah pengintegrasian unit damage model, dalam bentuk flood
hazard map. Sedangkan tahap kedua adalah pengorelasian antara banjir dan
ekonomi.Perhitungan dampak kerugian ekonomis banjir dalam framework ini
menggunakan metode kedua yang diusulkan oleh Dutta dan Herath (2001) seperti
yang dijabarkan sebelumnya, karena metode pertama hanya dapat dilakukan
setelah bencana banjir terjadi. Sedangkan untuk menciptakan suatu kota yang
adaptif, analisa terhadap dampak banjir harus dilakukan sebelum bencana itu
sempat terjadi.
Simulasi Daerah Berpontesi Banjir
Tahap pertama dalam framework adalah penyimulasian daerah berpotensi
banjir. Diawali dengan penggabungan peta jaringan jalan, land cover map, dan
land use map, serta DEM (digital elevation model) yang menghasilkan peta digital
permukaan bumi. Peta digital ini kemudian dapat disimulasikan dengan
hydrodynamic model 1D dan 2D serta berbagai curah hujan yang berbeda-beda,
untuk menghasilkan flood hazard map.
Flood hazard map adalah bagian terpenting dalam perencanaan land use,
terutama di daerah berpotensi banjir. Peta ini menyajikan akses table dan peta
yang cepat dan mudah dipahami dalam mengidentifikasi area dengan resiko tinggi
dan membutuhkan tindakan cepat. Beberapa hal yang ada dalam flood hazard map
meliputi informasi mengenai daerah tergenang banjir, dan pusat-pusat evakuasi
serta rute alternatif (Mahamud, 2006). Hingga saat ini, belum ada standar baku
peta banjir. Namun, Islam dan Sado (2002) mempertimbangkan faktor-faktor
berikut sebagai karakter dasar banjir yang harus tertera dalam sebuah flood hazard
map : (1) ukuran (magnitude) banjir, (2) kedalaman dan kecepatan, (3) kecepatan
kenaikan muka air, (4) durasi banjir, (5) masalah evakuasi, (6) akses banjir yang
efektif, (7) ukuran populasi yang beresiko, (8) land use, (9) kesiapan banjir, dan
(10) peringatan akan bahaya banjir yang efektif.
Perhitungan Dampak Kerugian Ekonomis Banjir
Tahap kedua dibagi menjadi tiga langkah:
(1) Semua data vulnerabilities (dalam bentuk database) yang terdiri dari
kerusakan bangunan, kerusakan kendaraan, kerusakan infrastruktur, biaya
servis, biaya evakuasi, hubungan antara ketakutan-produktivitas dan
penghasilan, dan sebagainya, dimasukkan dalam model estimasi kerusakan,
(2) Simulasi estimasi kerugian (langsung dan tidak langsung, maupun tangible
dan intangible) dengan menggunakan model matematis berbasis „grid‟ dan
stage-damage function (Dutta et al., 2003); di mana kedalaman dan lamanya
genangan banjir tiap „grid‟ diperoleh dari flood hazard map,
(3) Evaluasi kerugian total akibat banjir di suatu area.
Stage-damage function disusun dengan langkah-langkah yang dijabarkan
dalam USACE (1998) berikut:
Tabel 1. Prosedur Dasar dalam Penyusunan Stage-damage Function
(USACE, 1998)
III. CONTOH APLIKASI TOOL
Contoh penerapan Framework Perhitungan Total Biaya Kerugian Akibat
Banjir di Perkotaan dilakukan dalam sebuah hypothetical case study.
Catchment area (gambar 3) didesain pada basis DTM (digital terrain
model), dan memiliki resolusi 5 m. Untuk keperluan simulasi hydrodynamic maka
DTM dalam raster file dirubah kedalam ASCII file.

Gambar 3. Area hypothetical case study

Simulation Models
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, langkah awal dari framework
terintegrasi ini adalah penentuan resiko daerah berpotensi banjir, yang terilustrasi
dalam sebuah flood hazard map.
Dalam melakukan evaluasi guna mengetahui kedalaman dan kecepatan
banjir, simulasi hydrodynamic modeling dilakukan. Hasil dari 1D harus
dipresentasikan dalam peta GIS untuk mendapatkan perluasan banjir dalam
bentuk 2D. Untuk 1D dalam case study ini menggunakan MOUSE modeling dan
2D menggunakan MIKE 21. Pada gambar 7 memperlihatkan proses simulasi
model.

Gambar 7. Proses simulasi model


Setelah data DTM dirubah dalam bentuk ASCII, file tersebut digunakan
dalam MIKE21 dan menghasilkan project file dalam (*.m21). Data hasil dari
MOUSE dan MIKE21 model, keduanya digabungkan dalam MIKE FLOOD.
Untuk melihat banjir dari hasil simulasi yang dihasilkan oleh MIKE FLOOD
harus menggunakan MIKEZERO.
Hasil dari penggabungan model dalam binary file DHI dengan file format
bernama DFS2. Data tersebut tidak dapat langsung dibaca oleh lembar kerja
Matlab. Untuk mengatasi masalah ini, DHI matlab toolbox digunakan untuk
membaca file tersebut dan merubah kedalam bentuk ascii file. Setelah hasilnya di
extract dalam DHI matlab toolbox menghasilkan kedalaman banjir dan lokasi area
banjir nya melalui tampilan cartesian coordinates.
Guna mendapatkan flood hazard map, ascii file dirubah kedalam raster file
dengan menggunakan arc tool box dalam arcmap GIS. Pada gambar 4 dapat
dilihat kedalaman banjir maksimum. Untuk bagian perumahanm kedalaman
maksimum mencapai 1.2 m diatas permukaan laut.

Gambar 4. Flood hazard map

Hasil kedalaman, lamanya genangan, dan juga data dampak kerusakan


yang didapatkan dari flood hazard map di input kedalam database yang dibuat
dalam excel spreadsheet, maka total kerusakan tiap-tiap kategori dapat diperoleh.

Persiapan Database untuk Perhitungan Kerugian Ekonomis Banjir


Pengembangan framework memerlukan data yang lengkap, baik spasial
maupun temporal. Temporal data dibutuhkan untuk simulasi model banjir,
sedangkan data spasial dibutuhkan untuk simulasi model banjir dan perhitungan
total dampak banjir.
Kalkulasi dampak kerusakan banjir baik yang tangible maupun intangible
beserta data pendukungnya seperti tampak pada tabel 2. Tetapi, dalam case study
ini perhitungan dampak kerusakan banjir dibatasi hanya pada: (1) kerusakan
langsung tangible, meliputi kerusakan pada residential (kerusakan fisik dan isi
bangunan), jaringan jalan, kendaraan, dan non-residential (kerusakan fisik, isi, dan
stock); dan (2) kerusakan intangible yaitu hubungan antara ketakutan-
produktivitas dan penghasilan.

Tabel 2. Fungsi framework dampak kerusakan banjir beserta parameter


data pendukung spatial
Kategori Kerusakan Data yang Diperlukan
Kerusakan Tangible langsung
Kerusakan bangunan Bangunan residential  Tipe struktur
 Harga tiap-tiap struktur
 Distribusi rumah tangga
 Harga isi dan benda yang ada diluar per rumah
tangga
Bangunan non-  Tipe bangunan non-residensial
residential  Jumlah bangunan non-reidential per type
 Harga per pekerja benda dalam dan luar bangunan,
stock, per type bangunan non-residential
 Total jumlah pekerja per type bangunan non-
residential
Kendaraan  Jumlah kendaraan tiap type
 Harga kendaraan per type
Infrastruktur Fasilitas (system)  Jumlah komponen dari tiap tipe pembangkit
pembangkit  Biaya penggantian fasilitas
Jalan  Jumlah tipe berdasarkan material jalan
 Panjang jalan per tipe
 Biaya pembangunan
Kerusakan Tangible tidak langsung
Pelayanan Pemerintah  Kehilangan jam kerja
 Pendapatan
Non-pemerintah  Jumlah harga produksi per hari
 Hilangnya keuntungan
 Keuntungan kotor per hari
 Lamanya gangguan banjir
Infrastruktur Gangguan  Total bentuk transportasi
transportasi  Volume kemacetan dalam tiap jalan dalam skala
temporal
 Rata-rata kecepatan tiap tipe transportasi
 Maksimum kapasitas kemacetan
 Parameter biaya menjalankan kendaraan
 Biaya keterlambatan per unit waktu
Biaya evakuasi  Jumlah manusia yang dipindahkan
 Jumlah hari evakuasi
 Biaya rata-rata per hari
Kerusakan Intangible
Hubungan antara ketakutan-  Jumlah individu
produktifitas dan  Pendapatan
pendapatan

Untuk mendapatkan kerusakan dampak banjir, user yang menggunakan


algorithmic framework perlu memasukan seuruh data yang dibutuhkan kedalam
setiap fungsi dan formula yang digunakan untuk menghitung dalam excel
spreadsheet dan Matlab. Contoh tabel data dalam bentuk excel (.xls) spreadsheet
dapat dilihat dalam gambar 5.
Gambar 5. Contoh table data dalam bentuk excel (.xls) spreadsheet

Pembangunan Framework
Dalam pembangunan framework perhitungan dampak kerusakan, banyak
faktor yang harus dipertimbangkan agar analisa kerusakan ini detil dan akurat.
Sebagai contoh, dalam mengkalkulasi dampak banjir terhadap kerusakan sebuah
bangunan. Tidak cukup jika hanya ada informasi mengenai ukuran atau luas
bangunan. Namun lebih jauh, harus ada informasi mengenai jenis bangunan dan
material bangunan.
Tidak kalah penting, diperlukan juga informasi mengenai isi bangunan.
Untuk bangunan residential, isi bangunan dibedakan berdasarkan perbedaan level
sosial ekonomi, yang meliputi level rendah, menengah, dan tinggi. Sedangkan
untuk property dan stock dari bangunan non-residential dibedakan menjadi
beberapa kategori dan memperhitungkan jumlah pekerjanya.
Selain itu, kedalaman banjir untuk semua perhitungan banjir harus
memperhitungkan tinggi dari ground level dan 1st floor level.
Untuk pembangunan perhitungan kerusakan terhadap bangunan, macam-
macam material, dan estimasi kedalaman banjir dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Pembangunan perhitungan kerusakan terhadap bangunan, macam-


macam material, dan estimasi kedalaman banjir

Sedangkan untuk kerusakan jalan, salah satu parameter yang perlu


diperhatikan adalah material permukaan jalan. Sebagai contoh, dampak kerugian
akan berbeda jika permukaan jalan terbuat dari aspal/beton, atau balok beton, atau
tanah.
Pada kerusakan kendaraan diperhitungkan berdasarkan kedalaman banjir.
Perhitungan dampak kerusakan dilakukan apabila kedalaman banjir melebihi
kurang lebih 30 cm (1 foot depth).
Untuk mengetahui persentase kerusakan dampak banjir dapat
menggunakan hubungan antara kedalaman genangan dan persentase kerusakan
yang sering disebut depth damage curves.
Depth damage curve biasanya disusun berdasarkan data historis, atau
dengan referensi teoritis untuk wilayah yang serupa. Kurva hubungan kedalaman
banjir dan kerusakannya akan berbeda-beda untuk tiap jenis property. Sebagai
contoh, beberapa kurva yang dikembangkan oleh beberapa referensi berikut
memiliki perbedaan persentase kerusakan untuk jenis property yang berbeda pula.

Gambar 7. Depth Damage Curve untuk Jalan Terendam Banjir


(Deadman-Cardwell, 2007)

Gambar 8. Depth Damage Curve untuk Properti Non-residential


(Dutta et al., 2003)

Simulasi Algorithmic Framework


Penggabungan model simulasi flood hazard map dan database yang berisi
informasi mengenai potensi kerusakan akibat banjir selanjutnya diproses dalam
Matlab interface, yang akan menghasilkan fungsi perhitungan dampak banjir.
Untuk memudahkan penggunaan framework tersebut dan menghindari kesalahan
dalam penyimpanan fungsi dari tiap perhitungan dampak banjir, dibangun sebuah
interface yang diberi nama Main Flood Calculation Interface dengan
menggunakan Matlab software.
Matlab secara otomatis akan mengkalkulasi dampak kerugian banjir.
Gambar 9 dan 10 berikut memperlihatkan prosedur dan hasil perhitungan dampak
kerugian banjir dalam Matlab interface.

Gambar 9. Prosedur Perhitungan Kerugian Banjir

Gambar 10. Main Flood Calculation Interface

IV. KESIMPULAN
Untuk membangun sebuah kota yang adaptif terhadap bencana banjir,
harus ada perencanaan tata ruang yang tersistem dengan baik dan pencegahan
sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana, dan pemulihan akibat
bencana, baik melalui kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan
pencegahan banjir dalam kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui
pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Dengan adanya
gambaran mengenai potensi area yang rawan terhadap banjir serta kemungkinan
kerugian finansialnya, pemerintah memiliki acuan untuk menetapkan kebijakan
yang terkait dengan penyusunan rencana tata ruang sebuah kota, dan
mengalokasikan dana penanggulan bencana banjir secara lebih optimal.
Algorithmic framework yang dijabarkan dalam makalah ini dapat
„meramalkan‟ potensi banjir (dalam bentuk simulasi flood hazard map) dan
berapa kerugian yang mungkin timbul akibat bencana tersebut (meliputi kerugian
langsung dan tidak langsung, serta tangible dan intangible). Namun, framework
ini membutuhkan data pendukung seperti peta dan database vulnerabilities yang
lengkap agar dapat digunakan secara optimal.
Selain oleh pemerintah, framework ini juga dapat dimanfaatkan oleh pihak
swasta, seperti contohnya investor dan perusahaan asuransi dalam menentukan
studi awal investasi dan estimasi dampak kerusakan.

DAFTAR PUSTAKA
Deadman-Cardwell. (2003). Section 9: Benefit cost analysis. Retrieved February
2008.
www.lincoln.ne.gove/city/pworks/watrshed/mplan/dmr/pdf/section/pdf.
Dutta, D. and Herath, S. (2001). GIS Based Flood Loss Estimation Modelling in
Japan. Proceeding of the US-Japan 1st Workshop on Comparative Study on
Urban Disaster Management, Port Island, Kobe, Japan, pp 151 – 161,
February.
Dutta, D., Herath, S. and Musike, K. (2003).A Mathematical Model for Flood
Loss Estimation. Journal on Hydrology, Elsevier Science, Volume 277, pp.
24 – 49.
Ediriweera, J. C. W. (2007). A GIS-based Framework for Urban Flood Modeling
Disaster Management, MSc Thesis (WSE-HI.07.02).UNESCO-IHE,
Institute for Water Education, Delft.
Islam, M. M. and Sado, K. (2002). Development Priority Map for Flood
Countermeasures by Remote Sensing Data with Geographic Information
System. JOURNAL OF HYDROLOGIC ENGINEERING, Vol: 7 (5), pp.
346-355.
Konig, A., Saegerov, S., Schilling, W. (2002).Damage Assesment for Urban
Flooding, Ninth International Conference on Urban Drainage, Portland.
Mahamud, A. (2006). Action plan toward effective flood hazard mapping in my
country in Malaysia (concluding report).Hydrology and Water Resources
Division Department of Irrigation and Drainage Malaysia.
Munich Reinsurance. (2002). Topics: Annual review: Natural Catastrophes 2002.
Munich Reinsurance. 52 p.
Pelling, M. (2003). The Vulnerability of Cities. Natural Disasters and Social
Resilience. Earthscan Publications Ltd. London, UK. P. 184.
Smith, D.I., Greenaway, M. (1998). The Computer Assesment of Urban Flood
Damage: ANUFLOOD, Technical Report, Desktop Planning, Melbourne,
Hargreen, Australia.
USACE (1998). Flood Proofing Performance: Successes & Failures, USACE
(United States Army Corps of Engineers). National Flood Proofing
Committee, Washington, D. C.
BANJIR, KEKERINGAN, DAN HUTAN

R. Zainuddin
Pemerhati air, Masyarakat Peduli Air
Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional
rzain@yahoo.com

Intisari

Tahun-tahun terakhir banjir badang makin sering terjadi, demikian juga


kekeringan yang menyebabkan sawah bertambah rentan dilanda puso. Penyebabnya
tidak lain karena hutan makin rusak. Fungsi pokok hutan yang antara lain sebagai
modulus arus hidrolika yaitu mengalirkan pelan air hujan yang jatuh di puncak
pepohonan ke dalam tanah setelah melalui ranting, cabang dan pohon, atau jatuh diatas
semak-semak dan atau serasih, serasih adalah guguran segala batang, cabang, daun,
ranting, bunga dan buah, meresapkan dan menyimpannya sebagai air tana, juga makin
menurun. Hutan yang signifikan berfungsi meresapkan air hujan hanya hutan yang
memiliki koefisien pengaliran kecil seperti pada hutan di pegunungan, hutan lindung dan
hutan suaka alam, sedangkan hutan di pantai tidak berperan pada konservasi air,
demikian juga hutan di perkotaan.
Kawasan hutan menurut istilah yang dipakai di beberapa Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah ialah adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang dikatakan
pada peraturan perundangan tersebut dalam rangka pelestarian lingkungan dalam
rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh)
persen dari luas daerah aliran sungai. Karena kawasan hutan baru rencana maka belum
merupakan hutan yang sebenarnya, akibat kekeliruan pengertian ini luas hutan yang
diperlukan untuk konservasi sumber daya air jauh di bawah angka yang diperlukan.
Tidak heran kalau besaran makin meningkat dan lokasi banjir makin merata di seluruh
Indonesia.
Subtansi dan pengertian di dalam peraturan perundangan sering ditafsirkan
berlainan. Penyatuan tafsir memerlukan revisi undang-undang yang terkait. Dalam
rangka pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) seperti yang dikehendaki UU No. 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air Presiden membentuk Dewan SDA Nasional yang
tugasnya antara lain membuat rancangan Kebijakan Pengelolaan SDA (Jaknas) yang
telah selesai bulan April 2010. Karena pemakaian “kawasan hutan” Rancangan Jaknas
tersebut perlu perbaikan setelah ada revisi undang-undang.

I. PEMBAHASAN
Setiap kali terjadi banjir, yang tidak bisa dilepas dengan kejadian
kekeringan pada musim sebelum dan/atau berikutnya, selalu dihubungkan dengan
kerusakan hutan, meskipun kadang ada yang mengatakan, sesuai kepentingannya,
bahwa penyebabnya adalah hujan lebat, sedangkan di perkotaan yang disalahkan
masyarakat yang membuang sampah ke kali.
Hujan lebat sudah terjadi sejak dahulu kala tetapi banjir besar baru
menjadi akhir-akhir ini ketika hutan ditebang tidak terkendali untuk pembangunan
dan pemukiman. Sampah di perkotaan tidak mungkin dikelola perorangan
melainkan harus dikumpulkan dari rumah ke rumah untuk dibawa ke tempat
pembuangan akhir (TPA) melalui atau tidak tempat pembuangan sementara (TPS)
oleh institusi pelayanan dari Pemerintah Daerah, kalau tidak syah-syah saja
masyarakat membuang sampahnya ke kali.
Kerusakan menyebabkan daya resap hutan berkurang, akibatnya aliran
permukaan bertambah, menyebabkan debit banjir bertambah besar, sedangkan
daya resap berkurang sehingga berkurang pula pengisian air tanah yang
sebahagian akan keluar mengisi debit sungai pada musim kemarau atau sering
dikatakan debit maximum bertambah besar dan debit minimum bertambah kecil
atau perbandingan antara keduanya makin besar. Kalau hutan terpelihara debit
puncak sungai atau debit banjir tidak akan terlalu besar dan sungai-sungai tidak
akan kering di musim kemarau seperti di pulau Jawa dan bahkan di pulau-pulau
lainnya. Kerusakan hutan juga menyebabkan tanah longsor, yang kadang
merenggut jiwa manusia, dan selanjutnya menurunkan kualitas air.

Gambar 1.

Air hujan yang jatuh di daunan di atas pepohonan mengalir pelan melalui
ranting, cabang, pohon lalu meresap ke dalam tanah , atau jatuh ke semak-semak
di bawah pohon atau jatuh ke serasah, serasah adalah guguran segala batang,
cabang, daun, ranting, bunga dan buah. Air kemudian meresap mengisi ruang
kosong atau void yang terbentuk oleh adanya rangkaian akar sedalam kira-kira
sedalam akar pohon di hutan yang bisa sampai 30 meter atau lebih tergantung
jenis pohon yang membentuk hutan. Ruang void ini membentuk “waduk bawah
tanah” seluas areal hutan yang diisi air resapan yang selanjutnya mengalir ke
lapisan tanah aquifer yang terbentuk sampai ke pantai, air tanah ini sebagian akan
keluar sebagai mata air atau keluar menjadi debit kemarau sungai. (Gambar 2)

Gambar 2. Waduk Bawah Tanah

Pada permulaan kemerdekaan hanya sungai di Jawa yang sering banjir


itupun hanya sungai Citarum, Serayu, Bengawan Solo dan Brantas. Sekarang
seluruh sungai di Indonesia rawan banjir. Sedangkan pada musim kemarau
debitnya berkurang malah kering sehingga air untuk segala keperluan, terutama
air irigasi tidak terpenuhi menyebabkan tanah pertanian kekeringan.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas sesuai UU No. 7 Tentang
Sumber Daya Air (SDA) Presiden membentuk Dewan Sumber Daya Air yang
anggotanya terdiri dari instansi Pemerintah dan Swasta yang diwakili organisasi
yang ada hubungannya dengan SDA yang akan mengusulkan kepada Presiden
Kebijaksanaan Nasional (Jaknas) Pengelolaan SDA di Indonesia. Kendala yang
dijumpai dalam pembuatan Rancangan Jaknas ialah berbagai UU yang kadang
tidak senafas satu dengan yang lainnya, kadang mengandung pengertian bias yang
berkendala dijalankan di lapangan.
Istilah hutan yang signifikan terhadap pengelolaan SDA yaitu hutan di
water shed atau di hulu yang meresapkan sejumlah besar air hujan atau yang
ditandai dengan runoff coefficient kecil sekitar 0.05 - 0.25 dibanding di daerah
pemukiman sebesar 0.3 - 0.75 atau pada taman sebesar 0.1 - 0.25 yang luasnya
tidak seberapa. Hutan yang signifikan selebat hutan lindung di Jawa, Sumatera
atau Kalimantan. Sedangkan pepohonan di perkotaan tidak ada sangkut pautnya
dengan peresapan untuk konservasi air, tetapi hanya bermanfaat untuk keindahan
dan kesegaran pemandangan dan tempat berteduh jika cuaca panas dan bernaung
bila turun hujan.
Menurut Departemen Kehutanan, sesuai UU No 41 Tahun 2009 Tentang
Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Istilah lain pada
UU yang sama ialah kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap, tetapi tampa penjelasan apa yang dimaksud hutan tetap. Kawasan
hutan yang ada sekarang bisa berupa tanah kosong yang ditumbuhi alang-alang,
bisa berupa sawah atau kebun, bisa berupa hutan jati dan tanaman lain, bahkan
ada yang sudah menjadi lapangan terbang. Tidak jelas kapan dan bagaimana
bentuk “hutan tetap” yang dimaksud akan diwujudkan, yang terang kedua istilah
Dep Kehutanan hutan dan kawasan hutan tidak tersirat dan tidak tersurat
kaitannya dengan konservasi air karena tidak diketahui besaran perkiraan runoff
coefficient yang diinginkan.
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Penataan Ruang
dikenal beberapa kawasan tetapi tidak pernah disebut tentang kawasan hutan
kecuali menurut pasal 17 ayat 5 disebut dalam rangka pelestarian lingkungan
dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Penetapan ini dikutip pada PP
No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang defininya seperti tersebut
terdahulu.
Pada kedua UU di atas tidak jelas lokasi kawasan hutan, yang seharusnya
hutan, yang terletak suatu DAS karena bisa saja beberapa sub-DAS di dalamnya
gundul tidak berhutan tetapi tetap memenuhi syarat bahwa luas hutan 30 % dari
luas DAS sehingga terjadi banjir besar di anak sungai bersangkutan seperti terjadi
di Kalimantan Selatan baru-baru ini.
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan
Lingkungan Hidup pasal 4e. disebut bahwa sasaran pengelolaan lingkungan
hidup adalah terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, tentu
termasuk juga sumber daya air, tetapi tidak pernah menyebut-nyebut hutan atau
kawasan hutan.
Karena angka 30 % tersebut di atas ditujukan pada luas kawasan hutan
yang belum menjadi hutan dan tidak ada hubungan yang jelas terhadap konservasi
air, perlu disepakati berdasarkan koefisien pengaliran yang bermanfaat terhadap
konservasi air berapa sebenarnya luas hutan yang harus ditetapkan pada DAS dan
Sub-DAS.
Di pulau Jawa kawasan hutan adalah hutan yang dikelola Perhutani yang
didirikan pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Deandels, yaitu awal tahun
1800 untuk membangun hutan tanaman khususnya jati, sekarang ditanami juga
pinus, mahoni, damar, kayu putih dan sengon. Tentu saja tanaman bukan
membentuk hutan tetap sebab sewaktu-waktu akan ditebang untuk
diperdagangkan. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara
yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi
Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar sedangkan diantaranya 396.985 ha
masih berupa tanah kosong. Untuk memuhi hutan sebagai konservasi SDA tentu
saja areal yang dikelola Perhutani tidak bisa dianggap hutan tetap terutama
peranannya untuk konservasi air. (Gambar 2)

Gambar 3. Mirip “hutan” jati

Kawasan hutan Pertani yang tidak signifikan meresapkan air ditambah


kerusakan hutan lindung menyebabkan perubahan pada debit maximum dan
mengurangi debit minimum sungai-sungai di Jawa, yang juga menyebabkan
banjir besar dan kekeringan makin sering terjadi bergantian. Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan merencanakan merehabilitasi hutan di Jawa sejumah 2 juta ha,
tidak jelas apa tanah-tanah Perhutani yang akan dihutankan atau tanah rakyat yang
hanya akan dijadikan kawasan hutan.
Hutan menurut Wikipeda adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan
lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Ranting dan cabang pohon yang
berdekatan saling menyilang atau saling mengikat. Atau menurut pengertian ilmu
kehutanan, hutan merupakan “suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan
atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.” Suatu
kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika
kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna
yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya.
Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan
(hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk
bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Tempatan hutan yang
luas membentuk waduk bawah tanah tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang
sauna yang hangat dan lembab, yang yang menampung air yang meresap ke dalam
tanah.
Fungsi hutan adalah : sebagai penampung karbondioksida (CO2), habitat
hewan, modulator arus hidrologika, melestari tanah, salah satu aspek biosfera
yang paling penting. Secara melintang, hutan terbagi atas 3 bagian, yakni : bagian
atas tanah, bagian permukaan tanah dan bagian di bawah tanah. Bagian atas tanah
hutan akan terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan dan tumbuhan
bawah seperti pardu dan semak belukar. Di bagian permukaan tanah, tampaklah
berbagai macam semak-belukar, rerumputan dan serasah. Serasah membentuk
„lantai hutan‟ yang berperanan penting untuk membentuk humus dan juga menjadi
rumah bagi berbagai serangga dan mikroorganisme lain. Humus adalah lapisan
tanah teratas yang subur dan terbentuk akibat „ ulah para penghuni‟ serasah yang
mengkonsumsi „rumah‟nya sendiri sehingga hancur dengan bantuan air dan suhu
udara. Di bawah lantai hutan dapat kita jumpai akar semua tetumbuhan, baik yang
besar maupun kecil dalam berbagai bentuk. Bagian-bagian hutan ini yang
mendukung hutan sebagai modulator arus hidrologika yaitu mengalirkan pelan air
hujan dari puncak pepohonan, meresapkan dan menampung yang selanjutnya
akan mengisi aquifer di hilir (Gambar 4 dan 5)

Gambar 4. Hutan
Gambar 5. Hutan tropis

Menurut ketinggian tempatnya hutan dibagi atas : hutan pantai (beach


forest), hutan dataran rendah (lowland forest), hutan pegunungan atas (montain
forest), hutan kabut (cloud forest), hutan elfin (alpine forest), Sedangkan menurut
tujuan pengelolaannya terdiri dari : hutan produksi, dikelola untuk menghasilkan
kayu ataupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product), hutan lindung,
dikelola untuk melindungi tanah dan tata air; hutan suaka alam, dikelola untuk
melindungi kekayaan keanekaragaman hayati atau keindahan alam; hutan
konversi, dicanangkan untuk penggunaan lain atau dikonversi untuk pengelolaan
non-kehutanan.
Dari berbagai definisi di atas hanya hutan pegunungan, hutan lindung dan
hutan suaka alam yang dapat berpengaruh signifikan terhadap konservasi sumber
daya air atau sebagai modulator arus hidrolika.
Oleh karena itu rehabilitasi hutan untuk kepentingan sumber daya air harus
difokuskan pada lokasi di hulu untuk memperluas hutan pegunungan, hutan
lindung dan hutan suaka alam, tentunya diproritaskan pada DAS kritis ditinjau
dari pengelolaan SDA, bukan memperluas kawasan hutan sebagaimana dimaksud
UU Kehutanan dan UU Penataan Ruang, yang belum tentu akan menjelma
menjadi hutan yang besar pengaruhnya pada konservasi air. Tetapi jangan terlalu
cepat mengharapkan pada reboisasi sebab untuk kembali menjadi hutan sekunder,
yakni hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah
sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya akibat
pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam, membutuhkan puluhan,
ratusan bahkan ribuan tahun.
Untuk menyelamatkan tanah air dari ancaman banjir dan kekeringan tetap
diperlukan usaha yang cepat memberi dampak positif seperti membangun waduk
dan melarang dan menghukum berat pelaku penebangan hutan pada DAS yang
tidak lagi memiliki total hutan pegunungan, hutan lindung dan hutan suaka kurang
dari 30% luas DAS. Sedangkan lahan yang diexplotasi harus diusahakan
berwawasan lingkungan. Upaya dilakukan dengan cara meredam energi hujan,
meredam daya gerus aliran permukaan, dan mengurangi kuantitas aliran
permukaan. Juga dengan memperlambat laju aliran permukaan, memperbaiki
sifat-sifat tanah yang peka erosi, dan mencegah longsor. Teknik-teknik
pengendalian erosi misalnya dengan terassing.
Dalam rangka pengendalian banjir dan kekeringan dan sebagaimana
subtansi yang tercantum Rancangan Kebijaksanaan Pengelolaan SDA yang
dihasilkan oleh Dewan SDA Nasional mengenai Peningkatan Upaya Perlindungan
dan Pelestarian Sumber Air [ Bab VI B.1. 5) dan 6)] yang strateginya antara lain:”
melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan pada daerah aliran sungai prioritas
yang dilakukan secara partisipatif dan terpadu; menetapkan dan
mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 (tiga puluh) persen dari luas
daerah aliran sungai dan/atau pulau, dan tetap dan mempertahankan luas
kawasan hutan yang masih memiliki luas lebih dari 30 (tiga puluh) persen dengan
sebaran yang proporsional untuk menjamin keseimbangan tata air dan
lingkungan”, ketiga UU tentang Kehutanan, Penataan Ruang dan Lingkungan
Hidup perlu direvisi agar ketiganya memiliki istilah dan pengertian yang sama
agar subtansi yang diundangkan tepat atau sejalan satu sama lain terutama yang
menyangkut sumber daya air, yang harus disepakati bahwa 30% hutan bukan 30%
kawasan hutan dan yang dimaksud adalah hutan pegunungan, hutan lindung dan
hutan suaka alam, yang lokasinya pada DAS dan sub-DAS, setelah itu Rancangan
Jaknas sebaikya disesuaikan sebelum disampaikan ke Presiden. Lebih baik lagi
kalau UU No. 7 tentang sumber daya air juga disesuaikan dengan ketiga UU
tersebut di atas demi pengelolaan sumber daya air sesuai VISI Jaknas : sumber
daya air nasional yang dikelola secara adil, menyeluruh, terpadu, dan
berwawasan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.dbriptek.lipi.go.id/cgi/penjaga.cgi?tampildetil&publikasi&111994092
0&99
http://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_primer
http://www.perumperhutani.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Forest
Katrien Descheemaeker, Jan Nyssen, Soil and water conservation through forest
restoration in exclosures of the Tigray highlands,Journal of Drylans 1(2);
118-133, 2006
Nigel Duley and Sue Stolton, The role of forest protected areas in supplying
drinking water to the world‟s biggest cities, 2005
Rancangan Kebijakan Nasional SDA, Sekreariat Dewan SDA, 2010
UU No 41 Tahun 2009 Tentang Kehutanan
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Penataan Ruang
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air
Masih Adakah Sisa Hutan di Indonesia?
Sources: Radday, M. 2007. 'Borneo Maps'
PENGARUH PEMANASAN GLOBAL TERHADAP METODA
YANG PALING SESUAI UNTUK ANALISA
EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL BERDASARKAN DATA
HARIAN STASIUN BMG SUPADIO

1)
Hari Wibowo, ST. MT
2)
Stefanus Berlian K, ST. MT
Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak

Abstrak

Perubahan iklim erat kaitannya dengan terjadinya pemanasan global, dan


mempengaruhi: (1) naiknya suhu udara, (2) pola curah hujan, dan (3) naiknya
permukaan air laut. Salah satunya yakni Evapotranspirasi merupakan salah satu mata
rantai proses dalam siklus hidrologi. besarnya nilai evapotranspirasi potensial di
wilayah Kota Pontianak berdasarkan data harian klimatologi Stasiun Meteorologi
Supadio.metode analisa evapotranspirasi potensial berdasarkan data iklim harian dari
beberapa model yang dapat dianalisa (model temperatur: metode Blanney-Cridlle,
Hamon; model temperatur dan kelembaban relatif: metode David, Prescott; dan model
radiasi global: metode Hargreaves Rs, Stephen, FAO Tanpa Koreksi, Makkink, Turc).
Untuk melihat persentase kesalahan relatif dari metode yang diuji maka dilakukan
perbandingan hasil analisa evapotranspirasi potensial berdasarkan data iklim dengan
analisa evapotranspirasi berdasarkan data evaporasi panci penguapan (metode
evaporasi panci), dengan data yang digunakan adalah data sekunder dari stasiun BMG
Supadio.
Dari hasil perhitungan evapotranspirasi potensial, didapat metode David (R =
0,825) yang merupakan salah satu metode dalam model suhu dan kelembaban relatif,
memiliki persentase kesalahan relatif terkecil (41,29%). Itu pun perlu mengalami koreksi
ulang terkait dengan penggunaan data yang hanya 10 tahun, serta adanya perubahan
iklim akibat adanya pemanasan global apabila akan digunakan sebagai metode analisa
evapotranspirasi potensial untuk wilayah Kota Pontianak dan sekitarnya, terutama
wilayah yang berdekatan dengan titik 0° lintang (equator line).

Kata Kunci: Evapotranspirasi Potensial, Panci Penguapan, Supadio Pontianak.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global adalah sebuah fenomena dimana konsentrasi gas rumah
kaca menghalangi pantulan energi sinar matahari dari bumi sehingga
menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi. Atau dapat pula didefinisikan
sebagai suatu perubahan kondisi iklim yang terkait baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan aktifitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer
global. Terjadinya pemanasan global (global warming) telah menyebabkan
adanya perubahan iklim (climate change) di dunia, tidak terkecuali Indonesia dan
juga Provinsi Kalimantan Barat (Maliki, Mislan, Proseding Makalah HATHI,
Palembang, 2008).
Berdasarkan hasil kesimpulan dari Intergovernmental Panel on Climate
Chage (IPCC) menyebutkan bahwa sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global sejak pertengahan abad ke -20. Peningkatan suhu rata-rata global pada
permukaan bumi telah meningkat sebesar 0.74 ± 0.18ºC(1.33 ± 0.32º F).
Perubahan iklim global akan menpengaruhi setidaknya tiga unsur iklim
dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan:
(1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama
kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan dan makin
meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino
dan La-Nina, dan (3) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di
kutub utara. Perubahan unsur iklim akibat perubahan iklim sangat berpengaruh
terhadap kondisi sumber daya air, sektor pertanian dan tanaman pangan dan
peningkatan permukaan laut. Hal tersebut akan menimbulkan dampak yang
berlanjut terhadap meningkatnya: gagal panen, frekuensi banjir, intensitas
kekeringan, jumlah masyarakat miskin, abrasi pantai, tenggelamnya pantai dan
banyak pulau kecil, dan perubahan habitat satwa dan tumbuhan.
Kota Pontianak merupakan salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan
Barat yang dilalui oleh garis khatulistiwa. Dimana lokasinya akan berpengaruh
terhadap besarnya penguapan (evapotranspirasi) yang terjadi pada wilayah yang
berada didekat garis khatulistiwa ini tentunya berbeda dengan wilayah yang
letaknya jauh dari garis khatulistiwa.
Evapotranspirasi merupakan salah satu mata rantai proses dalam siklus
hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai penguapan di semua permukaan yang
mengandung air dari seluruh permukaan air, permukaan tanah, permukaan
tanaman dan permukaan yang tertutup tanaman dan kembali lagi ke atmosfer.
Pengaruhnya terhadap adanya perubahan iklim yang terjadi tentunya akan
mempengaruhi proses hidrologi dan besarnya evapotranspirasi. Oleh jarena itu
pada kegiatan penelitian ini akan diteliti Pengaruh Perubahan Iklim tersebut
terhadap Metode Evapotranspirasi Potensial yang ada khususnya di wilayah Kota
Pontianak berdasarkan data klimatologi Stasiun Meteorologi Supadio.

1.2 Ruang Lingkup


Ruang Lingkup penelitian ini meliputi;
 Analisa data yang digunakan adalah data iklim harian (suhu, kelembaban,
kecepatan angin dan penyinaran matahari) stasiun BMG supadio tahun
1998 - 2009,
 Analisa evapotranspirasi potensial berdasarkan data evaporasi panci
penguapan,
 Berdasarkan penyaringan ketersediaan data yang ada, untuk kesesuaian
analisa pada metode yag digunakan, ternyata metode analisa
evapotranspirasi potensial yang dapat digunakan untuk diuji berdasarkan
data harian dalam penelitian ini adalah;
a. Model temperatur (metode Blanney-Criddle dan metode Hamon),
b. Model temperatur dan kelembaban relatif (metode David dan metode
Prescott),
c. Model radiasi global (metode Hargreaves Rs, Stephen, Radiasi FAO
tanpa koreksi, Makink, Turc).
 Perhitungan persentase kesalahan relatif hasil analisa evapotranspirasi
potensial berdasarkan metode yang dikaji terhadap hasil analisa
evapotranspirasi potensial berdasarkan data evaporasi panci penguapan
pada Stasiun BMG Supadio.

1.3 Maksud Dan Tujuan


Tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan tukar pikiran mengenai perubahan
iklim dan dampaknya terhadap evapotranspirasi dan dengan tujuan penulisan
adalah untuk mendapatkan metode yang sesuai digunakan dalam penentuan
evapotranspirasi potensial untuk wilayah di sekitar Kota Pontianak yang letak
lintangnya jauh dari tugu khatulistiwa dengan menggunakan data iklim harian
yang dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim.

II. KAJIAN TEORI


2.1. Siklus Hidrologi
Pergerakan air di bumi, secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu
rangkaian kejadian yang biasa disebut siklus hidrologi yang merupakan suatu
sistem tertutup, dalam arti bahwa pergerakan air pada sistem tersebut selalu tetap
berada pada siklusnya.
Menurut C.D. Soemarto, (1999,2), siklus hidrologi adalah gerakan air laut
ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke laut
kembali. Siklus peristiwa tersebut sebenarnya tidaklah sederhana yang kita
bayangkan karena, Pertama, daur itu dapat berupa daur pendek, yaitu hujan yang
segera dapat mengalir kembali ke laut. Kedua, tidak adanya keseragaman waktu
yang diperlukan oleh suatu daur. Ketiga, intensitas dan frekuensi daur tergantung
kepada letak geografi dan keadaan iklim suatu lokasi. Keempat, berbagai bagian
daur dapat menjadi sangat komplek, sehingga kita hanya dapat mengamati bagian
akhir saja terhadap suatu curah hujan di atas permukaan tanah yang kemudian
mencari jalannya untuk kembali ke laut. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
siklus hidrologi antara lain adalah Evaporasi, Transpirasi, Evapotranspirasi,
Kondensasi, Presipitasi, Infiltrasi dan Perkolasi.

2.2. Iklim Yang Membina Kehidupan


Kehidupan dibumi ini tidak akan berkembang sebagaimana yang telah kita
temukan dewasa ini, andaikan bumi iklimnya sangat panas. Perkembangan juga
tidak akan terjadi seperti sekarang andaikata perputaran bumi sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi pergantian siang dan malam, artinya perputarannya selalu
menghadapkan ke permukaan yang sama yakni Matahari. Sebab bagian yang
selalu terkena sinar matahari suhunya akan naik sedangkan di bagian sebaliknya
suhu akan turun akan turun dan tidak akan ada tanaman yang tumbuh disana.
Tanpa adanya pergantian siang dan malam tak akan ada kehidupan.
Setelah berkembang biaknya berbagai jenis tumbuhan dan hewan tersebar
diberbagai benua. Terbentuk ekosistem yang serasi. Manusia dan hewan
mengambil oksigen dari udara bagi pernafasan dan melepas karbondioksida ke
atmosfir. Tetapi tetumbuhan mangambil karbondioksida dari udara untuk diubah
menjadi bahan makanan serta pertumbuhannya dengan klorofilnya dan bantuan
energi cahaya dan melepaskan kembali oksigen bebas ke atmosfir. Karbon
dioksida yang berlebihan di atmosfir akan diserap oleh samudera dan dikonsumsi
oleh planton selanjutnya akan berkembang didalam biota air laut.
Bumi mempunyai iklim yang berbeda-beda pada lokasi yang berlainan,
tergantung pada letaknya dibumi. Disekitar ekuator atau khatulistiwa Dimana
lokasi ini iklim pada tropis dan berada di antara dua benua dan mendapat
pengaruh dari samudra yang luas, memiliki musim penghujan dan musim
kemarau seperti daerah lainnya di Indonesia. Apabila matahari bersinar dibagian
selatan khatulistiwa benua Australia mendapat banyak panas sedang benua asia
tidak, sebagai akibatnya maka udara akan naik ke atas Australia dan udara akan
turun di Asia, Tekanan udara di Australia lebih rendah daripada Asia sehingga
udara bergerak, angin meniup dari benua Asia ke Australia. Mengingat tekanan
udara melewati Samudera Hindia, maka banyak uap air terangkut dan jatuh
sebagai hujan. Maka di Indonesia akan mengalami musim penghujan.
Sebaliknya jika matahari bersinar dibagian utara khatulistiwa kita bertemu
dengan musim kemarau karena angin dari autralia menuju ke asia membawa angin
kering. Lebih jauh dari letak daerah ekuator ia akan menikmati ilkim sub tropis,
sedangkan lokasi yang lebih jauh lagi akan terdapat 4 musim.
Untuk memberikan iklim yang membina adanya kehidupan itu Allah SWT
telah menempatkan bumi pada jarak sekitar 150 juta kilometer dari matahari,
memberikan pada bumi sudut kira-kira 66,5 derajat terhadap bidang orbit
perputaran bumi mengelilingi matahari, serta memberikan rotasi pada bumi
dengan waktu putar 24 jam dalam sehari semalam.
Untuk pelindung lapisan permukaan bumi kita mengenal lapisan Atmosfer
bumi terdiri dari beberapa gas antara lain nitrogen, oksigen, karbondioksida;
ditambah dengan uap air dan zat-zat lain, seperti debu, jelaga, dan sebagainya.
Atmosfer bumi terdiri dari berbagai lapisan, yaitu berturut-turut dari lapisan
bawah ke atas adalah troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Troposfer
adalah lapisan terendah yang tebalnya kira-kira sampai dengan 10 kilometer di
atas permukaan bumi. Dalam troposfer ini terdapat gas-gas rumah kaca yang
menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
Lapisan atmosfir ini melindungi bumi dari sinar kosmos yang energinya
sangat tinggi dan sinar ultra violet dari cahaya matahari.
Disamping itu pula kita ketahui didalam bumi juga terdapat lempengan
yang akan mengalami pergeseran rekahan-rekahan akibat aktivitasnya dan hal ini
juga dapat mengubah iklim yang sudah ada sebelumnya di suatu daerah dan
mengacaukan musim penghujan seperti munculnya El-Nino akhir-akhir ini.
Perubahan cuaca juga dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan Kadar CO2 di
dalam atmosfir. Ini akan menimbulkan efek rumah kaca yang membuat suhu bumi
naik, es dikutub dan salju abadi di puncak gunung akan meleleh serta menaikan
permukaan air laut. Sekalipun gejala ini tak merusak kehidupan di bumi namun
gangguan yang ditimbulkannya cukup serius. Gas yang berkeliaran di atmosfir
yang jelas akan merusak kehidupan ialah gas SOx dan NOx yang setelah larut
dalam tetes air hujan yang akan jatuh menjadi hujan yang asam, dan dapat
memusnahkan hutan-hutan dan tanaman umumnya dan satwa lain di air.

2.3. Pemanasan Global (Global Warning)


Perubahan Iklim Global atau dalam bahasa inggrisnya Global Climate
Change menjadi pembicaraan hangat di dunia dan hari ini Konferensi
Internasional yang membahas tentang hal tersebut diantaranya yang sedang
diselenggarakan di Nusa Dua Bali mulai tanggal 3 hingga 14 Desember 2007,
diikuti oleh delegasi dari lebih dari 100 negara peserta. Salah satu penyebab
perubahan iklim adalah Pemanasan Global (Global Warming).
Pemanasan Global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata
atmosfer, laut dan daratan Bumi. Pemanasan Global disebabkan diantaranya oleh
“Greenhouse Effect” atau yang kita kenal dengan Efek Rumah Kaca. Efek rumah
kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-
gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh
kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar
organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya.
Istilah efek rumah kaca, diambil dari cara tanam yang digunakan para
petani di daerah iklim sedang (negara yang memiliki empat musim). Para petani
biasa menanam sayuran atau bunga di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu
ruangan tetap hangat. Kenapa menggunakan kaca/bahan yang bening? Karena
sifat materinya yang dapat tertembus sinar matahari. Dari sinar yang masuk
tersebut, akan dipantulkan kembali oleh benda/permukaan dalam rumah kaca,
ketika dipantulkan sinar itu berubah menjadi energi panas yang berupa sinar
inframerah, selanjutnya energi panas tersebut terperangkap dalam rumah kaca.
Demikian pula halnya salah satu fungsi atmosfer bumi kita seperti rumah kaca
tersebut. Sebagai Illustrasi sederhana tentang terjadinya pemanasan Global.
2.4. Efek Rumah Kaca Di Atmosfir
Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan
oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh
bumi. Bagian yang diserap akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar
inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di atmosfer akan diserap oleh
gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) sehingga
tidak terlepas ke luar angkasa dan menyebabkan panas terperangkap di troposfer
dan akhirnya mengakibatkan peningkatan suhu di lapisan troposfer dan di bumi.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca di bumi.
Gas-gas Rumah Kaca atau Greenhouse Gases adalah gas-gas yang
menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Selain uap air (H2O), siklus air dan
karbon dioksida (CO2), terdapat gas rumah kaca lain di atmosfer, dan yang
terpenting berkaitan dengan pencemaran dan pemanasan global adalah metana
(CH4), ozon (O3), dinitrogen oksida (N2O), dan chlorofluorocarbon (CFC)
Gas Rumah Kaca dapat terbentuk secara alami maupun sebagai akibat
pencemaran. Gas rumah kaca di atmosfer menyerap sinar inframerah yang
dipantulkan oleh bumi. Peningkatan kadar gas rumah kaca akan meningkatkan
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Uap air bersifat tidak terlihat dan harus dibedakan dari awan dan kabut
yang terjadi ketika uap membentuk butir-butir air. Pada siklus hidrologi,
sebenarnya uap air merupakan penyumbang terbesar bagi efek rumah kaca.
Jumlah uap air dalam atmosfer berada di luar kendali manusia dan dipengaruhi
terutama oleh suhu global. Jika bumi menjadi lebih hangat, jumlah uap air di
atmosfer akan meningkat karena naiknya laju penguapan. Ini akan meningkatkan
efek rumah kaca serta makin mendorong pemanasan global.

2.5. Pemanasan Global dan Pengaruhnya Terhadap Iklim


Salah satu dampak yang terjadi akibat pemanasan global ini adalahnya
pengaruh terhadap iklim di berbagai wilayah. Indikator iklim yang ditinjau pada
kajian ini adalah evaporasi atau penguapan yang terjadi. Dari beberapa peneliti
telah banyak yang mengestimasi besarnya nilai evaporasi potensial ini
berdasarkan rumusan matematik sesuai dengan data klimatologi yang ada.
Untuk meninjau adanya dampak akibat pemanasan global tadi terhadap
rumusan metode yang telah diteliti maka penulis mencoba melihat unsur
perbedaan kenaikan suhu tadi dari beberapa metode oleh adanya perubahan global
tadi.

III. METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat,
kota Pontianak ini berada di garis Khatulistiwa.
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan berupa data sekunder data ini merupakan
data-data yang didapat dari instansi terkait yang berhubungan dengan masalah
penelitian serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, seperti Badan Pusat Statistik
selain itu pula ada data klimatologi daerah setempat, data yang digunakan untuk
penelitian ini yaitu berupa data suhu, data penyinaran matahari, data kelembaban
nisbi, data kecepatan angin dan data evaporasi panci penguapan dari Stasiun
Badan Meteorologi Supadio, yang terletak pada garis lintang 0º 08‟ 44‟‟ LS dan
garis bujur 109º 24‟ 14‟‟ BT dengan elevasi 3 meter dari permukaan laut (dpl) dan
tahun pengamatan 1998 sampai dengan 2009.

3.2 Analisa Evapotranspirasi Potensial


Dalam perhitungan evapotranspirasi potensial digunakan data klimatologi
dan data evaporasi panci penguapan. Perhitungan dilakukan dalam suatu spread
sheet untuk tiap parameternya.
3.2.1. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Data Evaporasi
Panci Penguapan
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan data evaporasi panci
penguapan, langkah-langkah perhitungannya sebagai berikut :
1. Kumpulkan data evaporasi panci panci penguapan (Ep) (mm/hari), kelembaban
nisbi (RH) (%), kecepatan angin (U) (km/hari), elevasi alat ukur dari
permukaan tanah (z) (m) dan jarak dari panci ke vegetasi (Fetch distance of
green crop) (d) (m).
2. Menghitung nilai kecepatan angin pada ketinggian 2 meter dari permukaan
tanah (U) (km/hari)
3. Menghitung nilai koefisien panci penguapan, didapat dari perhitungan dengan
persamaan ;
Kp = 0.475 - (0.24x10-3) (U2m) + 0.00516 (RHMean) + 0.00118 (d) –
(0.16x10-4) (RHMean)2 - (0.101x10-5) (d)2 - 0.8x10-8 (RHMean)2(U2m) –
1x10-8 (RHMean)2(d)
4. Menghitung evapotranspirasi potensial (Eto) (mm/hari), didapat dari
perhitungan dengan persamaan Eto = Kp x Ep

3.2.2. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Temperatur


Dihitung Dengan Metode Blaney dan Criddle
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model temperatur
dihitung dengan metode Blanney dan Criddle, langkah-langkah perhitungannya
sebagai berikut :
1. Kumpulkan data temperatur rata-rata (T) (ºC/hari).
2. Menghitung nilai faktor lamanya waktu siang (p).
3. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (mm/hari), didapat dari
perhitungan dengan persamaan; Eto = p (0.46t + 8.13)
3.2.3. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Temperatur
Dihitung Dengan Metode Hamon
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model temperatur
dihitung dengan metode Hamon, langkah-langkah perhitungannya sebagai
berikut:
1. Kumpulkan data suhu (T) (ºC/hari).
2. Tentukan nilai durasi jam penyinaran terhadap satuan 30 hari selama 12
jam/hari.
3. Tentukan nilai kerapatan uap jenuh (Pt) (gram/m3/100), merupakan fungsi
temperatur
4. Masukkan nilai koefisien metode Hamon (Ch), yakni 0,55
5. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (Inchi/hari), didapat dari
perhitungan dengan persamaan Eto= Ck x D2 x Pt, kemudian Nilai (ETo)
dengan satuan (Inchi/hari) dikonversi menjadi (mm/hari).

3.2.4. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Temperatur


dan Kelembaban Relatif Dihitung Dengan Metode David
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model temperatur
dan kelembaban relatif dihitung dengan metode David, langkah-langkah
perhitungannya sebagai berikut :
1. Kumpulkan data suhu (T) (ºC/hari) dan data kelembaban relatif (RH) (%).
2. Tentukan nilai tekanan uap jenuh pada temperatur tertentu (es) (mmHg)
dikonversi menjadi (mbar).
3. Menghitung tekanan uap pada titik embun dengan kelembaban relatif tertentu
(ed) (mbar), didapat dari persamaan ed = es x RH
4. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (mm/hari) dengan metode David,
didapat dari persamaan Eto = 0,50 (es-ed)

3.2.5. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Temperatur


dan Kelembaban Relatif Dihitung Dengan Metode Prescott
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model temperatur
dan kelembaban relatif dihitung dengan metode Prescott, langkah-langkah
perhitungannya sebagai berikut :
1. Kumpulkan data temperatur rata-rata (T) (ºC/hari) dan data kelembaban relatif
(RH) (%).
2. Tentukan nilai tekanan uap jenuh pada temperatur tertentu (es) (mmHg)
dikonversi menjadi (mbar).
3. Menghitung tekanan uap pada titik embun dengan kelembaban relatif tertentu
(ed) (mbar), didapat dari persamaan ed = es x RH
4. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (mm/hari) dengan metode
Prescott, didapat dari persamaan Eto = (es-ed)0.75;
3.2.6. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Radiasi
Global Dihitung Dengan Metode Hargreaves Rs
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model radiasi global
dihitung dengan metode Hargreaves Rs, langkah-langkah perhitungannya sebagai
berikut :
1. Kumpulkan data Suhu (T) (ºC/hari) dan durasi penyinaran matahari (DM=n/N)
(%).
2. Konversikan data temperatur rata-rata (T) dengan satuan (ºC/hari) menjadi
satuan (ºF).
3. Menentukan nilai radiasi berdasarkan lintang (Ra) (kal/cm2/hari),.
4. Menghitung radiasi global (Rs) (kal/cm2/hari), didapat dari persaamaan Rs =
Ra (0.25+0.5(n/N)).
5. Menentukan nilai kerapatan air () (gram/cm3) dan panas laten untuk
penguapan (L) (kal/gram).
6. Menghitung radiasi global setara dengan penguapan (Es) (cm/hari), didapat
dari persamaan Es = Rs / .L. Kemudian Es dengan satuan (cm/hari)
dikonversi menjadi (mm/hari).
7. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (mm/hari) dengan metode
Hargreaves Rs, didapat dari persamaan ETo = 0.075 Es. T

3.2.7. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Radiasi


Global Dihitung Dengan Metode Stephen
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model radiasi global
dihitung dengan metode Stephen, langkah-langkah perhitungannya sebagai
berikut :
1. Kumpulkan data suhu (T) (ºC/hari) dan durasi penyinaran matahari (DM=n/N)
(%).
2. Konversikan data suhu (T) dengan satuan (ºC/hari) menjadi satuan (ºF).
3. Menentukan nilai radiasi berdasarkan lintang (Ra) (kal/cm2/hari), disajikan
dalam tabel 2.1.
4. Menghitung radiasi global (Rs) (kal/cm2/hari), didapat dari persamaan
Rs = Ra (0.25+0.5(n/N))
5. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETo) (Inchi/hari) dengan metode
Stephen, didapat dari persamaan Eto =(0.014T – 0.37)Rs/1500. Kemudian ETo
dengan satuan (Inchi/hari) dikonversi menjadi (mm/hari).

3.2.8. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Radiasi


Global Dihitung Dengan Metode FAO Tanpa Koreksi
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model radiasi global
dihitung dengan metode FAO tanpa koreksi, langkah-langkah perhitungannya
sebagai berikut :
1. Kumpulkan data temperatur rata-rata (T) (ºC/hari) dan durasi penyinaran
matahari (DM=n/N) (%).
2. Menentukan nilai radiasi berdasarkan lintang (Ra) (kal/cm2/hari),
3. Menghitung radiasi global (Rs) (kal/cm2/hari), didapat dari persamaan
Rs = Ra (0.25+0.5(n/N))
4. Menentukan nilai kerapatan air () (gram/cm3) dan panas laten untuk
penguapan (L) (kal/gram)
5. Menghitung radiasi global setara dengan penguapan (Es) (cm/hari), didapat
dari persamaan Es = Rs/.L. Kemudian Es dengan satuan (cm/hari) dikonversi
menjadi (mm/hari).
6. Mengitung kemiringan kurva tekanan uap jenuh () (mbar/oC), didapat dari
persamaan  = (0.00815.T + 0.9012)7;
7. Masukkan nilai Konstanta psikometri () (mbar/oC) yaitu 0,66 mbar/oC.
8. Menghitung (ETo) (mm/hari) dengan metode FAO tanpa koreksi, didapat dari
  
persamaan ET0   E S   0,30
   

3.2.9. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Radiasi


Global Dihitung Dengan Metode Makkink
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model radiasi global
dihitung dengan metode Makkink, langkah-langkah perhitungannya sebagai
berikut :
1. Kumpulkan data temperatur rata-rata (T) (ºC/hari) dan durasi penyinaran
matahari (DM=n/N) (%).
2. Menentukan nilai radiasi berdasarkan lintang (Ra) (kal/cm2/hari);
3. Menghitung radiasi global (Rs) (kal/cm2/hari), didapat dari persamaan
Rs  Ra 0,25  0,50n N 
4. Menentukan nilai kerapatan air () (gram/cm3) dan panas laten untuk
penguapan (L) (kal/gram)
5. Menghitung radiasi global setara dengan penguapan (Es) (cm/hari), didapat
R
dari persamaan E S  S . Kemudian Es dengan satuan (cm/hari) dikonversi
.L
menjadi (mm/hari).
6. Mengitung kemiringan kurva tekanan uap jenuh () (mbar/oC), didapat dari

persamaan;

  0,00815 T  0,8912 7

7. Masukkan nilai Konstanta psikometri () (mbar/oC) yaitu 0,66 mbar/oC.


8. Menghitung (ETo) (mm/hari) dengan metode FAO tanpa koreksi, didapat dari
  
persamaan ET0  0,61  E S   0,12
   
3.2.10. Analisa Evapotranspirasi Potensial Menggunakan Model Radiasi
Global Dihitung Dengan Metode Turc
Cara analisa evapotranspirasi potensial menggunakan model radiasi global
dihitung dengan metode Turc, langkah-langkah perhitungannya sebagai berikut :
1. Kumpulkan data suhu (T) (ºC/hari), kelembaban relatif (RH) (%) dan durasi
penyinaran matahari (DM=n/N) (%).
2. Menentukan nilai radiasi berdasarkan lintang (Ra) (kal/cm2/hari);
3. Menghitung radiasi global (Rs) (kal/cm2/hari), didapat dari persamaan
Rs  Ra 0,25  0,50n N 
4. Menghitung (ETo) (mm/hari) dengan metode Turc, didapat dari persamaan di
 T   50  RH 
atas untuk RH<50%; ET0  0,013  RS  50 1   , dan
 T  15   70 
 T 
persamaan berikut untuk RH>50%; ET0  0,013  RS  50
 T  15 

3.2.11. Pengujian Kesalahan Relatif (Persentase Error)


Persentase error (kesalahan relatif) tiap metode dalam tiap model yang
dikaji terhadap Eto panci penguapan dihitung berdasarkan :
Eto Panci Penguapan  Eto Metode yang Dikaji
% error = x 100%
Eto Panci Penguapan

Data – data yang diperlukan pada tiap metode meliputi sebagai berikut:

Tabel 1. Data Yang Diperlukan Untuk Setiap Metoda


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil beberapa metode perhitungan yang dilakukan dapat dilihat pada
tabel berikut.

4.2 Pembahasan
Dari hasil perhitungan evapotranspirasi potensial yang telah dilakukan
berdasarkan data stasiun BMG Supadio diatas, dapat diketahui bahwa masing-
masing metode dalam tiap model menghasilkan besaran evapotranspirasi potensial
yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, hasil perhitungan evapotranspirasi
potensial berdasarkan data iklim stasiun BMG Supadio yang memperoleh hasil
persentase kesalahan relatif terkecil ada pada metode David yang merupakan
salah satu metode dalam model temperatur dan kelembaban relatif, dengan
persentase kesalahan relatif adalah 41,29%.
Untuk masing-masing model, pada model temperatur, persentase
kesalahan relatif terkecil ada pada metode Hamon (66,45%), model suhu dan
kelembaban relatif; metode David (41,29%), model radiasi global; metode
Makink (68,37%).
Dari uraian diatas, maka rekomendasi metode analisa evapotranspirasi
potensial untuk wilayah kota Pontianak berdasarkan ketersediaan data
klimatologi, diketahui bahwa hasil perhitungan evapotranspirasi potensial untuk
tanggal 1 Januari tahun 1998 dengan menggunakan metode Blanney-Cridlle
adalah 5,492 mm/hari, sehingga persentase kesalahan relatifnya adalah;
ETo Panci Penguapan  ETo Metode yang Dikaji
% error = x 100%
ETo Panci Penguapan
Perhitungan untuk persentase kesalahan relatif tiap bulan dan tiap tahunnya dalam
tiap modelidapatkan disajikan dalam tabel seperti berikut;

Tabel 4. Rekomendasi Metode Analisa Evapotranspirasi Potensial Untuk Wilayah


Kota Pontianak Berdasarkan Ketersediaan Data Klimatologi.

No. Data Klimatologi Yang Tersedia Metode Analisa ETo


1 Suhu Hamon
2 Suhu dan Kelembaban Relatif David
3 Suhu dan Penyinaran Matahari Makkink
Dari hasil perhitungan evapotranspirasi potensial yang telah dilakukan
berdasarkan data stasiun BMG Supadio diatas, telah diperoleh nilai korelasi dari
grafik model linier, yaitu; model temperatur: metode Blanney-Cridlle (R = 0,673),
metode Hamon (R = 0,152); model temperatur dan kelembaban relatif: metode
David (R = 0,825), metode Prescott (R = 0,832); model radiasi global: metode
Hargraeves Rs (R = 0,753), metode Stephen (R = 0,677), metode FAO Tanpa
Koreksi (R = 0,743), metode Makkink (R = 0,688), metode Turc (R = 0,705).
Berdasarkan hasil perhitungan Evaporasi potensial sebelumnya untuk
lokasi kota Pontianak menunjukan besarnya berkisar antara 3 – 4 mm/tahun
sehingga terjadi kenaikan suhu yang cukup besar dalam dekada beberapa tahun
ini.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Dari analisa perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa;
1. Dari hasil penelitian ini didapatkan metode yang sesuai untuk analisa
evapotranspirasi potensial dikota Pontianak dan sekitarnya berdasarkan data
klimatologi harian stasiun BMG Supadio adalah metode David, karena
memiliki persentase kesalahan relatif terkecil yang termasuk kedalam model
temperatur dan kelembaban relatif, dengan persentase kesalahan relatifnya
41,29%, yang hasilnya juga sama dengan analisa menggunakan data
klimatologi harian stasiun BMG Siantan.
2. Pemanasan global telah mengakibatkan adanya perubahan nilai evaporasi
Potensial dalam kurun lima tahun terakhir dari 3-4 mm/hari menjadi 5-6
mm/hari,
3. Berdasarkan penelitian ini, apabila hanya memiliki data temperatur,
direkomendasikan menggunakan metode Hamon, jika data temperatur dan
kelembaban relatif menggunakan metode David, jika data temperatur dan
penyinaran matahari menggunakan metode Makkink.
4. Berdasarkan hasil penyaringan data, bahwa tidak semua metode yang
digunakan dalam analisa evapotranspirasi potensial dapat digunakan dalam
perhitungan data harian.
5. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan, bahwa belum tentu tiap
kawasan memiliki evapotranspirasi potensial yang besarnya sama, tergantung
letak lintang dan kondisi vegetasi disekitar.
6. Berdasarkan hasil penelitian ini, koefisien korelasi yang dihasilkan oleh
metode David (R = 0,825) memiliki persentase error terkecil, yaitu 41,29%,
sedangkan metode Prescott (R = 0,832) dan persentase errornya 50,21%. Ini
menunjukkan bahwa korelasi tidak mempengaruhi nilai dari persentase error
yang dihasilkan.
5.2 Saran
Saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah;
1. Berdasarkan hasil analisa perhitungan dalam penelitian ini, sebenarnya tidak
ada satu pun metode yang dapat digunakan untuk analisa evapotranspirasi
potensial karena persentase kesalahan relatif metode-metode yang diuji
semuanya > 5%, sehingga disarankan untuk menggunakan data lapangan
(evaporasi panci) dalam melakukan analisa evapotranspirasi untuk wilayah
kota Pontianak dan sekitarnya, namun apabila ingin menggunakan data
harian, disarankan sebaiknya menggunakan metode David dalam melakukan
perhitungan evapotranspirasi potensial di wilayah kota Pontianak dan
sekitarnya, karena memiliki persentase kesalahan relatif terkecil, sampai ada
penelitian lanjutan lainnya.
2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, perlu adanya pengujian yang
serupa dengan menggunakan data dan jumlah data yang sama dari stasiun
iklim lain yang ada di wilayah kota Pontianak dan sekitarnya atau bahkan di
wilayah Kalimantan Barat khususnya (jika ketersediaan data cukup) dan juga
untuk wilayah lain di Indonesia, sehingga didapat metode yang cocok
digunakan untuk masing-masing wilayah di Indonesia.
3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan cara yang sama menggunakan data
harian atau bulanan, menggunakan data dari stasiun iklim yang berbeda untuk
melihat hasil analisa harian atau bulanan terhadap hasil analisa berdasarkan
data evaporasi panci penguapan.
4. Dari penelitian ini untuk mengambil keputusan yang final mengenai metode
yang cocok untuk digunakan dalam melakukan analisa evapotranspirasi
potensial, terkait dengan penggunaan data yang hanya 10 tahun (minimal)
sehingga disarankan penggunaan jumlah data yang digunakan lebih maksimal
dan perlu juga dilakukan uji kepekaan terhadap unsur-unsur iklim yang
digunakan.
5. Apabila melakukan perhitungan evapotranspirasi potensial dengan
menggunakan data temperatur dan kelembaban udara, sebaiknya
menggunakan metode David, yang termasuk kedalam model temperatur dan
kelembaban relatif.
6. Agar hasil penelitian selanjutnya lebih baik, disarankan agar peralatan
pengukuran iklim yang rusak pada beberapa stasiun cuaca di wilayah
Kalimantan Barat dapat diperbaiki dan menambah stasiun pengamatan cuaca
di Kalimantan Barat, sehingga setiap wilayah memiliki paling tidak 3 stasiun
cuaca.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim, Status Terkini dan


Kebijakannya. Bank Dunia – DFID – PEACE. Jakarta
Cuenca Richard, H, (1989) ”Irrigation System Design An Engineering
Approach”, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
Evapotranspirasi, (1998-2007), “Data Klimatologi Harian”, BMG Stasiun
Klimatologi Supadio, Pontianak.
Ensiklopedia, Jilid 8 Mukjizat Al Quran dan Hadist
H. A. Malik ,Mislan (2009) Perubahan Iklim (gobal) dan Pengembangan
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air di Kalimantan Timur „
Proseding PIT HATHI ke XXV di Palembang
Irianto, Gatot; Sugianto, Yanto dan Amien Istiglal. 2004. Dampak dan Aplikasi
Perubahan Iklim, Status dan Aplikasinya di Sektor Pertanian. Jakarta.
Linsley, R. K., M. A. Kohler, dan J. L. H. Paulhus, (1996), “Hidrologi Untuk
Insinyur”, Edisi Ketiga, Alih Bahasa; Ir. Yandi Hermawan, Penerbit
Erlangga.
Martha W, Joyce Ir & Wanny Adidarma , Ir, Dipl.H., (1983), “Mengenal Dasar-
Dasar Hidrologi”, Penerbit Nova, Bandung.
Mujiharjo, S, (2001), “Hubungan Evaporasi Panci dan Evapotranspirasi
Blaney-Criddle dengan Evapotranspirasi Potensial Penman: Studi
Berdasarkan Data Iklim yang Tercatat di Stasion Kuro tidur Bengkulu”,
Jurnal Penelitian UNIB.8(1):41-48.
Nugrahany Astria “ Konservasi Sumber daya Air sebagai Salah Satu Cara
Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Global, Studi kasus Das Kali
Brantas
Rio Dermawan , Stefanus B.Soeryamassoeka, S.T., M.T. & M.Meddy Danial, S.T.,
M.T., “Penentuan Metode Analisa Evapotranspirasi Potensial yang
Sesuai Untuk Wilayah Kota Pontianak Berdasarkan Data Klimatologi
Stasiun Meteorologi Siantan”, Jurnal Teknik Universitas Tanjungpura
(2004)
Ratag, Mezak. 2007. Perubahan Iklim: Perubahan Variasi Curah Hujan,
Cuaca, dan Iklim Ekstrim. BMG. Jakarta.
Soemarto, CD, (1999), “Hidrologi Teknik”, Edisi Kedua , Penerbit Erlangga
Soewarno, (2000), “Hidrologi Operasional”, Jilid kesatu, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Usman, “Analisis Kepekaan Beberapa Metode Pendugaan Evapotranspirasi
Potensial Terhadap Perubahan Iklim”, Jurnal Natur Indonesia 6 (2): 91-
98. (2004),
Widya Vineska, Hj. Kartini, M.T,Stefanus B. Soeryamassoka, S.T., M.T.
”Penentuan Metoda Analisa Evapotranspirasi Potensial Berdasarkan
Data Harian Stasiun BMG Jungkat”, Jurnal Teknik Universitas
Tanjungpura (2009)
PENGARUH ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN
TERHADAP EROSI LAHAN
(STUDI KASUS DAS MERAWU, JAWA TENGAH)

T. Marhendi1
1
Mahasiswa Program S3 Teknik Sipil,
Program Pascasarjana FT UGM, Yogyakarta
tmarhendi@yahoo.com

Intisari

Perubahan iklim global merupakan isu penting yang masih menjadi perhatian
banyak kalangan pada dekade terakhir. Indonesia tidak lepas dari masalah perubahan
iklim global tersebut. Perubahan iklim telah menimbulkan beberapa penyimpangan,
seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan. Salah satu dampak
perubahan iklim global adalah timbulnya anomali karakteristika hujan, termasuk di
Daerah Aliran Sungai Merawu yang merupakan salah satu daerah tangkapan air Waduk
Mrica mengalami erosi lahan yang cukup tinggi dan berubah-ubah. Perubahan erosi
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor peningkatan pemanfaatan lahan,
karakteristika tanah maupun faktor karakteristika hujan. Perubahan iklim global yang
berdampak pada timbulnya anomali karakteristika hujan, diyakini memberikan pengaruh
terhadap perubahan laju erosi di Daerah Aliran Sungai Merawu. Sepanjang tahun 1989
sampai 2009 erosi rerata tahunan tertinggi terjadi tahun 2001 sebesar 16,41 mm/tahun
dan terendah terjadi tahun 1996 sebesar 5,00 mm/tahun.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh anomali Karakteristika
hujan, yaitu intensitas dan durasi hujan, serta pengaruhnya terhadap erosi lahan yang
terjadi di Daerah Aliran Sungai Merawu. Kajian sifat anomali diawali dengan
penyusunan kriteria abnormalitas curah hujan harian maupun bulanan. Kajian
selanjutnya adalah menyangkut pola erosi yang terkait dengan fenomena hujan,
dilanjutkan dengan prediksi laju erosi sehubungan dengan adanya anomali curah hujan
tersebut. Analisis dilakukan pada sifat anomali karakteristika hujan menggunakan data
tahun 2002, mengingat tahun 2002 merupakan tahun El Nino dengan kriteria sedang,
dengan pembanding data tahun 1992, 1996, 1998 dan 2005.
Hasil analisis untuk data tahun 2002, anomali karakteristika hujan secara
keseluruhan menunjukkan anomali negatif kecuali pada Bulan Maret, April, September,
November dan Desember. Pada Bulan Januari, Februari, Mei, Juli, Agustus dan
Oktober mengalami anomali karateristika hujan yang sangat kering hingga mencapai -
320 mm/bulan. Pada kondisi ini erosi lahan mengalami penurunan. Anomali
karakteristika hujan positif terjadi pada Bulan Maret, April, September, Oktober dan
November dengan anomali tertinggi sebesar 216 mm/bulan. Kondisi ini menyebabkan
erosi pada bulan tersebut mengalami peningkatan.

Keyword: DAS Merawu, Anomali karakteristika hujan, erosi lahan

I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global merupakan isu penting yang masih menjadi
perhatian banyak kalangan pada dekade terakhir. Beberapa kali isu perubahan
iklim global telah dibahas para ahli dari berbagai negara. Hal ini menunjukkan
bahwa dampak yang timbul akibat perubahan iklim global cukup berpengaruh
terhadap sumberdaya alam.
Indonesia juga tidak lepas dari masalah perubahan iklim global tersebut.
Perubahan iklim yang terjadi pada dekade ini telah menimbulkan beberapa
penyimpangan, seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan.
Salah satu dampak perubahan iklim global adalah timbulnya anomali
karakteristika hujan.
Daerah Aliran Sungai Merawu yang merupakan salah satu daerah
tangkapan air Waduk Mrica mengalami erosi lahan yang cukup tinggi dan
berubah-ubah. Perubahan erosi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
faktor peningkatan pemanfaatan lahan, karakteristika tanah maupun faktor
karakteristika hujan. Perubahan iklim global yang berdampak pada timbulnya
anomali karakteristika hujan, diyakini memberikan pengaruh terhadap
peningkatan dan berubah-ubahnya laju erosi di Daerah Aliran Sungai Merawu.
Sepanjang tahun 1989 sampai 2008 erosi rerata tahunan tertinggi terjadi
tahun 2001 sebesar 16,41 mm/tahun dan terendah terjadi tahun 1996 sebesar 5,00
mm/tahun. Dibandingkan dengan dua DAS lain yaitu DAS Serayu Hulu dan
Lumajang, erosi yang terjadi di DAS Merawu jauh lebih tinggi dengan rerata
tahunan mencapai 10,27 mm/tahun. Sementara DAS Serayu Hulu dan Lumajang
memiliki rerata erosi tahunan sebesar 4,25 mm/tahun dan 2,73 mm/tahun.

Tabel 1. Erosi Tahunan di DAS Merawu, Serayu dan Lumajang tahun 1989-2008
Erosi Tahun 1989-2008 (mm/tahun)
Tahun Serayu Hulu Merawu Lumajang
1989 1.90 5.80 0.20
1990 2.60 13.60 0.20
1991 2.85 12.90 0.10
1992 3.60 10.30 0.50
1993 2.70 7.40 0.30
1994 3.30 8.70 2.40
1995 4.90 7.40 2.00
1996 6.30 5.00 5.70
1997 2.50 5.97 0.72
1998 6.40 14.30 4.70
1999 5.30 10.90 7.70
2000 6.13 13.30 3.11
2001 4.06 16.41 3.41
2002 4.21 13.73 2.06
2003 5.83 10.70 5.40
2004 3.42 7.25 1.89
2005 5.74 12.89 4.66
2006 5.19 11.48 4.17
2007 3.64 8.37 1.61
2008 4.40 8.90 3.82
Sumber : PT Indonesia Power, 2008
Mengacu data hujan bulanan Tahun 1988 sampai dengan 2008 (disajikan
pada Gambar 1), kejadian hujan di DAS Merawu selalu berubah setiap tahun.
Perubahan ini diasumsikan dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim global yang
berdampak terhadap perubahan besaran erosi di DAS tersebut.
1,000

900

800

700
Hujan (mm)

600

500

400

300

200

100

0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES

Bulan
1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

2005 2006 2007 2008

Sumber: Analisis berdasarkan data PT Indonesia Power, 2008

Gambar 1. Hujan bulanan DAS Merawu

II. BAHAN DAN METODOLOGI


Metode yang digunakan pada tulisan ini adalah dengan mengkaji data
sekunder meliputi data hujan dan data-data untuk analisis erosi yang terjadi
selama beberapa tahun data di Daerah Aliran Sungai Merawu. Kajian sifat
anomali diawali dengan penyusunan kriteria abnormalitas hujan baik harian
maupun bulanan, serta durasi hujan. Kajian selanjutnya adalah menyangkut pola
erosi yang terkait dengan adanya anomali karakter hujan tersebut.

2.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini mengambil lokasi di Daerah Aliran Sungai Merawu
yang terletak di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sebagaimana
disajikan pada Gambar 2.
352000 360000 368000 376000 384000 392000
4 0 4 8 Km

PETA DAS MERAWU


Skala 1:180.000
U
9200000

9200000
DAS Merawu
9192000

9192000
9184000

9184000
DA S S erayu
9176000

9176000
352000 360000 368000 376000 384000 392000

Gambar 2. Peta lokasi DAS Merawu

2.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian meliputi adalah data hujan tahun
1988 sampai dengan tahun 2008. Sedangkan data erosi diperoleh dari analisis
erosi DAS Merawu di masing-masing tahun data. Data lain yang digunakan
berupa peta tanah, landuse, kelerengan dan peta DAS Merawu. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Hidraulika JTSL FT UGM.

2.3 Metodologi Penelitian


2.3.1 Analisis Erosi
Dalam penelitian ini analisis erosi dilakukan menggunakan bantuan Arc-
View GIS 3.3 yang meliputi overlay kelerengan, panjang kelerengan, jenis tanah,
landuse. Selanjutnya berdasarkan hasil overlay tersebut dilakukan analisis erosi
menggunakan Formula USLE (Wischmeier & Smith, 1978).

2.3.2 Penentuan Anomali Curah Hujan


Anomali curah hujan bulanan ditentukan berdasarkan formula sebagai
berikut :
ACH  CHB  RCH ...........................................(1)
Dengan :
ACH : Anomali Curah hujan bulanan
CHB : Curah hujan bulanan
RCH : Rerata curah hujan bulanan ( data 1988- 2008)
2.2.3 Analisis pengaruh anomali karakteristika hujan terhadap erosi lahan
Berdasarkan tinjauan terhadap anomali karakteristika hujan, selanjutnya
dilakukan analisis pengaruh yang terjadi terhadap perubahan erosi melalui grafik.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Erosi Lahan Tahun 1992, 1996, 1998, 2002 Dan 2005
Pengambilan 5 buah tahun data di atas disebabkan pemahaman bahwa data
hujan yang tersedia dianggap lengkap. Oleh karena itu analisis erosi yang
dilakukan pun diambil pada data lima tahun tersebut. Berdasarkan hasil analisis
dapat digambarkan bahwa erosi di DAS Merawu pada data 5 tahun tersebut
mengalami kondisi yang berubah-ubah seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

35

30

25
Erosi (t/km2/th)

20

15

10

0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES

Bulan
1992 1996 1998 2002 2005
Sumber : Analisis

Gambar 3. Erosi bulanan di DAS Merawu

3.2 Anomali Curah Hujan


Hasil analisis untuk data tahun 2002, anomali karakteristika hujan secara
keseluruhan menunjukkan anomali negatif kecuali pada Bulan Maret, April,
September, November dan Desember. Pada Bulan Januari, Februari, Mei, Juli,
Agustus dan Oktober mengalami anomali karateristika hujan yang sangat kering
hingga mencapai -320 mm/bulan. Pada kondisi ini erosi lahan mengalami
penurunan. Anomali karakteristika hujan positif terjadi pada Bulan Maret, April,
September, Oktober dan November dengan anomali tertinggi sebesar 216
mm/bulan. Kondisi ini menyebabkan erosi pada bulan tersebut mengalami
peningkatan. Secara keseluruhan, anomali curah hujan ditunjukkan pada Gambar
4 berikut ini.
600

500

400
Anomali Curah Hujan

300

200

100

-100

-200

-300

-400
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
1992 1996 1998 2002 2005 Rerata Bulan

Gambar 4. Anomali curah hujan Tahun 1992, 1996, 1998, 2002 dan 2005
dan rerata hujan

3.3 Pengaruh anomali curah hujan terhadap erosi lahan


Anomali curah hujan yang terjadi akibat perubahan iklim telah
memberikan dampak terhadap erosi lahan yang bterjadi di Das Merawu. Hasil
analisis untuk data tahun 2002 (seperti disajikan pada Gambar 8), anomali curah
hujan secara keseluruhan menunjukkan anomali negatif kecuali pada Bulan Maret,
April, September, November dan Desember. Pada Bulan Januari, Februari, Mei,
Juli, Agustus dan Oktober mengalami anomali karateristika hujan yang sangat
kering hingga mencapai -320 mm/bulan. Pada bulan-bulan tersebut, erosi lahan
mengalami penurunan. Anomali curah hujan positif terjadi pada Bulan Maret,
April, September, Oktober dan November dengan anomali tertinggi sebesar 216
mm/bulan. Kondisi ini menyebabkan erosi pada bulan tersebut mengalami
peningkatan.
Anomali curah hujan Tahun 1992, menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pada Tahun 1992, semua anomali curah hujan menunjukkan anomali positif
kecuali Bulan Juli yang menunjukkan anomali curah hujan negatif. Demikian juga
untuk Tahun 1998, anomali curah hujan menunjukkan anomali positif kecuali
Bulan Maret, Agustus dan November. Secara keseluruhan hubungan anomali
curah hujan dengan perubahan erosi ditunjukkan pada Gambar 5 sampai dengan
Gambar 9.
450
400

ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)


350
300
250
200
150
100
50
0
-50
-100
-150
-200
-250
-300
-350
MAR

MEI

AGT
JAN

APR

OKT
FEB

DES
SEP

NOP
JUN

JUL
ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 1992 EROSI TAHUN 1992 BULAN

Gambar 5. Hubungan anomali curah hujan dan erosi tahun 1992

450
400
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)

350
300
250
200
150
100
50
0
-50
-100
-150
-200
-250
-300
-350
MAR

MEI

AGT
JAN

APR

OKT
FEB

SEP

DES
NOP
JUN

JUL

ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 1996 EROSI TAHUN 1996 BULAN

Gambar 6. Hubungan anomali curah hujan dan erosi tahun 1996


600
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)

500

400

300

200

100

-100
MAR

MEI

AGT
JAN

APR

OKT
FEB

SEP

DES
NOP
JUN

JUL

ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 1998 EROSI TAHUN 1998 BULAN

Gambar 7. Hubungan anomali curah hujan dan erosi tahun 1998

250

200
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)

150

100

50

-50

-100

-150

-200

-250

-300

-350
MAR

MEI

AGT
JAN

APR

OKT
FEB

SEP

DES
NOP
JUN

JUL

ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 2002 EROSI TAHUN 2002 BULAN

Gambar 8. Hubungan anomali curah hujan dan erosi tahun 2002


200

150
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)
100

50

-50

-100

-150

-200

-250

-300

-350
MAR

MEI

AGT
JAN

APR

OKT
FEB

SEP

DES
NOP
JUN

JUL
ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 2005 EROSI TAHUN 2005 BULAN

Gambar 9. Hubungan anomali curah hujan dan erosi tahun 2005

IV. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa anomali curah hujan yang terjadi akibat
pengaruh perubahan iklim global, memberikan dampak terhadap berubah-ubahnya
erosi lahan yang terjadi di DAS Merawu.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Panitia PIT XXVII dan
Konggres X HATHI atas pemberian ijin untuk berpartisipasi mengirimkan
makalah ini. Ucapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada
PT. Indonesia Power UBP Mrica yang telah meminjamkan data.

DAFTAR PUSTAKA
Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, dan Betty Sariwulan, 2005, Pengaruh Anomali
Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau
Sumatera, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif
Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, ITS
Surabay, 14-15 September 2005
N. Suwarta, T.Marhendi, D. Legono, T. Yamada, 2010, Sosio-culture Perspective
on the Effect of soil Erosion from an Upland Cultovation Fields ( A case
study: Mrica watershed, Central java, Indonesia), Prosiding on
International Workshop on Multimodal Sediment Disasters Triggered by
Heavy rainfall and earthquake and the Countermeasures, Yogyakarta,
March 8-9, 2010
PT. Indonesia Power, 2008, Laporan Pelaksanaan Penyelidikan Sedimentasi
Waduk PLTA PB Sudirman, Banjarnegara
Soewarno dan Petrus Syariman, 2008, Sedimentation Control: Part II. Intensive
Measures the Inside of the Mrica Reservoir, Central Java, Journal of
Applied Sciences in Environmental Sanitation, 3 (1): 17-24.
Sukresno, Rahardyan N. Adi, dan Wardoyo, 2004, Hubungan sifat-Sifat Hujan
terhadap Kepekaan Tanah longsor di Kebumen, Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB Surakarta
Teguh Marhendi, 2009, Perkembangan sedimentasi Waduk Mrica dan Upaya
Penanganannya, Jurnal Teknik Sipil Fakultas Teknik Atmajaya
Yogyakarta, Volume 9 Nomor 2, Februari 2009
Wischmeier, W. H. & Smith, D. D., 1978, “Predicting Rainfall Erosion Losses - A
Guide to Conservation Planning”, US Dept. of Agricultural Handbook 537
DAMPAK PERUBAHAN KARAKTERISTIK HUJAN
TERHADAP FENOMENA BANJIR DI AMBON

Happy Mulya
Balai Wilayah Sungai Maluku dan Maluku Utara
Dinas PU Propinsi Maluku
Maggi_iwm@yahoo.com
Tiny Mananoma
Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, Manado
tmananoma@yahoo.com

Intisari

Ancaman kekeringan di musim kemarau serta bahaya banjir di musim hujan


sudah merupakan masalah klasik yang terus terulang setiap tahun, bahkan akhir-akhir
ini dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat serta sulit untuk diprediksi.
Menyikapi dampak perubahan iklim global dalam keterkaitannya terhadap pengendalian
resiko bencana banjir maka dipandang perlu suatu kajian mengenai karakteristik curah
hujan sebagai salah satu faktor yang dinilai memberikan pengaruh cukup signifikan
terhadap fenomena banjir.
Dengan mengkaji dampak perubahan iklim terhadap karakteristik hujan, serta
mencermati pengaruh intensitas curah hujan terhadap fenomena banjir, diharapkan
memperoleh suatu gambaran yang dapat bermanfaat sebagai informasi, pedoman,
ataupun landasan bagi perencanaan dan pengembangan suatu sistem pengendalian daya
rusak air, khususnya untuk mereduksi resiko bencana banjir di Ambon secara
komprehensif, terpadu dan berwawasan lingkungan.
Mengacu pada kondisi topografi dan geologi maka embung/bendungan kecil
menjadi pilihan utama untuk pengendalian banjir, sekaligus sebagai sumber air baku.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sumber daya esensial bagi kehidupan adalah air. Dengan
demikian maka sektor sumber daya air dipandang paling signifikan merasakan
dampak negatif dari perubahan iklim akibat pemanasan global. Bencana
kekeringan di musim kemarau serta bahaya banjir di musim hujan sudah
merupakan masalah klasik yang terus terulang setiap tahun, bahkan akhir-akhir ini
dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat serta sulit untuk
diprediksi.
Menyikapi dampak perubahan iklim global dalam keterkaitannya terhadap
pengendalian resiko bencana banjir maka dipandang perlu suatu kajian mengenai
karakteristik curah hujan sebagai salah satu faktor yang dinilai memberikan
pengaruh cukup signifikan terhadap fenomena banjir.
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi karakteristik curah hujan
dan iklim serta rekaman fenomena banjir di Ambon selang kurun waktu tertentu.
Berangkat dari data sekunder yang tersedia kemudian mengkaji dampak
perubahan karakteristik curah hujan akibat perubahan iklim terhadap fenomena
banjir di Ambon.

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari kajian ini adalah mencermati dampak perubahan iklim akibat
pemanasan global terhadap karakteristik hujan, selanjutnya mengkaji hubungan
antara intensitas curah hujan dengan kejadian banjir. Tujuan dari kajian ini
diharapkan memperoleh suatu gambaran yang dapat bermanfaat sebagai
informasi, pedoman, ataupun landasan bagi perencanaan dan pengembangan suatu
sistem pengendalian daya rusak air, khususnya untuk mereduksi resiko bencana
banjir di Ambon secara komprehensif, terpadu dan berwawasan lingkungan.

II. METODOLOGI
1. Inventarisasi dan identifikasi data sekunder, survey kondisi existing.
2. Analisis data curah hujan dan iklim
3. Analisis rekaman kejadian banjir
4. Analisis hasil dan pembahasan
5. Kesimpulan dan saran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Rekaman beberapa informasi fenomena banjir di Ambon

No. Hari / Tgl Deskripsi


1 12 Juni 2007 Banjir menggenangi ratusan rumah di kec Teluk Ambon
dan Sirimau
2 26 - 29 Juni 2007 Banjir kembali melanda kawasan kota Ambon
3 11 Juni 2008
4 01 Juli 2008 Banjir mencapai  1,5 meter melanda sejumlah kawasan
pemukiman
5 26 Juli 2008
6 26 Agst 2008 Banjir bandang,korban meninggal,pusat kota terendam  2
meter
7 15 Agst 2008
8 10 Sept 2008 Banjir melanda kecamatan Nusaniwe dan kecamatan
Sirimau
9 19 Sept 2008
10 04 April2009

Analisis terhadap data curah hujan tahun 2002 – 2009 memberikan grafik
distribusi dengan pola yang beragam sebagai berikut :
Gambar 2. Grafik pola curah hujan tahun 2003

Gambar 3. Grafik pola curah hujan tahun 2004

Gambar 4. Grafik pola curah hujan tahun 2005


Gambar 5. Grafik pola curah hujan tahun 2006

Gambar 6. Grafik pola curah hujan tahun 2007

Gambar 7. Grafik pola curah hujan tahun 2008


Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan adanya pergeseran musim
penghujan, sedangkan Gambar 4 menunjukkan terjadi hujan di sepanjang tahun
dengan intensitas yang bervariasi. Dari Gambar 5 terlihat bahwa pada bulan Juni
– Juli terjadi curah hujan yang cukup tinggi, namun pada bulan Oktober –
Desember curah hujan relatif rendah. Gambar 6 menunjukkan terjadi hujan di
sepanjang tahun dengan curah hujan tertinggi pada bulan Juli yang mengakibatkan
fenomena banjir sebanyak tiga kali. Gambar 7 memperlihatkan curah hujan tanpa
musim yaitu terjadi sepanjang tahun dengan intensitas yang relatif lebih tinggi
dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini tercatat adanya peningkatan kejadian banjir
yaitu sebanyak lima kali.

Gambar 8. Kondisi banjir di kawasan pusat kota (2008)

Gambar 9. Kondisi banjir di kawasan Batu merah (Juni 2010)

Grafik berikut ini menunjukkan besaran intensitas curah hujan bulanan


maksimum yang sepanjang tahun pengamatan. Nampak bahwa pada tahun 2002
hingga tahun 2004 curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan April- Juni.
Tahun 2005 hingga 2009 curah hujan tinggi masih terjadi pada bulan Maret, Mei,
Juni, juli, September hingga Desember. Informasi ini menunjukkan bahwa dengan
adanya perubahan iklim akibat pemanasan global maka terjadi anomali curah
hujan sehingga tidak sesuai lagi dengan klasifikasi musim penghujan yaitu
Oktober – Maret, serta musim kemarau yaitu periode April – September.
20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280

Jan
Feb
M ar
Apr
Intensitas curah hujan (mm/hari)

M ei
Jun
Jul
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009


Tahun

Gambar 8. Grafik curah hujan bulanan maksimum

Dari analisis terhadap intensitas hujan serta hubungannya dengan


fenomena banjir maka terlihat bahwa pada tahun 2008 intensitas curah hujan
sebesar 40 mm/hari telah dapat memicu kejadian banjir. Sebagian informasi
mengenai prediksi sebaran daerah rawan banjir di kepulauan Maluku adalah
seperti yang disajikan pada Tabel berikut ini.

Tabel 2. Prediksi daerah rawan banjir


Kabupaten /Kota Kecamatan Lokasi
Kota Ambon Nusaniwe S.Batu Gadjah
S.Batu Gantung
S.Tomu
S.Heru
Sirimau S.Batu merah
S.Ruhu
S.Tonahitu
40
1984 1989 1996 tahunan
35

luas daerah genangan banjir (ha)


30

25

20

15

10

0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung

Gambar 9. Informasi luas daerah genangan banjir

500
1984 1989 1996 tahunan
450
tinggi genangan banjir (cm)

400
350
300
250
200
150
100
50
0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung

Gambar 10. Informasi tinggi genangan banjir

30
1984 1989 1996 tahunan
25
lama genangan banjir (jam)

20

15

10

0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung

Gambar 11. Informasi lama genangan banjir


Lima sungai utama pada kawasan rawan banjir Kota Ambon memiliki
karakteristik yang relatif sama baik aspek topografi dan geologi serta morfologi
yaitu mempunyai kemiringan dasar sungai yang terjal, mencapai sekitar 10%,
serta panjang sungai yang tidak lebih dari 13 km. Ditunjang oleh tinggi curah
hujan tahunan rata-rata mencapai hingga 3000 mm, maka sangatlah potensial
terjadi bencana banjir bilamana tidak dikelola dengan baik. Berikut ini adalah
gambar potongan memanjang dari kelima sungai yang dimaksud.

Jarak dari Muara (km)

Gambar 12. Profil memanjang sungai

Kota Ambon sangat sering dilanda banjir. Dalam satu tahun bisa dua
sampai tiga kali mengalami bencana banjir, dengan lama genangan rata-rata 1-3
jam, bahkan pada tahun 2008 tercatat lima kali kejadian banjir akibat meluapnya
sungai Ruhu, Batu merah, Tomu, Batu gadjah, dan Batu gantung. Untuk itu maka
perlu dilakukan beberapa langkah untuk menanggulangi serta mengantisipasi
bencana banjir rutin ini. Berangkat dari studi yang pernah dilakukan, analisis
terhadap beberapa kajian terdahulu serta kondisi terkini, maka dalam kajian ini
kemudian diusulkan beberapa sistem serta infrastuktur pengendali banjir yang
sesuai dengan kondisi setempat antara lain berupa perencanaan dan pembangunan
embung/bendungan kecil pada sungai Ruhu, Batu merah, Tomu, Batu gadjah, dan
Batu gantung. Diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengendali banjir, sekaligus
sumber air baku bagi kota Ambon dan kawasan sekitarnya.
Gambar 13. Rencana lokasi pembangunan bendungan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
Dari perubahan pola karakteristik curah hujan terlihat adanya
kecenderungan peningkatan frekuensi fenomena banjir. Dengan demikian perlu
suatu pedoman, ataupun landasan bagi perencanaan dan pengembangan sistem
pengendalian daya rusak air, khususnya untuk mereduksi resiko bencana banjir di
Ambon secara komprehensif, terpadu dan berwawasan lingkungan. Mengacu pada
kondisi topografi dan geologi maka embung/bendungan kecil menjadi pilihan
utama untuk pengendalian banjir, sekaligus sebagai sumber air baku.
4.2. Saran
1. Perlu dipertimbangkan pemanfaatan aliran sungai untuk pembangkit listrik
mikro hidro.
2. Perlu rekaman informasi kejadian banjir sebanyak mungkin untuk
mendukung analisis mengenai peningkatan frekuensi, maupun intensitas
kejadian banjir.

DAFTAR PUSTAKA
BMKG stasiun Pattimura Ambon,2010, Data iklim dan curah hujan.
Happy Mulya, Tiny, Wasis, 2009, Mengubah Bencana Menjadi Berkah (Studi
Kasus Pengendalian dan Pemanfaatan Banjir di Ambon), PIT XXVI
HATHI, Banjarmasin.
Ponce,V.G., 1989, Engineering Hydrology Principles and Practices, Prentice
Hall, Engelwood Cliffs, New Jersey.
Yachiyo Engineering Co.,LTD., 1997, The Study on Flood Control for Ambon
and Pasahari Area, Final Report, Jakarta.
PERUBAHAN BANJIR AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA
LAHAN DAN PERUBAHAN IKLIM SERTA TEKNIK UNTUK
MENEKAN PENINGKATAN BANJIR

Wanny Kristyanti Adidarma


Peneliti Puslitbang Sumber Daya Air
Lanny Martawati
Peneliti Puslitbang Sumber Daya Air
Maulina Gemma Wisuda
Tim Hidrologi Pekerjaan Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo,
Direktorat Jenderal Tata Ruang.

Intisari

Peningkatan besaran banjir mulai dirasakan dan bencana yang diakibatkannya


telah melanda banyak wilayah di Indonesia. Perubahan Tata Guna Lahan (TGL) sering
dijadikan kambing hitam terutama di areal kritis seperti hutan di sisi lain dampak
perubahan iklim pada bertambah seringnya dan besarnya kejadian banjir menjadi
masalah berikutnya. Studi ini mencoba untuk mengidentifikasikan dampak perubahan
iklim pada hujan badai yang mengakibatkan banjir dan pengaruh dari perubahan TGL
pada besaran banjir. Kombinasi dari kedua faktor tersebut menambah kerentanan suatu
wilayah terhadap banjir yang dibuktikan melalui berbagai skenario TGL dan skenario
proyeksi curah hujan akibat perubahan iklim di tahun-tahun mendatang yang
disimulasikan oleh Model HEC-HMS dengan bantuan HEC Geo-HMS.
Lokasi yang dipilih untuk kajian ini adalah DAS Bengawan Solo, dengan 31 pos
hujan dan 5 pos duga air yang mencatat kejadian banjir besar tanggal 25-27 Desember
2007 dan 30 Januari-1 Februari 2009, dimana kedua kejadian ini digunakan sebagai
dasar pengkalibrasian parameter model (Puslitbang Sumber Daya Air, 2009)
Upaya menurunkan banjir dilakukan melalui pendekatan non-struktur yaitu
dengan menerapkan teknik Low Impact Development di semua fungsi lahan dengan cara
meningkatkan fungsi hutan, meningkatkan cara pengelolaan lahan pertanian, menahan
air hujan yang turun di pemukiman selama mungkin di kawasan perumahan sebelum
dibuang ke saluran drainase. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa dengan
menerapkan cara ini besaran banjir akan turun secara signifikan yang pada akhirnya
akan mengurangi kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan tata guna
lahan.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi tutupan lahan yang berubah secara drastis ditambah dengan
dampak perubahan iklim pada bertambahnya frekuensi hujan ekstrim dengan nilai
yang makin membesar sehingga menambah parah kondisi aliran banjir yang
diakibatkannya. Kecenderungan dari hujan harian maksimum bertambah besar
karena kondisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang menguat menambah kerentanan
aliran banjir yang mengandung daya rusak (merusak tanaman, menambah erosi
lahan, sulit ditanami karena adanya water logging, bagi tutupan lahan yang
terkena bencana, memorakporandakan pemukiman, menghambat transportasi dan
bangunan umum lainnya, kehilangan harta benda, kesehatan terganggu, dapat
menghilangkan nyawa). Kejadian bencana banjir tersebut mendesak pemerintah
bersama masyarakat berusaha melakukan penanggulangan menggunakan
pendekatan struktur maupun tanpa struktur. Pendekatan penanggulangan banjir
menggunakan bangunan air biasanya belum mencapai penanganan akar
permasalahan karena dimensi bangunan air akan cenderung membesar seiring
dengan membesarnya puncak, volume banjir dan sedimen. Pendekatan non-
struktur menjadi pusat perhatian akhir-akhir ini karena diharapkan akan mampu
menangani akar permasalahan akibat perubahan tata guna lahan dan perubahan
iklim.

1.2. Tujuan Penelitian


Memberikan gambaran akan besarnya pengaruh perubahan tata guna lahan
dan perubahan iklim terhadap besaran banjir dan upaya untuk menekan
pertambahan yang diakibatkannya dengan cara menerapkan teknik ramah
lingkungan di semua sektor (pemukiman, hutan dan pertanian).

1.3. Sasaran Penelitian


Melakukan upaya adaptasi perubahan iklim agar kondisi hidrologi suatu
kawasan tetap terpelihara dengan cara menambah imbuhan air tanah, melindungi
saluran sungai dan mengendalikan banjir ditambah menjaga kualitas air melalui
penerapan teknik Low Impact Development.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Pengaruh Penutup Lahan Pada Besaran Banjir
Kondisi tutupan lahan sudah sangat berubah (sekarang diwakili oleh peta
Tata Guna Lahan 2008) dibandingkan dengan base line (peta Tata Guna Lahan
1964). Luas hutan pada saat ini sudah tinggal 0,38% nya, berubah fungsi menjadi
perkebunan, sawah, tegalan dan pemukiman. Luas lahan perkebunan bertambah
2287% dan sawah bertambah 144% serta pemukiman 142%. Secara hidrologis,
resapan air hujan menjadi berkurang dan limpasan permukaan bertambah besar
sehingga puncak dan volume banjir meningkat berkali-kali lipat mendatangkan
bencana banjir dan tanah longsor.
Penelitian hubungan antara hutan dan kesehatan DAS telah dilakukan oleh
beberapa peneliti di Amerika (Center for Protection) termasuk dampak dari
tutupan hutan ditepi sungai terhadap indikator sungai sehat. Di County
Montgomery, Maryland, Goetz et al. (2003) menemukan bahwa untuk mencapai
kondisi sungai tingkat sehat “Excellent” diperlukan paling tidak 65% dari panjang
jaringan sungai dalam DAS dihutankan (pada jarak 30 m dari tepi sungai) dan
setidaknya 45% tutupan hutan di sepanjang sungai diperlukan untuk mencapai
tingkat “Good”. Rot et al. (2006) menyatakan bahwa hutan di tepi sungai dapat
menghilangkan dampak dari > 15% luas DAS yang dikembangkan menjadi
perkotaan.
Secara hidrologis, kondisi hutan yang matang (mature) ditengarai oleh
lebih dari 70% tertutup oleh kanopi serta kurang dari 75% berupa tanaman keras
yang mengalami musim gugur atau semak belukar. Kondisi hutan sedang
(intermediate) ditandai oleh antara 10%-70% tertutup oleh kanopi dan kurang dari
75% berupa tanaman keras bermusim gugur atau semak belukar (Brunengo,
1997). Technical Release -55 (NRCS, 1986) mendefinisikan hutan secara
hidrologis masuk dalam kelompok baik bila dilindungi dari pembabatan liar
meskipun untuk makanan ternak dan permukaan lahan tertutup oleh semak
belukar dan daun-daun kering serta bentuk sampah lainnya membentuk humus.
Lahan pertanian secara hidrologis dikategorikan baik jika lebih dari 75% dari
lahan terbuka tertutup oleh semak belukar dan daun kering serta bentuk sampah
lainnya.

2.2. Teknik Pengembangan Berbasis Ramah Lingkungan (Low Impact


Development)
Pendekatan LID mengupayakan mengembalikan kondisi hidrologi seperti
sebelum-pengembangan dengan mengimbangi kehilangan hujan (losses) akibat
abstraksi melalui menjaga dan mempertahankan potensi resapan, evapotranspirasi
dan tampungan permukaan (surface storage) di samping menambah waktu
perjalanan agar percepatan konsentrasi limpasan permukaan berkurang (IOWA,
2008). Dengan demikian akan mereduksi limpasan permukaan dan menambah
imbuhan ke tampungan air tanah.
Menurut Reznick, LID dapat tercapai melalui :
- konservasi wilayah kritis
- meminimumkan dampak
- menjaga kondisi hidrologi seperti sebelum-pengembangan
- menerapkan teknik yang mampu meresapkan, menyaring, menyimpan,
menguapkan dan menggunakan kembali (re-use) air hujan di dekat
sumbernya.
Definisi LID yang asli (Reznick) sebenarnya diperuntukkan bagi strategi
pengelolaan air buangan pemukiman (stormwater management) tetapi untuk
kondisi negara berkembang seperti Indonesia penerapannya bukan hanya pada
wilayah perkotaan saja akan tetapi juga pada hutan dan lahan pertanian. Dengan
demikian kata Development atau Pengembangan lingkupnya bukan terbatas pada
pemukiman melainkan lebih luas lagi bersifat kegiatan berdampak rendah pada
wilayah hutan dan perkebunan.
2.3. Dasar Pemilihan Skenario
Skenario 1 mengembalikan fungsi hutan lindung yang ditentukan oleh
Departemen Kehutanan pada Skenario 0 tata guna lahan saat sekarang (2008).
Skenario 2 sama dengan Skenario 1 ditambah dengan merubah fungsi lahan
genangan banjir sepanjang sungai utama (Bengawan Solo) menjadi hutan.
Skenario 3 sama dengan Skenario 1 ditambah dengan penghutanan wilayah
resapan serta penghutanan wilayah rawan longsor.

2.4. Pengaruh Perubahan Iklim


Iklim merupakan faktor kunci yang menentukan karakteristik dan
distribusi yang berubah dari sistem alami maupun non-alami (managed) seperti
hidrologi dan sumber daya air, maritime, pertanian dan kehutanan (IPCC, AR-4).
Salah satu parameter iklim yang berubah secara dramatis adalah suhu yang
menimbulkan perubahan sistem alami maupun non-alami (dikelola). Disisi lain
penggerak non-iklim yang mempengaruhi sistem alami dan non-alami melalui
perubahan terhadap iklim. Penggerak-penggerak tersebut bekerja saling
mempengaruhi dan bekerja sama satu dengan yang lain (Lepers et al., 2004).
Umpan balik (feedbacks) dan interaksi-interaksi terjadi dalam skala lokal sampai
global. Proses sosial ekonomi menyebabkan perubahan tata guna lahan termasuk
pertumbuhan ekonomi, populasi, perdagangan dan migrasi; proses-proses tersebut
dapat diobservasi dan diukur dalam skala global, regional dan local (Goklany,
1996). Disamping mempengaruhi albedo dan evaporasi, perubahan tata guna
lahan menimbulkan kehilangan biodiversity (Opdam and Wascher, 2004).
Tambahan lagi, perubahan tata guna lahan menimbulkan perubahan pencemaran
dan kualitas udara yang berpengaruh pada proses Gas Rumah Kaca (Pielke et al.,
2002; Kalnay and Cai, 2003). Laju perubahan tata guna lahan yang besar akan
mempengaruhi ekosistem dan oleh karenanya merubah emisi Gas Rumah Kaca
(GRK).

2.5. Proyeksi hujan harian


Hujan harian maksimum selama periode tertentu (1981-2000 dan 1997-
2006) dari Global Precipitation Climatology Project atau GPCP) berpuncak di
lintang -40˚sampai +40˚ digambarkan oleh percentile 99.9% dari seri data hujan
harian. Besaran ini akan diperbandingkan dengan rata-rata hujan harian
maksimum DAS K. Madiun. Untuk proyeksi hujan harian 2081-2100 dengan
scenario A1B ada kenaikan sekitar 20% selama 100 tahun (O‟Gorman et al.,
2009), lihat Gambar 1.
Gambar 1. Hujan Harian (mm/hari) 99.9% Percentile untuk Berbagai Periode,
Proyeksi di Berbagai Lintang

2.6. Debit Banjir Rencana 2 Tahunan (Bankfull Discharge)


Hollis (1975) mengadakan penelitian pada DAS Parris Valley di
California dengan 20% bagian kedap air yang dikembangkan menjadi 35.5%
kedap air. Grafik pada Gambar 2 mengindikasikan bahwa setelah 20 tahun maka
banjir 2 tahunan menjadi lebih dari tiga kali dari sebelum ada pengembangan,
banjir 10 tahunan menjadi lebih dari 2 kali. Jadi pengembangan suatu wilayah
yang merubah tutupan lahan sangat berpengaruh pada banjir-banjir kecil. Seri
banjir maksimum terdiri dari banjir berperiode ulang 1 sampai >100 tahun hasil
dari dampak perubahan tutupan lahan, banjir periode ulang 1-5 tahun (sering
disebut bankfull discharge yang berpotensi menimbulkan degradasi lahan) dapat
berkali kali lipat besarnya dibandingkan sebelum ada pengembangan. Trend dari
bankfull discharge belum terliput dalam studi ini. Penelitian Lins, 2005,
menyatakan bahwa tidak terindikasinya trend untuk kejadian ekstrim.
25
Debit sesudah/ debit sebelum

20
pengembangan

15

10

0
0,1 1 10 100 1000

Periode Ulang (Tahun)

Gambar 2. Hubungan Antara Debit Sesudah dan Sebelum Pengembangan Pada


Berbagai Periode Ulang (Holis, 1975)

III. METODOLOGI
Analisa hujan melingkupi perhitungan hujan rata-rata DAS dengan cara
isohiet, hujan rencana dihitung dengan analisa frekuensi dan proyeksi hujan harian
menggunakan hasil studi dari O‟Gorman, 2009. Model hubungan hujan-limpasan
(HEC-HMS versi 3.3) mengubah hujan menjadi hidrograf banjir berdasarkan
kondisi topografi (peta Digital Elevation Model atau DEM dioverlaykan dengan
peta topografi) serta kelompok tanah hidrologi dan tata guna lahan diolah oleh
Sistem Informasi Geografis (SIG)menjadi input Model yaitu rata-rata nilai Curve
Number (CN) di setiap sub-DAS. Curve Number menentukan jumlah aliran yang
menjadi limpasan permukaan, dalam system konfigurasi yang terbentuk oleh SIG.
Berdasarkan hidrograf banjir 26-29 Desember 2007 dan 30 Januari 2009
dilakukan kalibrasi parameter model termasuk CN. Model prediksi dijalankan
menggunakan input hujan rencana 2 tahunan dan kondisi tata guna lahan 2008
menghasilkan banjir rencana 2 tahunan untuk tata guna lahan 2008 selanjutnya
dengan input hujan 2 tahunan yang sama menggunakan tata guna lahan 1964 yang
dianggap sebagai base line. Perubahan puncak banjir (dalam %) didefinisikan
sebagai puncak banjir berdasarkan TGL (Tata Guna Lahan) 2008 dikurangi
puncak banjir berdasarkan TGL 1964 dibagi puncak banjir berdasarkan TGL 1964
dikalikan 100%.Cara yang sama diterapkan pada volume banjir dan menghasilkan
perubahan volume banjir.
Selain TGL 1964 dan TGL 2008 dicoba juga TGL yang lain menggunakan
scenario-1, scenario-2 dan scenario-3. Khusus untuk Skenario-3 dikombinasikan
dengan penerapan teknik LID dengan menambah permukaan kedap air sebesar
13%-15% untuk LID ideal permukaan kedap bertambah sampai 25%-30%, serta
meningkatkan kondisi hidrologi pada hutan dan lahan pertanian. Disamping itu,
dicoba juga skenario menggunakan RTRW yang sudah dirancang sebelumnya
serta skenario lain dengan menganggap tidak ada perubahan TGL tetapi curah
hujan 2 tahunan bertambah 1,2% / tahun (O‟Gorman, 2009) sebagai dampak
perubahan iklim.

IV. HASIL ANALISA


4.1. Analisa Hujan
Analisa hujan rencana dengan berbagai periode ulang dihitung dari hujan
harian maksimum tahunan di 31 pos hujan dari tahun 1975-2002, menggunakan
metode analisa frekuensi dipilih Distribusi Log Pearson untuk memperkirakan
hujan rencana dengan periode ulang 2 tahun (Puslitbang Air, 2009). Banjir
periode ulang 2 tahun disebut sebagai bankfull discharge mengandung daya rusak
tinggi dibandingkan banjir periode ulang lebih dari 2 tahun. Peta Isohit hujan
rencana periode ulang 2 tahun , dengan pusat di DAS Solo Hulu (pos Pabelan dan
Sragen) serta DAS Solo Hilir sebelah barat atau utara Bojonegoro (pos Kejuron
dan pos Kerinjo).
Seri data hujan harian maksimum tahunan mengalami kenaikan yang cukup
signifikan (Lihat Tabel 1. dan Gambar 3.) untuk DAS K. Madiun tetapi kenaikan
menjadi kurang signifikan untuk DAS Solo Hulu dan Hilir, setelah melalui
pengujian statistic Mann-Kendall. Serta mempunyai kemiringan garis linier trend
mengindikasikan kenaikan sebesar 0,69 mm/tahun atau 1.28%/tahun. Kenaikan
seri data hujan tersebut menggambarkan kenaikan hujan yang mengakibatkan
banjir disebabkan oleh pemanasan global tanpa memperhitungkan perubahan
emisi GRK di masa mendatang. O‟Gorman dkk, 2009 memperkirakan proyeksi
curah hujan harian maksimum tahunan (hampir sama dengan 99.9% percentile)
2081-2100 berdasarkan SRES A1B (keseimbangan antara semua enerji) mencapai
kenaikan sekitar 120%. Studi tersebut berdasarkan data hujan harian 99.9%
percentile tahun 1997-2006 untuk berbagai lintang, sehingga menghasilkan untuk
DAS Bengawan Solo yang ada pada lintang 7˚-8˚ perkiraan ada pada range 42-75
mm. Dari hasil observasi hujan DAS Madiun 1981-2000 sekitar 71.3 mm, jadi
masih masuk dalam range perkiraan O‟Gorman. Trend dari seri data hujan harian
maksimum tahunan dengan kenaikan 1,28%/tahun tanpa skenario SRES serta
menurut O‟Gorman (2009) dengan scenario A1B diperkirakan 1,2%/tahun, kedua
nilai tersebut tidak berbeda terlalu jauh. Dengan demikian dapat diperkirakan
proyeksi hujan harian 2 tahunan 10 tahun sampai 90 tahun mendatang di tahun
2100.
K.Madiun-A.Yani
2000 90
70
1600
50
Debit (m3/s)

Hujan (mm)
1200 30

800 10
-10
400
-30
0 -50
1963

1995
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993

Debit Maks Hujan DAS Maks

Gambar 3. Deret Hujan Harian Maksimum Tahunan Rata-rata DAS dan


Debit Maksimum Tahunan Sesaat untuk DAS K. Madiun-A.Yani

Tabel 1. Hasil Pengujian Keberadaan Trend Hujan Harian


Maksimum Tahunan Rata-rata DAS
Uji Trend Slope
Tahun B.Solo Hulu Madiun Solo+Madiun Wonogiri B.Solo Hulu Madiun Solo+Madiun Wonogiri
1 Harian
1960-2006 0.181 0.356* 0.286* 0.178 0.25 0.43 0.21 -0.03
1960-2007 0.216* 0.355* 0.316* 0.211* 0.49 0.69 0.47 0.27
3 Harian
1960-2006 0.132 0,261* 0.182 0.092 0.35 0.47 0.37 0.08
1960-2007 0.169 0.294** 0.217* 0.129 0.64 0.74 0.66 0.33
* Lulus Uji Keberadaan Trend dengan Mann-Kendall dengan tingkat signifikansi 0.05
* *Lulus Uji Keberadaan Trend dengan Mann-Kendall dengan tingkat signifikansi 0.1
4.2. Penerapan Model pada DAS Solo
Hasil analisa topografi menghasilkan peta topografi dan peta lereng
sebagai dasar pembagian sub-DAS dan sebagai sel pembentuk DAS keseluruhan.
Setiap sub-DAS terdiri dari grid 30m x 30m yang merupakan bahan utama bagi
sub-DAS untuk membaca karakter topografinya. DAS Upper Solo seluas 5987
km2 terbagi menjadi 62 sub-sub-DAS dengan luas bervariasi dari 1-296 km2 serta
32 potongan sungai yang menghubungkan 62 sub-sub-DAS menjadi satu sistem
konfigurasi dengan outlet di perpotongan S. Bengawan Solo Hulu dan K.Madiun.
panjang potongan sungai bervariasi dari 0.12-29 km. DAS K.Madiun seluas
3754.1 km2 terbagi menjadi 47 sub-sub-DAS dan 24 potongan sungai, luas sub-
DAS bervariasi 0.06-298 km2 serta panjang sungai 0.21-15 km mengalirkan air
menuju outlet di pertemuannya dengan Bengawan Solo Hulu. DAS Solo Hilir
seluas 6213.65 km2 terbagi menjadi 65 sub-sub-DAS dengan luas antara 1.12
sampai 303.2 km2 (P.T. Cilaki Empat Lima, 2009).
Nilai Curve Number akan mengalami perubahan jika TGL berubah dan
ditanggapi secara hidrologis oleh DAS sehingga menghasilkan hidrograf banjir
yang berubah pula. Masukan utama model adalah hujan harian yang
didistribusikan menjadi jam-jaman berdasarkan kejadian banjir 2007 dan 2009
sehingga pada waktu besaran hujan bertambah besar akibat dampak perubahan
iklim maka hidrograf banjirpun akan berubah.
DAS Bengawan Solo dibagi menjadi 174 sub-DAS dengan pembagian 62
sub-sub-DAS untuk Solo Hulu, 47 sub-sub-DAS untuk K.Madiun dan 65 sub-sub-
DAS untuk Solo Hilir. Setelah melalui tahap rekonstitusi hidrograf banjir dengan
membandingkan hidrograf banjir 25-29 Desember 2007 dan 29 Januari-2 Februari
2009 hasil perhitungan model dengan pengamatan diperoleh dari pos duga air di
Waduk Wonogiri, Jurug, Kajangan untuk DAS Solo Hulu , Sekayu, Madiun untuk
DAS K.Madiun dan K. Kening–Brangkal di DAS Solo Hilir (Puslitbang Air,
2009). Dari tahap kalibrasi melalui rekonstitusi diperoleh satu set parameter
model yang perhitungan kehilangan (losses) dihitung dari CN. Parameter model
terdiri dari parameter aliran dasar dan parameter infiltrasi sekaligus memeriksa
kinerja Curve Number yang awalnya dibuat untuk kondisi di Amerika. Perbedaan
antara hidrograf (puncak dan volume) banjir pengamatan dan simulasi dari dua
kejadian banjir tersebut di atas kurang dari 5% mengindikasikan bahwa metode
infiltrasi yang dipilih cukup sesuai.

4.3. Hasil Simulasi Model


Besaran puncak dan volume banjir hasil model HEC-HMS menggunakan
TGL 2008 dan hujan periode ulang 2 tahun dibandingkan dengan puncak dan
volume banjir menggunakan TGL 1964 (base line) dan hujan periode ulang 2
tahun juga. Perubahan puncak dan volume banjir dihitung berdasarkan selisih
kedua besaran tersebut dibagi dengan puncak dan volume banjir dari TGL 1964
dalam persen. Skenario tersebut dinyatakan sebagai Skenario-0, secara spasial
dapat dilihat pada Gambar 4 untuk perubahan puncak banjir serta secara grafis
dapat dilihat pada Gambar 5. Skenario yang lain berlandaskan alih fungsi lahan
yang sudah dicanangkan sebelumnya (Skenario-1, Skenario-2, Skenario-3) dan
perubahan banjirnya dihitung dengan cara yang sama menggunakan base line
TGL 1964.

Gambar 4. Peta Perubahan Puncak Banjir (%) Menggunakan TGL 2008


Dibandingkan dengan Base Line TGL 1964 Pada 174 Sub-DAS di Bengawan Solo.

DAS K.Solo Hulu-Kondisi 2008 DAS K.Madiun Kondisi 2008


600. 600.
Prosentasi Perubahan Banjir
Prosentasi Perubahan Banjir

500. 500.
400. 400.

300. 300.
puncak puncak
200. 200.
Volume Volume
100. 100.

0. 0.
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-100. 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Nomor Sub-DAS Nomor Sub-DAS

DAS K.Solo Hilir Kondisi 2008


600.
Prosentasi Perubahan Banjir

500.

400.

300.
puncak
200.
Volume
100.

0.

-100. 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Nomor Sub-DAS

Gambar 5. Perubahan Puncak dan Volume Banjir (%) Menggunakan TGL 2008
Dibandingkan TGL 1964 Di 174 Sub-DAS
Berbagai skenario TGL menghasilkan berbagai perubahan, secara rata-rata
dapat dilihat pada Tabel 2, khusus bagi akibat perubahan iklim diterapkan
pertambahan hujan dari tahun ke tahun sehingga untuk proyeksi 100 tahun ke
depan dihasilkan pertambahan sebesar 120%/100 terhadap percentile 99.9%
(O‟Gorman, 2009). Hasil dari perubahan banjir akibat perubahan ikllim hanya
diperhitungkan bagi DAS K.Madiun karena dua DAS yang lain (DAS Solo Hulu
dan Solo Hilir) tidak mengindikasikan adanya kecenderungan atau trend yang
berarti melalui pengujian secara statistik (lihat Tabel 1). Ringkasan hasil
perhitungan perubahan banjir akibat perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3.
Adanya pertambahan curah hujan harian 1.2%/tahun tanpa disertai
perubahan TGL (berdasarkan TGL 2008) menghasilkan perubahan banjir sebesar
0.5%/tahun seperti terlihat pada Tabel 3. Dampak perubahan iklim pada
pertambahan hujan dikombinasikan dengan perubahan TGL 2008 dibandingkan
TGL 1964, kondisi TGL 2008 dengan input hujan hasil perhitungan untuk
berbagai tahun proyeksi dibandingkan dengan base line TGL 1964 dengan input
hujan tetap tanpa adanya dampak perubahan iklim. Hasil simulasi tersebut
menghasilkan perubahan puncak banjir 1.4%/tahun dan volume banjir
1.3%/tahun.

Tabel 2. Perubahan Puncak dan Volume Banjir (%) Rata-rata dalam DAS Solo
Hulu, DAS Madiun dan DAS Solo Hilir, (0) : TGL 2008, (1) : Skenario-1, (2) :
Skenario-2; (3) : Skenario-3, (3)+LID : Skenario-3 disertai Penerapan LID,
(3)+LID Ideal : Skenario-3 disertai Penerapan LID Ideal, RTRW Kabupaten/Kota
: Menggunakan TGL RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Propinsi : Menggunakan
RTRW Propinsi

SOLO HULU MADIUN SOLO HILIR


Skenario Puncak Volume Puncak Volume Puncak Volume
(0) 69 64 58 50 48 41
(1) 68 65 56 49 49 42

(2) 46 45 55 48 35 30

(3) 67 63 56 49 48 42

(3)+LID 40 40 25 23 31 27

(3)+LID ideal 31 32 16 15 27 24

RTRW 69 66 38 34 37 31
Kabupaten/Kota
RTRW Propinsi 68 65 59 52 38 33
Tabel 3. Perubahan Puncak dan Volume Banjir di DAS K. Madiun Skenario-0
(perbedaan TGL 2008 dan TGL 1964) dan TGL Tidak Berubah (2008)
Dengan Pengaruh Perubahan Iklim (CC).

Skenario Puncak Volume

(0) 58 50

(0) dan CC 20 tahun 72.3 63.7

TGL2008 + CC 20 tahun 9.2 8.4

(0) dan CC 30 tahun 83 73

TGL 2008+ CC 30 tahun 9.8 8.4

(0) dan CC 50 tahun 102.0 90.4

TGL 2008 + CC50 tahun 26.9 20.2

(0) dan CC 100 tahun 143.2 126.3

TGL 2008+ cc 100 tahun 52.3 48.9

V. PEMBAHASAN
1. Skenario 1; 2 dan 3 tidak merubah banyak perubahan banjir baik secara
parsial (per sub-sub-DAS) maupun secara makro (sub-DAS). Sub DAS
R3370W3370 yang mengalami perubahan paling besar di Skenario 1
maupun Skenario 2 maupun Skenario 3, jika dikembalikan fungsinya
seperti tahun 1964 maka akan mengalami penurunan puncak banjir sebesar
34% pada inflow waduk Wonogiri, serta jika R3400W3400 masih di hulu
Solo Hulu dikembalikan fungsi maka akan mengurangi puncak di DAS
Solo Hulu sebesar 24%. Satu kelompok subDAS di hulu Solo Hulu, terdiri
dari 11 sub-subDAS diluar R3370W3370 yang dikembalikan fungsinya
akan mengurangi 49% puncak banjir di DAS Solo Hulu.
2. Tanpa memperhitungkan TGL hanya memasukkan pengaruh perubahan
iklim pada besaran hujan menghasilkan perubahan banjir bergaris linier
(Gambar 6) dengan kemiringan 50%/100 tahun. Dengan memperhitungkan
perubahan TGL 2008 dan TGL 1964 perubahan banjir naik menjadi
130%-140%/100 tahun. Tanpa memperhitungkan perubahan iklim
perubahan banjir pada skenario-0 adalah 50%-58% dan jika ditambah
dengan pengaruh perubahan iklim akan menjadi 100%-108%/tahun,
padahal hasil simulasi model yang memperhitungkan kedua faktor tersebut
menghasilkan nilai 130%-140%/100 tahun. Perbedaan ini mengisyaratkan
bahwa kedua faktor tersebut secara sinergi bekerja menambah kerentanan
suatu wilayah yang kena pengaruh perubahan iklim dan TGL. Secara
grafis perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 bagian yang diarsir
garis vertical.
3. Proyeksi curah hujan akibat perubahan iklim didasari pada O‟Gorman
yang memberikan besaran 120%/100 tahun. Dampak dari perubahan iklim
yang lebih besar (180%/100 tahun) disertai dengan perubahan TGL akan
menghasilkan garis eksponential pada perubahan banjir. Garis
eksponential menengarai bertambah rentannya kondisi hidrologi terhadap
kombinasi kedua faktor tersebut.
4. Berbagai skenario mengembalikan fungsi lahan dan rencana tata ruang
wilayah yang disimulasikan menghasilkan perubahan banjir yang kurang
lebih hampir sama dengan dengan kondisi sekarang menggunakan TGL
2008 (lihat Tabel 2).
5. Bertambahnya kerentanan suatu wilayah terhadap banjir memicu adanya
upaya mitigasi non-struktur seperti teknik pengembangan wilayah ramah
lingkungan yang diadopsi dari Low Impact Development. Penerapan
teknik tersebut di seluruh DAS akan mengurangi banjir yang cukup
signifikan dibandingkan dengan alih fungsi lahan yang sifatnya parsial.
160
Perubahan Puncak Banjir Akibat TGL+ CC
140
120 Perubahan Volume Banjir Akibat TGL+ CC
Perubahan Banjir (%)

100
Perubahan Puncak Banjir Akibat CC
80
60
Perubahan Volume Banjir Akibat CC
40
20 Linear (Perubahan Puncak Banjir Akibat TGL+ CC
(penjumlahan))
0
Linear (Perubahan Volume Banjir Akibat TGL+
-20 0 20 40 60 80 100 120 CC+Sheet1!$14:$14 (Penjumlahan))
Proyeksi (Tahun)

Gambar 6. Hubungan Antara Proyeksi (Tahun) dan Perubahan Puncak


dan Volume Banjir untuk Berbagai Kondisi TGL dan Perubahan Iklim
(Climate Change, CC) Menggunakan Perubahan Hujan 120%/100 tahun

VI. KESIMPULAN
1. Metode perhitungan infiltrasi menggunakan Curve Number dapat
digunakan untuk Indonesia asalkan melalui tahap kalibrasi parameter
dengan rekonstitusi hidrograf banjir pengamatan dan perhitungan.
2. Di DAS K. Madiun ada trend yang cukup signifikan dari deret hujan
harian rata-rata maksimum tahunan yang mengindikasikan kenaikan curah
hujan ekstrim.
3. Perubahan banjir (selisih puncak dan volume banjir menggunakan Tata
Guna Lahan, TGL, 2008 dan TGL 1964 dibagi puncak dan volume banjir
menggunakan TGL 1964) dalam persen dijadikan dasar perhitungan
dengan TGL 1964 dijadikan base line untuk scenario lain. Skenario lain
juga telah dicoba disimulasikan termasuk RTRW kabupaten dan propinsi
dan menghasilkan perubahan banjir yang tidak terlalu berbeda dengan
kondisi eksisting TGL 2008.
4. Upaya pengurangan puncak dan volume banjir dilakukan melalui
penerapan teknik ramah lingkungan dan hasil simulasi yang
memperhitungkan penerapan tersebut menghasilkan penurunan banjir
yang cukup signifikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Brunengo M. et al., 1997, Module C-Hydrologic Change, Watershed
Analysis Appendices Version 4, hydrology.pdf.
2. Department of Defense, United of America, 2004, Unified Facilities
Criteria, Design : Low Impact Development Manual, UFC 3-210-10 25
October 2004.
3. Goetz, S., Wright, R., Smith, A., Zinecker, E., and Schaub, E. 2003.
IKONOS imagery for resource management: tree cover, impervious
surfaces, and riparian buffer analyses in the mid-Atlantic region.
Remote Sensing of Environment, 88, 195-208.
4. Howe C. et al., 2005, Implications of Potential Climate Change for
Melbourne’s Water Resources, A collaborative Project between
Melbourne Water and CSIRO Urban Water and Climate Impact Groups,
Doc: CMIT-2005-106.
5. IOWA Stormwater Management, 2008, 2C-8 Low Impact Development
(LID) Hydrology.
6. IPCC,AR-4 Chapter 1 : Assessment of Observed Changes and Responses
in Natural and Managed Systems, Working Group II, Assessment
Report 4.
7. Jacob, Daniel J et al., 2004, Radiative Forcing of Climate Change :
Expanding the Concept and Addressing Uncertainties, The National
Academies, http://www.nap.edu/catalog/11175.html
8. Natural Resources Conservation Services, 1986, TR -55 :Urban
Hydrology for Small Watershed, United State Department of Agriculture.
9. O‟Gorman, Paul and Tapio Schneider, 2009, The Physical Basis For
Increases In Precipitation Extremes In Simulations Of 21st-Century
Climate Change, PNAS _ September 1, 2009 _ vol. 106 _ no. 35 ,
www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0907610106
10. Puslitbang Air, 2009, Laporan Penelitian dan Pengembangan Sistim
Telemetri untuk Sumber Daya Air, Bandung.
11. P.T Studio Cilaki Empat Lima, 2009, Draft Laporan Akhir Peningkatan
Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo, Direktorat Jenderal Tata
Ruang.
12. Reznick, R., ,Low Impact Development Design, Michigan Department of
Environmental Quality, http://www.epa.gov/nps/lid/.
TINJAUAN BANJIR DAN KEKERINGAN DI JAWA TIMUR
AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Ir. Kusnaeni Dipl. HE


Kepala Piket Penanggulangan Bencana PU

I. PENDAHULUAN.
Kejadian bencana alam di dunia pada umumnya dan di Indonesia
khususnya mengalami kecenderungan ada perubahan daripada dasawarsa
dasawarsa sebelumnya. Secara geografis, wilayah Indonesia terletak didaerah
iklim tropis dan memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan
dengan ciri – ciri perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup extrim.
Kondisi ini dapat menimbulkan ancaman ancaman yang bersifat hidro
meteorologis seperti banjir dan kekeringan. Sebagian besar wilayah Indonesia
merupakan wilayah yang beresiko tinggi terhadap ancaman banjir dan beberapa
kota tertentu seperti Jakarta, Semarang, Banjarmasin, Samarinda secara historis
sering dilanda banjir, begitu pula daerah aliran sungai tertentu seperti sungai
Batanghari, sungai Musi, sungai Ciliwung ,sungai Bengawan Solo, sungai
Mahakam.
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas
normal, sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak anak
sungai alamiah serta sistem saluran drainasi, kanal penampung banjir buatan yang
ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga meluap. Perubahan
sistem pengaliran air menjadi lebih kecil akibat sedimantasi, penyempitan sumber
air akibat fenomena alam dan/atau ulah manusia, tersumbatnya aliran oleh sampah
serta hambatan aliran air lainnya merupakan kondisi yang menyebabkan
berkurangnya daya tampung pengaliran air dan ujung ujungnya air meluap
menjadi banjir. Penggundulan hutan didaerah hulu/daerah tangkapan air hujan
juga menjebabkan peningkatan debit banjir karena air hujan tidak sempat meresap
kedalam tanah, sebagaian besar mengalir dipermukaan tanah. Meningkatnya
pembangunan yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air juga
berkontribusi pada meningkatnya debit banjir.
Ancaman alamiah yang bersifat hidro-meteorologis lain yang sering
menimpa Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya adalah
kekeringan, yang diartikan sebagai berkurangnya persediaan air sampai dibawah
normal yang bersifat sementara, baik diatmosfir, dipermukaan tanah maupun
dibawah tanah. Penyebab kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang turun
dalam periode yang lama, disebabkan oleh interaksi atmosfir, laut akibat dari
ketidakteraturan suhu air laut permukaan seperti timbulnya fenomena El Nino dan
La Nina. Kekeringan mengakibatkan kondisi yang serius terhadap kebutuhan air
bagi manusia, bagi pola tanam, pola pengairan, pola pengoperasian irigasi serta
pengelolaan sumber daya air. Ancaman bencana banjir dan kekeringan ini
provinsi Jawa Timur termasuk provinsi yang sering/beberapa kali/cukup banyak
mengalami bencana banjir dan kekeringan.

II. PERMASALAHAN.
Bencana alam di Indonesia sangat terasa dari tahun ketahun meningkat
frekuensinya dan skala besarannya makin tinggi/besar. Disamping itu kondisi
makin berkurangnya tutupan lahan sehingga dalam Undang Undang Tata Ruang
No. 26 tahun 2007 mencantumkan persyaratan wajib bahwa luas hutan sebesar 30
%. Banyak derah yang sudah kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Khusus di Provinsi Jawa Timur kejadian banjir sudah meluas lokasi, frekuensi dan
besarannya, demikian pula kondisi kekeringan. Hal ini apakah tutupan lahan
masih memenuhi kondisi seperti apa yang dipersyaratkan dalam Undang Undang
Tata Ruang No. 26 tahun 2007? Tantangan yang berat untuk memenuhi.

III. METODOLOGI.
Sejak tahun 2006 dilakukan pencatatan kejadian bencana di Indonesia
meliputi bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, putting beliung, gelombang
pasang, dan kegunungapian. Dari catatan tersebut sampai tahun bulan Februari
2010 diamati dan dievaluasi kejadian banjir, tanah longsor, angin puting beliung,
dan kejadian kekeringan diprovinsi Jawa Timur.
Dalam menelusuri kejadian banjir dan kekeringan di Jawa Timur dipakai
data data yang dicatat pada kurun waktu 2007 sampai dengan 2010 untuk data
harian kejadian, laporan mingguan, laporan bulanan, dan laporan tahunan pada
posko penanggulangan bencana PU Pusat Jakarta. Evaluasi kejadian dilakukan
dengan menggunakan perbandingan kejadian banjir dengan segala dampak yang
ditimbulkan akibat hujan yang sangat deras menimbulkan erosi, tanah longsor dan
bahkan terjadi fenomena angin puting beliung pada saat musim peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau. Pada saat musim kemarau ditinjau simpanan air
di sumber air yang ada seperti diwaduk, dibendungan dan diembung embung yang
ada. Analisis yang dilakukan memperlihatkan peningkatan kejadian dan
peningkatan sebaran kejadian diprovinsi Jawa Timur dan perbandingan data
ketersediaan air untuk musim kemarau antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
TImur.
Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan kita lihat analisa
Badan Meteorologi, klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan data prakiraan
kejadian banjir dan kekeringan dibuku “Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010 – 2014“ yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Demikian juga data prakiraan resiko gerakan tanah dalam kurun waktu 5
tahun mendatang, dan prakiraan lokasi kejadian yang berpotensi terjadi tanah
longsor serta lokasi yang berpotensi terjadi angin puting beliung.
IV. ANALISA.
Indonesia yang terletak di 95 derajat bujur timur sampai di 141 derajat
bujur timur dan di 6 derajat lintang utara sampai di 11 derajat lintang selatan
merupakan suatu negara yang sangat luas, apalagi posisi Indonesia sangat strategi,
berada diantara benua Asia dan benua Australia serta berada diantara dua
samodera yaitu samudera India dan samudra Pasifik adalah rentan terhadap
perubahan iklim global. Dengan posisi disepanjang garis katulistiwa maka
kondisi musim hujan dan musim kemarau dipengaruhi pula oleh 4 karakter
pengaruh iklim yang disebut; karakter pengaruh iklim monsoon, karakter
pengaruh iklim nina yang berpusat disamudra Pasifik, karakter pengaruh iklim
arus panas muka air laut dan karakter pengaruh iklim dipole yang titik pusat
dibenua Afrika Timur sampai pesisir barat pulau Sumatera. Dengan menyadari
bahwa ke empat karakter yang tersebut tadi keterkaitanya satu sama lain harus
diperhitungkan secara cermat, sehingga dapat menghasilkan prakiraan iklim tidak
jauh dari apa yang terjadi.
Dari adanya 4 karakter pengaruh iklim tersebut diatas juga tidak lepas dari 3
faktor perubahan iklim yang terjadi secara global pada bumi secara keseluruhan.
Faktor perubahan iklim terdiri dari;
1. Faktor variasi kejadian iklim bumi berupa mencairnya es dikutup, perubahan
arus panas/dingin air lautan, karakter/sifat iklim (musim basah / kering)
2. Faktor pengaruh luar seperti efek rumah kaca (CO2), gerakan lempeng bumi,
variasi lapisan solar, variasi orbit bumi, letusan gunung api.
3. Faktor pengaruh ulah manusia misalnya pembakaran gas bumi, pabrik semen,
pola penggarapan lahan, dan pola hidup.
Dari kondisi karakter dan faktor yang menyebabkan perubahan iklim global diatas
wilayah Indonesia tersebut maka terasa pada 5 tahun terakhir ini makin
meningkat. Pada tahun 2006 di Indonesia masih tidak banyak jumlah kejadian
bencana banjir dan kekeringan, tetapi dari tahun ke tahun sampai tahun 2010
makin banyak kejadiannya seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Kejadian bencana banjir dari bulan November sampai Maret


SEBARAN KEJADIAN BENCANA BANJIR SEBARAN KEJADIAN BENCANA BANJIR
PERIODE 01 NOVEMBER 2006 – 31 MARET 2007 PERIODE 01 NOVEMBER 2007 – 31 MARET 2008
L a u t C i n a S e l a t a n KAB. TERNATE
U
KAB. MAMUJU UTARA

KAB. MAMUJU 2X
L a u t C i n a S e l a t a n
U KAB. SAMARINDA KAB. BUOL
KAB. BALIKPAPAN KAB. BARRU
KAB. BANDA ACEH

KAB. BENER MERIAH KAB. ACEH BESAR KAB. TOJO UNA-UNA


KAB. ACEH BARAT KAB. MEDAN KAB. PALU
KAB. SAMBAS
BANDA ACEH KAB. ACEH SINGKIL KAB. PADANG LAWAS KAB. TOJO UNA-UNA
KOTA PEKANBARU 3X G. KARANGETANG
KAB. GORONTALO
KAB. SANGIHE Sa mude r a P as I fIk
BANDA ACEH ROKAN HULU/HILIR
KAB. ROKAN HULU G. KARANGETANG
KAB. ROKAN HILIR KAB. SANGIHE Sa mude r a P as I fIk KAW.KAMPAR
KAB. HULU SUNGAI UTARA KAB. ACEH UTARA MEDA KAB. PALANGKARAYA 2X
KAB. PEKANBARU KUANTAN SINGINGI
KAB. GAYO LUES KAB. HULU SUNGAI SELATAN KAB. ACEH TENGGARA N
KAB. PONTIANAK 2X
MEDA KAB. KAMPAR
KAB. PIDHIE P.SEMEUL
MANDAILING NATAL
N KAB. INDRAGIRI HULU
KAB.MANADO UE KOTA BATAM
KAB. BIRUEN P.SEMEU KAB. LABUHAN BATU
KAB. PALAWAN KAB.GORONTALO
LHOKSEUMAWE LUE MANAD
KAB. KUANSING KAB. TAPANULI
KAB. ACEH UTARA KAB. PERIGI GUNUNG KOTA KAMPAR SAMARIND O
KAB. INDRAGIRI HILIR MANAD KAB. TEBING TINGGI SITOLI A
KAB.ACEH TAMIANG GUNUNG SAMARIND O KAB. MINAHASA DUMAI KOTA SOROLANGUN 2X
SITOLI KAB. PONTIANAK A KAB. DELI SERDANG BATAM
DUMA KAB. AMBON KAB. JAYAPURA PEKAN KOTA JAMBI GORONTALO TERNA
KAB. ACEH TIMUR
PEKAN
I BATAM TERN KAB. TEBING TINGGI 2X BARU TE
KAB. LANGKAT GORONTALO KAB. KEROOM KAB. OKU PONTIANAK
BARU PONTIANA ATE KAB. LANGKAT 2X PADA
KAB. POSO KAW. KERINCI
PADA K NG PALU
PALU KAB.DELI SERDANG PALANGKA
KAB. MEDAN NG
PALANGKA RAYA
KAB.SIMALUNGUN
KAB. PANGKALPINANG RAYA JAMBI
JAMBI
KAB. PADANG PARIAMAN KOTA. PALEMBANG KAB. PADANG 2x JAYAPURA
JAYAPURA PALEMBA
PALEMBA MAMUJU SORONG
KAB. PESISIR MAMUJU SORONG KAB. RIAU NG PALANGKA RAYA
NG PALANGKA BANGKA
SELATAN BANGKA KAB. SURABAYA KAB. OKU BANJARM
KAB. PADANG RAYA
BANJARM KAB. BANJAR ASIN
KAB. LAMONGAN ASIN KAB. INDRAGIRI HULU BENGKULU KAW. HULU SUNGAI SEL
BENGKUL KEND KEND
KAB. TUBAN AMB AMB
U c ARI KAB. BENGKULU 2X KAW. TAPIN ARI
KAB. PESISIR KAB. POLEWALI ON ON
KAB. PONOROGO KAB. ENGREKAN
SELATAN KAB. PINRANG KAB. MUARA ENIM KAW. BANJAR BARU
KAB. NGAWI MAKAS KAB. BANJAR 5X MAKAS
KAB. TANAH LAUT KAB. KENDARI
KAB. BENGKULU AR AR
BANDARLAM KAB. PATI SELATAN KAB. BALANGAN
KAB. BANJARMASIN BANDARLAM KAB. GRESIK
PUNG JAKART
KAB. SRAGEN PUNG JAKART
KAB. PALANGKARAYA KAB. KOALA Laut Banda
SERANG A KAB. UJUNG KULON SERANG A KAB. SAMPANG Laut Banda
KAB. JAMBI SEMARANG KAB. FLORES KOTA JENEPONTO
BANDUNG KAB. GOWA BANDUNG SEMARANG KAB. MOJOKERTO
KAB. LAHAT KAB. PASURUAN KAB. PANDEGLANG KOTA MAKASAR 2X
KAB. LEBAK SURABAYA KAB.TTS KAB. POLEWALI-MANDAR
KAB. PAMEKASAN KAB. BANTEN 2x SURABAYA KAB. MAROS
KAB. PANDEGLANG MATARAM KAB. DOMPU
YOGYAKART Laut Arafuru KOTA TANGGERANG 2x MATARAM
KAB. TANGGERANG A KAB. PANDEGLANG 2X YOGYAKART Laut Arafuru
DENPASAR KAB. SUKABUMI 2X A
KAB. BEKASI
KAB. JEMBER DENPASAR
KAB. JAKARTA KAB. BELU KOTA JAKARTA BARAT KAW. JAWA TIMUR
KAB. SAMPANG
KAB. LUMAJANG KAB. KUPANG KOTA JAKARTA UTARA 3X KAW. NGANJUK 3X
KAB. SUKABUMI KAB. GRESIK
Laut Tim or KUPANG
KAB. ENDEH KETERANGAN KOTA JAKARTA PUSAT KAW. KEDIRI 2X
Laut Tim or KUPANG
KAB. BANDUNG KOTA JAKARTA SLTN 4X KOTA. SURABAYA 2X
Sa mude r a I ndone s ia KAB. KARAWANG
KAB. JOMBANG
KAB. MALANG
KAB. MANGGARAI : Banjir Sa mude r a I ndone s ia
KAW. TUBAN KAW. BELU
KOTA JAKARTA TIMUR 2X 2X
KAB. SUBANG
KAB. MOJOKERTO KAB. DEMPASAR
KOTA BOGOR
KAW. JEMBER 5X KAB. TTU KETERANGAN :
KAB. BOJONEGORO KAB. SIDOARJO KAB. TTS
KOTA DEPOK KAB. PATI
KAB BEKASI
KAB. KEDIRI
KAB. NGANJUK KAB CIANJUR 2X
KAB. PASURUAN 3X Banjir
KAB. INDRAMAYU KAB. LAMONGAN 5X
KAB.MADIUN KAB. BANDUNG 4X KAB. MALANG 2X
KAB. MAGETAN
KAB. TUBAN
KAB. BREBES KAB. KUDUS KAB INDRAMAYU 2x
KAB TASIKMALAYA KAB. PONOROGO 5x
KAB. TEGAL KAB. SOLO
KAB. MADIUN 5X

KAB. CILACAP KAB. SEMARANG KAB CIAMIS


KAW.BOGOR KAB. PACITAN

KAB. SLEMAN PETA INDONESIA KAW SUKMAJAYA DEPOK


KAB. BOJONEGORO
PETA INDONESIA
KAB. PURBABINGGA KAB. JOMBANG
KAB. MAGELANG DAERAH SEBARAN BENCANA KAW . DEPOK
DAERAH SEBARAN BENCANA BANJIR
KAB CILACAP
Status : s/d 31 Maret 2007 KAB CEPU
PULAU BAWEAN
Status : 01 NOVEMBER 2007 - 31 MARET 2008
KAB.WONOSOBO KAW SRAGEN
KOTA. BOYOLALI
KAW DEMAK 2X
Gambaran terhadap kejadian bencana di Indonesia sebaran banjir dan
tanah longsor pada bulan Maret 2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Maret 2010
No. Provinsi Yg Kena Bencana banjir Tanah Longsor
1. Sumatera utara - 2
2. Sumatera Barat 4 3
3. Jambi 8 1
4. Sumatera selatan 2 -
5. Bangka Belitung 1 -
6. Banten 9 -
7. DKI Jakarta 2 -
8. Jawa Barat 17 3
9 Jawa Tengah 9 1
10. D.I Yogyakarta 1
11. Jawa Timur 18 4
12. Kalimantan Timur 1 -
13, Kalimantan Selatan 9 -
14. N.T.T 2 -
15. Sulawesi Selatan 3 1
16. Sulawesi Tengah 3 -
17. Sulawesi tenggara 1 -
18. Maluku 1 -
19. Maluku Utara - 1
20 Papua Barat 1 -
21 Papua 1 -

Data kejadian bencana di Provinsi Jawa Timur yang dimonitor adalah dari
jenis bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, dan
kekeringan.
Kejadian bencana pada bulan November, Desember, Januari, Februari,
Maret, April sampai Mei tahun 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010
dapat dilihat pada tabel dibawah ini;

No Jenis bencana 2006, 2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 Ket


1 Banjir 61 98 107 83
2 Banjir bandang 04 03 04 04
3 Tanah longsor 09 38 17 31
4 Angin Pt. beliung 21 36 26 44
Jumlah 95 185 143 162

Berdasarkan sebaran zona resiko tinggi yang dispasialkan dalam indeks


risiko bencana di provinsi Jawa Timur rencana penanggulangan bencana dalam 5
(lima) tahun mendatang (2010 – 2014)diarahkan pada wilayah berikut;
1. Risiko banjir diarahkan pada wilayah berikut; Bangkalan, Banyuwangi,
Bojonegoro, Gresik, Jombang, Kodya Pasuruan, Kota Mojokerto, Kota
Surabaya, Lamongan, Lumajang, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo,
Situbondo, Tuban.
2. Risiko kekeringan diarahkan pada wilayah berikut; Bojonegoro, Jombang
Kediri, Kota Kediri, Kota Madiun, Kota Malang, Madiun, Magetan, Nganjuk,
Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sumenep,
Trenggalek, Tuban, Tulungagung.
3. Risiko gerakan tanah diarahkan pada wilayah berikut; Kota Batu, Pacitan,
Pasuruan, Probolinggo, Sumenep, Trenggalek.
(Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014.)

Fenomena El Nino 2009 – 2010 baru saja menghilang sekitar Februari


2010 dan diperkirakan mulai Mei 2010 dapat diketahui berubah menuju La Nina.
Perubahan sangat cepat ini tergolong ekstrim karena lazimnya terjadi pada periode
2 – 6 tahun. Kepala Pusat Perubahan iklim dan Kualitas Udara Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bpk Edwin Aldrian pada hari
Jum‟at 09 – April – 2010 di Jakarta kemarin mengatakan bahwa perubahan yang
sangat cepat ini sebagai dampak pemanasan global.
Fenomena La Nina bagi wilayah Indonesia umumnya mendatangkan
intensitas hujan lebih tinggi dibanding pola normal dan potensi banjir meningkat.
Fenomena La Nina ini diperkirakan paling berdampak pada November atau
Desember 2010, sehingga musim hujan 2010 – 2011 bulan Februari, Maret 2011
diperkirakan dengan kondisi normal. Analisis terhadap penyebab intensitas hujan
deras itu dipengaruhi gangguan gelombang atmosfer periode 5 – 6 hari, dengan
suhu lebih cepat meningkat dari biasanya sehingga akumulasi penguapan air lebih
banyak yang mengakibatkan pembentukan awan yang mendatangkan hujan deras.
Sehingga upaya mitigasi guna penanggulangan bencana banjir maupun tanah
longsor dapat segera ditingkatkan.
Tampungan air di bendungan2 yang ada dipulau Jawa dengan perhitungan
volume air pada kapasitas tampungan normal pada laporan per tanggal 10 – Mei –
2010 , tampungan air di Jawa Timur adalah pada posisi yang paling sedikit.

Jumlah air waduk di 1. Jawa Timur 468,59 juta m3


2. Jawa Tengah 1.212,16 juta m3
3. Jawa Barat 2.619,77 juta m3
2619.77
2800
2600
2400
2200
2000
Per juta m3

1800
1600 1212.16
1400
1200
1000
800 468.59
600
400
200
0
Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat
PROVINSI
MONITORING KONDISI MUKA AIR WADUK
Periode : 10 Mei 2010
Elevasi & Volume Elevasi
Normal Ket.
Siaga Kondisi
No Nama Waduk (Instansi
Elevasi Volume Kekeringan Waduk
Pengirim)
(m) (Juta m3) (m)
1 2 3 4 5 6 7
JAWA TIMUR
1 Sutami - Lahor 272.20 170.63 246.00 Normal

- Sutami 272.20 145.97 246.00 Normal


PJT I
- Lahor 272.40 24.65 253.00 Normal
Malang
2 Selorejo 621.62 36.53 598.00 Normal

3 Bening 105.24 13.37 96.40 Normal

4 Wonorejo 182.10 95.75 141.00 Normal


5 Pacal, Bojonegoro 115.50 24.47 102.00 Normal
6 Prijetan, Lamongan 48.29 7.57 40.20 Normal
Gondang, Sub Din
7 37.91 23.26 29.40 Normal
Lamongan OP
DPU
8 Ngebel, Ponorogo 16.80 23.93 2.50 Normal
Pengairan
Prop. Jawa
9 Sarangan 14.50 3.08 3.00 Normal
Timur
10 Pondok, Ngawi 106.32 24.89 94.00 Normal
11 Notopuro, Madiun 6.75 1.66 - Normal
12 Saradan, Madiun 8.16 2.20 - Normal
13 Dawuhan, Madiun 8.90 5.06 - Normal
Kedungbendo,
14 11.84 2.35 - Normal
Ngawi
15 Ranu Pakis 1.24 0.50 - Normal
16 Ranu Klakah 4.03 1.61 - Normal
17 Klampis 31.83 7.25 27.50 Normal

Sumber : Dit. BPSDA


Keterangan :
- : Tidak
Kolom (6) : Tingkat Kekritisan
Kondisi Normal : elevasi aktual > elevasi normal
Kondisi Waspada : elevasi normal > elevasi aktual > elevasi siaga kekeringan
Kondisi Kering : elevasi aktual < elevasi siaga kekeringan
Persediaan air guna pelayanan pada musim kemarau diprovinsi Jawa
Timur berada diwaduk pada sungai Brantas dan pada sungai Bengawan Solo. Data
pada buku Bendungan Besar di Indonesia dan buku Monitoring Kondisi Muka Air
Waduk dari Direktotar PPSDA PU ada 17 buah waduk/ bendungan 468,59 m3
berhubung ada pengendapan sedimen karena peningkatan erosi pada setiap musim
hujan maka persediaan air saat kini volume tampungan bendungan/waduk tersebut
berkurang banyak, tidak sesuai dengan perkiraan pada saat perencanaannya
dahulu.
Dari pencatan bencana kekeringan secara spisifik di Provinsi Jawa Timur
tercatat pada tahun 2008 dan taghun 2009, berturut turut ada 37 lokasi/kejadian
ditahun 2008 dan 18 lokasi/kejadian ditahun 2009. Dari kenyataan ini terasa
bahwa dari tahun kering tahun 2006 berlanjut ketahun basah terjadi penurunan
kejadian kekeringan.Sampai tahun 2010 ini BMKG menyatakan sudah ada
kenampakan La Nina sehingga musim kemarau tahun 2010 ini akan berlangsung
pendek, dan tidak boleh lupa akan persiapan menghadapi kondisi banjir

V. KESIMPULAN.
Untuk mengatasi prakiraan kejadian bencana banjir di Jawa Timur perlu
segera dilakukan mitigasi dan diteruskan dengan perbaikan yang diperlukan guna
meminimalisasi kerugian terhadap bencana. Rehabilitasi terhadap kerusakan
kerusakan yang terjadi pada bencana yang telah lalu, dan melakukan pemeliharaan
saran dan prasarana yang sudah ada dapat dilakukan dengan segera akan
mendapat perhatian serius sehingga predikat provinsi Jawa timur sebagai food
security province yang nomor 4 dapat dipertahankan.
Sehubungan dengan banyaknya daerah yang tutupan lahannya kurang dari
30 % diperlukan usaha konservasi dengan menjalin koordinasi antar sektor yang
efektif serta tidak lupa meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga
lingkungan serta memelihara hutan didaerah hulu baik pada hutan budidaya
maupun pada hutan rakyat itu sendiri. Pada hutan lindung peran pemerintah
sangat diharapkan untuk kegiatan konservasi dan menjaga jangan sampai ada
pembalakan liar sehingga hutan lindung merupakan soko guru dari pada
pemeliharaan hutan konservasi.
Mengenai pendanaan dapat dilakukan usaha gotong royong dalam
penyediaannya. Dari pemerintah pusat dalam APBN, dari daerah dalam APBD,
dari BUMN dalam CSR, dari pengusah dan dari dana lainnya yang dapat
dimobilisir.
Dalam penanganan bencana alam ditingkat Nasional sudah dibentuk
“Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)”, untuk bencana yang tidak
dalam kondisi bencana nasional maka BNPB bersifat koordinatif. Untuk
mendukung BNPB tersebut dalam meningkatkan penanganan bencana terutama
yang menyangkut bidang Pekerjaan Umum maka perlu didibentuk Satgas
Penanggulangan Bencana Dinas PU atau Dnas Kimpraswil Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota guna membantu/memperlancar sisitem pelaporan dan
penanganan yang bersifat mendesak.
Pada kesempatan ini perlu diingatkan sekali lagi bahwa tahun 2010 ini
agar Jawa Timur bersiap diri untuk menghadapi musim hujan yang lebih lama dari
tahun tahun sebelumnya, terutama pada bencana banjir dan tanah longsor.

REFERENSI :
1. Laporan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan posko penanggulangan
bencana PU.
2. UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggylangan Bencana.
3. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014.
4. Laporan BMKG harian, bulanan, tahunan.
5. Buku waduk : Bendungan Besar di Indonesia.
6. Monitoring Kondisi Muka Air Waduk dari Direktotar PPSDA PU.

Anda mungkin juga menyukai