KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Aksiologi Ilmu Kelaman
Aksiologi berasal dari kata Yunani axion yang berarti nilai dan logos yang
diartikan sebagai buah pikiran, pertimbangan nalar, arti atau teori. Secara bahasa
aksiologi berarti teori tentang nilai. Aksiologi dapat diartikan sebagai teori
mengenai sesuatu yang bernilai (Ahmad, 2006). Salah satu yang mendapat
perhatian adalah masalah etika/kesusilaan dan Dalam etika, obyek materialnya
adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya
adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari
suatu perbuatan atau perilaku manusia. Sedangkan pengertian aksiologi menurut
Jujun (2003), bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari berbagai pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh atau didapat oleh
manusia. Dari segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata axios dalam bahasa
Yunani, dan value dalam bahasa Inggris.
Selain berkaitan dengan nilai, aksiologi juga didefinisikan sebagai sudut
pandang filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan “ke mana” atau” tujuan dari
objek yang dikaji. Aksiologi ilmu kealaman berarti mengkaji kemana atau apa
tujuan sesungguhnya ilmu kealaman tersebut. Dalam mengkaji ke mana atau apa
tujuan sebenarnya ilmu kealaman itu harus didasarkan pada fungsi ilmu kealaman
itu sendiri, karena sesungguhnya tujuan itu berkaitan erat dengan fungsinya
(Sutomo, 2009).
Berdasarkan definisi-definisi aksiologi tersebut, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.
3
4
kealaman itu sendiri dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk mengamati
alam semesta dan gejala-gejala yang ada didalamnya (Sutomo, 2009).
Hal ini dikarenakan dari berbagai produk pemikiran manusia yang ada, ilmu
kealaman merupakan kajian yang paling pesat perkembangannya. Selain itu, yang
lebih mendasar adalah cara memandang ilmu kealaman pada sesuatu itu berbeda
dengan cara memandang yang biasa atau cara memandang seorang filosofis
sekalipun. Cara memandang ilmu kealaman tersebut bersifat analistis, yaitu melihat
segala sesuatu secara lengkap dan cermat,yang kemudian dihubungkan dengan
objek lain, sehingga secara keseluruhannya dapat membentuk perspektif baru
mengenai objek yang diamati tersebut.
Dalam berpikir analistis, orang berangkat dari dasar-dasar pengetahuan yang
umum, dari proposisi-proposisi yang berlaku secara umum, dan meneliti persoalan-
persoalan khusus dari segi dasar-dasar pengetahuan yang umum.
Kebenaran ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu
berpatokan kepada beberapa hal mendasar, yaitu:
1. Adanya teori yang dijadikan dalil utama dalam mengukur fakta-fakta aktual.
2. Adanya data-data yang berupa fakta atau realitas senyatanya dan realitas dalam
dokumen tertentu.
3. Adanya pengelompokan data dan fakta yang signifikan.
4. Adanya uji validitas.
5. Adanya penarikan kesimpulan yang operasional.
6. Adanya fungsi timbale balik antara teori dan realitas.
7. Adanya pengembangan dialektika terhadap teori yang sudah teruji.
8. Adanya pembatasan wilayah penelitian yang proporsional.
Ciri-ciri tersebut merupakan khas pandangan fungsi ilmu kealaman sebagai
metode yang dalam kajian keilmuan lebih dikenal dengan sebutan metode ilmiah.
Oleh karena itu, menurut Juhaya S. Pradja (2014), metode ilmiah dimulai dengan
pengamatan-pengamatan, kemudian memperkuat diri dengan pengalaman dan
menarik kesimpulan atas dasar pembuktian yang akurat.
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method
adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis,empiris, dan
terkontrol.
6
kealaman itu adalah pelestarian alam semesta itu sendiri yang dilakukan melalui
pengkajian berdasarkan kaidah ilmiah.
burung tadi. Burung juga memiliki pengetahuan untuk membuat sarang di atas
pohon.
Manusia juga memiliki insting seperti yang dimiliki oleh hewan. Namun
manusia memiliki kelebihan yaitu adanya kemampuan berfikir. Dengan kata
lain, curiosity-nya tidak tetap sepanjang zaman. Manusia memiliki rasa ingin
tahu yang berkembang, atau kemampuan berfikir. Setelah tahu tentang apanya,
mereka ingin tahu bagaimana dan mengapa begitu. Manusia mampu
menggunakan pengetahuannya yang terdahulu untuk dikombinasikan dengan
pengetahuannya yang baru, sehingga menjadi suatu akumulasi pengetahuan.
Rasa ingin tahu manusia ini menyebabkan pengetahuan mereka menjadi
berkembang. Hal ini tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis untuk
hidupnya sehari-hari, seperti bercocok tanam atau membuat panah atau lembing
untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut
keindahan.
Rasa ingin tahu semacam ini tidak dimiliki oleh hewan. Rasa ingin tahu
pada hewan hanya terbatas pada rasa ingin tahu yang tetap. Yang tidak berubah
dari zaman ke zaman. Hewan bergerak dari satu tempat ke tempat lain hanya
didorong oleh rasa ingin tahunya yang bersangkutan erat dengan nalurinya saja.
Dengan selalu berlangsungnya perkembangan pengetahuan itu tampak
lebih nyata bahwa manusia berbeda dengan hewan. Manusia merupakan mahluk
hidup yang berakal serta mempunyai derajat yang tertinggi bila dibandingkan
dengan hewan atau mahluk lainnya.
2. Mitos
Mitos adalah suatu pengetahuan berdasarkan penghayatan digabungkan
dengan pengalaman dan didasarkan dengan kepercayaan. Dalam istilah lain
disebutkan bahwa mitos adalah pengetahuan baru yang merupakan kombinasi antara
pengalaman-pengalaman dan kepercayaan.
Mitos merupakan tahap kedua dari perkembangan pola pikir manusia. Karena
manusia juga berusaha memenuhi kebutuhan non-fisik atau kebutuhan alam
pikirannya. Rasa ingin tahu manusia ternyata tidak dapat terpuaskan hanya atas
dasar pengamatan maupun pengalamannya. Untuk itulah, manusia mereka-reka
sendiri jawaban atas keingintahuannya itu. Sebagai contoh, “mengapa gunung
meletus?”, karena tak tahu jawabannya, manusia mereka-reka sendiri dengan
9
jawaban “si penunggu gunung itu sedang marah”. Di sinilah muncul pengetahuan
baru yang disebut “si penunggu”. Dengan menggunakan jalan pikiran yang sama,
muncullah anggapan adanya “si penunggu”. Cerita yang berdasarkan atas mitos
disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara lain oleh keterbatasan alat indera
manusia, yaitu indera penglihatan, indera pendengaran, indera pencium, indera
pengecap, dan indera perasa.
Puncak hasil pemikiran mitos terjadi pada zaman Babylonia (700-600 SM)
yaitu horoskop (ramalan bintang), ekliptika (bidang edar Matahari) dan bentuk alam
semesta yang menyerupai ruangan setengah bola dengan bumi datar sebagai
lantainya sedangkan langit-langit dan bintangnya merupakan atap (Dewiki dan Sri,
2004).
3. Penalaran
Berdasarkan kemampuan berpikir manusia yang semakin maju dan
perlengkapan pengamatan makin sempurna misalya teropong bintang yang
semakin sempurna, maka mitos dengan berbagai legenda makin ditinggalkan
orang dan mereka cenderung berpikir secara logis dengan menggunakan akal
sehat (rasio).
Sebagai pembangun pola pikir, maka arah ke mana atau tujuan
sesungguhnya dalam mengkaji ilmu kealaman itu adalah untuk terus
melestarikan nilai-nilai membangun yang menunjang perkembangan pola
berpikir tentang fenomena alam. Pola pikir yang terus berkembang dari waktu
ke waktu, menjadikan suatu temuan dimasa lalu yang kurang sempurna sabagai
“jembatan” untuk temuan yang lebih sempurna dimasa yang akan datang.