masyarakat Yunani dan Romawi kuno, alam pikir India kuno juga
mengenal pengertian korupsi sebagai kemerosotan tatanan moral dan
masyarakat. Dan ciri degeneratif korupsi ini menyangkut kerusakan
tatanan hierarkis ketika orang/kelompok tidak bertindak menurut ke
khasan kasta masing-masing. Ciri degeneratif tatanan dalam paham
Yunani dan Romawi kuno diungkapkan melalui paham siklus bentuk
pemerintahan––Plato, Aristoteles, Polybius, Cicero, dan Machiavelli
punya paham ini. Sejarawan Polybius, misalnya, punya siklus monarki-
tirani-aristokrasi-oligarki-demokrasi-anarki-kembali ke monarki, dan
seterusnya. Kitab Arthashastra juga punya paham degenerasi dan rege
nerasi itu, yaitu “dari kondisi kemerosotan ke kondisi kemandegan lalu
ke kondisi kemajuan”, kemudian berayun ke kemerosotan lagi, dan sete
rusnya.140 Roger Boesche menyebut paham sejarah dalam Arthashastra
ini sebagai teori pendulum.141 Seperti juga dalam paham Yunani dan
Romawi kuno, pokok ini tidak sekadar menyangkut teori sejarah yang
abstrak. Masing-masing kondisi terungkap bukan hanya dalam sua
sana umum kehidupan masyarakat, tetapi juga dalam kinerja institusi-
institusi dan sikap serta perbuatan penduduk dan para pejabat, pega
wai dan petugas kerajaan. Maka, bahkan dalam tata masyarakat kasta
ini pun terdapat paham tentang ‘publik’ dan ‘kepentingan publik’, te
tapi bukan dalam arti modern tentang ‘publik’ sebagai apa yang bukan
‘privat’. Publik menyangkut segala urusan yang menyangga terjadinya
keteraturan tatanan sesuai dharma. Itulah mengapa di zaman kuno
penggelapan uang negara dan penyelewengan/penyalahgunaan jabatan
juga dipandang korupsi. Bukan dalam arti bahwa uang atau jabatan
itu adalah publik melalui mandat rakyat, melainkan publik dalam arti
menyangkut milik raja/ratu dan negara sebagai penjaga tatanan; juga
apabila tatanan itu tersusun dalam pola hierarkis kasta-kasta.
Apa yang jauh lebih eksplisit dalam Arthashastra adalah pengertian
korupsi terkait dengan penyelewengan/penyalahgunaan jabatan, bah
kan secara amat rinci menyebut jenis-jenis tindakan korup, penetapan
hukuman, dan patokan denda bagi tindakan korup. Perhatian lebih
tertuju pada “perbuatan korup para pejabat tinggi daripada pejabat
Sebelum Modernitas | 95
penari, pedagang anggur dan pembuat roti, tukang daging, dan pema
sak nasi”.149 Contohnya, “setelah berteman dengan orang yang dicuri
gai, entah ia seorang hakim atau komisioner, si mata-mata minta dia
agar seorang temannya yang sedang kena perkara dilindungi dengan
imbalan sejumlah uang. Jika hakim itu menerima, ia harus dinyatakan
sebagai penerima suap dan dibuang. Hal yang sama berlaku bagi si
komisioner”.150
Selain penggunaan mata-mata, dalam Arthashastra juga disebutkan
bagaimana fakta dan pembuktian perbuatan korup dikumpulkan dari
para informan, termasuk peniup peluit (whistle blower) dalam penger
tian sekarang: “Informan siapa pun yang memberi informasi tentang
kasus penggelapan, apabila ia berhasil membuktikan, menerima im
balan seperenam dari jumlah yang digelapkan”. Namun, “informan
yang gagal membuktikan keterangannya harus dikenai hukuman den
da uang atau fisik, dan tidak boleh dibebaskan”.151 Semua informasi
rinci tentang bagaimana tugas publik itu dilaksanakan “harus selalu
dipastikan”, lanjut Kautilya, “sebab manusia punya kodrat plin-plan
dan, seperti kuda yang sedang berlari, menunjukkan perangai berubah-
ubah”.152 Dengan perumpamaan indah Kautilya menulis:
Sebagaimana mustahil untuk tidak menjilat madu atau racun yang ada
di ujung lidah, begitu pula tidak mungkin bagi pegawai pemerintah
untuk tidak “makan” sekurangnya sedikit dari kas sang raja. Sebagai
mana ikan di air tidak mungkin diketahui apakah ia minum atau tidak
minum, demikian juga sulit dikenali ketika para pegawai yang bekerja
di pemerintahan menggelapkan uang negara bagi keuntungan mereka
sendiri. Bahkan masih mungkin kita tahu rute terbang burung-burung
di langit, tetapi begitu sulitlah kita memastikan gerak-gerik para pega
wai yang bekerja dengan maksud tersembunyi.153
Sekali lagi perlu diingat, kita tidak tahu apakah semua itu terlaksana.
Pokok-pokok yang disajikan di atas juga bukan untuk membuktikan
apa yang terjadi. Yang diajukan adalah pokok ini. Melalui kitab Artha
shastra kita mengenali bahwa pengertian korupsi sebagai penyeleweng
an jabatan telah berkembang di India kuno lebih dari 2000 tahun lalu.
Namun, arti penyelewengan jabatan dalam Arthashastra bukan untuk
98 | KORU P S I