Disusun Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, penulis
masih diberikan-Nya kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan tugas
laporan bacaan ini tepat pada waktunya. Adapun penulis mengangkat judul tugas
laporan bacaan dengan judul sesuai dengan buku yang dibaca yaitu “Di Belanda
Tak Seorang Pun Mempercayai Saya”.
Tujuan dari penyusunan tugas laporan bacaan ini adalah hendak
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia yang telah diberikan dosen
pembimbing, Prof. Dr. Anhar Gonggong dan Dr. Kurniawati, M.Si, agar kami
lebih memahami materi-materi perkuliahan dan memperkaya wawasan.
Penulis menyadari bahwa di dalam tugas laporan bacaan ini terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan dalam laporan yang dibuat, untuk itu penulis
meminta maaf.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan mengharapkan kritik
dan saran yang dapat membangun tugas laporan bacaan penulis, demi
penyempurnaan dan perbaikan tugas laporan bacaan ini maupun tugas
selanjutnya. Semoga tugas laporan bacaan ini bermanfaat bagi seluruh
pembaca. Aamiin.
ii
DAFTAR ISI
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Maarten Hidskes lahir tahun 1967. Lulusan dari Universitas Leiden tahun
1994. Bekerja sebagai editor akhir dan peneliti untuk pelbagai program televisi,
diantaranya NOVA, NPS, VPRO, VARA, dan Het Klokhuis. Perjalanan
pencariannya menemukan peran ayahnya dalam Peristiwa Sulawesi Selatan
sebelumnya telah ditayangkan dalam acara televisi Andere Tijden. Maarten
Hidskes, memutuskan untuk menyelidiki peran ayahnya di Sulawesi sampai
mendasar. Dia mendapatkan kepercayaan dari beberapa mantan tentara komando
dari regu pasukan ayahnya, menganalisis surat-surat yang dikirim ayahnya dari
Hindia, dan mempelajari laporan-laporan intelijen tentang teror di Sulawesi.
Dengan cara yang mengharukan, Maarten berhasil menyusun rekonstruksi masa
lalu perang dari ayahnya. Peran yang hingga dia meninggal dunia pada tahun
1992, tak pernah dia sampaikan cerita itu, sekalipun kepada anaknya. Kenapa dia
selama lima puluh tahun membungkam diri tentang semua pengalamannya di
Sulawesi Selatan? Sejauhmana keterlibatannya dalam pelaksanaan aksi-aksi
pasukan Westerling dilakukannya dengan sukarela?. Pertanyaan-pertanyaan
2
tersebut yang berusaha penulis jawab melalui penulisan buku berjudul “Di
Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya.”
Piet dilahirkan tahun 1922, dari keluarga sederhana yang merupakan anak
ke enam dari 7 bersaudara dan memiliki adik laki-laki. Ayahnya (Opa dari
penulis) bernama Geert, adalah sosok yang berwibawa, setia pada negaranya,
tidak menyukai gerakan kiri dan bekerja di Bea Cukai. Opa Geert sudah terbiasa
memberlakukan disiplin pada anak-anaknya. Di tahun 1944, Piet mendaftarkan
diri sebagai seorang sukarelawan perang. Dia ingin menjadi bagian dari sesuatu
yang lebih besar sehingga bulan Juli 1946 Piet Hidskes mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan pada Depot Speciale Troopen (DST, Depot Pasukan Khusus),
dengan nomor tentara 220522000. DST merupakan korps elite dari Koninklijke
Nederlansch-Indisch Leger (Pasukan Hindia-Belanda), memiliki anggota 123 laki-
laki, 30 diantaranya pemuda berkulit putih. DST berada di bawah komando
Kapten Westerling yang menerima carte blanche untuk menumpas
pemberontakan di Indonesia dan melakukan aksi-aksi pembersihan. Setelah
mengikuti pelatihan selama enam bulan, Piet Hidskes ditempatkan di Sulawesi
Selatan dan terlibat dalam “Peristiwa Sulawesi Selatan.” Piet Hidskes tidak
menceritakan kepada siapapun apa yang terjadi di sana. Siapa yang akan
mempercayainya?.
Setelah tamat dari pendidikan militer dia diangkat menjadi instruktur (pelatih).
Pada saat terjadinya Perang Dunia II, diterjunkan ke Belgia pada tahun 1944, pada
masa itu masih diduduki oleh Nazi/Jerman. Tujuan serta tugasnya adalah
menyusun gerakan dibawah tanah untuk mematahkan kekuatan Jerman saat itu.
Karena keberaniannya serta bakat-bakat militer yang dimiliki, diapun sangat
dipercaya oleh atasannya. Pada bulan Agustus 1945 Westerling telah tiba di
Indonesia bersamaan dengan masuknya Sekutu. Westerling pertama kalinya
diterjunkan di Medan dengan tugas untuk mempersiapkan pendaratan Sekutu di
Sumatra. Tugas selanjutnya adalah dari pihak Kerajaan Belanda, untuk menumpas
gerilyawan-gerilyawan yang banyak berkeliaran di Indonesia bagian Timur,
khususnya Sulawesi Selatan sehingga menghambat para pejuang yang berusaha
mempertahankan kemerdekaan di Indonesia Timur.
1.4 Gambaran Wilayah
BAB II
PEMBAHASAN ISI BUKU
Pada bab 1 ini digambarkan pada masa-masa awal Piet di Indonesia. Selain
itu, penulis juga mencoba menuturkan kisah dengan membayangkan percakapan
yang tak pernah terjadi dengan ayahnya. Terkadang juga mencoba berdialog
terhadap rekonstruksi masa lalu ayahnya, yang diceritakan oleh teman-teman
seperjuangan ayahnya. Salah satunya seperti kutipan di bawah ini.
Selama lima puluh tahun pertama sekembali dari Hindia, tak seorangpun
dari anggota pasukan khusus ini menceritakan peristiwa di Sulawesi terhadap
keluarganya. Eksekusi yang telah mereka laksanakan mengandung makna bahwa
para veteran tentara komando tersebut merasakan adanya keharusan untuk
melakukan tindakan keras. Apabila peristiwa ini diceritakan kepada orang
dirumah, ‘tak seorang pun akan mempercayai saya’, kata Wim.
Bab dua ini diawali dari aksi Piet pada tanggal 13 Desember 1946 di
Perairan Kampung Tanjung Bunga, di selatan Makassar. Tugas Piet dan anggota
Pada aksi ketiga, ditemukan pelbagai kartu dan daftar anggota, 26 badik, 4
tombak bambu, 30 pisau dan keris, 6 lampu senter, dan 1 mesin hitung.
Banyaknya penemuan ini, pasukan tersebut menganggap telah menemukan lokasi
persembunyian teroris. Dalam pelaksanaan aksi, dua rumah terbakar. Pada aksi
keempat, semua tentara Komando DST digeledah karena menurut saksi mata,
mereka membawa barang berharga seperti kain sarung, pakaian, dan barang-
barang lain yang berharga. Akan tetapi, itu semua bohong. Pada aksi ini,
keseluruhan jumlah yang dieksekusi ada 33 laki-laki.
Satu-satunya yang diketahui oleh para veteran tentara komando itu adalah
bahwa Kapten Westerling telah menerima instruksi dari atasan untuk melakukan
pembersihan di Sulawesi Selatan. Wim sangat meyakini hal itu. Ketika istrinya
sebentar ke dapur, dia menatap tajam ke saya: ‘Hidup di Sulawesi Selatan dikala
itu menjadi lebih berat dan lebih jelas.’
Hidup di Sulawesi menjadi makin berat karena para tentara khusus ini
adalah orang yang turut ambil bagian, terbawa dalam situasi serta ditempatkan
dalam peleton eksekusi. Apalagi Piet, salah satu orang yang suka berdiri di garis
depan, tidak ingin dikenal sebagai pengecut, dan merasa bahwa di Hindia tersedia
banyak peluang untuk masa depan. Selain Piet, para tentara komando tersebut
8
setuju bahwa bukan tugas yang bersih yang mereka lakukan disana. Sebelum DST
memulai aksinya, segala metode lain sudah dicoba, tetapi tidak ada yang berhasil.
Para tentara komando ini menganggap bahwa metode Westerling adalah metode
yang mengerikan, tetapi mereka yakin tidak ada metode yang lainnya yang bisa
membebaskan pulau tersebut dari cengkeraman teror. Ketika itu, sulit untuk
menghadapi lawan melalui cara yang normal. Mereka bersembunyi di balik
penduduk, sehingga tentara komando tidak dapat mengetahui apakah mereka
menangkap yang benar atau yang kurang benar. Dalam situasi ini, mereka harus
membiasakan diri.4
Untuk mengetahui rahasia musuh, ia memasuki kota dan menyamar sebagai Polisi
Tentara Belanda agar dapat menentukan sasaran serangan. Taktik tersebut
membuat Belanda kesulitan dan rugi besar. (sumber: http://biokristi.sabda.org)
10
aksi secara yuridis, dan keseluruhan cara aksi Westerling tidak lain merupakan
pembunuhan dan tidak sesuai dengan hukum. Semua aksi yang sedang
dilancarkan DST harus diberikan perlindungan secara yuridis. Pada peraturan
untuk pengadilan militer di lapangan: ‘Pasal 162: Kepada seorang terpidana mati,
hukuman mati akan diberikan oleh oditur militer/ jaksa 2x24 jam sebelum
eksekusi’. Pada kenyataan aksi tersebut, waktu menunjuk tersangka dan
menembaknya mati di lapangan tidak lebih dari 1 menit. Oleh karena itu, Lambers
berusaha memelintir tata bahasa yang digunakan agar secarakonstitusional dapat
membenarkan tembakan peluru dari senapan anggota DST. Lambers mengusulkan
agar menganggap aksi DST itu sejenis pengadilan militer sementara di lapangan
untuk mengadili perbuatan-perbuatan teror. Pengadilan khusus militer6 ini tidak
ada jaksa dan juga sekretaris serta menentukan sendiri aturan pemrosesannya,
susunannyapun dapat berubah sesuai kondisinya.
Pada bab ini menceritakan bahwa para penjaga sistem hukum tertinggi
menduga metode Westerling sebagai metode yang menular. Selain Westerling dan
Vermeulen, ternyata pada pertengahan Januari 1947, Mayor Stufkens dan Kapten
Rijborz melengkapi diri mereka dengan metode pelaksanaan eksekusi di tempat di
wilayah Sulawesi Selatan. Hak ini digambarkan pada fakta akan pernyataan yang
diucapkan Rijborz didepan atasannya, Stufkens ‘sebentar kelar...’. Dia bertindak
keras, jika perlu, ia ikut langsung terjun bertempur. Pada peristiwa di Parepare,
dalam sesaat dia mampu membunuh 26 tawanan yang ditembak mati di
pemberhentian bus. Ketika penulis bandingkan 26 nama yang ada dalam daftar
incaran dengan nama-nama di Monumen Pasar Parepare, nama-nama itu tidak
sesuai. Setelah kejadian ini, seorang Kepala Inspektur Polisi membawa 2 tahanan
keluar dari penjara untuk diperlihatkan pada mayat-mayat yang tergeletak, karena
6 Prosedurnya: berjalan secara lisan, tidak mengenal adanya grasi, hukuman mati
dilaksanakan dengan tembakan pelurudi tempat yang cocok didekat tempat
dijatuhkan vonis.
11
hal ini, tahanan tersebut memberikan semua informasi yang dia ketahui. Setelah
aksi selesai, mayat-mayat dimasukkan ke dalam satu lubang kuburan massal.
2.7 Bab 7: Percakapan Yang Tak Pernah Terjadi Tentang Perintah Yang
Diberikan Tanpa Wewenang
8Komisi ini didirikan April 1947, langsung melaksanakan tugasnya namun baru
menyerahkan laporan penyelidikannya pada Mei 1948.
13
mengeksekusi 388 orang, Vermeulen 1.055, pasukan KNIL sekitar 1.500 pada
saat aksi-aksi sampingan dalam periode yang sama. Angka-angka Belanda tentang
aksi-aksi terorisme yang dilakukan pihak Indonesia periode Juli 1946- Juni 1947
sejumlah 1.210 orang telah dibunuh kelompok ekstremis di Sulawesi, 408 orang
dinyatakan hilang, 300 orang diculik, 2.661 peristiwa kerusuhan dan 555
pembakaran.
Dokumentasi:
Piet Hidskes (jongkok kedua dari kanan), anggota DST atau anak buah Westerling
dalam peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan. (Maarten
Hidskes/thuisgelooftniemandmij.nl dalam Historia).
9 mr. A.D. Belinfante adalah penasihat paling ahli yang dikerahkan Depertemen
Kehakiman untuk menangani kasus yang menyakitkan mengenai Peristiwa
Sulawesi Selatan. Ditunjuk untuk mengemban tugas ini pada Desember 1954.
15
Westerling
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Buku yang terdiri dari 7 bab ini, banyak memberikan sumbangsih dalam
kajian peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan. Maarten (penulis) mampu
menyajikan dengan sangat baik berdasarkan fakta penelusuran mengenai peran
ayahnya melalui arsip laporan maupun arsip pribadi pejabat pemerintah Belanda,
surat-surat pribadi ayahnya, wawancara dengan teman seperjuangan ayahnya,
maupun buku-buku psikologi tentang kekerasan pada perang. Tidak hanya isi
buku yang menarik, kata pengantar yang terdapat pada buku inipun sudah secara
ringkas dan padat dalam menggambarkan isi buku, sehingga hal ini membantu
pembaca agar lebih mudah memahami isi buku.
16
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia. 2009. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Internet:
http://18.ni.web.id/id1/1677-1575/Pembantaian-Westerling_34619_18-
ni.html20BAB%20I.pdf
https://historia.id/modern/articles/membuka-peristiwa-pembantaian-di-sulawesi-
selatan-vqjQK
http://obor.or.id/index.php?route=product/product&product_id=830
http://sejarahri.com/pembantaian-masal-westerling-di-sulawesi-selatan/
https://www.academia.edu/16495190/Makalah_Ratu_Adil_Intisari_Buku_Ratu_A
dil_Karya_Michael_Adas_
https://www.dictio.id/t/pembantaian-westerling-di-sulawesi-selatan-1946-
1947/85102
https://www.idsejarah.net/2017/03/peristiwa-pembantaian-westerling.html
17
18