Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skizofrenia pertama kali didefinisikan sebagai kesatuan gangguan jiwa oleh
Kraeplin, seorang ahli kejiwaan dari Munich, Italia. Pada masa itu ia
menggolongkannya menjadi satu kesatuan yang disebut demensia prekox. Menurut
Kraeplin, pada gangguan ini terdapat kemunduran intelegensi (demensia) sebelem
waktunya (prekox). Skizofrenia menurut Eugen Bleuler merupakan istilah yang
menandakan adanya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pada
pasien yang terkena. Meyer berpendapat bahwa skizofrenia dan gangguan mental
lainnya adalah reaksi terhadap berbagai stress kehidupan, yang dinamakan sindrom
suatu reaksi skizofrenik (Kaplan dan Saddock, 2015).
Skizofrenia menyerang kurang lebih 1% populasi, biasanya berumur dibawah
usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup dan mengenai semua orang dari kelas sosial.
Skizofrenia sendiri mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan etiologi yang
heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respon terhadap terapi, dan
perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinisi menyadari bahwa diagnosis skizofrenia
sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan pemeriksaan status mental, tidak
ada uji laboratorium untuk skizofrenia (Kaplan dan Saddock, 2015).
B. Epidemiologi
Skizofrenia terjadi pada laki-laki dan perempuan secara seimbang. Saat ini
diperkirakan ada 2,2 juta pasien hidup dengan skizofrenia di Amerika Serikat, dan
sekitar 300.000 pasien dirawat di rumah sakit. Penyakit ini biasanya terjadi di usia
produktif yaitu masa remaja akhir atau awal dewasa (18-25 tahun) (Sontheimer,
2015).
Risiko terkena skizofrenia selama hidup seseorang di dunia adalah antara 15
sampai 19 setiap 1.000 penduduk sedangkan point prevalence adalah antara 2
sampai 7 setiap 1.000 penduduk. Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15
kasus baru per 100.000 penduduk (Sample dan Smyth, 2013).
Penelitian di China menunjukkan bahwa total penderita skizofrenia adalah
0,41% dari total jumlah penduduk. Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki dengan usia
muda (18-29 tahun) dan prevalensi lebih tinggi pada wanita dengan usia yang lebih
tua (40 tahun atau lebih) (Tianli et al., 2014).
Gangguan jiwa di Indonesia merupakan penyakit yang merata dan hampir
ada di setiap wilayah. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia
adalah 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta (2,7 per mil),
Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa
Tengah (2,3 per mil) (Kemenkes RI, 2013).
C. Etiologi
Kebanyakan gangguan psikiatrik bersifat multifaktorial dimana terdapat
interaksi antara faktor genetik dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya
gangguan. Adapun pada skizofrenia, faktor genetik berperan sekitar 1% pada normal
populasi, meningkat sekitar 5.6% pada riwayat orang tua dengan skizofrenia, berkisar
10.1% pada saudara, dan 12.8% pada anak. Etiologi yang pasti hingga saat ini belum
diketahui. Adanya peran dari faktor internal (genetik, masa kehamilan, dan
biokemikal) serta faktor eksternal (trauma, infeksi, maupun stress) (Jayalangkara,
2016).
Hipotesa klasik yang paling terkenal adalah berdasarkan adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter yang terjadi di otak. Hal ini didasarkan pada
(Jayalangkara, 2016):
1. Efek obat antipsikotik yang memiliki kemampuan untuk memblok system
dopaminergik di otak.
2. Obat-obat yang diketahui berperan dalam pelepasan dopamin (metafetamin,
meskalin, LSD) dapat menyebabkan keadaan yang mirip dengan keadaan
skizofrenia.
3. Teori dopamin klasik dari skizofrenia: gejala psikotik berkaitan dengan
hiperaktivitas dari sistem dopaminergic di otak. Hiperaktivitas ini sebagai akibat
dari peningkatan sensitivitas dan densitas dari resepotr dopamin D2 di beberapa
bagian di otak.
Saat ini, teori tersebut telah berkembang meliputi beragam sistem
neurotransmitter yang juga berperan dalam etiologi skizofrenia, diantaranya
neurotransmitter serotonin, norepinefrin, glutamate, dan beberapa sistem peptida.
Sementara faktor psikososial yang dapat berperan diantaranya adanaya ekspresi emosi
yang meluap, stressor dalam kehidupan, kelas ekonomi bawah, serta kurangnya
jaringan sosial. TIpe personaliti juga memiliki peran dimana orang dengan ciri
kepribadian skizoid lebih rentan untuk berkembang menjadi gangguan skizofrenia
(Jayalangkara, 2016).
D. Faktor resiko
Menurut DSM V skizofrenia memiliki faktor resiko dalam terjadinya
skizofrenia itu sendiri, seperti:
1. Lingkungan.
Musim kelahiran telah dikaitkan dengan kejadian skizofrenia, termasuk akhir
musim dingin / awal musim semi di beberapa lokasi dan musim panas untuk
bentuk defisit penyakit. Insiden skizofrenia dan gangguan yang terkait lebih tinggi
pada anak-anak yang tumbuh di lingkungan perkotaan dan pada beberapa
kelompok minoritas.
2. Genetik dan psikologi.
Genetik dan psikologi memiliki kontribusi yang kuat untuk faktor genetik
dalam menentukan risiko skizofrenia, meskipun sebagian besar individu yang
telah didiagnosis dengan skizofrenia tidak memiliki riwayat keluarga psikosis.
Skizofrenia diwariskan oleh spektrum alel risiko skizofrenia yang umum dan
langka, dengan masing-masing alel hanya berkontribusi sebagian kecil terhadap
total populasi varians. Alel risiko yang diidentifikasi hingga saat ini juga terkait
dengan gangguan mental lainnya, termasuk gangguan bipolar, depresi, dan
gangguan spektrum autisme.
3. Komplikasi kehamilan dan kelahiran
Komplikasi kehamilan dan kelahiran dengan hipoksia dan usia ayah yang
lebih tua berhubungan dengan risiko skizofrenia yang lebih tinggi untuk janin
yang sedang berkembang. Selain itu, adanya kesulitan pranatal dan perinatal
lainnya, seperti stres, infeksi, malnutrisi, diabetes ibu, dan kondisi medis lainnya,
telah dikaitkan dengan skizofrenia. Namun, sebagian besar keturunan dengan
faktor-faktor risiko ini tidak menyebabkan skizofrenia.
E. Manifestasi Klinis
Pasien skizofrenia biasanya menunjukkan gejala positif, negatif dan
terdisorganisasi (Lambert dan Naber, 2012) :
1. Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental abnormal
yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari fungsi-fungsi normal.
Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak muncul pada individu sehat antara
lain halusinasi dan delusi/waham (kepercayaan yang tidak sesuai sosiokultural).
2. Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental normal.
Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau berkurangnya beberapa
fungsi yang ada pada individu sehat antara lain penurunan ketertarikan sosial atau
personal, anhedonia, penumpulan atau ketidaksesuaian emosi, dan penurunan
aktivitas. Orang dengan skizofrenia sering memperlihatkan gejala negatif jauh
sebelum gejala positif muncul.
3. Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari pikiran, bicara dan perilaku yang kacau.

Tabel 1. Manifestasi klinis skizofrenia (Liebermen et al., 2012).

F. Pedoman diagnostik
1. Berikut Kriteria Diagnostik Skizofrenia yang lengkap dalam DSM-V:
a. Karakteristik Gejala
Karakteristik Gejala Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini,
masing - masing terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan
(atau kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satu harus ada
(delusi), (halusinasi), atau (bicara kacau):
1) Delusi/Waham
2) Halusinasi
3) Bicara Kacau (sering melantur atau inkoherensi)
4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
5) Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan
minat)
b. Disfungsi Sosial/Pekerjaan
Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat
satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkat yang
dicapasebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak - anak atau remaja,
ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat pencapaian hubungan
interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
c. Durasi
Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang
bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yi. gejala fase aktif)
dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi
sebagai gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam
kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh,
pengalaan perseptual yang tidak lazim.
d. Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif
Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri
psikotik telah disingkirkan baik karena:
1) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif.
2) Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya
relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
e. Eksklusi kondisi medis umum/zat
Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu
zat (obat yang disalahgunaan, obat medis) atau kondisi medis umum.
f. Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global
Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan
perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat
bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya
satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).
2. Klasifikasi Skizofrenia menurut DSM-IV
a. Tipe paranoid (F20.0)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut:
1) Preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik
yang sering.
2) Tidak ada hal berikut ini yang prominen : bicara kacau, perilaku kacau
atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
b. Tipe hebefrenik (disorganized) (F20.1)
Tipe skizofrenia memenuhi kriteria berikut.
1) Semua hal dibawah ini prominen:
a) bicara kacau
b) perilaku kacau
c) afek datar atau tidak sesuai
2) Tidak memenuhi kriteria katatonik
c. Tipe katatonik (F20.2)
Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal
berikut.
1) Imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (termasuk
fleksibilitas serea) atau stupor.
2) Aktifitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan
dan tidak dipengaruhi stimulus eksternal)
3) Negativisme ekstrim (resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap
semua instruksi atau dipertahankanya suatu postur rigid dari usaha
menggerakan) atau mutisme
4) Keanehan gerakan volunter sebagaimana diperlihatkan oleh pembentukan
postur (secara volunter menempatkan diri dalam postur yang tidak sesuai
atau bizar), gerakan stereotipi, manerisme prominen, atau menyeringai
prominen
5) Ekolalia atau ekopraksia
d. Tipe tak terdiferensiasi (F20.3)
Tipe skizofrenia yang gejalanya memenuhi kriteria A, namun tidak
memenuhi kriteria tipe paranoid, hebefrenik atau katatonik.
e. Tipe residual (F20.5)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut:
1) Tidak ada waham, halusinasi, bicara kacau yang prominen, serta perilaku
sangat kacau atau katatonik
2) Tedapat bukti kontinu adanya gangguan, sebagaimana diindikasikan oleh
adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada
kriteria A untuk skizofrenia, yang tampak dalam bentuk yang lebih lemah
(contoh : keyakinan aneh, pengalaman perseptual tak lazim).
3. Pedoman Diagnostik Skizofrenia Menurut PPDGJ III (Maslim, 2013) :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. “Thought echo“ = isi pikiran dirinyasendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) , dan isi pikiran ulangan, walaupun isi sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal); dan
“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
b. “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus);
“Delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh
d. Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan (over loaded ideas)
yang menetap, atau yang apabila terjadi setiap hari selama berminggu – minggu
atau berbulan – bulan terus menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor;
d. Gejala – gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal);
Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan
diri secara sosial.
4. Sub Tipe Skizofrenia Menurut PPDGJ III (Maslim, 2003) :
F20.0 Skizofrenia Paranoid
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
b. Sebagai tambahan :
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain
– lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (deusion of influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan keyakinan dikejar – kejar beraneka ragam,
adalah yang paling khas;
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik


a. Memenuhi kriteria umu diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis henefrenia untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15 – 25 tahun)
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
d. Untuk diagnosis henefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan atau hampa perasaan;
2) Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropiate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum
sendiri (self absorbed smilling) atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai ( grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda
gurau (pranks), keluahan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang –
ulang (reiterated phrase).
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol halusinasi atau waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak
(drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless)dan tanpa maksud ( empty of puspose) adanya suatu preokupasi yang
dangkal dan bersifat dibuat – buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersukar orang memahamijalan pikiran pasien.

F20.2 Skizofrenia Katatonik


a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia
b. Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktifitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
2) Gaduh gelisah ( tampak jelas aktifitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi tubuh tertentu yang
tidak wajar atau aneh);
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah yang
berlawanan);
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk melawan upaya
menggerakan dirinya);
6) Fleksibilitas cerea/”waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
7) Gejala – gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata - kata serta kalimat –
kalimat.
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala – gejala lain. Penting untuk diperhatikan
bahwa gejala –gejala katatonik bukan petunjuk untuk diagnosis skizofrenia. Geja
katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat – obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

F20.3 Skizofrenia Tak Terinci


a. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
F20.4 Depresi Pasca Skizofrenia
a. Diagnosis harus ditegakan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
ggambaran klinisnya) dan ;
3) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
b. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-
F20.3).
F20.5 Skizofrenia Residual
a. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
1) Gejala “negatif” dari skizofrenia yan menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non verbal yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotikyang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
3) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia;
4) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.

F20.6 Skizofrenia Simpleks


a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkankarena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik; dan
2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
G. Dianosis Banding
Diagnosis banding untuk skizofrenia menurut DSM V:
1. Gangguan depresif mayor atau gangguan bipolar dengan fitur psikotik atau
katatonik
Perbedaan antara skizofrenia dan gangguan depresif mayor atau
gangguan bipolar dengan fitur psikotik atau dengan katatonia bergantung pada
hubungan waktu antara gangguan mood dengan psikosisnya, dan pada
keparanan dari gejala depresif atau manik. Jika delusi atau halusinasi terjadi
secara eksklusif selama episode depresif mayor atau episode manik, maka
diagnosanya adalah gangguan depresif atau bipolar dengan fitur psikotik.
2. Gangguan skizoafektif.
Suatu diagnosis gangguan skizoafektif memerlukan suatu episode
depresif atau manik yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif dan
bahwa gejala moodnya tampak dalam sebagian besar waktu dari durasi total
periode aktif.
3. Gangguan skizofreniform dan gangguan psikotik akut.
Gangguan ini durasinya lebih singkat dari skizofrenia seperti yang
dispesifikan dalam Kriteria C, yang memerlukan 6 bulan gejala. Pada
gangguan skizofreniform , gangguannya ada kurang dari 6 bulan,dan pada
gangguan psikotik akut , gejala tampak setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1
bulan.
4. Gangguan delusional.
Gangguan delusional dapat dibedakan dengan skizofrenia oleh
absennya gejala karakteristik yang lain dari skizofrenia (misalnya delusi,
halusinasi visual atau auditori yang menonjol, pembicaraan yang tidak
terorganisasi, perilaku tidak terorganisasi dan katatonia yang menonjol, atau
gejala negatif).
5. Gangguan kepribadian skizotipal.
Gangguan kepribadian skizotipal dapat dibedakan dengan skizofrenia
dengan menggunakan gejala subthreshold yang berhubungan dengan fitur
kepribadian persisten.
6. Gangguan obsesif kompulsif dan gangguan dismorfik tubuh.
Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan dismorfi
tubuh mungkin ada dengan wawasan yang kurang atau tidak ada sama sekali,
dan preokupasi mungkin mencapai proporsi delusional . namun gangguan ini
dibedakan dengan skizofrenia oleh obsesinya yang menonjol, kompulsi, dan
preokupasi dengan adanya bau badan , penimbunan , atau badannya merepetisi
sikap-sikap tertentu.
7. Gangguan stress post-traumatik.
Gangguan stress post-traumatik dapat mengikutsertakan kilas balik
yang memiliki kualitas halusinatoris, terlalu waspada dapat mencapai proporsi
paranoid. Namun peristiwa traumatik dan fitur gejala karakteristik
berhubungan dengan reaksi terhadap kejadian tersebut diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
8. Spektrum gangguan autisme atau gangguan komunikasi.
Gangguan ini mungkin juga memiliki gejala yang menyerupai episode
psikotik tetapi dibedakan dengan masing-masing kurangnya interaksi sosial
dengan perilaku repetitif dan restriktif dan defisit komunikasi serta kognitif
yang lainnya. Seorang individu dengan spektrum gangguan autisme atau
gangguan komunikasi harus memiliki gejala yang memenuhi kriteria penuh
untuk skizofrenia , dengan halusinasi atau delusi yang menonjol setidaknya
selama 1 bulan, untuk dapat didiagnosa sebagai skizofrenia karena kondisi
komorbid.
9. Gangguan mental lain yang berhubungan dengan episode psikotik.
Diagnosa skizofrenia dibuat hanya saat episode psikotiknya persisten
dan tidak terkait dengan efek fisiologis dari zat tertentu atau kondisi medis
yang lain. Individu dengan delirium atau gangguan neurokognitif mayor atau
minor mungkin datang dengan gejala psikotik, namun hal ini memiliki
hubungan waktu dengan onset perubahan kognitif yang konsisten dengan
gangguan tersebut. Individu dengan gangguan psikotik yang terinduksi oleh
zat/obat-obatan biasa datang dengan gejala dari Kriteria A untuk skizofrenia ,
tapi gangguan psikotik terinduksi zat/obat-obatan biasanya dapat dibedakan
dengan hubungan kronologis dengan pemakaian zat-zat terhadap onset dan
remisi dari psikosis dalam absennya pemakaian obat.
H. Penatalaksanaan
Pengobatan skizofrenia dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu (Mueser dan
Jeste, 2008):
1. Gejala akut
a. Farmakoterapi
Pada gejala akut terapi bertujuan pengobatan untuk mengurangi
gejala psikotik pada pasien seperti agitasi, agresif, negatif simptom, positif
simptom, serta gejala afek. Langkah Pertama: berbicara kepada pasien dan
memberinya ketenangan. Langkah Kedua: keputusan untuk memulai
pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien
berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi
lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara
yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.
Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan
awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu
dipertimbangkan.
1) Obat Injeksi
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang
setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal
29,25mg/hari), intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang
setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis
maksimum 30mg/hari.
2) Obat Oral
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman
pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala
terhadap antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap
obat tertentu terkait cara pemberiannya.
Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-
lahan secara bertahap dalam waktu 1-3 minggu, sampai dosis optimal
yang dapat mengendalikan gejala.
b. Psikoedukasi
Tujuan intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,
stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan
ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi
yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan
yang nyaman, toleran perlu dilakukan.
c. Terapi lainnya
Terapi kejang listrik (elektro convulsif therapie/ ECT) dapat
dilakukan pada Skizofrenia katatonik dan Skizofrenia refrakter.
2. Stabilisasi
Setelah tujuan terapi untuk fase akut telah tercapai, terapi dilanjutkan ke
tahap selanjutnya, yaitu tahap stabilisasi, yang merupakan fase transisi dari
terapi rawat inap dan rawat jalan. Tujuan pengobatan fase ini adalah sebagai
berikut:
a. Optimalisasi obat, untuk menurunkan frekuensi dosis, berhenti kecuali jika
dibutuhkan (untuk mengurangi efek samping obat).
b. Kepatuhan obat, medikasi selama 6 bulan diawal dapat mengurangi risiko
kekambuhan sebesar 30% dibandingkan dengan tidak mengambil obat sama
sekali.
c. Terapi insight untuk membantu pasien memahami penyakit mereka dan
kebutuhan atas obat
Ini adalah tahap yang paling penting dari pengobatan, karena kesadaran
pasien berkaitan erat dengan proses perawatan dan hasil dari pengobatan.
Pasien dituntut untuk memahami resiko buruk jika tidak patuh mengikuti
proses pengobatan, disamping itu pasien juga perlu tahu efek samping dari
pengobatan yang sedang dilakukan.
3. Fase Rumatan
a. Farmakoterapi
Setelah enam bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang
bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia
menahun, neuroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan
lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien
(seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit badaniah yang
menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan
sebagainya). Senantiasa kita harus waspada terhadap efek samping obat.
Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat
memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak mengganggu
fungsi psikososial pasien. Hasil pengobatan akan lebih baik bila
antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun pertama dari penyakit.
b. Psikoedukasi
Tujuan intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi
kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok
diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan
mengenali dan mengelola gejala prodormal, sehingga mereka mampu
mencegah kekambuhan berikutnya.
I. Prognosis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa selama periode 5-10 tahun
setelah rawat inap psikiatris pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% pasien
digambarkan memiliki hasil yang baik. Lebih dari 50% pasien digambarkan memiliki
hasil yang buruk, dengan rawat inap berulang, gejala eksaserbasi, episode gangguan
mood, dan usaha bunuh diri (Kaplan dan Saddock, 2015). Meskipun demikian
skizofrenia tidak selalu berjalan memburuk, dan terdapat beberapa faktor telah
dikaitkan dengan prognosis yang baik (Tabel 1.2).
Prognosis Baik Prognosis Buruk
1. Awitan terlambat 1. Awitan usia muda
2. Faktor pencetus yang jelas 2. Faktor pencetus tidak jelas
3. Onset akut 3. Fakor berbahaya
4. Riwayat sosial, keluarga, dan 4. Riwayat sosial, keluarga, dan
pekerjaan premorbid yang baik pekerjaan premorbid yang buruk
5. Gejala gangguan mood 5. Penarikan diri, perilaku autistik
6. Status menikah 6. Status belum menikah/ bercerai
7. Riwayat keluarga gangguan mood 7. Riwayat keluarga skizofrenia
8. Gejala positif 8. Gejala negatif
9. Sistem pendukung baik 9. Sistem pendukung buruk
10. Tanda dan gejala neurlogis
11. Riwayat trauma perinatal
12. Tidak mengalami remisi dalam 3 th
13. Sering kambuh
Tingkat remisi dilaporkan berkisar 10-60%, dan diperkirakan 20-30% dari
semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang lebih normal. Sekitar 20-
30% pasien mengalami gejala-gejala sedang presisten, dan 40-60% pasien tetap
mengalami gangguan yang signifikan seumur hidup (Kaplan dan Saddock, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. 2010. Skizofrenia, dalam Buku Ajakar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (DSM-4). American Psychiatric Pub.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (DSM-5). American Psychiatric Pub.
Amir, N. 2017. Skizofrenia dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., dan Grebb, J. A. 2010. Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri –
Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikiatri Klinis Bagian Skizoafektif Edisi Kedua, 10:
147-168. Philadelphia: Lippincott Wiliams And Wilkins.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., dan Grebb, J. A. 2015. Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri –
Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikiatri Klinis Bagian Skizoafektif Edisi Ke sebelas.
Philadelphia: Lippincott Wiliams And Wilkins.

Jayalangkara, T. 2016. Skizofrenia Bahan Kuliah Psikiatri Neuropsikiatri. UNHAS, Makasar.


Avaible at https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/Skizofrenia-Bahan-Kuliah-psikiatri-neuropsikiatri.pdf, diakses
pada Senin, 01 Oktober 2018.
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Lambert, M. dan Naber, D. 2012. Current Schizophrenia3rd edition. London: Springer
Healthcare.
Lieberman, J. A., Stroup, T. & Perkins, D. O., 2012. Essentials of Schizophrenia. Arlington:
American Psychiatric Publishing, Inc.
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ –
III. Jakarta: Nuh Jaya.
Mueser, K, T., dan Jeste, D, V. (Eds). 2008. Clinical handbook of schizophrenia. New York:
The Guilford Press.
Moore, D. P., 2008. Textbook of Clinical Neuropsychiatry. Boca Raton: Taylor& Francis
Group, LLC.
Palmer BA, Pankratz VS, Bostwick JM. 2005. The lifetime risk of suicide in schizophrenia: a
reexamination. Archives of General Psychiatry. 62 (3): 247–53.
Sample, D., Smyth, R. 2013. Oxford Handbook of Psychiatry,(3rd ed. United Kingdom:
Oxford University Press. 174-175.
Sontheimer, H. 2015. Disease Of The Nervous System. UK: Academic Press.
Tianli, L., Xinming, S., Gong, C., Angela, D. P., &Xiaoying Z. 2014. Prevalence Of
Schizophrenia Disability and Associated Mortality Among Chinese Men and
Women.Psychiatry Research 220: 185.
Townsend, M. C., 2015. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care in Evidence-
Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai