Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Aksiologi Ilmu Kelaman
Aksiologi berasal dari kata Yunani axion yang berarti nilai dan logos yang
diartikan sebagai buah pikiran, pertimbangan nalar, arti atau teori. Secara bahasa
aksiologi berarti teori tentang nilai. Aksiologi dapat diartikan sebagai teori
mengenai sesuatu yang bernilai (Ahmad, 2006). Salah satu yang mendapat
perhatian adalah masalah etika/kesusilaan dan Dalam etika, obyek materialnya
adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya
adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari
suatu perbuatan atau perilaku manusia. Sedangkan pengertian aksiologi menurut
Jujun (2003), bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari berbagai pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh atau didapat oleh
manusia. Dari segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata axios dalam bahasa
Yunani, dan value dalam bahasa Inggris.
Selain berkaitan dengan nilai, aksiologi juga didefinisikan sebagai sudut
pandang filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan “ke mana” atau” tujuan dari
objek yang dikaji. Aksiologi ilmu kealaman berarti mengkaji kemana atau apa
tujuan sesungguhnya ilmu kealaman tersebut. Dalam mengkaji ke mana atau apa
tujuan sebenarnya ilmu kealaman itu harus didasarkan pada fungsi ilmu kealaman
itu sendiri, karena sesungguhnya tujuan itu berkaitan erat dengan fungsinya
(Sutomo, 2009).
Berdasarkan definisi-definisi aksiologi tersebut, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.

B. Fungsi Ilmu Kealaman sebagai Lembaga


Berdasarkan pengakuan masyarakat, ilmu kealaman berfungsi sebagai
institusi atau lembaga. Pandangan atas fungsi ini dikaitkan dengan pengamatan
masyarakat tentang ilmuwan yang dipandang sebagai mereka yang bekerja di
laboratorium, tempat yang tidak umum bagi masyarakat; mereka bekerja dengan
peralatan-peralatan khusus, yang asing bagi masyarakat; mereka membuat

3
4

hitungan-hitungan yang hanya dimengerti dikalangan mereka sendiri; dan mereka


seolah-olah memiliki “bahasa khusus” untuk berkomunikasi sesama teman
seprofesinya. Dengan demikian menurut mereka ilmu kealaman adalah segala
sesuatu yang dikerjakan oleh ilmuan tersebut. Tentunya pandangan mengenai ilmu
kealaman yang berfungsi sebagai institusi atau lembaga, dimana kelembagaan
tersebut sifatnya imaginer, yaitu kelembagaan dari bidang profesi (Sutomo, 2009).
Dari segi sejarahnya, memang bidang ilmu kealaman telah diakui
eksistensinya berkembang pada abad ke-20 dan kenyataannya telah beribu-ribu
orang bergantung kehidupannya pada bidang ini. Sekalipun ilmu kealaman itu
terlembaga, namun untuk menjawab pertanyaan “apa itu ilmu kealaman yang
sesungguhnya?” ternyata menunjukkan jawaban yang berbeda-beda seiring dengan
perkembangannya, mulai dari yang sangat sederhada yaitu hanya suatu
pengetahuan yang berisi apa saja yang diketahui oleh manusia, kemudian
pengertiannya berkembang menjadi pengetahuan yang koheren, berkembang lagi
menjadi pengetahuan yang deduktif dan rasional (Aristoteles, 384-322 SM), lalu
berkembang lagi menjadi pengetahuan yang induktif (Francis Bacon, 1561-1626),
dan berkembang lagi pada penggabungan deduktif dan induktif (abad 20) hingga
sekarang.
Keberadaan ilmu kealaman sebagai hasil olah pikir manusia dalam kurun
waktu yang sangat panjang tersebut harus sesuai dengan kenyataan atau realistis
sehingga kebenarannya itu merupakan kebenaran objektif yang menjadi identitas
khas bagi ilmu kealaman. Fungsi ilmu kealaman sebagai lembaga yang tidak
terlepas dari peran ilmuan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi
ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan
serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah
“dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan
tanggung jawab moral.

C. Fungsi Ilmu Kealaman sebagai Metode


Objek yang menjadi kajian dalam bidang ilmu kealaman sangatlah luas, yang
mencakup alam semesta. Dengan luasnya objek kajian tersebut, maka ilmu
5

kealaman itu sendiri dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk mengamati
alam semesta dan gejala-gejala yang ada didalamnya (Sutomo, 2009).
Hal ini dikarenakan dari berbagai produk pemikiran manusia yang ada, ilmu
kealaman merupakan kajian yang paling pesat perkembangannya. Selain itu, yang
lebih mendasar adalah cara memandang ilmu kealaman pada sesuatu itu berbeda
dengan cara memandang yang biasa atau cara memandang seorang filosofis
sekalipun. Cara memandang ilmu kealaman tersebut bersifat analistis, yaitu melihat
segala sesuatu secara lengkap dan cermat,yang kemudian dihubungkan dengan
objek lain, sehingga secara keseluruhannya dapat membentuk perspektif baru
mengenai objek yang diamati tersebut.
Dalam berpikir analistis, orang berangkat dari dasar-dasar pengetahuan yang
umum, dari proposisi-proposisi yang berlaku secara umum, dan meneliti persoalan-
persoalan khusus dari segi dasar-dasar pengetahuan yang umum.
Kebenaran ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu
berpatokan kepada beberapa hal mendasar, yaitu:
1. Adanya teori yang dijadikan dalil utama dalam mengukur fakta-fakta aktual.
2. Adanya data-data yang berupa fakta atau realitas senyatanya dan realitas dalam
dokumen tertentu.
3. Adanya pengelompokan data dan fakta yang signifikan.
4. Adanya uji validitas.
5. Adanya penarikan kesimpulan yang operasional.
6. Adanya fungsi timbale balik antara teori dan realitas.
7. Adanya pengembangan dialektika terhadap teori yang sudah teruji.
8. Adanya pembatasan wilayah penelitian yang proporsional.
Ciri-ciri tersebut merupakan khas pandangan fungsi ilmu kealaman sebagai
metode yang dalam kajian keilmuan lebih dikenal dengan sebutan metode ilmiah.
Oleh karena itu, menurut Juhaya S. Pradja (2014), metode ilmiah dimulai dengan
pengamatan-pengamatan, kemudian memperkuat diri dengan pengalaman dan
menarik kesimpulan atas dasar pembuktian yang akurat.
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method
adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis,empiris, dan
terkontrol.
6

1. Metode ilmiah merupakan proses berpikir untuk memecahkan masalah


Metode ilmiah berangkat dari suatu permasalahan yang perlu dicari
jawaban atau pemecahannya. Proses berpikir ilmiah dalam metode ilmiah tidak
berangkat dari sebuah asumsi, atau simpulan, bukan pula berdasarkan data atau
fakta khusus. Proses berpikir untuk memecahkan masalah lebih berdasar kepada
masalah nyata. Untuk memulai suatu metode ilmiah, maka dengan demikian
pertama-tama harus dirumuskan masalah apa yang sedang dihadapi dan sedang
dicari pemecahannya. Rumusan permasalahan ini akan menuntun proses
selanjutnya.
2. Pada Metode Ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis
Dalam metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis dengan
bertahap, tidak zig-zag. Proses berpikir yang sistematis ini dimulai dengan
kesadaran akan adanya masalah hingga terbentuk sebuah kesimpulan. Dalam
metode ilmiah, proses berpikir dilakukan sesuai langkah-langkah metode ilmiah
secara sistematis dan berurutan.
3. Metode ilmiah didasarkan pada data empiris
Setiap metode ilmiah selalu disandarkan pada data empiris. maksudnya
adalah, bahwa masalah yang hendak ditemukan pemecahannya atau jawabannya
itu harus tersedia datanya, yang diperoleh dari hasil pengukuran secara objektif.
Ada atau tidak tersedia data empiris merupakan salah satu kriteria penting dalam
metode ilmiah. Apabila sebuah masalah dirumuskan lalu dikaji tanpa data
empiris, maka itu bukanlah sebuah bentuk metode ilmiah.
4. Pada metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara terkontrol
Di saat melaksanakan metode ilmiah, proses berpikir dilaksanakan secara
terkontrol, dimana dalam berpikir secara ilmiah itu dilakukan secara sadar dan
terjaga, jadi apabila ada orang lain yang juga ingin membuktikan kebenarannya
dapat dilakukan seperti apa adanya. Seseorang yang berpikir ilmiah tidak
melakukannya dalam keadaan berkhayal atau bermimpi, akan tetapi dilakukan
secara sadar dan terkontrol.
Dari uraian mengenai fungsi ilmu kealaman sebagai metode atau cara untuk
mengamati alam semesta, maka arah ke mana atau tujuan sesungguhnya dari ilmu
7

kealaman itu adalah pelestarian alam semesta itu sendiri yang dilakukan melalui
pengkajian berdasarkan kaidah ilmiah.

D. Fungsi Ilmu Kealaman sebagai Pembangun Pola Pikir


Sejak lahirnya di muka bumi ini, manusia bersentuhan dengan alam.
Persentuhan dengan alam menimbulkan pengalaman. Alam memberikan
rangsangan kepada manusia melalui panca indera. Jadi, panca indera merupakan
alat komunikasi antara alam dengan manusia yang membuahkan pengalaman.
Pengalaman itu waktu demi waktu bertambah, karena manusia ingin mendapatkan
jawaban atas pertanyaan yang hakiki; apa, bagaimana, dan mengapa, baik atas
kehadirannya di dunia ini, maupun atas segala benda yang telah mengadakan
kontak dengan dirinya. Perkembangan pola pikir manusia ini dari zaman ke zaman
terus berubah bahkan bertambah, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, di
antaranya:
1. Rasa ingin tahu
Ilmu Pengetahuan bermula dari rasa ingin tahu (curiousity). Perasaan ini
merupakan salah satu ciri khas manusia. Rasa ingin tahu berkembang, baik
tentang dirinya sendiri maupun benda-benda di sekelilingnya dan rasa yang
seperti itu tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Manusia mempunyai ciri-
ciri yang pertama memiliki organ tubuh yang kompleks dan sangat khusus
terutama otaknya. Kedua mengadakan pertukaran zat, yakni adanya zat yang
masuk dan keluar. Ketiga memberikan tanggapan terhadap rangsangan dari
dalam dan dari luar. Keempat memiliki potensi berkembang biak. Kelima
tumbuh dan bergerak. Keenam berinteraksi dengan lingkungannya dan yang
terakhir mati.
Sudah kita ketahui, bahwa pada poin satu tadi telah menunjukkan bahwa
manusia mempunyai otak, sama halnya dengan bintang, namun inilah yang
menjadi perbedaan manusia dengan binatang. Mungkin memang benar bintatang
juga mempunyai kehendak misalnya burung burung mempunyai kehendak untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lain didorong oleh suatu keinginan, rasa
ingin tahu. Ingin tahu apakah suatu tempat cukup aman untuk membuat sarang?.
Setelah mengadakan eksplorasi, tentu mereka jadi tahu. Itulah pengetahuan dari
8

burung tadi. Burung juga memiliki pengetahuan untuk membuat sarang di atas
pohon.
Manusia juga memiliki insting seperti yang dimiliki oleh hewan. Namun
manusia memiliki kelebihan yaitu adanya kemampuan berfikir. Dengan kata
lain, curiosity-nya tidak tetap sepanjang zaman. Manusia memiliki rasa ingin
tahu yang berkembang, atau kemampuan berfikir. Setelah tahu tentang apanya,
mereka ingin tahu bagaimana dan mengapa begitu. Manusia mampu
menggunakan pengetahuannya yang terdahulu untuk dikombinasikan dengan
pengetahuannya yang baru, sehingga menjadi suatu akumulasi pengetahuan.
Rasa ingin tahu manusia ini menyebabkan pengetahuan mereka menjadi
berkembang. Hal ini tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis untuk
hidupnya sehari-hari, seperti bercocok tanam atau membuat panah atau lembing
untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut
keindahan.
Rasa ingin tahu semacam ini tidak dimiliki oleh hewan. Rasa ingin tahu
pada hewan hanya terbatas pada rasa ingin tahu yang tetap. Yang tidak berubah
dari zaman ke zaman. Hewan bergerak dari satu tempat ke tempat lain hanya
didorong oleh rasa ingin tahunya yang bersangkutan erat dengan nalurinya saja.
Dengan selalu berlangsungnya perkembangan pengetahuan itu tampak
lebih nyata bahwa manusia berbeda dengan hewan. Manusia merupakan mahluk
hidup yang berakal serta mempunyai derajat yang tertinggi bila dibandingkan
dengan hewan atau mahluk lainnya.
2. Mitos
Mitos adalah suatu pengetahuan berdasarkan penghayatan digabungkan
dengan pengalaman dan didasarkan dengan kepercayaan. Dalam istilah lain
disebutkan bahwa mitos adalah pengetahuan baru yang merupakan kombinasi antara
pengalaman-pengalaman dan kepercayaan.
Mitos merupakan tahap kedua dari perkembangan pola pikir manusia. Karena
manusia juga berusaha memenuhi kebutuhan non-fisik atau kebutuhan alam
pikirannya. Rasa ingin tahu manusia ternyata tidak dapat terpuaskan hanya atas
dasar pengamatan maupun pengalamannya. Untuk itulah, manusia mereka-reka
sendiri jawaban atas keingintahuannya itu. Sebagai contoh, “mengapa gunung
meletus?”, karena tak tahu jawabannya, manusia mereka-reka sendiri dengan
9

jawaban “si penunggu gunung itu sedang marah”. Di sinilah muncul pengetahuan
baru yang disebut “si penunggu”. Dengan menggunakan jalan pikiran yang sama,
muncullah anggapan adanya “si penunggu”. Cerita yang berdasarkan atas mitos
disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara lain oleh keterbatasan alat indera
manusia, yaitu indera penglihatan, indera pendengaran, indera pencium, indera
pengecap, dan indera perasa.
Puncak hasil pemikiran mitos terjadi pada zaman Babylonia (700-600 SM)
yaitu horoskop (ramalan bintang), ekliptika (bidang edar Matahari) dan bentuk alam
semesta yang menyerupai ruangan setengah bola dengan bumi datar sebagai
lantainya sedangkan langit-langit dan bintangnya merupakan atap (Dewiki dan Sri,
2004).
3. Penalaran
Berdasarkan kemampuan berpikir manusia yang semakin maju dan
perlengkapan pengamatan makin sempurna misalya teropong bintang yang
semakin sempurna, maka mitos dengan berbagai legenda makin ditinggalkan
orang dan mereka cenderung berpikir secara logis dengan menggunakan akal
sehat (rasio).
Sebagai pembangun pola pikir, maka arah ke mana atau tujuan
sesungguhnya dalam mengkaji ilmu kealaman itu adalah untuk terus
melestarikan nilai-nilai membangun yang menunjang perkembangan pola
berpikir tentang fenomena alam. Pola pikir yang terus berkembang dari waktu
ke waktu, menjadikan suatu temuan dimasa lalu yang kurang sempurna sabagai
“jembatan” untuk temuan yang lebih sempurna dimasa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai