Fabian Priandani
Dit. Irigasi, Ditjen. Sumber Daya Air
Abstrak
Banjir telah menjadi tantangan bagi banyak kota di Indonesia. Tidak hanya
karena frekuensinya yang relatif sering, namun juga karena dampaknya yang luas baik
dari segi fisik maupun segi finansial. Untuk menciptakan kota yang adaptif terhadap
banjir, menurut Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
adalah dengan cara pencegahan sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana,
dan pemulihan akibat bencana. Pencegahan sebagaimana dimaksud disini dilakukan,
baik melalui kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan pencegahan banjir
dalam kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Dalam kaitan tersebut, diperlukan sebuah “tool” yang
dapat digunakan untuk mensimulasi penyebaran banjir di daerah perkotaan, dan
sekaligus mampu menghasilkan estimasi kerugian dampak bencana tersebut agar
selanjutnya dapat juga bermanfaat dalam pengalokasian dana penanggulangan bencana
alam.
Salah satu alat yang dapat digunakan adalah algorithmic framework yang
mengintegrasikan unit damage model, dengan output flood hazard map, dan
mengorelasian antara banjir dan ekonomi. Perhitungan dampak kerugian ekonomis
banjir dalam framework diperoleh dari database ratio kemungkinan dampak banjir dari
setiap jenis properti terhadap lama genangan banjir.
I. LATAR BELAKANG
Bencana banjir menimbulkan dampak yang luas, baik dari segi kerusakan
fisik maupun kerugian finansial yang besar. Menurut Konig et al. (2002)
kerusakan yang diakibatkan oleh banjir diperkotaan dibagi menjadi tiga kategori
yaitu (1) kerusakan langsung (direct damage) diakibatkan oleh air atau aliran air,
(2) kerusakan tidak langsung (indirect damage), contohnya: kemacetan lalu lintas,
administrative dan biaya pegawai, kehilangan produksi, dan penyebaran wabah
penyakit, dan (3) dampak negatif jangka panjang pada masyarakat, contohnya:
terhambatnya pembangunan ekonomi. Selain itu, kerusakan akibat banjir juga
dapat diklasifikasikan sebagai dampak „tangible‟ dan „intangible‟. Kerusakan
tangible adalah kerusakan yang dapat dengan mudah dikalkulasi secara moneter,
contohnya kerusakan asset, kehilangan produksi, dan lain-lain. Kerusakan
intangible adalah kerusakan yang tidak dapat dengan mudah dikalkulasi secara
moneter dan sering kali terlupakan, contohnya adalah kematian, dampak terhadap
kesehatan, perasaan tidak nyaman dan trauma, dan sebagainya (Smith and Ward,
1998). Gambar berikut memberikan ilustrasi bagaimana kerusakan intangible
berkaitan dengan kerugian ekonomis:
Menurut Dutta and Herath (2001), terdapat dua metode untuk menghitung
kerugian dampak banjir. Yang pertama adalah dengan survey terhadap Orang
Terkena Dampak (OTD) dan evaluasi terhadap property yang rusak. Kedua adalah
dengan stage-damage functions, dimana kerugian akibat banjir dibedakan
berdasarkan perbedaan jenis properti dan lamanya genangan banjir. Pemetaan
fungsi ini diperoleh dari analisa data historis banijr atau melalui deskripsi analitis
dampak banjir dari berbagai jenis properti yang pada akhirnya dapat
menghasilkan ratio kemungkinan kerusakan terhadap durasi lamanya genangan
banjir.
Permasalahan yang ditimbulkan akibat banjir semakin hari semakin
meningkat, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti contohnya alih
fungsi lahan di daerah resapan atau dataran tinggi, urbanisasi di daerah tangkapan
banjir, perumahan yang tidak teratur/liar dan konstruksi dibawah standar, dan
meningkatnya jumlah rumah penduduk (Munich Re., 2002; Pelling, 2003).
Bencana ini merupakan salah satu ancaman utama bagi kota-kota di
Indonesia, misalnya kejadian banjir pada awal Februari tahun 2007 di kota Jakarta
yang berdasarkan data pemerintah telah merugikan sekitar 8.6 triliun rupiah
(www.detik.com). Karenanya, salah satu tantangan Penataan Ruang Nasional
adalah mengupayakan terciptanya kondisi kota yang adaptif terhadap bencana
banjir.
Salah satu strategi adaptasi dalam mendukung kebijakan-kebijakan
lingkungan tata ruang adalah pengembangan zona regulasi sebagai alat dalam
mengelola pendayagunaan ruang dalam resiko area-area tinggi, menengah, dan
rendah, seperti contohnya banjir, dan menurut menurut Undang Undang RI
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah dengan cara pencegahan
sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana, dan pemulihan akibat
bencana. Pencegahan sebagaimana dimaksud disini dilakukan, baik melalui
kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan pencegahan banjir dalam
kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Untuk itulah diperlukan sebuah “tool” yang dapat
digunakan untuk mensimulasi penyebaran banjir di daerah perkotaan, dan
sekaligus mampu menghasilkan estimasi kerugian dampak bencana tersebut agar
selanjutnya dapat juga bermanfaat dalam pengalokasian dana penanggulangan
bencana alam.
II. “TOOL”
“Tool” atau alat yang dijabarkan dalam makalah ini merupakan integrasi
framework yang dapat digunakan untuk memprediksi daerah yang berpotensi
banjir, dan sekaligus menghitung dampak kerugiannya, seperti tampak dalam
diagram berikut ini:
Simulation Models
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, langkah awal dari framework
terintegrasi ini adalah penentuan resiko daerah berpotensi banjir, yang terilustrasi
dalam sebuah flood hazard map.
Dalam melakukan evaluasi guna mengetahui kedalaman dan kecepatan
banjir, simulasi hydrodynamic modeling dilakukan. Hasil dari 1D harus
dipresentasikan dalam peta GIS untuk mendapatkan perluasan banjir dalam
bentuk 2D. Untuk 1D dalam case study ini menggunakan MOUSE modeling dan
2D menggunakan MIKE 21. Pada gambar 7 memperlihatkan proses simulasi
model.
Pembangunan Framework
Dalam pembangunan framework perhitungan dampak kerusakan, banyak
faktor yang harus dipertimbangkan agar analisa kerusakan ini detil dan akurat.
Sebagai contoh, dalam mengkalkulasi dampak banjir terhadap kerusakan sebuah
bangunan. Tidak cukup jika hanya ada informasi mengenai ukuran atau luas
bangunan. Namun lebih jauh, harus ada informasi mengenai jenis bangunan dan
material bangunan.
Tidak kalah penting, diperlukan juga informasi mengenai isi bangunan.
Untuk bangunan residential, isi bangunan dibedakan berdasarkan perbedaan level
sosial ekonomi, yang meliputi level rendah, menengah, dan tinggi. Sedangkan
untuk property dan stock dari bangunan non-residential dibedakan menjadi
beberapa kategori dan memperhitungkan jumlah pekerjanya.
Selain itu, kedalaman banjir untuk semua perhitungan banjir harus
memperhitungkan tinggi dari ground level dan 1st floor level.
Untuk pembangunan perhitungan kerusakan terhadap bangunan, macam-
macam material, dan estimasi kedalaman banjir dapat dilihat pada gambar 6.
IV. KESIMPULAN
Untuk membangun sebuah kota yang adaptif terhadap bencana banjir,
harus ada perencanaan tata ruang yang tersistem dengan baik dan pencegahan
sebelum bencana, penanggulangan pada saat bencana, dan pemulihan akibat
bencana, baik melalui kegiatan fisik dan/atau non-fisik. Untuk menerapkan
pencegahan banjir dalam kaitannya dengan kegiatan non fisik dilakukan melalui
pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Dengan adanya
gambaran mengenai potensi area yang rawan terhadap banjir serta kemungkinan
kerugian finansialnya, pemerintah memiliki acuan untuk menetapkan kebijakan
yang terkait dengan penyusunan rencana tata ruang sebuah kota, dan
mengalokasikan dana penanggulan bencana banjir secara lebih optimal.
Algorithmic framework yang dijabarkan dalam makalah ini dapat
„meramalkan‟ potensi banjir (dalam bentuk simulasi flood hazard map) dan
berapa kerugian yang mungkin timbul akibat bencana tersebut (meliputi kerugian
langsung dan tidak langsung, serta tangible dan intangible). Namun, framework
ini membutuhkan data pendukung seperti peta dan database vulnerabilities yang
lengkap agar dapat digunakan secara optimal.
Selain oleh pemerintah, framework ini juga dapat dimanfaatkan oleh pihak
swasta, seperti contohnya investor dan perusahaan asuransi dalam menentukan
studi awal investasi dan estimasi dampak kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Deadman-Cardwell. (2003). Section 9: Benefit cost analysis. Retrieved February
2008.
www.lincoln.ne.gove/city/pworks/watrshed/mplan/dmr/pdf/section/pdf.
Dutta, D. and Herath, S. (2001). GIS Based Flood Loss Estimation Modelling in
Japan. Proceeding of the US-Japan 1st Workshop on Comparative Study on
Urban Disaster Management, Port Island, Kobe, Japan, pp 151 – 161,
February.
Dutta, D., Herath, S. and Musike, K. (2003).A Mathematical Model for Flood
Loss Estimation. Journal on Hydrology, Elsevier Science, Volume 277, pp.
24 – 49.
Ediriweera, J. C. W. (2007). A GIS-based Framework for Urban Flood Modeling
Disaster Management, MSc Thesis (WSE-HI.07.02).UNESCO-IHE,
Institute for Water Education, Delft.
Islam, M. M. and Sado, K. (2002). Development Priority Map for Flood
Countermeasures by Remote Sensing Data with Geographic Information
System. JOURNAL OF HYDROLOGIC ENGINEERING, Vol: 7 (5), pp.
346-355.
Konig, A., Saegerov, S., Schilling, W. (2002).Damage Assesment for Urban
Flooding, Ninth International Conference on Urban Drainage, Portland.
Mahamud, A. (2006). Action plan toward effective flood hazard mapping in my
country in Malaysia (concluding report).Hydrology and Water Resources
Division Department of Irrigation and Drainage Malaysia.
Munich Reinsurance. (2002). Topics: Annual review: Natural Catastrophes 2002.
Munich Reinsurance. 52 p.
Pelling, M. (2003). The Vulnerability of Cities. Natural Disasters and Social
Resilience. Earthscan Publications Ltd. London, UK. P. 184.
Smith, D.I., Greenaway, M. (1998). The Computer Assesment of Urban Flood
Damage: ANUFLOOD, Technical Report, Desktop Planning, Melbourne,
Hargreen, Australia.
USACE (1998). Flood Proofing Performance: Successes & Failures, USACE
(United States Army Corps of Engineers). National Flood Proofing
Committee, Washington, D. C.
BANJIR, KEKERINGAN, DAN HUTAN
R. Zainuddin
Pemerhati air, Masyarakat Peduli Air
Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional
rzain@yahoo.com
Intisari
I. PEMBAHASAN
Setiap kali terjadi banjir, yang tidak bisa dilepas dengan kejadian
kekeringan pada musim sebelum dan/atau berikutnya, selalu dihubungkan dengan
kerusakan hutan, meskipun kadang ada yang mengatakan, sesuai kepentingannya,
bahwa penyebabnya adalah hujan lebat, sedangkan di perkotaan yang disalahkan
masyarakat yang membuang sampah ke kali.
Hujan lebat sudah terjadi sejak dahulu kala tetapi banjir besar baru
menjadi akhir-akhir ini ketika hutan ditebang tidak terkendali untuk pembangunan
dan pemukiman. Sampah di perkotaan tidak mungkin dikelola perorangan
melainkan harus dikumpulkan dari rumah ke rumah untuk dibawa ke tempat
pembuangan akhir (TPA) melalui atau tidak tempat pembuangan sementara (TPS)
oleh institusi pelayanan dari Pemerintah Daerah, kalau tidak syah-syah saja
masyarakat membuang sampahnya ke kali.
Kerusakan menyebabkan daya resap hutan berkurang, akibatnya aliran
permukaan bertambah, menyebabkan debit banjir bertambah besar, sedangkan
daya resap berkurang sehingga berkurang pula pengisian air tanah yang
sebahagian akan keluar mengisi debit sungai pada musim kemarau atau sering
dikatakan debit maximum bertambah besar dan debit minimum bertambah kecil
atau perbandingan antara keduanya makin besar. Kalau hutan terpelihara debit
puncak sungai atau debit banjir tidak akan terlalu besar dan sungai-sungai tidak
akan kering di musim kemarau seperti di pulau Jawa dan bahkan di pulau-pulau
lainnya. Kerusakan hutan juga menyebabkan tanah longsor, yang kadang
merenggut jiwa manusia, dan selanjutnya menurunkan kualitas air.
Gambar 1.
Air hujan yang jatuh di daunan di atas pepohonan mengalir pelan melalui
ranting, cabang, pohon lalu meresap ke dalam tanah , atau jatuh ke semak-semak
di bawah pohon atau jatuh ke serasah, serasah adalah guguran segala batang,
cabang, daun, ranting, bunga dan buah. Air kemudian meresap mengisi ruang
kosong atau void yang terbentuk oleh adanya rangkaian akar sedalam kira-kira
sedalam akar pohon di hutan yang bisa sampai 30 meter atau lebih tergantung
jenis pohon yang membentuk hutan. Ruang void ini membentuk “waduk bawah
tanah” seluas areal hutan yang diisi air resapan yang selanjutnya mengalir ke
lapisan tanah aquifer yang terbentuk sampai ke pantai, air tanah ini sebagian akan
keluar sebagai mata air atau keluar menjadi debit kemarau sungai. (Gambar 2)
Gambar 4. Hutan
Gambar 5. Hutan tropis
DAFTAR PUSTAKA
http://www.dbriptek.lipi.go.id/cgi/penjaga.cgi?tampildetil&publikasi&111994092
0&99
http://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_primer
http://www.perumperhutani.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Forest
Katrien Descheemaeker, Jan Nyssen, Soil and water conservation through forest
restoration in exclosures of the Tigray highlands,Journal of Drylans 1(2);
118-133, 2006
Nigel Duley and Sue Stolton, The role of forest protected areas in supplying
drinking water to the world‟s biggest cities, 2005
Rancangan Kebijakan Nasional SDA, Sekreariat Dewan SDA, 2010
UU No 41 Tahun 2009 Tentang Kehutanan
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Penataan Ruang
Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air
Masih Adakah Sisa Hutan di Indonesia?
Sources: Radday, M. 2007. 'Borneo Maps'
PENGARUH PEMANASAN GLOBAL TERHADAP METODA
YANG PALING SESUAI UNTUK ANALISA
EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL BERDASARKAN DATA
HARIAN STASIUN BMG SUPADIO
1)
Hari Wibowo, ST. MT
2)
Stefanus Berlian K, ST. MT
Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak
Abstrak
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global adalah sebuah fenomena dimana konsentrasi gas rumah
kaca menghalangi pantulan energi sinar matahari dari bumi sehingga
menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi. Atau dapat pula didefinisikan
sebagai suatu perubahan kondisi iklim yang terkait baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan aktifitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer
global. Terjadinya pemanasan global (global warming) telah menyebabkan
adanya perubahan iklim (climate change) di dunia, tidak terkecuali Indonesia dan
juga Provinsi Kalimantan Barat (Maliki, Mislan, Proseding Makalah HATHI,
Palembang, 2008).
Berdasarkan hasil kesimpulan dari Intergovernmental Panel on Climate
Chage (IPCC) menyebutkan bahwa sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global sejak pertengahan abad ke -20. Peningkatan suhu rata-rata global pada
permukaan bumi telah meningkat sebesar 0.74 ± 0.18ºC(1.33 ± 0.32º F).
Perubahan iklim global akan menpengaruhi setidaknya tiga unsur iklim
dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan:
(1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama
kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan dan makin
meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino
dan La-Nina, dan (3) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di
kutub utara. Perubahan unsur iklim akibat perubahan iklim sangat berpengaruh
terhadap kondisi sumber daya air, sektor pertanian dan tanaman pangan dan
peningkatan permukaan laut. Hal tersebut akan menimbulkan dampak yang
berlanjut terhadap meningkatnya: gagal panen, frekuensi banjir, intensitas
kekeringan, jumlah masyarakat miskin, abrasi pantai, tenggelamnya pantai dan
banyak pulau kecil, dan perubahan habitat satwa dan tumbuhan.
Kota Pontianak merupakan salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan
Barat yang dilalui oleh garis khatulistiwa. Dimana lokasinya akan berpengaruh
terhadap besarnya penguapan (evapotranspirasi) yang terjadi pada wilayah yang
berada didekat garis khatulistiwa ini tentunya berbeda dengan wilayah yang
letaknya jauh dari garis khatulistiwa.
Evapotranspirasi merupakan salah satu mata rantai proses dalam siklus
hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai penguapan di semua permukaan yang
mengandung air dari seluruh permukaan air, permukaan tanah, permukaan
tanaman dan permukaan yang tertutup tanaman dan kembali lagi ke atmosfer.
Pengaruhnya terhadap adanya perubahan iklim yang terjadi tentunya akan
mempengaruhi proses hidrologi dan besarnya evapotranspirasi. Oleh jarena itu
pada kegiatan penelitian ini akan diteliti Pengaruh Perubahan Iklim tersebut
terhadap Metode Evapotranspirasi Potensial yang ada khususnya di wilayah Kota
Pontianak berdasarkan data klimatologi Stasiun Meteorologi Supadio.
III. METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat,
kota Pontianak ini berada di garis Khatulistiwa.
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan berupa data sekunder data ini merupakan
data-data yang didapat dari instansi terkait yang berhubungan dengan masalah
penelitian serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, seperti Badan Pusat Statistik
selain itu pula ada data klimatologi daerah setempat, data yang digunakan untuk
penelitian ini yaitu berupa data suhu, data penyinaran matahari, data kelembaban
nisbi, data kecepatan angin dan data evaporasi panci penguapan dari Stasiun
Badan Meteorologi Supadio, yang terletak pada garis lintang 0º 08‟ 44‟‟ LS dan
garis bujur 109º 24‟ 14‟‟ BT dengan elevasi 3 meter dari permukaan laut (dpl) dan
tahun pengamatan 1998 sampai dengan 2009.
persamaan;
0,00815 T 0,8912 7
Data – data yang diperlukan pada tiap metode meliputi sebagai berikut:
4.2 Pembahasan
Dari hasil perhitungan evapotranspirasi potensial yang telah dilakukan
berdasarkan data stasiun BMG Supadio diatas, dapat diketahui bahwa masing-
masing metode dalam tiap model menghasilkan besaran evapotranspirasi potensial
yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, hasil perhitungan evapotranspirasi
potensial berdasarkan data iklim stasiun BMG Supadio yang memperoleh hasil
persentase kesalahan relatif terkecil ada pada metode David yang merupakan
salah satu metode dalam model temperatur dan kelembaban relatif, dengan
persentase kesalahan relatif adalah 41,29%.
Untuk masing-masing model, pada model temperatur, persentase
kesalahan relatif terkecil ada pada metode Hamon (66,45%), model suhu dan
kelembaban relatif; metode David (41,29%), model radiasi global; metode
Makink (68,37%).
Dari uraian diatas, maka rekomendasi metode analisa evapotranspirasi
potensial untuk wilayah kota Pontianak berdasarkan ketersediaan data
klimatologi, diketahui bahwa hasil perhitungan evapotranspirasi potensial untuk
tanggal 1 Januari tahun 1998 dengan menggunakan metode Blanney-Cridlle
adalah 5,492 mm/hari, sehingga persentase kesalahan relatifnya adalah;
ETo Panci Penguapan ETo Metode yang Dikaji
% error = x 100%
ETo Panci Penguapan
Perhitungan untuk persentase kesalahan relatif tiap bulan dan tiap tahunnya dalam
tiap modelidapatkan disajikan dalam tabel seperti berikut;
T. Marhendi1
1
Mahasiswa Program S3 Teknik Sipil,
Program Pascasarjana FT UGM, Yogyakarta
tmarhendi@yahoo.com
Intisari
Perubahan iklim global merupakan isu penting yang masih menjadi perhatian
banyak kalangan pada dekade terakhir. Indonesia tidak lepas dari masalah perubahan
iklim global tersebut. Perubahan iklim telah menimbulkan beberapa penyimpangan,
seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan. Salah satu dampak
perubahan iklim global adalah timbulnya anomali karakteristika hujan, termasuk di
Daerah Aliran Sungai Merawu yang merupakan salah satu daerah tangkapan air Waduk
Mrica mengalami erosi lahan yang cukup tinggi dan berubah-ubah. Perubahan erosi
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor peningkatan pemanfaatan lahan,
karakteristika tanah maupun faktor karakteristika hujan. Perubahan iklim global yang
berdampak pada timbulnya anomali karakteristika hujan, diyakini memberikan pengaruh
terhadap perubahan laju erosi di Daerah Aliran Sungai Merawu. Sepanjang tahun 1989
sampai 2009 erosi rerata tahunan tertinggi terjadi tahun 2001 sebesar 16,41 mm/tahun
dan terendah terjadi tahun 1996 sebesar 5,00 mm/tahun.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh anomali Karakteristika
hujan, yaitu intensitas dan durasi hujan, serta pengaruhnya terhadap erosi lahan yang
terjadi di Daerah Aliran Sungai Merawu. Kajian sifat anomali diawali dengan
penyusunan kriteria abnormalitas curah hujan harian maupun bulanan. Kajian
selanjutnya adalah menyangkut pola erosi yang terkait dengan fenomena hujan,
dilanjutkan dengan prediksi laju erosi sehubungan dengan adanya anomali curah hujan
tersebut. Analisis dilakukan pada sifat anomali karakteristika hujan menggunakan data
tahun 2002, mengingat tahun 2002 merupakan tahun El Nino dengan kriteria sedang,
dengan pembanding data tahun 1992, 1996, 1998 dan 2005.
Hasil analisis untuk data tahun 2002, anomali karakteristika hujan secara
keseluruhan menunjukkan anomali negatif kecuali pada Bulan Maret, April, September,
November dan Desember. Pada Bulan Januari, Februari, Mei, Juli, Agustus dan
Oktober mengalami anomali karateristika hujan yang sangat kering hingga mencapai -
320 mm/bulan. Pada kondisi ini erosi lahan mengalami penurunan. Anomali
karakteristika hujan positif terjadi pada Bulan Maret, April, September, Oktober dan
November dengan anomali tertinggi sebesar 216 mm/bulan. Kondisi ini menyebabkan
erosi pada bulan tersebut mengalami peningkatan.
I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global merupakan isu penting yang masih menjadi
perhatian banyak kalangan pada dekade terakhir. Beberapa kali isu perubahan
iklim global telah dibahas para ahli dari berbagai negara. Hal ini menunjukkan
bahwa dampak yang timbul akibat perubahan iklim global cukup berpengaruh
terhadap sumberdaya alam.
Indonesia juga tidak lepas dari masalah perubahan iklim global tersebut.
Perubahan iklim yang terjadi pada dekade ini telah menimbulkan beberapa
penyimpangan, seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan.
Salah satu dampak perubahan iklim global adalah timbulnya anomali
karakteristika hujan.
Daerah Aliran Sungai Merawu yang merupakan salah satu daerah
tangkapan air Waduk Mrica mengalami erosi lahan yang cukup tinggi dan
berubah-ubah. Perubahan erosi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
faktor peningkatan pemanfaatan lahan, karakteristika tanah maupun faktor
karakteristika hujan. Perubahan iklim global yang berdampak pada timbulnya
anomali karakteristika hujan, diyakini memberikan pengaruh terhadap
peningkatan dan berubah-ubahnya laju erosi di Daerah Aliran Sungai Merawu.
Sepanjang tahun 1989 sampai 2008 erosi rerata tahunan tertinggi terjadi
tahun 2001 sebesar 16,41 mm/tahun dan terendah terjadi tahun 1996 sebesar 5,00
mm/tahun. Dibandingkan dengan dua DAS lain yaitu DAS Serayu Hulu dan
Lumajang, erosi yang terjadi di DAS Merawu jauh lebih tinggi dengan rerata
tahunan mencapai 10,27 mm/tahun. Sementara DAS Serayu Hulu dan Lumajang
memiliki rerata erosi tahunan sebesar 4,25 mm/tahun dan 2,73 mm/tahun.
Tabel 1. Erosi Tahunan di DAS Merawu, Serayu dan Lumajang tahun 1989-2008
Erosi Tahun 1989-2008 (mm/tahun)
Tahun Serayu Hulu Merawu Lumajang
1989 1.90 5.80 0.20
1990 2.60 13.60 0.20
1991 2.85 12.90 0.10
1992 3.60 10.30 0.50
1993 2.70 7.40 0.30
1994 3.30 8.70 2.40
1995 4.90 7.40 2.00
1996 6.30 5.00 5.70
1997 2.50 5.97 0.72
1998 6.40 14.30 4.70
1999 5.30 10.90 7.70
2000 6.13 13.30 3.11
2001 4.06 16.41 3.41
2002 4.21 13.73 2.06
2003 5.83 10.70 5.40
2004 3.42 7.25 1.89
2005 5.74 12.89 4.66
2006 5.19 11.48 4.17
2007 3.64 8.37 1.61
2008 4.40 8.90 3.82
Sumber : PT Indonesia Power, 2008
Mengacu data hujan bulanan Tahun 1988 sampai dengan 2008 (disajikan
pada Gambar 1), kejadian hujan di DAS Merawu selalu berubah setiap tahun.
Perubahan ini diasumsikan dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim global yang
berdampak terhadap perubahan besaran erosi di DAS tersebut.
1,000
900
800
700
Hujan (mm)
600
500
400
300
200
100
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
Bulan
1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
9200000
DAS Merawu
9192000
9192000
9184000
9184000
DA S S erayu
9176000
9176000
352000 360000 368000 376000 384000 392000
2.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian meliputi adalah data hujan tahun
1988 sampai dengan tahun 2008. Sedangkan data erosi diperoleh dari analisis
erosi DAS Merawu di masing-masing tahun data. Data lain yang digunakan
berupa peta tanah, landuse, kelerengan dan peta DAS Merawu. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Hidraulika JTSL FT UGM.
35
30
25
Erosi (t/km2/th)
20
15
10
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
Bulan
1992 1996 1998 2002 2005
Sumber : Analisis
500
400
Anomali Curah Hujan
300
200
100
-100
-200
-300
-400
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
1992 1996 1998 2002 2005 Rerata Bulan
Gambar 4. Anomali curah hujan Tahun 1992, 1996, 1998, 2002 dan 2005
dan rerata hujan
MEI
AGT
JAN
APR
OKT
FEB
DES
SEP
NOP
JUN
JUL
ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 1992 EROSI TAHUN 1992 BULAN
450
400
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)
350
300
250
200
150
100
50
0
-50
-100
-150
-200
-250
-300
-350
MAR
MEI
AGT
JAN
APR
OKT
FEB
SEP
DES
NOP
JUN
JUL
500
400
300
200
100
-100
MAR
MEI
AGT
JAN
APR
OKT
FEB
SEP
DES
NOP
JUN
JUL
250
200
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)
150
100
50
-50
-100
-150
-200
-250
-300
-350
MAR
MEI
AGT
JAN
APR
OKT
FEB
SEP
DES
NOP
JUN
JUL
150
ANOMALI KARAKTERISTIKA HUJAN (MM)
100
50
-50
-100
-150
-200
-250
-300
-350
MAR
MEI
AGT
JAN
APR
OKT
FEB
SEP
DES
NOP
JUN
JUL
ANOMALI CURAH HUJAN TAHUN 2005 EROSI TAHUN 2005 BULAN
IV. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa anomali curah hujan yang terjadi akibat
pengaruh perubahan iklim global, memberikan dampak terhadap berubah-ubahnya
erosi lahan yang terjadi di DAS Merawu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Panitia PIT XXVII dan
Konggres X HATHI atas pemberian ijin untuk berpartisipasi mengirimkan
makalah ini. Ucapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada
PT. Indonesia Power UBP Mrica yang telah meminjamkan data.
DAFTAR PUSTAKA
Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, dan Betty Sariwulan, 2005, Pengaruh Anomali
Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau
Sumatera, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif
Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, ITS
Surabay, 14-15 September 2005
N. Suwarta, T.Marhendi, D. Legono, T. Yamada, 2010, Sosio-culture Perspective
on the Effect of soil Erosion from an Upland Cultovation Fields ( A case
study: Mrica watershed, Central java, Indonesia), Prosiding on
International Workshop on Multimodal Sediment Disasters Triggered by
Heavy rainfall and earthquake and the Countermeasures, Yogyakarta,
March 8-9, 2010
PT. Indonesia Power, 2008, Laporan Pelaksanaan Penyelidikan Sedimentasi
Waduk PLTA PB Sudirman, Banjarnegara
Soewarno dan Petrus Syariman, 2008, Sedimentation Control: Part II. Intensive
Measures the Inside of the Mrica Reservoir, Central Java, Journal of
Applied Sciences in Environmental Sanitation, 3 (1): 17-24.
Sukresno, Rahardyan N. Adi, dan Wardoyo, 2004, Hubungan sifat-Sifat Hujan
terhadap Kepekaan Tanah longsor di Kebumen, Prosiding Ekspose
BP2TPDAS-IBB Surakarta
Teguh Marhendi, 2009, Perkembangan sedimentasi Waduk Mrica dan Upaya
Penanganannya, Jurnal Teknik Sipil Fakultas Teknik Atmajaya
Yogyakarta, Volume 9 Nomor 2, Februari 2009
Wischmeier, W. H. & Smith, D. D., 1978, “Predicting Rainfall Erosion Losses - A
Guide to Conservation Planning”, US Dept. of Agricultural Handbook 537
DAMPAK PERUBAHAN KARAKTERISTIK HUJAN
TERHADAP FENOMENA BANJIR DI AMBON
Happy Mulya
Balai Wilayah Sungai Maluku dan Maluku Utara
Dinas PU Propinsi Maluku
Maggi_iwm@yahoo.com
Tiny Mananoma
Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, Manado
tmananoma@yahoo.com
Intisari
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sumber daya esensial bagi kehidupan adalah air. Dengan
demikian maka sektor sumber daya air dipandang paling signifikan merasakan
dampak negatif dari perubahan iklim akibat pemanasan global. Bencana
kekeringan di musim kemarau serta bahaya banjir di musim hujan sudah
merupakan masalah klasik yang terus terulang setiap tahun, bahkan akhir-akhir ini
dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat serta sulit untuk
diprediksi.
Menyikapi dampak perubahan iklim global dalam keterkaitannya terhadap
pengendalian resiko bencana banjir maka dipandang perlu suatu kajian mengenai
karakteristik curah hujan sebagai salah satu faktor yang dinilai memberikan
pengaruh cukup signifikan terhadap fenomena banjir.
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi karakteristik curah hujan
dan iklim serta rekaman fenomena banjir di Ambon selang kurun waktu tertentu.
Berangkat dari data sekunder yang tersedia kemudian mengkaji dampak
perubahan karakteristik curah hujan akibat perubahan iklim terhadap fenomena
banjir di Ambon.
II. METODOLOGI
1. Inventarisasi dan identifikasi data sekunder, survey kondisi existing.
2. Analisis data curah hujan dan iklim
3. Analisis rekaman kejadian banjir
4. Analisis hasil dan pembahasan
5. Kesimpulan dan saran.
Analisis terhadap data curah hujan tahun 2002 – 2009 memberikan grafik
distribusi dengan pola yang beragam sebagai berikut :
Gambar 2. Grafik pola curah hujan tahun 2003
Jan
Feb
M ar
Apr
Intensitas curah hujan (mm/hari)
M ei
Jun
Jul
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
0
25
20
15
10
0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung
500
1984 1989 1996 tahunan
450
tinggi genangan banjir (cm)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung
30
1984 1989 1996 tahunan
25
lama genangan banjir (jam)
20
15
10
0
Ruhu Batu Merah Tomu Batu Gadjah Batu Gantung
Kota Ambon sangat sering dilanda banjir. Dalam satu tahun bisa dua
sampai tiga kali mengalami bencana banjir, dengan lama genangan rata-rata 1-3
jam, bahkan pada tahun 2008 tercatat lima kali kejadian banjir akibat meluapnya
sungai Ruhu, Batu merah, Tomu, Batu gadjah, dan Batu gantung. Untuk itu maka
perlu dilakukan beberapa langkah untuk menanggulangi serta mengantisipasi
bencana banjir rutin ini. Berangkat dari studi yang pernah dilakukan, analisis
terhadap beberapa kajian terdahulu serta kondisi terkini, maka dalam kajian ini
kemudian diusulkan beberapa sistem serta infrastuktur pengendali banjir yang
sesuai dengan kondisi setempat antara lain berupa perencanaan dan pembangunan
embung/bendungan kecil pada sungai Ruhu, Batu merah, Tomu, Batu gadjah, dan
Batu gantung. Diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengendali banjir, sekaligus
sumber air baku bagi kota Ambon dan kawasan sekitarnya.
Gambar 13. Rencana lokasi pembangunan bendungan
DAFTAR PUSTAKA
BMKG stasiun Pattimura Ambon,2010, Data iklim dan curah hujan.
Happy Mulya, Tiny, Wasis, 2009, Mengubah Bencana Menjadi Berkah (Studi
Kasus Pengendalian dan Pemanfaatan Banjir di Ambon), PIT XXVI
HATHI, Banjarmasin.
Ponce,V.G., 1989, Engineering Hydrology Principles and Practices, Prentice
Hall, Engelwood Cliffs, New Jersey.
Yachiyo Engineering Co.,LTD., 1997, The Study on Flood Control for Ambon
and Pasahari Area, Final Report, Jakarta.
PERUBAHAN BANJIR AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA
LAHAN DAN PERUBAHAN IKLIM SERTA TEKNIK UNTUK
MENEKAN PENINGKATAN BANJIR
Intisari
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi tutupan lahan yang berubah secara drastis ditambah dengan
dampak perubahan iklim pada bertambahnya frekuensi hujan ekstrim dengan nilai
yang makin membesar sehingga menambah parah kondisi aliran banjir yang
diakibatkannya. Kecenderungan dari hujan harian maksimum bertambah besar
karena kondisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang menguat menambah kerentanan
aliran banjir yang mengandung daya rusak (merusak tanaman, menambah erosi
lahan, sulit ditanami karena adanya water logging, bagi tutupan lahan yang
terkena bencana, memorakporandakan pemukiman, menghambat transportasi dan
bangunan umum lainnya, kehilangan harta benda, kesehatan terganggu, dapat
menghilangkan nyawa). Kejadian bencana banjir tersebut mendesak pemerintah
bersama masyarakat berusaha melakukan penanggulangan menggunakan
pendekatan struktur maupun tanpa struktur. Pendekatan penanggulangan banjir
menggunakan bangunan air biasanya belum mencapai penanganan akar
permasalahan karena dimensi bangunan air akan cenderung membesar seiring
dengan membesarnya puncak, volume banjir dan sedimen. Pendekatan non-
struktur menjadi pusat perhatian akhir-akhir ini karena diharapkan akan mampu
menangani akar permasalahan akibat perubahan tata guna lahan dan perubahan
iklim.
20
pengembangan
15
10
0
0,1 1 10 100 1000
III. METODOLOGI
Analisa hujan melingkupi perhitungan hujan rata-rata DAS dengan cara
isohiet, hujan rencana dihitung dengan analisa frekuensi dan proyeksi hujan harian
menggunakan hasil studi dari O‟Gorman, 2009. Model hubungan hujan-limpasan
(HEC-HMS versi 3.3) mengubah hujan menjadi hidrograf banjir berdasarkan
kondisi topografi (peta Digital Elevation Model atau DEM dioverlaykan dengan
peta topografi) serta kelompok tanah hidrologi dan tata guna lahan diolah oleh
Sistem Informasi Geografis (SIG)menjadi input Model yaitu rata-rata nilai Curve
Number (CN) di setiap sub-DAS. Curve Number menentukan jumlah aliran yang
menjadi limpasan permukaan, dalam system konfigurasi yang terbentuk oleh SIG.
Berdasarkan hidrograf banjir 26-29 Desember 2007 dan 30 Januari 2009
dilakukan kalibrasi parameter model termasuk CN. Model prediksi dijalankan
menggunakan input hujan rencana 2 tahunan dan kondisi tata guna lahan 2008
menghasilkan banjir rencana 2 tahunan untuk tata guna lahan 2008 selanjutnya
dengan input hujan 2 tahunan yang sama menggunakan tata guna lahan 1964 yang
dianggap sebagai base line. Perubahan puncak banjir (dalam %) didefinisikan
sebagai puncak banjir berdasarkan TGL (Tata Guna Lahan) 2008 dikurangi
puncak banjir berdasarkan TGL 1964 dibagi puncak banjir berdasarkan TGL 1964
dikalikan 100%.Cara yang sama diterapkan pada volume banjir dan menghasilkan
perubahan volume banjir.
Selain TGL 1964 dan TGL 2008 dicoba juga TGL yang lain menggunakan
scenario-1, scenario-2 dan scenario-3. Khusus untuk Skenario-3 dikombinasikan
dengan penerapan teknik LID dengan menambah permukaan kedap air sebesar
13%-15% untuk LID ideal permukaan kedap bertambah sampai 25%-30%, serta
meningkatkan kondisi hidrologi pada hutan dan lahan pertanian. Disamping itu,
dicoba juga skenario menggunakan RTRW yang sudah dirancang sebelumnya
serta skenario lain dengan menganggap tidak ada perubahan TGL tetapi curah
hujan 2 tahunan bertambah 1,2% / tahun (O‟Gorman, 2009) sebagai dampak
perubahan iklim.
Hujan (mm)
1200 30
800 10
-10
400
-30
0 -50
1963
1995
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
500. 500.
400. 400.
300. 300.
puncak puncak
200. 200.
Volume Volume
100. 100.
0. 0.
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-100. 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Nomor Sub-DAS Nomor Sub-DAS
500.
400.
300.
puncak
200.
Volume
100.
0.
-100. 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Nomor Sub-DAS
Gambar 5. Perubahan Puncak dan Volume Banjir (%) Menggunakan TGL 2008
Dibandingkan TGL 1964 Di 174 Sub-DAS
Berbagai skenario TGL menghasilkan berbagai perubahan, secara rata-rata
dapat dilihat pada Tabel 2, khusus bagi akibat perubahan iklim diterapkan
pertambahan hujan dari tahun ke tahun sehingga untuk proyeksi 100 tahun ke
depan dihasilkan pertambahan sebesar 120%/100 terhadap percentile 99.9%
(O‟Gorman, 2009). Hasil dari perubahan banjir akibat perubahan ikllim hanya
diperhitungkan bagi DAS K.Madiun karena dua DAS yang lain (DAS Solo Hulu
dan Solo Hilir) tidak mengindikasikan adanya kecenderungan atau trend yang
berarti melalui pengujian secara statistik (lihat Tabel 1). Ringkasan hasil
perhitungan perubahan banjir akibat perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3.
Adanya pertambahan curah hujan harian 1.2%/tahun tanpa disertai
perubahan TGL (berdasarkan TGL 2008) menghasilkan perubahan banjir sebesar
0.5%/tahun seperti terlihat pada Tabel 3. Dampak perubahan iklim pada
pertambahan hujan dikombinasikan dengan perubahan TGL 2008 dibandingkan
TGL 1964, kondisi TGL 2008 dengan input hujan hasil perhitungan untuk
berbagai tahun proyeksi dibandingkan dengan base line TGL 1964 dengan input
hujan tetap tanpa adanya dampak perubahan iklim. Hasil simulasi tersebut
menghasilkan perubahan puncak banjir 1.4%/tahun dan volume banjir
1.3%/tahun.
Tabel 2. Perubahan Puncak dan Volume Banjir (%) Rata-rata dalam DAS Solo
Hulu, DAS Madiun dan DAS Solo Hilir, (0) : TGL 2008, (1) : Skenario-1, (2) :
Skenario-2; (3) : Skenario-3, (3)+LID : Skenario-3 disertai Penerapan LID,
(3)+LID Ideal : Skenario-3 disertai Penerapan LID Ideal, RTRW Kabupaten/Kota
: Menggunakan TGL RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Propinsi : Menggunakan
RTRW Propinsi
(2) 46 45 55 48 35 30
(3) 67 63 56 49 48 42
(3)+LID 40 40 25 23 31 27
(3)+LID ideal 31 32 16 15 27 24
RTRW 69 66 38 34 37 31
Kabupaten/Kota
RTRW Propinsi 68 65 59 52 38 33
Tabel 3. Perubahan Puncak dan Volume Banjir di DAS K. Madiun Skenario-0
(perbedaan TGL 2008 dan TGL 1964) dan TGL Tidak Berubah (2008)
Dengan Pengaruh Perubahan Iklim (CC).
(0) 58 50
V. PEMBAHASAN
1. Skenario 1; 2 dan 3 tidak merubah banyak perubahan banjir baik secara
parsial (per sub-sub-DAS) maupun secara makro (sub-DAS). Sub DAS
R3370W3370 yang mengalami perubahan paling besar di Skenario 1
maupun Skenario 2 maupun Skenario 3, jika dikembalikan fungsinya
seperti tahun 1964 maka akan mengalami penurunan puncak banjir sebesar
34% pada inflow waduk Wonogiri, serta jika R3400W3400 masih di hulu
Solo Hulu dikembalikan fungsi maka akan mengurangi puncak di DAS
Solo Hulu sebesar 24%. Satu kelompok subDAS di hulu Solo Hulu, terdiri
dari 11 sub-subDAS diluar R3370W3370 yang dikembalikan fungsinya
akan mengurangi 49% puncak banjir di DAS Solo Hulu.
2. Tanpa memperhitungkan TGL hanya memasukkan pengaruh perubahan
iklim pada besaran hujan menghasilkan perubahan banjir bergaris linier
(Gambar 6) dengan kemiringan 50%/100 tahun. Dengan memperhitungkan
perubahan TGL 2008 dan TGL 1964 perubahan banjir naik menjadi
130%-140%/100 tahun. Tanpa memperhitungkan perubahan iklim
perubahan banjir pada skenario-0 adalah 50%-58% dan jika ditambah
dengan pengaruh perubahan iklim akan menjadi 100%-108%/tahun,
padahal hasil simulasi model yang memperhitungkan kedua faktor tersebut
menghasilkan nilai 130%-140%/100 tahun. Perbedaan ini mengisyaratkan
bahwa kedua faktor tersebut secara sinergi bekerja menambah kerentanan
suatu wilayah yang kena pengaruh perubahan iklim dan TGL. Secara
grafis perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 bagian yang diarsir
garis vertical.
3. Proyeksi curah hujan akibat perubahan iklim didasari pada O‟Gorman
yang memberikan besaran 120%/100 tahun. Dampak dari perubahan iklim
yang lebih besar (180%/100 tahun) disertai dengan perubahan TGL akan
menghasilkan garis eksponential pada perubahan banjir. Garis
eksponential menengarai bertambah rentannya kondisi hidrologi terhadap
kombinasi kedua faktor tersebut.
4. Berbagai skenario mengembalikan fungsi lahan dan rencana tata ruang
wilayah yang disimulasikan menghasilkan perubahan banjir yang kurang
lebih hampir sama dengan dengan kondisi sekarang menggunakan TGL
2008 (lihat Tabel 2).
5. Bertambahnya kerentanan suatu wilayah terhadap banjir memicu adanya
upaya mitigasi non-struktur seperti teknik pengembangan wilayah ramah
lingkungan yang diadopsi dari Low Impact Development. Penerapan
teknik tersebut di seluruh DAS akan mengurangi banjir yang cukup
signifikan dibandingkan dengan alih fungsi lahan yang sifatnya parsial.
160
Perubahan Puncak Banjir Akibat TGL+ CC
140
120 Perubahan Volume Banjir Akibat TGL+ CC
Perubahan Banjir (%)
100
Perubahan Puncak Banjir Akibat CC
80
60
Perubahan Volume Banjir Akibat CC
40
20 Linear (Perubahan Puncak Banjir Akibat TGL+ CC
(penjumlahan))
0
Linear (Perubahan Volume Banjir Akibat TGL+
-20 0 20 40 60 80 100 120 CC+Sheet1!$14:$14 (Penjumlahan))
Proyeksi (Tahun)
VI. KESIMPULAN
1. Metode perhitungan infiltrasi menggunakan Curve Number dapat
digunakan untuk Indonesia asalkan melalui tahap kalibrasi parameter
dengan rekonstitusi hidrograf banjir pengamatan dan perhitungan.
2. Di DAS K. Madiun ada trend yang cukup signifikan dari deret hujan
harian rata-rata maksimum tahunan yang mengindikasikan kenaikan curah
hujan ekstrim.
3. Perubahan banjir (selisih puncak dan volume banjir menggunakan Tata
Guna Lahan, TGL, 2008 dan TGL 1964 dibagi puncak dan volume banjir
menggunakan TGL 1964) dalam persen dijadikan dasar perhitungan
dengan TGL 1964 dijadikan base line untuk scenario lain. Skenario lain
juga telah dicoba disimulasikan termasuk RTRW kabupaten dan propinsi
dan menghasilkan perubahan banjir yang tidak terlalu berbeda dengan
kondisi eksisting TGL 2008.
4. Upaya pengurangan puncak dan volume banjir dilakukan melalui
penerapan teknik ramah lingkungan dan hasil simulasi yang
memperhitungkan penerapan tersebut menghasilkan penurunan banjir
yang cukup signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunengo M. et al., 1997, Module C-Hydrologic Change, Watershed
Analysis Appendices Version 4, hydrology.pdf.
2. Department of Defense, United of America, 2004, Unified Facilities
Criteria, Design : Low Impact Development Manual, UFC 3-210-10 25
October 2004.
3. Goetz, S., Wright, R., Smith, A., Zinecker, E., and Schaub, E. 2003.
IKONOS imagery for resource management: tree cover, impervious
surfaces, and riparian buffer analyses in the mid-Atlantic region.
Remote Sensing of Environment, 88, 195-208.
4. Howe C. et al., 2005, Implications of Potential Climate Change for
Melbourne’s Water Resources, A collaborative Project between
Melbourne Water and CSIRO Urban Water and Climate Impact Groups,
Doc: CMIT-2005-106.
5. IOWA Stormwater Management, 2008, 2C-8 Low Impact Development
(LID) Hydrology.
6. IPCC,AR-4 Chapter 1 : Assessment of Observed Changes and Responses
in Natural and Managed Systems, Working Group II, Assessment
Report 4.
7. Jacob, Daniel J et al., 2004, Radiative Forcing of Climate Change :
Expanding the Concept and Addressing Uncertainties, The National
Academies, http://www.nap.edu/catalog/11175.html
8. Natural Resources Conservation Services, 1986, TR -55 :Urban
Hydrology for Small Watershed, United State Department of Agriculture.
9. O‟Gorman, Paul and Tapio Schneider, 2009, The Physical Basis For
Increases In Precipitation Extremes In Simulations Of 21st-Century
Climate Change, PNAS _ September 1, 2009 _ vol. 106 _ no. 35 ,
www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0907610106
10. Puslitbang Air, 2009, Laporan Penelitian dan Pengembangan Sistim
Telemetri untuk Sumber Daya Air, Bandung.
11. P.T Studio Cilaki Empat Lima, 2009, Draft Laporan Akhir Peningkatan
Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo, Direktorat Jenderal Tata
Ruang.
12. Reznick, R., ,Low Impact Development Design, Michigan Department of
Environmental Quality, http://www.epa.gov/nps/lid/.
TINJAUAN BANJIR DAN KEKERINGAN DI JAWA TIMUR
AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
I. PENDAHULUAN.
Kejadian bencana alam di dunia pada umumnya dan di Indonesia
khususnya mengalami kecenderungan ada perubahan daripada dasawarsa
dasawarsa sebelumnya. Secara geografis, wilayah Indonesia terletak didaerah
iklim tropis dan memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan
dengan ciri – ciri perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup extrim.
Kondisi ini dapat menimbulkan ancaman ancaman yang bersifat hidro
meteorologis seperti banjir dan kekeringan. Sebagian besar wilayah Indonesia
merupakan wilayah yang beresiko tinggi terhadap ancaman banjir dan beberapa
kota tertentu seperti Jakarta, Semarang, Banjarmasin, Samarinda secara historis
sering dilanda banjir, begitu pula daerah aliran sungai tertentu seperti sungai
Batanghari, sungai Musi, sungai Ciliwung ,sungai Bengawan Solo, sungai
Mahakam.
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas
normal, sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak anak
sungai alamiah serta sistem saluran drainasi, kanal penampung banjir buatan yang
ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga meluap. Perubahan
sistem pengaliran air menjadi lebih kecil akibat sedimantasi, penyempitan sumber
air akibat fenomena alam dan/atau ulah manusia, tersumbatnya aliran oleh sampah
serta hambatan aliran air lainnya merupakan kondisi yang menyebabkan
berkurangnya daya tampung pengaliran air dan ujung ujungnya air meluap
menjadi banjir. Penggundulan hutan didaerah hulu/daerah tangkapan air hujan
juga menjebabkan peningkatan debit banjir karena air hujan tidak sempat meresap
kedalam tanah, sebagaian besar mengalir dipermukaan tanah. Meningkatnya
pembangunan yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air juga
berkontribusi pada meningkatnya debit banjir.
Ancaman alamiah yang bersifat hidro-meteorologis lain yang sering
menimpa Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya adalah
kekeringan, yang diartikan sebagai berkurangnya persediaan air sampai dibawah
normal yang bersifat sementara, baik diatmosfir, dipermukaan tanah maupun
dibawah tanah. Penyebab kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang turun
dalam periode yang lama, disebabkan oleh interaksi atmosfir, laut akibat dari
ketidakteraturan suhu air laut permukaan seperti timbulnya fenomena El Nino dan
La Nina. Kekeringan mengakibatkan kondisi yang serius terhadap kebutuhan air
bagi manusia, bagi pola tanam, pola pengairan, pola pengoperasian irigasi serta
pengelolaan sumber daya air. Ancaman bencana banjir dan kekeringan ini
provinsi Jawa Timur termasuk provinsi yang sering/beberapa kali/cukup banyak
mengalami bencana banjir dan kekeringan.
II. PERMASALAHAN.
Bencana alam di Indonesia sangat terasa dari tahun ketahun meningkat
frekuensinya dan skala besarannya makin tinggi/besar. Disamping itu kondisi
makin berkurangnya tutupan lahan sehingga dalam Undang Undang Tata Ruang
No. 26 tahun 2007 mencantumkan persyaratan wajib bahwa luas hutan sebesar 30
%. Banyak derah yang sudah kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Khusus di Provinsi Jawa Timur kejadian banjir sudah meluas lokasi, frekuensi dan
besarannya, demikian pula kondisi kekeringan. Hal ini apakah tutupan lahan
masih memenuhi kondisi seperti apa yang dipersyaratkan dalam Undang Undang
Tata Ruang No. 26 tahun 2007? Tantangan yang berat untuk memenuhi.
III. METODOLOGI.
Sejak tahun 2006 dilakukan pencatatan kejadian bencana di Indonesia
meliputi bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, putting beliung, gelombang
pasang, dan kegunungapian. Dari catatan tersebut sampai tahun bulan Februari
2010 diamati dan dievaluasi kejadian banjir, tanah longsor, angin puting beliung,
dan kejadian kekeringan diprovinsi Jawa Timur.
Dalam menelusuri kejadian banjir dan kekeringan di Jawa Timur dipakai
data data yang dicatat pada kurun waktu 2007 sampai dengan 2010 untuk data
harian kejadian, laporan mingguan, laporan bulanan, dan laporan tahunan pada
posko penanggulangan bencana PU Pusat Jakarta. Evaluasi kejadian dilakukan
dengan menggunakan perbandingan kejadian banjir dengan segala dampak yang
ditimbulkan akibat hujan yang sangat deras menimbulkan erosi, tanah longsor dan
bahkan terjadi fenomena angin puting beliung pada saat musim peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau. Pada saat musim kemarau ditinjau simpanan air
di sumber air yang ada seperti diwaduk, dibendungan dan diembung embung yang
ada. Analisis yang dilakukan memperlihatkan peningkatan kejadian dan
peningkatan sebaran kejadian diprovinsi Jawa Timur dan perbandingan data
ketersediaan air untuk musim kemarau antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
TImur.
Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan kita lihat analisa
Badan Meteorologi, klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan data prakiraan
kejadian banjir dan kekeringan dibuku “Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010 – 2014“ yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Demikian juga data prakiraan resiko gerakan tanah dalam kurun waktu 5
tahun mendatang, dan prakiraan lokasi kejadian yang berpotensi terjadi tanah
longsor serta lokasi yang berpotensi terjadi angin puting beliung.
IV. ANALISA.
Indonesia yang terletak di 95 derajat bujur timur sampai di 141 derajat
bujur timur dan di 6 derajat lintang utara sampai di 11 derajat lintang selatan
merupakan suatu negara yang sangat luas, apalagi posisi Indonesia sangat strategi,
berada diantara benua Asia dan benua Australia serta berada diantara dua
samodera yaitu samudera India dan samudra Pasifik adalah rentan terhadap
perubahan iklim global. Dengan posisi disepanjang garis katulistiwa maka
kondisi musim hujan dan musim kemarau dipengaruhi pula oleh 4 karakter
pengaruh iklim yang disebut; karakter pengaruh iklim monsoon, karakter
pengaruh iklim nina yang berpusat disamudra Pasifik, karakter pengaruh iklim
arus panas muka air laut dan karakter pengaruh iklim dipole yang titik pusat
dibenua Afrika Timur sampai pesisir barat pulau Sumatera. Dengan menyadari
bahwa ke empat karakter yang tersebut tadi keterkaitanya satu sama lain harus
diperhitungkan secara cermat, sehingga dapat menghasilkan prakiraan iklim tidak
jauh dari apa yang terjadi.
Dari adanya 4 karakter pengaruh iklim tersebut diatas juga tidak lepas dari 3
faktor perubahan iklim yang terjadi secara global pada bumi secara keseluruhan.
Faktor perubahan iklim terdiri dari;
1. Faktor variasi kejadian iklim bumi berupa mencairnya es dikutup, perubahan
arus panas/dingin air lautan, karakter/sifat iklim (musim basah / kering)
2. Faktor pengaruh luar seperti efek rumah kaca (CO2), gerakan lempeng bumi,
variasi lapisan solar, variasi orbit bumi, letusan gunung api.
3. Faktor pengaruh ulah manusia misalnya pembakaran gas bumi, pabrik semen,
pola penggarapan lahan, dan pola hidup.
Dari kondisi karakter dan faktor yang menyebabkan perubahan iklim global diatas
wilayah Indonesia tersebut maka terasa pada 5 tahun terakhir ini makin
meningkat. Pada tahun 2006 di Indonesia masih tidak banyak jumlah kejadian
bencana banjir dan kekeringan, tetapi dari tahun ke tahun sampai tahun 2010
makin banyak kejadiannya seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
KAB. MAMUJU 2X
L a u t C i n a S e l a t a n
U KAB. SAMARINDA KAB. BUOL
KAB. BALIKPAPAN KAB. BARRU
KAB. BANDA ACEH
Maret 2010
No. Provinsi Yg Kena Bencana banjir Tanah Longsor
1. Sumatera utara - 2
2. Sumatera Barat 4 3
3. Jambi 8 1
4. Sumatera selatan 2 -
5. Bangka Belitung 1 -
6. Banten 9 -
7. DKI Jakarta 2 -
8. Jawa Barat 17 3
9 Jawa Tengah 9 1
10. D.I Yogyakarta 1
11. Jawa Timur 18 4
12. Kalimantan Timur 1 -
13, Kalimantan Selatan 9 -
14. N.T.T 2 -
15. Sulawesi Selatan 3 1
16. Sulawesi Tengah 3 -
17. Sulawesi tenggara 1 -
18. Maluku 1 -
19. Maluku Utara - 1
20 Papua Barat 1 -
21 Papua 1 -
Data kejadian bencana di Provinsi Jawa Timur yang dimonitor adalah dari
jenis bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, dan
kekeringan.
Kejadian bencana pada bulan November, Desember, Januari, Februari,
Maret, April sampai Mei tahun 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010
dapat dilihat pada tabel dibawah ini;
1800
1600 1212.16
1400
1200
1000
800 468.59
600
400
200
0
Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat
PROVINSI
MONITORING KONDISI MUKA AIR WADUK
Periode : 10 Mei 2010
Elevasi & Volume Elevasi
Normal Ket.
Siaga Kondisi
No Nama Waduk (Instansi
Elevasi Volume Kekeringan Waduk
Pengirim)
(m) (Juta m3) (m)
1 2 3 4 5 6 7
JAWA TIMUR
1 Sutami - Lahor 272.20 170.63 246.00 Normal
V. KESIMPULAN.
Untuk mengatasi prakiraan kejadian bencana banjir di Jawa Timur perlu
segera dilakukan mitigasi dan diteruskan dengan perbaikan yang diperlukan guna
meminimalisasi kerugian terhadap bencana. Rehabilitasi terhadap kerusakan
kerusakan yang terjadi pada bencana yang telah lalu, dan melakukan pemeliharaan
saran dan prasarana yang sudah ada dapat dilakukan dengan segera akan
mendapat perhatian serius sehingga predikat provinsi Jawa timur sebagai food
security province yang nomor 4 dapat dipertahankan.
Sehubungan dengan banyaknya daerah yang tutupan lahannya kurang dari
30 % diperlukan usaha konservasi dengan menjalin koordinasi antar sektor yang
efektif serta tidak lupa meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga
lingkungan serta memelihara hutan didaerah hulu baik pada hutan budidaya
maupun pada hutan rakyat itu sendiri. Pada hutan lindung peran pemerintah
sangat diharapkan untuk kegiatan konservasi dan menjaga jangan sampai ada
pembalakan liar sehingga hutan lindung merupakan soko guru dari pada
pemeliharaan hutan konservasi.
Mengenai pendanaan dapat dilakukan usaha gotong royong dalam
penyediaannya. Dari pemerintah pusat dalam APBN, dari daerah dalam APBD,
dari BUMN dalam CSR, dari pengusah dan dari dana lainnya yang dapat
dimobilisir.
Dalam penanganan bencana alam ditingkat Nasional sudah dibentuk
“Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)”, untuk bencana yang tidak
dalam kondisi bencana nasional maka BNPB bersifat koordinatif. Untuk
mendukung BNPB tersebut dalam meningkatkan penanganan bencana terutama
yang menyangkut bidang Pekerjaan Umum maka perlu didibentuk Satgas
Penanggulangan Bencana Dinas PU atau Dnas Kimpraswil Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota guna membantu/memperlancar sisitem pelaporan dan
penanganan yang bersifat mendesak.
Pada kesempatan ini perlu diingatkan sekali lagi bahwa tahun 2010 ini
agar Jawa Timur bersiap diri untuk menghadapi musim hujan yang lebih lama dari
tahun tahun sebelumnya, terutama pada bencana banjir dan tanah longsor.
REFERENSI :
1. Laporan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan posko penanggulangan
bencana PU.
2. UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggylangan Bencana.
3. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014.
4. Laporan BMKG harian, bulanan, tahunan.
5. Buku waduk : Bendungan Besar di Indonesia.
6. Monitoring Kondisi Muka Air Waduk dari Direktotar PPSDA PU.