Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH LAPORAN MEMBACA BUKU

“DI BELANDA TAK SEORANG PUN MEMPERCAYAI SAYA”

Mata Kuliah Sejarah Indonesia

Disusun Oleh:

Estik Wijayasari 9915817010

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, penulis
masih diberikan-Nya kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan tugas
laporan bacaan ini tepat pada waktunya. Adapun penulis mengangkat judul tugas
laporan bacaan dengan judul sesuai dengan buku yang dibaca yaitu “Di Belanda
Tak Seorang Pun Mempercayai Saya”.
Tujuan dari penyusunan tugas laporan bacaan ini adalah hendak
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia yang telah diberikan dosen
pembimbing, Prof. Dr. Anhar Gonggong dan Dr. Kurniawati, M.Si, agar kami
lebih memahami materi-materi perkuliahan dan memperkaya wawasan.
Penulis menyadari bahwa di dalam tugas laporan bacaan ini terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan dalam laporan yang dibuat, untuk itu penulis
meminta maaf.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan mengharapkan kritik
dan saran yang dapat membangun tugas laporan bacaan penulis, demi
penyempurnaan dan perbaikan tugas laporan bacaan ini maupun tugas
selanjutnya. Semoga tugas laporan bacaan ini bermanfaat bagi seluruh
pembaca. Aamiin.

Jakarta, Oktober 2018


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Identitas Buku dan Penulis ...................................................................... 1

1.2 Gambaran Kondisi .................................................................................. 2

1.3 Gambaran Tokoh ..................................................................................... 3

1.4 Gambaran Wilayah.................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ISI BUKU ................................................................ 5

2.1 Bab 1 ....................................................................................................... 5

2.2 Bab 2 ....................................................................................................... 6

2.3 Bab 3 ....................................................................................................... 8

2.4 Bab 4 ....................................................................................................... 9

2.5 Bab 5 ....................................................................................................... 10

2.6 Bab 6 ....................................................................................................... 11

2.7 Bab 7 ....................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 16

3.1 Komentar ................................................................................................. 16

3.2 Kelebihan dan Kekurangan ..................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 17

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Identitas Buku dan Penulis


Judul Buku : Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya
Judul Asli Buku : Thuis Gelooft Niemand Mij: Zuid-Celebes 1946-1947
Penulis : Maarten Hidskes
Penerjemah : Susi Moeimam, Maya Sutedja-Liem, Nurhayu Santoso
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2018
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : xxx + 298 hlm
Cetakan ke- :1
Penulis :

Maarten Hidskes lahir tahun 1967. Lulusan dari Universitas Leiden tahun
1994. Bekerja sebagai editor akhir dan peneliti untuk pelbagai program televisi,
diantaranya NOVA, NPS, VPRO, VARA, dan Het Klokhuis. Perjalanan
pencariannya menemukan peran ayahnya dalam Peristiwa Sulawesi Selatan
sebelumnya telah ditayangkan dalam acara televisi Andere Tijden. Maarten
Hidskes, memutuskan untuk menyelidiki peran ayahnya di Sulawesi sampai
mendasar. Dia mendapatkan kepercayaan dari beberapa mantan tentara komando
dari regu pasukan ayahnya, menganalisis surat-surat yang dikirim ayahnya dari
Hindia, dan mempelajari laporan-laporan intelijen tentang teror di Sulawesi.
Dengan cara yang mengharukan, Maarten berhasil menyusun rekonstruksi masa
lalu perang dari ayahnya. Peran yang hingga dia meninggal dunia pada tahun
1992, tak pernah dia sampaikan cerita itu, sekalipun kepada anaknya. Kenapa dia
selama lima puluh tahun membungkam diri tentang semua pengalamannya di
Sulawesi Selatan? Sejauhmana keterlibatannya dalam pelaksanaan aksi-aksi
pasukan Westerling dilakukannya dengan sukarela?. Pertanyaan-pertanyaan
2

tersebut yang berusaha penulis jawab melalui penulisan buku berjudul “Di
Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya.”

1.2 Gambaran Kondisi


Berakhirnya Perang Dunia 2 di Asia ditandai dengan diselenggarakannya
Kapitulasi Jepang tanggal 15 Agustus. Jepang harus menandatangani perjanjian
kekalahan kepada Sekutu, karena bom atom di dua kota yakni Hirosima dan
Nagasaki yang membuat Jepang tidak berdaya. Perjanjian antara Jepang dengan
Sekutu diadakan diatas kapal USS Missouri yang berlabuh di teluk Tokyo.
Penyerahan Jepang ini menandakan berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia.
Alih-alih Indonesia kembali kepangkuan Belanda, tetapi justru atas berkat rahmat
Allah yang Maha Kuasa, Bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan
dirinya pada tanggal 17 Agustus.

Pada tanggal 18 Agustus dilanjutkan melalui sidang PPKI, bangsa ini


menyatakan dirinya sebagai sebuah negara berbentuk Republik dan Kesatuan,
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemerdekaan Indonesia tidak
bisa diterima oleh Belanda, sehingga untuk mengembalikan wilayah jajahannya,
Belandapun memaksa dengan jalan perang yang dilakukan dari tahun 1945-1949.
Perang ini memiliki makna yang berbeda, bagi Belanda disebut sebagai perang
kolonialis, yaitu perang untuk mengembalikan wilayah kekuasaannya Hindia-
Belanda. Makna lain, bagi Indonesia perang ini berarti mempertahankan
kemerdekaan yang telah diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
(hal xiv, kata pengantar)

Makna yang berbeda ini, selanjutnya akan mempengaruhi penyebutan dalam


buku. Tokoh-tokoh yang dianggap pejuang bagi Bangsa Indonesia, di mata
Belanda merupakan pengkhianat, teroris, ataupun orang-orang yang dianggap
bertindak brutal dan berusaha mengacaukan keamanan. Padahal bagi Bangsa
Indonesia justru sebaliknya, kedatangan pasukan-pasukan Belanda ini yang
membuat keadaan menjadi kacau, dan menimbulkan perang. Salah satunya adalah
Peristiwa Sulawesi yang terjadi dalam kurun waktu sekitar 12 minggu yaitu dari
11 Desember 1946- 3 Maret 1947.
3

1.3 Gambaran Tokoh


Buku yang berjudul “Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya”
menjelaskan mengenai percakapan yang tak pernah terjadi antara penulis yaitu
Maarten Hidskes dengan ayahnya, Peter (Piet) Hidskes mengenai peran ayahnya
dalam “Peristiwa Sulawesi Selatan.” Penulis menggunakan fakta-fakta yang
diperoleh berdasar sumber-sumber dokumen, dan mampu menguraikan dengan
narasi yang seolah-olah membuat pembaca terbawa kepada peristiwa di masa itu.

Piet dilahirkan tahun 1922, dari keluarga sederhana yang merupakan anak
ke enam dari 7 bersaudara dan memiliki adik laki-laki. Ayahnya (Opa dari
penulis) bernama Geert, adalah sosok yang berwibawa, setia pada negaranya,
tidak menyukai gerakan kiri dan bekerja di Bea Cukai. Opa Geert sudah terbiasa
memberlakukan disiplin pada anak-anaknya. Di tahun 1944, Piet mendaftarkan
diri sebagai seorang sukarelawan perang. Dia ingin menjadi bagian dari sesuatu
yang lebih besar sehingga bulan Juli 1946 Piet Hidskes mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan pada Depot Speciale Troopen (DST, Depot Pasukan Khusus),
dengan nomor tentara 220522000. DST merupakan korps elite dari Koninklijke
Nederlansch-Indisch Leger (Pasukan Hindia-Belanda), memiliki anggota 123 laki-
laki, 30 diantaranya pemuda berkulit putih. DST berada di bawah komando
Kapten Westerling yang menerima carte blanche untuk menumpas
pemberontakan di Indonesia dan melakukan aksi-aksi pembersihan. Setelah
mengikuti pelatihan selama enam bulan, Piet Hidskes ditempatkan di Sulawesi
Selatan dan terlibat dalam “Peristiwa Sulawesi Selatan.” Piet Hidskes tidak
menceritakan kepada siapapun apa yang terjadi di sana. Siapa yang akan
mempercayainya?.

Tujuh puluh tahun sesudah “Peristiwa Sulawesi Selatan”, nama Westerling


mencuat menjadi ikon. Westerling memiliki nama lengkap Raymond Paul Pierre
Westerling. Dia memiliki julukan de Turk (si orang Turki) karena lahir di
Istambul, Turki pada Agustus tahun 1909, ayahnya adalah seorang Belanda dan
ibunya berkebangsaan Turki. Westerling dikenal sebagai ahli gulat. Karir
militernya dimulai ketika dia mendapatkan tugas pendidikan militer di Kanada.
4

Setelah tamat dari pendidikan militer dia diangkat menjadi instruktur (pelatih).
Pada saat terjadinya Perang Dunia II, diterjunkan ke Belgia pada tahun 1944, pada
masa itu masih diduduki oleh Nazi/Jerman. Tujuan serta tugasnya adalah
menyusun gerakan dibawah tanah untuk mematahkan kekuatan Jerman saat itu.
Karena keberaniannya serta bakat-bakat militer yang dimiliki, diapun sangat
dipercaya oleh atasannya. Pada bulan Agustus 1945 Westerling telah tiba di
Indonesia bersamaan dengan masuknya Sekutu. Westerling pertama kalinya
diterjunkan di Medan dengan tugas untuk mempersiapkan pendaratan Sekutu di
Sumatra. Tugas selanjutnya adalah dari pihak Kerajaan Belanda, untuk menumpas
gerilyawan-gerilyawan yang banyak berkeliaran di Indonesia bagian Timur,
khususnya Sulawesi Selatan sehingga menghambat para pejuang yang berusaha
mempertahankan kemerdekaan di Indonesia Timur.
1.4 Gambaran Wilayah

Tempat terjadinya “Peristiwa Sulawesi Selatan”


Sumber: Buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya
5

BAB II
PEMBAHASAN ISI BUKU

2.1 Bab 1: Sungguh, bukan begitu yang saya bayangkan

Penulis menggambarkan mengenai kondisi saat Piet Hidskes berada di


Kamp Mattoangin, Makassar pada tanggal 11 Desember 1946. Piet berada di
peleton keempat (peleton terakhir) yang di dalamnya merupakan gabungan dari
para pemuda Belanda, Sunda, Timor, Manado, Jawa, dan ambon. Masing-masing
peleton terdiri dari 25 tentara. Pukul 06.55, Piet tiba di Kampung Batua, bersama
anggota pasukan lain. Pukul 08.45, seluruh penduduk dari Kampung Borong,
Patunuang, Parang, dan Baraya dipisahkan antara laki-laki, perempuan dan anak-
anak, serta berdasarkan kampungnya masing-masing. Jumlah mereka yang
berkumpul di Lapangan Batua sebanyak tiga ribu orang. Kemudian munculah
Westerling untuk menginterogasi dan dilanjutkan perintah kepada regu tembak,
agar menembak orang-orang yang dianggap penjahat/ teroris.

Pada bab 1 ini digambarkan pada masa-masa awal Piet di Indonesia. Selain
itu, penulis juga mencoba menuturkan kisah dengan membayangkan percakapan
yang tak pernah terjadi dengan ayahnya. Terkadang juga mencoba berdialog
terhadap rekonstruksi masa lalu ayahnya, yang diceritakan oleh teman-teman
seperjuangan ayahnya. Salah satunya seperti kutipan di bawah ini.

Jika saya memejamkan mata dan membayangkan saya memulai percakapan


dengan ayah yang tak pernah saya lakukan itu, maka pertanyaan-pertanyaan
pertama yang saya ajukan adalah: apakah pada waktu itu dia tahu apa yang
terjadi? Apa yang terlintas dibenaknya ketika eksekusi-eksekusi itu berlangsung?
Veteran tentara komando Wim sudah pada saat eksekusi pertama merasa tidak
akan bisa mengundurkan diri lagi. Sesudah Perang Dunia Kedua, Wim dan ayah
saya masih mengira bahwa Hindia bisa disudahi dengan mudah. ‘Tetapi
begitulah kenyataannya, kami kemudian di sana, dua belas ribu kilometer dari
rumah. Kami mengerahkan segala-galanya, benar-benar segala-galanya, untuk
dapat pergi ke sana. Tak seorangpun kemudian berkata: sungguh, bukan begitu
yang saya bayangkan!’ (hlm. 27-28)
Dari kutipan yang tersaji di atas, tersirat makna bahwa sebenarnya penulis
tidak pernah membayangkan bahwa ayahnya menjadi salah satu dari regu tembak
6

yang ditunjuk Westerling untuk melakukan eksekusi. Mustahil membayangkan


ayahnya melakukan peristiwa eksekusi1 tersebut, karena ayah yang penulis kenal
bukanlah sosok yang seperti itu. Hal ini ditegaskan penulis dengan kalimat yang
berbunyi: sungguh, bukan begitu yang saya bayangkan!. Awalnya, baik Peter,
Hay, Wim, dan sahabatnya yang lain, pergi ke Hindia Belanda untuk berangkat
sebagai pahlawan bukan pulang sebaagai penjahat perang.

Westerling selesai berpidato di depan penduduk Kampung Batua yang


berkumpul2. Selesai berpidato, dia menginterogasi mereka satu persatu berdasar
data dari informan3, untuk mengetahui mana yang teroris dan mana yang
penduduk biasa ataupun yang setia pada Belanda. Orang yang dijadikan tersangka
menurut laporan dari informannya, akan dieksekusi regu tembak tanpa
mendapatkan pembelaan ataupun proses pengadilan yang layak. Dikemudian hari
Piet menyebut kata dieksekusi ini dengan istilah ‘ditembak habis’.

Selama lima puluh tahun pertama sekembali dari Hindia, tak seorangpun
dari anggota pasukan khusus ini menceritakan peristiwa di Sulawesi terhadap
keluarganya. Eksekusi yang telah mereka laksanakan mengandung makna bahwa
para veteran tentara komando tersebut merasakan adanya keharusan untuk
melakukan tindakan keras. Apabila peristiwa ini diceritakan kepada orang
dirumah, ‘tak seorang pun akan mempercayai saya’, kata Wim.

2.2 Bab 2: Lebih Berat dan Lebih Jelas

Bab dua ini diawali dari aksi Piet pada tanggal 13 Desember 1946 di
Perairan Kampung Tanjung Bunga, di selatan Makassar. Tugas Piet dan anggota

1 Eksekusi yang diperintahkan Westerling bukanlah sebuah paksaan, namun lebih


kepada sebuah permintaan. Bagi para tentara sukarelawan, maka dia harus siap
menerima apa saja yang ada dihadapannya. Keseluruhan penduduk yang
dieksekusi ada 35, dan mayatnya dibiarkan tergeletak, kemudian ditumpuk begitu
saja.
2 Dalam perintah operasional no.1, mereka disebut sebagai penduduk yang
tertawan. Selain dari Kampung Batua, penduduk yang lain berasal dari Kampung
Borong, Patunuang, Parang, dan Baraya yang saat itu ikut dikumpulkan bersama
di lapangan rumput di selatan Kampung Batua.
3 Agen rahasia yang disusupkan diantara penduduk
7

pasukan lainnya adalah menghadapi para anggota perlawanan, menyelidiki


perdagangan senjata, dan ekstremisme di sejumlah kampung. Beberapa gerakan
perlawanan pada masa itu yang melawan Belanda yaitu KRIS MUDA (Kebaktian
Rahasia Islam Muda), Semut Merah, dan Lipan Bajeng.

Pada aksi ketiga, ditemukan pelbagai kartu dan daftar anggota, 26 badik, 4
tombak bambu, 30 pisau dan keris, 6 lampu senter, dan 1 mesin hitung.
Banyaknya penemuan ini, pasukan tersebut menganggap telah menemukan lokasi
persembunyian teroris. Dalam pelaksanaan aksi, dua rumah terbakar. Pada aksi
keempat, semua tentara Komando DST digeledah karena menurut saksi mata,
mereka membawa barang berharga seperti kain sarung, pakaian, dan barang-
barang lain yang berharga. Akan tetapi, itu semua bohong. Pada aksi ini,
keseluruhan jumlah yang dieksekusi ada 33 laki-laki.

Westerling: ‘Dia hanya mengatakan kepada saya untuk tidak bertindak


berlebihan – dengan kata lain, jangan menembak terlalu banyak orang.’
Pada kutipan tersebut, menjelaskan pernyataan Westerling atas tugas yang
dia terima dari Kolonel De Vries. Instruksi tersebut untuk melakukan aksi
pembersihan di Makassar dan mematahkan aksi teror, tetapi hukum darurat ini
dijalankan atasinstruksi Engles. De Vries tidak mengatakan kepada Westerling
apa isi hukum darurat ini dan dengan cara apa harus diterapkan, karena berasumsi
bahwa semua ini sudah jelas bagi Westerling. Oleh karena itu, sangat sulit untuk
mengetahui siapa yang memberikan perintah untuk pelaksanaan tugas tersebut.

Satu-satunya yang diketahui oleh para veteran tentara komando itu adalah
bahwa Kapten Westerling telah menerima instruksi dari atasan untuk melakukan
pembersihan di Sulawesi Selatan. Wim sangat meyakini hal itu. Ketika istrinya
sebentar ke dapur, dia menatap tajam ke saya: ‘Hidup di Sulawesi Selatan dikala
itu menjadi lebih berat dan lebih jelas.’
Hidup di Sulawesi menjadi makin berat karena para tentara khusus ini
adalah orang yang turut ambil bagian, terbawa dalam situasi serta ditempatkan
dalam peleton eksekusi. Apalagi Piet, salah satu orang yang suka berdiri di garis
depan, tidak ingin dikenal sebagai pengecut, dan merasa bahwa di Hindia tersedia
banyak peluang untuk masa depan. Selain Piet, para tentara komando tersebut
8

setuju bahwa bukan tugas yang bersih yang mereka lakukan disana. Sebelum DST
memulai aksinya, segala metode lain sudah dicoba, tetapi tidak ada yang berhasil.
Para tentara komando ini menganggap bahwa metode Westerling adalah metode
yang mengerikan, tetapi mereka yakin tidak ada metode yang lainnya yang bisa
membebaskan pulau tersebut dari cengkeraman teror. Ketika itu, sulit untuk
menghadapi lawan melalui cara yang normal. Mereka bersembunyi di balik
penduduk, sehingga tentara komando tidak dapat mengetahui apakah mereka
menangkap yang benar atau yang kurang benar. Dalam situasi ini, mereka harus
membiasakan diri.4

2.3 Bab 3: Semua Hasil Tampaknya Sangat Memuaskan

Gerakan Kemerdekaan di Sulawesi Selatan yang pro-republik sekitar


pertengahan tahun 1946 berjumlah 200 orang. Ketika DST mendarat pada bulan
Desember, jumlah anggota gerakan ini bertambah menjadi 4.000 anggota militan.
Perjuangan gerakan perlawanan Wolter Monginsidi5 berada dalam urutan pertama
pada daftar orang yang dicari.

4 Membiasakan diri disini maksudnya adalah melakukan aksi Standrecht berarti


untuk lawan tidak ada tindakan setengah-setengah. Ketika pelaksanaan aksi-aksi
dimulai, hukum tersebut dinamakan ‘kewenangan khusus’. Tidak lama setelah itu,
dibagi menjadi standrecht (pengadilan kilat dengan hukuman eksekusi langsung
di tempat) dan noodrecht (hukum darurat). Dikemudian hari disebut dengan
Metode Westerling.
5 Wolter lahir di desa Mamalayang, Manado tanggal 14 Februari 1925. Putra ke-4
dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Petrus Monginsidi dan ibunya bernama
Lina Suawa. Setelah tamat dari HIS (setingkat SD) pada tahun 1931, dia
melanjutkan studi ke MULO Frater Don Bosco (setingkat SMP) di Manado.
Setelah itu, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang
di Tomohon, dan masuk ke Sekolah Guru Bahasa Jepang. Pada usia 18 tahun dia
mulai mengajar di Malalayang, Liwutung, dan Luwuk Banggai. Wolter juga
pernah bersekolah di SNIP Nasional di Makassar. Sayangnya, berhenti karena
terjadinya Perang Pasifik. Tanggal 27 Oktober 1945, Wolter memimpin serangan
terhadap pos tentara Belanda dalam kota. Akan tetapi, anggota barisan pemuda
yang membantu masih sedikit, sehingga mereka kalah, maka dibentuklah Laskar
Pemberontakan Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946, di
desa Rannaya. Dalam laskar tersebut, Ranggong Daeng Romo dipilih menjadi
ketua dan Wolter sebagai sekretaris jenderal. Wolter bertanggung jawab untuk
menyusun rencana operasi-operasi militer dan bergerak bersama para pemuda.
9

Penelusuran penulis dalam laporan-laporan dinas intelejen dan pernyataan-


pernyataan para saksi tidak dapat melihat hal lain, selain kesuksesan besar
pelaksanaan aksi-aksi itu. Pasukan-pasukan Belanda hanya menyaring informasi
yang berguna bagi mereka, yang dapat menyelamatkan mereka, yakni informasi
tentang permohonan dari kepala-kepala setempat sendiri untuk mendapat bantuan
dari pihak Belanda. Metode Westerling serta kekerasan di depan mata yang
awalnya dianggap mengerikan oleh pasukan-pasukan komando lambat laun dalam
pandangan mereka, tindakan ini sama dengan keberhasilan.

Mengutip laporan politik residen: ‘Penyingkiran gerakan perlawanan di


Makassar merupakan suatu keberhasilan pada tingkat tertinggi.’

2.4 Bab 4: Kondom Sebagai Hiasan Natal

Keadaan di Sulawesi Selatan membaik, pada malam natal yang di Makassar,


diadakan sajian makan malam yang mewah. Semua orang yaitu Gubernur
Jenderal Van Mook, Jenderal Spoor, De Vries, Westerling, Krol, dan hampir
semua kapten KNIL ada.
Pada penelusuran saat malam natal penulis membayangkan apakah yang
ayahnya lakukan pada saat itu?. Bayangan tersebut penulis sampaikan dalam
petikan yang berbunyi: ‘Di sana di mana ayah saya berada, di sana sama sekali
tidak ada acara makan malam. Dia menggantung kondom di pohon pada malam
Natal.’ Penulis masih kebingungan akan pemikiran ayahnya ketika itu, apalagi
ketika mendengar cerita mengenai malam natal yang tidak disensor.
Padahal di sisi lain, Mahkamah Agung Hindia Belanda, Jaksa agung Henk
Felderhof yang menjadi penjaga tertinggi sistem hukum, dibebani tugas untuk
melakukan pelacakan dan penuntutan terhadap gangguan-gangguan ketertiban
umumtentang aksi yang dilakukan oleh para militer. Felderhof meminta penasihat
tertingginya Bernard Jan Lambers untuk melakukan pemeriksaan ditempat.
Lambers mengingatkan dirinya sendiri dan juga Jaksa Agung tentang arti aksi-

Untuk mengetahui rahasia musuh, ia memasuki kota dan menyamar sebagai Polisi
Tentara Belanda agar dapat menentukan sasaran serangan. Taktik tersebut
membuat Belanda kesulitan dan rugi besar. (sumber: http://biokristi.sabda.org)
10

aksi secara yuridis, dan keseluruhan cara aksi Westerling tidak lain merupakan
pembunuhan dan tidak sesuai dengan hukum. Semua aksi yang sedang
dilancarkan DST harus diberikan perlindungan secara yuridis. Pada peraturan
untuk pengadilan militer di lapangan: ‘Pasal 162: Kepada seorang terpidana mati,
hukuman mati akan diberikan oleh oditur militer/ jaksa 2x24 jam sebelum
eksekusi’. Pada kenyataan aksi tersebut, waktu menunjuk tersangka dan
menembaknya mati di lapangan tidak lebih dari 1 menit. Oleh karena itu, Lambers
berusaha memelintir tata bahasa yang digunakan agar secarakonstitusional dapat
membenarkan tembakan peluru dari senapan anggota DST. Lambers mengusulkan
agar menganggap aksi DST itu sejenis pengadilan militer sementara di lapangan
untuk mengadili perbuatan-perbuatan teror. Pengadilan khusus militer6 ini tidak
ada jaksa dan juga sekretaris serta menentukan sendiri aturan pemrosesannya,
susunannyapun dapat berubah sesuai kondisinya.

2.5 Bab 5: Sebentar Kelar

Pada bab ini menceritakan bahwa para penjaga sistem hukum tertinggi
menduga metode Westerling sebagai metode yang menular. Selain Westerling dan
Vermeulen, ternyata pada pertengahan Januari 1947, Mayor Stufkens dan Kapten
Rijborz melengkapi diri mereka dengan metode pelaksanaan eksekusi di tempat di
wilayah Sulawesi Selatan. Hak ini digambarkan pada fakta akan pernyataan yang
diucapkan Rijborz didepan atasannya, Stufkens ‘sebentar kelar...’. Dia bertindak
keras, jika perlu, ia ikut langsung terjun bertempur. Pada peristiwa di Parepare,
dalam sesaat dia mampu membunuh 26 tawanan yang ditembak mati di
pemberhentian bus. Ketika penulis bandingkan 26 nama yang ada dalam daftar
incaran dengan nama-nama di Monumen Pasar Parepare, nama-nama itu tidak
sesuai. Setelah kejadian ini, seorang Kepala Inspektur Polisi membawa 2 tahanan
keluar dari penjara untuk diperlihatkan pada mayat-mayat yang tergeletak, karena

6 Prosedurnya: berjalan secara lisan, tidak mengenal adanya grasi, hukuman mati
dilaksanakan dengan tembakan pelurudi tempat yang cocok didekat tempat
dijatuhkan vonis.
11

hal ini, tahanan tersebut memberikan semua informasi yang dia ketahui. Setelah
aksi selesai, mayat-mayat dimasukkan ke dalam satu lubang kuburan massal.

2.6 Bab 6: Pengadilan Kilat Tembak Mati di Tempat (Standrecht) Versus


Tindakan Kekerasan Eksesif (Excessen)

Pada bagian ini menggambarkan pesta perpisahan dengan DST tepatnya


tanggal 3 Maret 1947 di Kamp Matoangin, Makassar. Para tentara komando
menggunakan kapal Melchior Treub untuk kembali ke Belanda. Laporan politik
menyebutkan keadaan yang tenang ketika itu.

Pada tahun 1954 seorang pegawai Departemen Kehakiman menyusun daftar


semua cara pandang dan pernyataan yang ada. Dia menemukan bahwa laporan
menyebutkan tekanan utama ada pada tindakan Westerling yang benar dan tepat,
tetapi pernyataan dari pihak Indonesia dia simpulkan bahwa mungkin ada cara
pandang yang berbeda tentang hal tersebut.

Penulis membandingkan bahwa perbedaan antara Westerling dengan


Vermeulen begitu tipis, dia berusaha membandingkan standrecht versus
excessen7. Di tangan orang lain, metode westerling berjalan lepas kendali.
Ditangan Westerling, pelaksanaan eksekusi standrecht atas dasar daftar-daftar
nama, menembak mati dilakukan dengan tenang atas dasar tuduhan. Sedangkan
eksekusi oleh Vermeulen dilakukan secara eksesif, menembak tanpa daftar nama
serta dilakukan dengan rasa panik dan penuh kebencian.

Diantara dua perbedaan aksi tersebut, penulis berusaha mencari dimanakah


posisi ayahnya pada saat itu. Apakah dalam pasukan Westerling (pasukan 1) atau
pasukan Vermeulen (pasukan 2). Penulis mencoba menyelami dengan
menggunakan teori bahwa di dalam grup-grup kecil yang terisolasi dan berada
dibawah stres karena diberi mandat untuk melakukan kekerasan, yang sangat
mengandalkan keselamatan moral mereka sendiri, berkembang 3 subgrup:

7 Excessen yaitu tindakan kekerasan yang eksesif. Perbedaannya adalah


standrecht mengeksekusi berdasar daftar nama sedangkan excessen dilakukan
dengan menembak mati sembarangan.
12

1. Grup pertama: tak berperasaan, tak peduli (kemungkinan grup terbesar)


2. Grup kedua: yang rajin, yang antusias (grup minoritas yang kecil tapi
dominan, umumnya berstruktur satu orang dengan para pembantunya)
3. Grup ketiga: yang menghindarkan diri dari kewajiban dan grup yang
menolak (kemungkinan grup terkecil, dari sinilah terlahir kelompok whistle-
blower yang membeberkan ketidakberesan, meskipun jenis ini bisa muncul
pada grup pertama)
Dari pemetaan grup tersebut, penulis menyadari bahwa ayahnya berada
pada grup pertama, meskipun penulis sangat menginginkan jika ayahnya berada
pada grup yang ketiga sebagai seorang whistle-blower. Penulis juga mengambil
pernyataan dari Hannah Arendt yang mengatakan bahwa dalam jajaran militer
Jerman di Perang Dunia Kedua tidak ditemukan adanya penghukuman terhadap
seorang tentara yang tidak melaksanakan eksekusi pada pengadilan kilat ditempat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tentara komando dalam melaksanakan tugasnya
berdasar atas kesukarelaan mereka, walaupun awalnya itu dianggap sebagai suatu
hal yang kejam ataupun mengerikan tetapi mereka tidak bisa meninggalkannya.

2.7 Bab 7: Percakapan Yang Tak Pernah Terjadi Tentang Perintah Yang
Diberikan Tanpa Wewenang

Pada bab terakhir ini menceritakan tentang meninggalnya Kapten


Westerling pada tanggal 3 Desember 1987 di Leidschendam. Di dalamnya
menggambarkan pula kondisi para veteran DST. Dibagian ini juga diceritakan
mengenai penyelidikan akan aksi di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh komisi
penyelidikan8 antara 1947-1954. Kesimpulannya: tindakan kekerasan yang
dilakukan melampaui batas, tetapi perlu. Mengeksekusi tawanan dan
memamerkan orang telanjang bulat tetap tidak dapat dibenarkan. Kelompok-
kelompok teroris Indonesia membahayakan dan melumpuhkan masyarakat, oleh
karena itu dibutuhkan tindakan-tindakan keras. Kemungkinan Westerling telah

8Komisi ini didirikan April 1947, langsung melaksanakan tugasnya namun baru
menyerahkan laporan penyelidikannya pada Mei 1948.
13

mengeksekusi 388 orang, Vermeulen 1.055, pasukan KNIL sekitar 1.500 pada
saat aksi-aksi sampingan dalam periode yang sama. Angka-angka Belanda tentang
aksi-aksi terorisme yang dilakukan pihak Indonesia periode Juli 1946- Juni 1947
sejumlah 1.210 orang telah dibunuh kelompok ekstremis di Sulawesi, 408 orang
dinyatakan hilang, 300 orang diculik, 2.661 peristiwa kerusuhan dan 555
pembakaran.

Pelaksanaan penyelidikan besar kedua dilakukan tahun 1949 oleh Hakim


Komisari Overste J.L. Paardekooper. Dia melaksanakan tugasnya dengan teliti
dan mendengarkan pernyataan 60 saksi, disamping itu dia berbicara dengan 52
orang yang kesaksiannya tidak dituliskan. Sejumlah kecil stafnya turun ke
lapangan: di Kampung Segeri berbicara dengan 23 laki-laki, di Galung 2, Batua,
Kulo, dan kampung-kampung lainnya dengan 30 orang lagi. Dia juga menyusun
daftar terdiri dari 25 orang yang mayoritas adalah DST atau mantan tentara DST.
Dari laporan-laporan tersebut, masih sukar ditentutan dari siapakah perintah
tentang penerapan standrecht itu berasal.

Dalam keadaan darurat perang, pelaksanaan eksekusi di tempat harus


mematuhi syarat-syarat Konvensi di Den Haag dan Konvensi Jenewa. Sudah sejak
1943 Jerman memungkinkan pelaksanaan pelaksanaan eksekusi di tempat di tanah
Belanda melalui ordonansi hukum. Syarat-syaratnya adalah:

1. Diadakan pengumuman sebelumnya oleh legislator bahwa akan


dilaksanakan eksekusi di tempat.
2. Pengumuman dari tindak pidana.
3. Kehadiran seorang pembela hukum.
4. Bukti dan motivasi tertulis.
5. Dan penandatanganan vonis.

Pada saat pelaksanaan aksi-aksi di Sulawesi, semua persyaratan tersebut


tidak ada. Para penguasa Hindia telah jauh melampaui persyaratan batas-batas
14

persyaratan internasional dalam penerapan eksekusi ditempat. Belinfante9


menyatakan bahwa di Sulawesi terjadi tindakan eksekusi di tempat yang
melampaui batas. Eksekusi ditempat tidak dapat diterapkan di Hindia karena
hukum Belanda tidak mengenal hukum penerapan eksekusi di tempat atau hukum
darurat. Yang terjadi di Sulawesi adalah peradilan informal dan ilegal. Hukum
darurat tidak lain adalah pembunuhan dengan sengaja. Dengan kata lain, Kolonel
De Vries memberikan perintah tanpa mempunyai kewenangan. Belinfante
memastikan secara terang-terangan bahwa jika Westerling akan dituntut, seluruh
rantai sipil dan militerpun harus dituntut. Dengan kata lain, sampai dengan letnan
gubernur- jenderal dan perdana menteri. Ketika tahun 1954 Menteri Kehakiman
Donker menguraikan masalahnya di depan Dewan Menteri diputuskan untuk tidak
menuntut Westerling, sehingga ditarik kesimpulan ketiga opsir lainnya pun tidak
akan dituntut.

Dokumentasi:

Piet Hidskes (jongkok kedua dari kanan), anggota DST atau anak buah Westerling
dalam peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan. (Maarten
Hidskes/thuisgelooftniemandmij.nl dalam Historia).

9 mr. A.D. Belinfante adalah penasihat paling ahli yang dikerahkan Depertemen
Kehakiman untuk menangani kasus yang menyakitkan mengenai Peristiwa
Sulawesi Selatan. Ditunjuk untuk mengemban tugas ini pada Desember 1954.
15

Westerling
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Buku yang terdiri dari 7 bab ini, banyak memberikan sumbangsih dalam
kajian peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan. Maarten (penulis) mampu
menyajikan dengan sangat baik berdasarkan fakta penelusuran mengenai peran
ayahnya melalui arsip laporan maupun arsip pribadi pejabat pemerintah Belanda,
surat-surat pribadi ayahnya, wawancara dengan teman seperjuangan ayahnya,
maupun buku-buku psikologi tentang kekerasan pada perang. Tidak hanya isi
buku yang menarik, kata pengantar yang terdapat pada buku inipun sudah secara
ringkas dan padat dalam menggambarkan isi buku, sehingga hal ini membantu
pembaca agar lebih mudah memahami isi buku.

3.2 Kelebihan dan Kekurangan:


Kelebihan dari buku ini adalah direkonstruksi berdasar fakta-fakta yang
benar adanya. Kemampuan penulis dalam mencari peran ayahnya bisa dikatakan
sukses, atau dapat dipahami dengan mudah. Meskipun apabila sebelumnya
sebagai orang Indonesia kita sudah terbiasa membaca bahwa peristiwa Westerling
memakan korban jiwa sebanyak 40.000, akan tetapi dalam buku ini kita diajak
untuk memahami peristiwa ini dari sudut pandang lain. Dimana tentunya jumlah
korban yang disampaikan oleh Belanda, tentu tidaklah sama. Buku ini juga tidak
melulu membahas tentang fakta, akan tetapi sesekali penulis memasukkan
imajinasinya dalam penggambaran kondisinya, sehingga pembaca seperti sedang
membaca sebuah novel. Terjemahan yang digunakan pada buku tersebut pun
sudah disesuaikan dengan ejaan Indonesia, sehingga mudah dipahami. Buku ini
juga sangat cocok untuk membantu menambah pemahaman mengenai peristiwa
Sulawesi Selatan yang walaupun dengan tujuan seperti apapun, perang ataupun
kekerasan itu akan meninggalkan luka dan penderitaan. Buku ini juga didesain
dengan sampul yang menarik sehingga pembaca tidak sadar bahwa yang dibaca
adalah peristiwa yang berdasar fakta.
Kekurangan yang penulis rasakan dalam buku ini adalah, terkadang gaya
penceritaan penulis dalam buku tersebut membuat saya terlarut ke dalamnya,
sehingga butuh memahami ulang apakah itu hanya imajinasi penulis atau memang
sebuah fakta hasil wawancara. Selain itu, dalam buku tersebut, biografi mengenai
penulis sangat singkat dan tidak dicantumkan karya lainnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hidskes, Maarten. 2018. Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya.


Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia. 2009. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka.

Internet:

http://18.ni.web.id/id1/1677-1575/Pembantaian-Westerling_34619_18-
ni.html20BAB%20I.pdf
https://historia.id/modern/articles/membuka-peristiwa-pembantaian-di-sulawesi-
selatan-vqjQK
http://obor.or.id/index.php?route=product/product&product_id=830
http://sejarahri.com/pembantaian-masal-westerling-di-sulawesi-selatan/
https://www.academia.edu/16495190/Makalah_Ratu_Adil_Intisari_Buku_Ratu_A
dil_Karya_Michael_Adas_
https://www.dictio.id/t/pembantaian-westerling-di-sulawesi-selatan-1946-
1947/85102
https://www.idsejarah.net/2017/03/peristiwa-pembantaian-westerling.html

17
18

Anda mungkin juga menyukai