Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
Objektivitas Pengarang dalam Cerpen “Surabaya” karya Toti Tjitrawasita
1. Penggambaran Suasana Pedesaan dan Perkotaan
Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra menjadi media yang tepat untuk
melihat dan mengetahui realitas sosial dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Hal itu
juga terdapat dalam cerpen “Surabaya” karya Toti Tjitrawasita. Cerpen tersebut merupakan
salah satu cerpen yang berisi berbagai macam realitas sosial yang ada dalam masyarakat.
Mulai dari realitas sosial yang ada di pedesaan sampai realitas sosial yang ada di perkotaan.
Pedesaan dan perkotaan adalah dua hal yang berbeda. Dalam kehidupan yang ada di
pedesaan, kerukunan dan kebersamaan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam
kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Hal ini terlihat dari kutipan yang ada di bawah ini:
“Kabar tersebut lantas pecah dan berputar ramai di sumber tempat mereka saling
bertemu. Dari mulut ke mulut, tersebar ke seluruh dusun yang kecil itu. Beberapa
malah datang ke gubuknya, menunjukkan rasa syukur sambil menyisipkan sekeping
rezeki di kutang mbok Soma...” (Tjitrawasita dalam Kompas, 2003:251).
Kutipan di atas memperlihatkan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di salah
satu tempat yang merupakan pusat kegiatan di dusun tersebut, yaitu sumber air yang ada di
pedesaan tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan antara lain adalah membicarakan
masalah yang mereka hadapi meskipun itu hanya membicarakan orang lain sampai pada
masalah besar yang ada dalam kehidupan yang mereka jalani. Dalam kehidupan di pedesaan,
kerukunan dan kebersamaan dan saling mambantu adalah kegiatan yang tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan mereka.
Situasi dan kehidupan bermasyarakat yang sulit kita lihat dalam kehidupan
masyarakat di perkotaan. Kehidupan masyarakat perkotaan lebih cenderung individu dan
acuh kepada orang lain. Situasi tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
“ Tak ada keramahan yang menyambutnya, setiap kali ia berhenti untuk
menentramkan hatinya, setiap kali orang bergumam dan menggusur tempatnya..
(Tjitrawasita dalam kompas, 2003:252).
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan dan situasi yang ada di Surabaya ketika mbok
Soma tiba di Surabaya tepatnya di Stasiun Pasar Turi. Ketika dia datang dan menginjakkan
kakinya di Surabaya, ketidakramahan yang dia terima. Dia ingin beristirahat sebentar saja,
tetapi dia selalu tergusur dan tergeser oleh penduduk yang ada di tempat tersebut. Mereka
menganggap mbok Soma tidak ada meskipun dia adalah seorang nenek tua yang hanya ingin
bertemu dengan anak dan cucunya. Selain itu banyak orang yang mencibir dan mengejek si
nenek yang hanya akan menjadi sampah di kota yang besar ini yaitu kota Surabaya.
2. Penggambaran Kehidupan di Kota Surabaya
Dalam cerpen ini, sang pengarang yaitu Toti Tjitrawasita menggambarkan kehidupan
yang ada di kota Surabaya berawal dari kedatangan Mbok Soma di Surabaya. Hal ini bisa
dilihat dari kutipan di bawah ini:
Surabaya yang cerah ceria, acuh tak acuh saja menyambut kedatangan tamunya.
Waktu kereta berhenti di Stasiun Pasar Turi, ia tak sadar bahwa telah sampai di akhir
perjalanannya. Lautan manusia yang lalu lalang di perut stasiun, tak satu pun yang
dikenalnya, dan tak satu pun yang memperhatikannya.... (Tjitrawasita dalam Kompas,
2003: 252).
Dari kutipan di atas, suasana yang tergambar dan menggambarkan kota Surabaya tidak
berasal dari pengalaman pribadi sang pengarang. Hal ini dikarenakan semua orang sudah tahu
bagai kota Surabaya meskipun itu terjadi pada tahun 70-an. Kota Surabaya merupakan kota
yang panas dan merupakan salah kota metropolitan di Indonesia. Jadi, orang-orang yang
hidup di dalamnya hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan
orang lain.
Kehidupan yang begitu ketat dan begitu sulit untuk mencari nafkah di kota besar
menjadikan semua orang menghalalkan segala cara untuk menghidupi keluarganya termasuk
dengan cara merampok. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini:
.... di sebuah pengkolan yang remang-remang, ia disergap oleh lelaki muda dengan
belati terhunus tepat menghunjam tenggorokannya.....
Dengan patuh diturunkannya rinjingnya, dinaikkan ke atas becak. Uang tak seberapa
di gembolannya diulurkan kepada yang sedang meminta.... (Tjitrawasita dalam
Kompas, 2003: 252-253).
Dari kutipan di atas, Toto Tjitrawasita mampu menggambarkan kehidupan yang ada di kota
Surabaya dengan jelas yang penuh dengan kekerasan bagi siapa saja yang belum mengenal
kota Surabaya dan tidak peduli siapa korbannya. Hal ini sudah banyak diketahui oleh banyak
orang karena memang itulah yang terjadi di kota besar. Yang penting bisa bertahan hidup
meskipun cara yang dilakukan merugikan orang lain.
DAFTAR RUJUKAN
Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980. 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unversity Press.
Tjitrawasita, Toti. 1977. Surabaya (dalam buku kumpulan cerpen Dua Kelamin bagi Midin:
Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sumardjo, Jakob dan Saini, KM. 1997. Apresiasi Kesusastraan Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Hidup memiliki banyak sudut yang tak selalu mudah dimengerti. Lalu kita pun
menyerah seperti kalah. Kita menerima-ibarat dalam lotre kemenangan
maupun kekalahan, apa adanya. Apa yang baik dan kita inginkan kita sambut.
Tapi apa yang tak kita kehendaki, tak selamanya kita bisa hindari. Takdir dan
suratan tangan, pendeknya apa yang sudah ginaris, apa pun bentuknya,
berlakulah. Di dalamnya tak ada usaha manusia yang tak sia-sia (Sobary,
2007:62).
Kutipan di atas, Sobary menitipkan amanah yang bermakna sangat dalam yang
dapat dijadikan bahan perenungan bagi pembaca, bagaimana mengilhami unsur ketabahan
menjadi basis berjuang menantang cobaan kehidupan. Proses kehidupan menuju tujuan yang
dicita-citakan selalu diikuti oleh ketabahan melakoninya. Khususnya dalam usaha kontrol
kekuatan atau kesanggupan menjalani hidup yang sarat dengan tantangan.
Penggalan cerita di atas merupakan pengalaman Sobary ketika dia harus
meninggalkan kampung halamannya dan menetap di Jakarta. Sobary telah menceritakan
perjalanan hidupnya ketika beliau masih mengeyam pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Hal ini diperkuat oleh tulisan yang dimuat di http//www.pdt apa dan siapa..co.id
sebagai berikut.
Lantaran tidak bisa beli seragam korp pelajar serbaguna ketika ia di kelas 5 SD,
Sobary tidak bisa melanjutkan ke kelas 6. Akhirnya, "Saya stop di situ. Lagi
pula orangtua saya tidak punya uang." Setelah orangtuanya berhasil
mengumpulkan uang setahun kemudian, baru ia melanjutkan ke kelas 6.
Ketika di kelas satu SMP Muhammadiyah Bantul, ia mengalami hal yang sama.
Tak punya uang buat beli seragam, Sobary terhenti lagi sekolahnya. Pamannya
yang bekerja di Departemen P&K berniat baik ketika memboyongnya ke
Jakarta, meskipun ia miskin dan menanggung banyak anak. "Saya kerja,
menyapu jalanan pasar Blok M," tutur Sobary. Uang hasil kerja ditabung untuk
biaya melanjutkan ke kelas dua SMP Negeri 12 Wijaya, Jakarta Selatan, awal
1967.
Dalam noverl Sang Musafir, Sobary memberikan suatu pandangan hidup bahwa
hidup itu hanyalah serangkaian perjalanan yang di setiap saat harus membuat pilihan. Sobary
dengan cerdas menunjukkan bahwa ketika pilihan sudah diambil maka selanjutnya adalah
bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Karena pilihan tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan awal dari rangkaian pilihan lainnya dan awal dari munculnya tanggung jawab.
Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Tapi kalau ditelusuri lebih jauh, ada alasan yang berbeda. Bagiku, tak semua hal
harus dijawab dengan penjelasan. Alasan mereka lain lagi. Ada yang takut, ada
yang mencari aman bagi dirinya sendiri, ada yang melempar tanggung jawab.
Jabatan bisa dikejar mati-matian seperti singa mengejar buruannya. Tapi perkara
tanggung jawab mudah dilupakan (Sobary, 2007:37).
Selain itu, Sobary sebagai pengarang novel Sang Musafir telah menyatakan diri
bahwa dia adalah sosok yang mementingkan prinsip saling menghormati dan bekerjasama
dengan orang lain. Saling menghormati dan bekerjasama merupakan penentu keberhasilan.
Bekerjasama adalah siap dan setia menerima kekurangan dan kelebihan. Hal ini tampak pada
kutipan berikut.
Jika nasibku ibarat bergantung di sebatang ranting kecil, agak kritis dan
mencemaskan, serta ada tangan-tangan sirik dan hati dengki yang mencoba
menjatuhkanku dari sana, maka aku bergayut pada ranting itu dan berayun-ayun di
ujungnya, mengikuti kelenturan yang sudah diatur oleh tangan besar yang tak
tampak (Sobary, 2007:19).
........................................................................................................................
Ruang kerjaku sibuk, lebih daripada kantor kelurahan aku menerima siapapun
yang datang. Aku sudah berjanji membukakan pintuku. Ruang kerjaku tak boleh
angker. Kalau pintu ruanganku terbuka, itu karena pintu hatiku lebih dahulu
terbuka.
Ini bukan kemuliaan yang berlebihan. Aku mendukung gagasan demokrasi dan
segenap corak keterbukaan. Maka, di sini ketika aku mempunyai kekuasaan, dan
memegang sendiri kendali kekuasaan, harus dibuktikan bahwa omongan tak
bertentangan dengan perbuatan, teori tak menodai praktik, gagasan tak membunuh
kenyataan.
Jangan lupa, aku datang bukan untuk menguasai atau mendominasi orang lain.
Aku tak punya selera mendominasi orang lain. Aku tak punya selera mendominasi
siapa pun. Di minggu-minggu pertama masuk kantor, aku sudah rapat dengan
sejumlah tokoh informal, orang-orang kantorku, di luar anggota-anggota resmi
manajemen. Mereka membawa aspirasi demokrasi. Terutama mengenai perlunya
aku bersikap terbuka (Sobary, 2007:84).
Selain itu, dalam novel Sang Musafir, Sobary juga menyatakan dirinya sebagai sosok
yang taat beragama. Sebagai tokoh “Aku” dalam cerita, Sobary menjalani kehidupan dengan
landasan ketaatan beragama. Tokoh Aku mendapatkan pembelajaran agama dari orang tua
serta lingkungan alami di kampung tempatnya tumbuh. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Masyumi, yang dianggap singa podium, karena
pandai berpidato dan suaranya lantang menyambar semua jenis kebatilan (dan
juga telinga orang-orang batil), merumuskan bahwa hidup itu perjuangan. Aku tak
heran menemukan pengertian itu di balik jejak-jejak perjalanannya sebagai tokoh
pejuang yang bersemangat dan mendukung cita-cita luhur bukan untuk dirinya
sendiri (Sobary, 2007:29).
Malam mengintip dari kaki langit. Di surau kecil, nggone kajine- di rumah Pak
Haji, Haji Tohir, satu-satunya kiai di kampungku- terdengar sayup-sayup suara
azan magrib. Dan sayup-sayup pula kemudian terdengar suara pujian, nyanyian
rohani yang lembut dan menyayat, tapi menyembuhkan luka-luka hati,
memperkokoh iman dan harapan akan kebaikan-kebaikan dan kemurahan Yang
Maha Pemurah. Pujian berlangsung beberapa menit, sampai semua anggota
jamaah lengkap dam siap untuk shalat bersama.
Haji Tohir menjadi imam, seperti biasanya, dan sehabis shalat, Haji Tohir berdoa
panjang sekali, untuk memberi peluang semua anggota jamaah ikut merasa
menumpangkan doa masing-masing ke dalam doa Haji Tohir (Sobary, 2007:59).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita yang dikembangkan Sobary
dalam novel Sang Musafir adalah representasi dari perjalanan hidup Sobary sendiri. Melalui
alur cerita, Sobary telah mengungkapkan perjalanan hidupnya dan telah menyatakan dirinya
bahwa beliau adalah sosok yang tabah, menjunjung tinggi prinsip saling menghormati dan
bekerjasama. Selain itu, Sobary juga telah menyatakan dirinya bahwa beliau adalah sosok
yang taat beragama.
Rujukan
Sobary, Mohamad. 2007. Sang Musafir. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjo, Jakob dan Saini, KM. 1997. Apresiasi Kesusastraan Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Setelah pakaian lain kumasukkan kopor yang terbuka itu, segera aku jinjing
keduanya. Kulihat suami istri itu masih tak bergerak dari pose semula dan
dengkur lelaki itu persis suara gergaji kayu. Aku ingin ketawa pada pasangan
yang kurang hati-hati ini, tetapi aku bisa menahan diri.
Selain itu, dalam cerpen ”Malam Seorang Maling”, pengarang juga menyampaikan
suatu pesan tentang solidaritas sosial bahwa dalam menjalani kehidupan ini manusia sangat
membutuhkan sebuah kerjasama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
Sulit menghindari penghakiman semacam ini. Sebulan ini saja sudah ada lima
rumah kemasukan maling. Kita bisa mengerti kemarahan kampung ini.
Rujukan :
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980. 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.