A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis
baik yang bersifat total maupun parsial (PERMENKES RI, 2014).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price
dan Wilson, 2006).
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar (PERMENKES RI, 2014).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang biasanya
terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin,
2008).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang
yang baru mulai latihan lari.
C. KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Klasifikasi klinis
a. Fraktur tertutup
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
b. Fraktur terbuka
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, karena adamya perlukaan
kulit. Fraktur terbuka ada 3 derajat :
1) Derajat I
Luka <1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
2) Derajat II
Luka >1 cm, kerusakan jaringan lunak, fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta
kontaminasi derajat tinggi
c. Fraktur dengan komplikasi,missal malunion, delayed, union. Nonunion, infeksi tulang.
(Nanda NIC NOC 2013)
menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani
fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan
dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di
pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik
gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga
dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada
bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang
berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi
dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi
atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan
untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
I. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur ada berbagai macam
meliputi:
1) Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan apa yang
di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya.
Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang sebelumnya sering
mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur
patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat
penyembuhan tulang.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik Muttaqin (2008)
4) Nyeri / kenyamanan
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan
tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf (Gangguan sensibilitas).
Spasme / kram otot (setelah imobilisasi), Sulit digerakkan, Deformitas, Bengkak , Perubahan
warna , Kelemahan otot (PERMENKES RI, 2014).
5) Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi (look) Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit.
Anggota tubuh tdak dapat digerakkan.
2) Palpasi (feel)
a) Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b) Nyeri tekan
c) Bengkak
d) Mengukur panjang anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang sehat.
e) Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan
(PERMENKES RI, 2014).
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
c. Ketidakefektifan perfusi jarinhgan perifer berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
factor pemberat (merokok, gaya hidup), diabetes mellitus, hipertensi
d. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
e. Resiko syok berhubungan dengan hipotensi, hipovolemi, hipoksemia, sepsis
f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan zat kimia, radiasi, medikasi, perubahan
pigmentasi
i. Defisit self care berhubungan dengan hambatan mobilitas
DEFINISI PENYAKIT
Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan,
terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2012).
Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena
kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353)
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. Santoso Herman (2013:144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625)
ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan
atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian
kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).
Menurut (aragon, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya
benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2) Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan
3) Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntir
KLASIFIKASI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1) Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2) Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3) Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
samaa
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
e) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
i. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
ii. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
iii. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran
darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif
pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur
tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering
mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari
dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi
atau pergeseran.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan
beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan
daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau
gips.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan
metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki & mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
Mengencangkan pada perlekatannya
PEMBEDAHAN
PENGERTIAN ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers
PENGERTIAN OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur
atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian
dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang.
2. Keuntungan dan Komplikasi Eksternal Fiksasi
Keuntungan eksternal fiksasi adalah :
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi awal da latihan awal untuk
sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena disuse dan imobilisasi dapat diminimalkan
Sedangkan komplikasinya adalah :.
a) Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
b) Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
c) Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non union .
d) Emboli lemak.
e) Overdistraksi fragmen.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala
nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
d. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan
total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
1.Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
2.Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
3.Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Sistem Integumen
o Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
Kepala
o Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
Leher
o Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
Muka
o Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
Mata
o Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
Telinga
o Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung
o Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan Faring
o Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Thoraks
o Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru
Inspeksi
1. Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
Palpasi
2. Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
3. Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
4. Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill
time Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
ANALISA KEPERAWATAN
NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW DIAGNOSA KEPERAWATAN
fraktur
Inflak ke otak
Persepsi nyeri
nyeri
DS:
Adanya luka post oprasi tarauma langsung
Luka masih basah
Terjadi peningkatan
leukosit tekanan padatulang
Luas pembedahan
bertanbah
Terdapat tanda-tanda tidak mampu meredam energy
infeksi
Luka menjadi bau
yang terlalu besar
fraktur
resiko infeksi
ANALISA KEPERAWATAN
fraktur
cemas
ANALISA KEPERAWATAN
6) Tingkatkan istirahat
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2015), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat
Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.