Anda di halaman 1dari 7

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkan-dung didalamnya dikuasai oleh negara dan

di-pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmur-an rakyat. Dalam konteks ini, negara

diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, serta menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan dan pemeliharaan terhadap sumberdaya alam dengan tujuan untuk memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat. Namun fakta empiris pada kalimat “sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat” masih perlu dipertanyakan implementa-sinya, karena yang terjadi

justru masyarakat di sekitar pemanfaatan sumberdaya alam lebih merasakan kerugian, baik

fisik maupun kerugian ekonomi yang selama ini dirasakan secara turun temurun.1

Konflik penguasaan tanah terjadi hampir diseluruh pelosok tanah air dimana terdapat

investasi. Persoalan mendasar yang menjadi akar konflik adalah penghargaan terhadap hak

atas tanah serta pemberian kompensasi/ganti rugi yang dianggap tidak layak bagi masyarakat.

Berbagai cara dan pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan

sampai melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang

diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, namun tidak dapat berperan banyak,

karena disatu sisi pemerintah mengharapkan adanya investasi dari penanaman modal guna

memperoleh devisa, disisi lain masyarakat mengklaim tanah yang diberikan tersebut

merupakan kepemilikan mereka. Diperlukan rekonseptualisasi hubungan penguasaan tanah

dalam rangka penanaman modal tidak dilakukan melalui pelepasan atau penyerahan hak,

akan tetapi melalui suatu perjanjian hak pakai/sewa antara perusahaan dan pemilik tanah

untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian kompensasi kepada masyarakat. Dengan

model tersebut, hubungan kepemilikan masyarakat tidak akan putus, dan setelah masa

perjanjian penggunaan berakhir tanah tersebut kembali kepada masyarakat.

1
Husen Alting “Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara: Rakyat Versus Penguasa dan Pengusaha”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No.
2 Mei 2013
Kebijakan pemerintah di bidang pertanahan merupakan hal yang urgen bagi warga

negara. Karena setiap warga memiliki hak yang sama dalam mendapatkanya. Hak yang kami

maksudkan adalah hak untuk hidup dalam bentuk ekonomi, sosial, dan budaya atau berhak

mendapatkan tempat tinggal yang layak di atas tanahnya sendiri atau pun tanah negara.

Dalam bahasa Undang-undang Dasar 1945 , memberikan jaminan bagi setiap warga negara

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak-hak yang didapatkan

warga negara tersebut boleh dengan cara-cara yang damai dan demokratis, jika aktor-aktor

seperti negara, masyarakart dan pemodal besar tidak mengklaim bahwa tanah yang dihuni

oleh masyarakat adalah semata-mata milik negara? Hal ini harus dikaji secara teoritis dan

normatif tentang sejarah perkembangan awal pembentukannya dan konflik yang terjadi dari

masa ke masa.

Konflik pertanahan akan terjadi dimanapun di Indonesia, tatakala pihak-pihak yang

memiliki kepentingan kapital mempertahankan haknya yang paling benar dan

mengesampingkan aktor-aktor yang lain. Apalagi aktor masyarakat yang tidak berdaya dari

sisi ekonomi, hukum, dan bahkan politik. Negara seakan-akan menyerang bukan melindungi

warga, karena yang kita lihat adalah potret represif negara terhadap masyarakat dalam kasus-

kasus pertanahan di Indonesia melalui kekerasan, penggusuran, ketidakadilan, dan cara-cara

lain untuk menghilangkan hak-hak masyarakat. Boleh jadi kasus pertanahan tersebut juga

terjadi di Provinsi Maluku Utara yang tersebar di beberapa Kabupaten Kota (Kota Ternate,

Pulau Tidore, (Sofifi), dan Halmahera Utara (Galela). Banyak varian dan pandangan para ahli

tentang tindakan negara secara represif diungkapkan oleh beberapa misalnya, Lenin bahwa ”

Negara adalah hasil dari perwujudan pertentangan kelas. Negara itu muncul ketika adanya

pertentangan kelas dan itu pun tidak bisa didamaikan dalam arti bahwa ketika negara

mengelola konflik dapat dilakukan secara paksa dalam bentuk penggusuran dan penyelesaian

konflik tanah selalu dengan kekerasan karena negara menggunakan alat-alat yang ditakuti
masyarakat, sehingga selama sifat negara ditonjolkan dengan kekerasan maka tidak ada kesan

lain kecuali kekerasan.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara memediasi permasalahan pertanahan dari

berbagai konflik kepentingan di Maluku Utara? Siapa yang dirugikan dan diuntungkan?

Apakah pihak swasta atau negara? Dan bagaimana dengan masyarakat sebagai salah satu

aktor yang memiliki kepentingan dan hak yang sama?

Kenyataan Reformasi Kebijakan Pertanahan (Beberapa Isu Konflik Pertanahan)

Isu dan masalah yang sedang menjadi perhatian pemerintah, LSM, dan para kapital lokal

adalah terkait dengan permasalahan pertanahan di beberapa Kabupaten Kota di Maluku

Utara, seperti Kota Ternate, Pulau Tidore (Sofifi) dan Halmahera Utara (Galela). Persoalan

yang muncul adalah terkait dengan kepemilikan tanah. Perebutan akan tanah di Halmahera

Utara Galela dengan perusahaan GAI. Masyarakat menganggap bahwa tanah itu miliki

masyarakat bukan perusahaan luar negeri.Tidak beroperasinya perusahaan GAI tersebut

ketika terjadi konflik horizontal di Maluku Utara, karena terkendala masalah keamanan dan

proses produksi. Permasalahan lainnya adalah pertanahan di Kota Ternate Pasca kerusuhan

yang sampai saat ini belum memberikan jaminan yang pasti siapa pemilik tanah tempat

tinggal bagi masyarakat yang tidak lagi kemabli ke Ternate. 2

Bahkan meragukan kepastian dan kejelasan mengenai pemilik tanah yang sah, karena

telah diperjual-belikan kepada masyarakat dengan sertifat ganda.

Kebijakan resolusi konflik dari permasalahan tanah tersebut tidak lagi dilakukan melalui

pengadilan atau menyelesaikan konflik ini sedapat mungkin menghindari dari pengadilan

2
Saiful Deni 2017, Kebijakan Resolusi Konflik Agraria di Maluku Utara: Antara Harapan dan Kenyataan
karena akan terjadi kompromi dan koalisi dalam bentuk kalkulasi dan maksimalisasi

kepentingan antar aktor di luar ketentuan Undang-undang yang berlaku .

Secara normatif kebijakan dalam mengelola konflik di bidang pertanahan telah diatur

dalam Undanga-undang yang telah mengalami pergeseran kebijakan pertanahan

1. berlakunya Undang-undang agraria tahun 1960-1970-an tentang orientasi kebijakan

pertanahan di Indonesia bersifat populis, dengan maksud memberikan perlindungan dan

kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat,

2. tahun 1980-1990-an ditengarai dengan strategi pembangunan mengarah pada

industrialisasi dan sektor penunjang. Maka perlu penataan ruang karena semakin

terbukanya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam.

3. periode reformasi yang dimulai tahun 1998-an, berbagai kebijakan untuk mengoreksi

ketimpangan di masa lalu, namun belum dapat sepenuhnya menghilangkan bias

kepentingan pengusaha, misalnya PP No 36/1998 tentang penertiban dan pendayagunaan

Tanah Terlantar.

Kebijakan untuk mengelola konflik pertanahan melalui Undang-undang belum berhenti

sampai di situ, namun model penyelesaian konflik juga dilakukan melalui diterbitkannya

Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa

Alternatif.

Dalam pandangan Sumardjono bahwa kebijakan penyelesaian konflik tanah dilakukan

dengan dua cara .


Pertama, dilakukan diluar pengadilan karena kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

peradilan sedemikan merosot, maka cara-cara perundingan, mediasi,arbitrase, dan sebagainya

merupakan jalan keluar yang bermanfaat. Kedua, sengketa dapat diselesaikan dengan ”win-

win solution” yang terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga yang netral untuk

membantu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa.

Kedua cara ini sebagai dasar utama dalam menyelesaikan konflik pertanahan, namun hal ini

tergantung pada aktor-aktor negara atau pemerintah dalam implementasi kebijakan dan

reformasi Undang-undang yang telah ditetapkan ini. Reformasi kebijakan pertanahan dapat di

lakukan secara terus menerus, sehingga reformasi kebijakan di bidang pertanahan perlu

diarahkan untuk menghindari konflik kepentingan kaum pemodal besar atau sebagai kaum

kapitalis lokal. Orientasi reformasi kebijakan pertanahan dapat diletakkan pada prinsip-

prinsip dasar;

(1) negara menguasai

(2) penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat

(3) asas fungsi sosial hak atas tanah,

(4) prinsip landreform,

(5) asas perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan

(6) dengan prinsip nasionalitas.


Dari uraian sumber maupun pemaparan konflik tanah di Maluku utara, saya

menarik kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan secara

nasional maupun ditingkat daerah masih saja menjadi problem yang tidak henti-

hentinya terjadi, hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan

apa yang kemudian diamnatkan dalam UUD Negara RI 1945, dan adapula ditingkat

daerah actor-aktor tertentu yang dengan sengaja menginkan untuk menguasai tanah

terhadap segelintir masyarakat yang tidak memahami persoalan hukum, politik,

ekonomi dll yang barkaitan dengan tanah tersebut.

Apalagi peran dominan dari capital ditingkat daerah khususnya Maluku utara

itu sendiri, sebut saja perusahan-perusahan asing yang kian pesat beroperasi di

Maluku utara, ketika perusahan asing itu masuk yang melalui kerja sama dengan

pemerintah untuk melakukan investasi hal ini banyak terjadi pertentangan antara

masyarakat dengan pemerintah, msyarakat dengan investor asing bahkan sesama

masyarakat yang itu memicu hingga terjadi konflik .

Dari berbagai macam konflik tanah yang terjadi di Maluku utara, kebanyakan

typekal masyarakat Maluku utara terutama pada masyarakat pedesaan yang masih

minimnya pemahaman dalam perkembangan pengetahuan mereka menyelesaikan

suatu konflik masih memakai system non litigasi karena bagi mereka pada umumnya

cara yang digunakan mudah, tidak memakan waktu yang cukup lama, hasilpun

memuaskan.

dalam penyelesaian konflik seperti ini yang mereka percayakan untuk

menyelesaikan konflik tersebut adalah orang yang memiliki kewenangannya pada

daerah tersebut semisalnya(kepala desa, lurah kepala kampong dll).


Tugas : sosiologi Hukum

KONFLIK TANAH DI MALUKU UTARA


(Penyelesaian Konflik Melalui Non Litigasi)

OLEH :

NAMA : JUMARDIN GAALE

NPM : 0101 1511 018

Smtr/Kelas : V/A

UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE

FAKULTAS HUKUM

2017

Anda mungkin juga menyukai