Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

APPENDISITIS AKUT

Oleh :

dr. Anastasia Widha Sylviani

Pembimbing:

dr. Ni Ketut Suyasni

dr. Made Tisnasari

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSU. BHAKTI RAHAYU DENPASAR

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kegawatan abdomen paling umum hingga saat ini dan
angka kejadiannya mencapai lebih dari 40.000 kasus di rumah sakit di Inggris setiap
tahunnya. Kejadian apendisitis lebih sering pada usia dewasa muda antara 10-20 tahun,
namun tidak ada pengecualian usia. Semua usia rentan terhadap terjadinya apendisitis.
Predisposisi jenis kelamin tampaknya lebih banyak terjadi pada pria dengan rasio pria
dengan wanita berbanding 1,4 : 1 dan risiko keseluruhan pada pria mencapai 8,6% dan
pada wanita 6,7% di Amerika Serikat. Sejak tahun 1940 insiden apendisitis akut di
rumah sakit sudah menurun, dengan alasan penurunan angka kejadian yang masih
belum jelas.(1)
Apendisitis adalah peradangan akut apendik perivormis dan merupakan
penyebab abdomen akut paling sering. Peradangan pada apendiks selain mendapat
intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi. Apabila kondisi apendisitis berlanjut maka akan meningkatkna resiko
terjadi ‘perforasi’ dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respon inflamasi
permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi
apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah.
Apendisitis akut memiliki gejala klinis yang khas dan ketika keadaan ini
muncul dengan gejala klinis khas tersebut, cenderung mudah bagi para klinisi untuk
menegakkan diagnosis dan merencanakan terapi. Namun, pada anak-anak (<5 tahun)
dan orang yang lebih tua (> 55 tahun) gejala klinis yang timbul dapat bervariasi
sehingga menghasilnya gejala atipikal sehingga diagnosis dapat terlambat dan terdapat
kesulitan untuk memberikan terapi.(2)
Melihat komplikasi tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang
perawatan pada klien pre dan post operasi apendiktomi dan dapat mengaplikasikannya
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien post operasi apendiktomi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi
Pada minggu keenam perkembangan embrio manusia, apendiks dan caecum
muncul sebagai kantung (outpouchings) dari bagian bawah midgut. Kantung
apendiks ini mulai memanjang pada bulan kelima perkembangan sampai
menyerupai bentuk vermiformis. Apendiks mempertahankan posisinya pada ujung
(apex) caecum sepanjang perkembangannya. Ketidakseimbangan pertumbuhan
apendiks ke dinding lateral caecum menyebabkan posisi apendiks saat dewasa
berotasi sehingga berada pada dinding posterior bagian medial tepat dibawah katup
ileosekal. Dasar dari apendiks dapat mengikuti taenia coli secara longitudinal
sampai kepada pertemuan dengan caecum. Ujung dari apendiks dapat berlokasi di
kuadran kanan bawah abdomen, pelvis ataupun retroperitoneum.(3)

2.2 Anatomi
Apendiks menyerupai bentuk tabung, bentuk apendiks memiliki panjang
bervariasi antara 3-15 cm dengan rata-rata ±10 cm dan berpangkal di caecum.
Lumen apendiks sempit pada bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Pada
65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal yang memungkinkan apendiks
bergerak. Sementara pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal yaitu
di belakang caecum, di belakang kolon asendens atau di tepi lateral kolon
asendens. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan saraf
simpatis berasal dari pleksus mesenterika superior (T10-L1). Maka itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.(4) Pendarahan apendiks
berasal dari arteri apendikularis yang merupakan cabang dari arteri ileokolika.
Arteri ini berasal dari posterior ileum terminal dan memasuki bagian mesoapendiks
berdekatan dengan dasar dari apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir
memasuki nodus limfatikus yang berada sepanjang arteri ileokolika. Secara
histologis, apendiks terdiri dari : lapisan terluar serosa yang merupakan
perpanjangan dari peritoneum, lapisan muskularis, dan lapisan submukosa serta
mukosa.(3)
Gambar 1. Apendiks Vermiformis

Pada apendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum


dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah retrocaecal 74% baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakang caecum. Selain itu
juga terdapat posisi pelvis (panggul) 21% (appendiks menggantung ke arah pelvis
minor), subcaecal ( dibawah caecum) 1,5%, retroileal (dibelakang usus halus)
0,5%, dan pre-ileal 1%.(5)

Gambar 2. Posisi Apendiks


2.3 Histologi
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan
yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan
dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning
muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen.
Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk
irreguler (stelata) pada potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai
berikut :3

A. Tunica mukosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.
1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan
selargentafin dan kadang-kadang sel paneth.
2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus limfatikus yang tersusun berderet sekeliling lumen.
Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn.
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan
limfoid dan kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata.
Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan
saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix
yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.
2.4 Fisiologi

Selama bertahun-tahun, apendiks dianggap sebagai suatu organ yang


fungsinya tidak diketahui dengan jelas. Namun sekarang, appendiks dikenal
sebagai organ imunologis/imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yang berpartisipasi secara aktif dalam sekresi
imunoglobulin, terutama imunoglobulin A (Ig A).(3,4) Imunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Apendiks juga menghasilkan lendir
sebanyak 1-2 ml per harinya dimana lendir tersebut akan dialirkan ke dalam lumen
yang selanjutnya akan mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir ini
berkontribusi terhadap patogenesis apendisitis. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfonodi disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna
dan diseluruh tubuh.6

2.5 Definisi

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan


bermanifestasi sebagai rasa nyeri perut kanan bawah yang khas. Peradangan akut
apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umunya berbahaya.6

2.6 Epidemiologi

Risiko seseorang dapat terkena apendisitis sepanjang hidupnya


diperkirakan 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita dengan insidensi terbesar
terjadi pada usia dekade ke 2 dan 3.(3) Sampai dengan tahun 2015, diperkirakan
terdapat 300.000 kasus apendisitis di Amerika Serikat. Dimana apendisitis akut
masih merupakan indikasi untuk dilakukan pengangkatan apendiks melalui
apendektomi. Perforasi dengan peritonitis difus membutuhkan penanganan segera.
Sekitar 15-20% kasus apendisitis merupakan apendisitis komplikasi dimana dapat
muncul dengan adanya phlegmon ataupun abses yang diketahui dengan CT scan
(7)
ataupun USG. Insidens apendisitis di negara maju lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang. Hal ini diduga akibat dari meningkatnya makanan berserat
yang dikonsumsi sehari-hari. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
insidens ini menurun secara bermakna.(4)

2.7 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendiks. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, diet rendah serat, cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul
atau trauma karena colonoscopy dapat mencetus inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus appendiks akut, sekitar 65% merupakan appendiks
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus appendiks gangrenous dengan
rupture.(8)
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendiks adalah erosi
mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya appendiks. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks, dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempengaruhi terjadinya appendisitis akut. Flora normal kolon memainkan
peranan penting pada perubahan appendisitis akut ke appendisitis gangrenosa, dan
appendisitis perforata. Bakteri yng umumnya terdapat di appendiks akut dan
appendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun
berbagai variasi dari bakteri fakultatif, anaerob, dan Mycobacteria dapat
ditemukan.(9)
Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada appendsitis akut(9)
Bakteri Aerob dan Bakteri Anaerob
Fakultatif
Batang gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia Coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas Aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococus Aenginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

2.8 Patofisiologi
Perkembangan penyakit apendisitis didahului oleh keadaan obstruksi pada
lumen apendiks yang dihasilkan dari faktor pencetus. Pencetus yang sering
dianggap berpengaruh terhadap obstruksi lumen apendiks antara lain : fecalith,
hiperplasia limfoid, corpus alienum, neoplasma, dan striktur akut (kinking) yang
disebabkan dari fibrosis pada peradangan sebelumnya. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap obstruksi apendiks adalah : isi lumen, derajat obstruksi,
sekresi mukosa dan inelastisitas dinding. Patofisiologi terjadinya apendisitis akut
dibagi menjadi 4 stadium. Stadium 1 disebut sebagai stadium apendisitis akut fokal
(kataral), dimana proses dimulai dengan adanya obstruksi pada lumen apendiks
disertai dengan sekresi mukus pada lumen yang terjadi terus menerus
menyebabkan jumlah mukus dalam lumen apendiks meningkat menghasilkan
tekanan intralumen meningkat sehingga terjadi distensi lumen apendiks. Adanya
obstruksi pada lumen apendiks menimbulkan perkembangan bakteri yang memicu
inflamasi. Inelastisitas dinding apendiks dikombinasi dengan tekanan intralumen
apendiks yang meningkat serta proses inflamasi menghasilkan hambatan aliran
limfe yang memibulkan edema pada apendiks (appendiceal edema). Selain itu
terjadi juga diapedesis bakteri seperti E.coli ataupun pseudomonas dan ulserasi
mukosa. Gejala klinis yang ditimbulkan pada stadium ini adalah timbulnya nyeri
epigastrium (periumbilikal) akibat merangsang persarafan plx. coeliacus, mual
muntah dan kembung.
Apabila penyakit berlanjut maka akan masuk kedalam stadium II yang
disebut stadium apendisitis supuratif akut (phlegmous appendicitis). Proses
berlanjut akibat sekresi cairan semakin banyak dan proses inflamasi yang terjadi
maka tekanan intralumen apendiks bertambah tinggi dan menyebabkan obstruksi
vena (kongesti vaskular). Obstruksi akibat kongesti ini membuat trombosis dan
memperparah edema pada apendiks. Keadaan ini memudahkan terjadinya
translokasi bakteri dan membuat perluasan peradangan. Gejala yang ditimbulkan
pada stadium II ini antara lain : nyeri perut kanan bawah, peritonitis lokal, defens
muskuler lokal, nyeri tekan dan nyeri lepas, serta pada pemeriksaan rectal toucher
didapatkan nyeri pada jam 9 (sebelah kanan).
Stadium III yang disebut sebagai apendisitis gangrenosa, dengan perjalanan
penyakit yang berlanjut sehingga menimbulkan disfungsi sirkulasi lokalis (aliran
darah arteri terganggu). Obstruksi arterial akibat infark antara junction dan
membuat aliran darah inadekuat ini mengarahkan kepada keadaan infark apendiks
(iskemi) yang pada akhirnya menjadi gangren apendiks (gangrenous appendicitis).
Gejala pada stadium ini masih berupa nyeri perut kanan bawah dengan tanda-tanda
peritonitis lokal yang semakin kuat disertai dengan keluhan mual dan muntah
hebat. Stadium IV, stadium terakhir disebut sebagai apendisitis perforata dimana
akibat dinding apendiks yang nekrotik, lama kelamaan terjadi kerapuhan sehingga
rentan terjadi perforasi. Apabila sudah sampai ke tahap ini, gejala klinis yang
ditimbulkan sebagai akibat dari isiperut yang keluar ke rongga abdomen adalah
nyeri perut menyeluruh, dengan defens muskular difus. Hal ini merupakan
kejadian peritonitis umum yang memerlukan penanganan laparotomi segera.
Apabila proses peradangan yang terjadi lambat, disertai sistem imun dan
keadaan umum yang baik maka proses peradangan ini dengan mobilisasi omentum
serta usus halus sebagai mekanisme proteksi alamiah (barrier) akan membungkus
apendiks yang terinflamasi sebagai usaha untuk mencegah penyebaran infeksi
dengan cara mengisolasi organ yang terinflamasi dari organ-organ lain di dalam
rongga abdomen menimbulkan keadaan yang disebut sebagai infiltrat
apendikularis / periappendicular (appendiceal mass : massa periapendikuler).
Massa pada apendisitis infiltrat ini berkembang 48 jam setelah barrier berhasil dan
tidak ditemukan perforasi. Massa ini berisikan campuran dari apendiks yang
terinflamasi serta jaringan granulasi. Namun jika barrier ini tidak dapat menahan
inflamasi sehingga apendiks perforasi maka massa apendikuler yang timbul
disebut dengan phlegmon. Obstuksi pada lumen rentan menyebabkan perforasi
apendiks yang diikuti dengan iskemik, nekrosis dan gangren dinding apendiks.(10)

2.9 Manifestasi Klinis


 Nyeri abdomen
Nyeri abdomen disebabkan akibat kontraksi, distensi lumen apendiks
ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan. Mula-mula
nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul, nyeri ini merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilikus karena apendiks dan usus
halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (± 4-6 jam) nyeri
berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney; jarak antara
SIAS ke umbilikus 1/3 distal). Apabila terjadi inflamasi akan terjadi nyeri somatik
setempat yang menandakan sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal
dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila
batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang.
 Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal.
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang
(diare).
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.(2)

 Mual-muntah
Disebabkan karena rangsangan viseral akibat aktivasi N. vagus. Hampir
75% penderita disertai dengan muntah dengan frekuensi 1-2 kali, dan jarang
berlanjut menjadi berat.(2)

 Nafsu makan menurun (anoreksia)


Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut
akibat keluhan nyeri dan rasa mual yang mendahului.(2)

 Obstipasi dan diare .


Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa
nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak
apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum (sering pada anak-anak).(2)

 Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Untuk mendiagnosis apendisits akut biasanya ditegakan berdasarkan dari


riwayat penyakit dengan classical symptoms seperti nyeri perut kanan bawah,
demam, dan anoreksia. Seringkali demam juga dapat muncul dengan suhu ± 38°C.
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium darah
terutama leukositosis menjadi penunjang diagnosis yang utama.
Nyeri perut pada appendisitis akut merupakan keluhan awal penderita.
Nyeri bermula disekitar umbilikus yang kemudian berpindah ke perut kanan
bawah. Nyeri awal pada sekitar umbilikus (paraumbilikus) adalah nyeri viseral,
berasal dari peritoneum viseral yang dikirim ke sentral melalui sistem saraf otonom
dan diinterpretasi di otak pada thalamus.(2)

2.10 Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan gambaran apendisitis akut, nyeri perut akut
pertama di bagian paraumbilikal yang kemudian berpindah ke regio kanan bawah.
Nyeri biasanya dirasakan hilang timbul dan apabila sudah mencapai regio kanan
bawah, nyeri dirasa tajam. Apabila perjalanan penyakit mencapai beberapa
minggu, pasien dapat mengeluhkan nyeri berkurang. Keluhan demam dapat
menyertai namun tidak selalu ditemukan. Mual dan muntah serta anoreksia lebih
sering ditemui pada kasus sierta keluhan diare dapat muncul. Pada anamnesis,
jarang ditemukan hal signifikan yang membedakan apendisitis infiltrat dengan
apendisitis akut. Dapat ditanyakan juga apakah terasa adanya massa pada regio
kanan bawah yang muncul 48-72 jam pasca nyeri akut pertama kali dirasakan.(10)

2. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi
Apabila pasien datang dalam keadaan kesakitan, maka observasi dari
cara berjalan sudah terlihat gambaran yang khas yaitu pasien jalan
membungkuk ke arah yang sakit sambil memegangi perut. Pada inspeksi
perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Pada massa yang cukup besar,
penonjolan perut kanan bawah sudah dapat terlihat dan dari situ kita bisa
mencurigai adanya massa periapendikuler.

2) Auskultasi
Peristaltik usus seringkali normal. Namun, peristaltik dapat menghilang
pada ileus paralitik akibat peritonitis generalisata karena apendisitis
perforata.

3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
o Nyeri tekan (+) Mc Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik
Mc Burney, ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o Nyeri lepas (+) akibat rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
o Defens muskuler (+) karena rangsangan m. rektus abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada
apendiks letak retroperitoneal, defens muskuler bisa tidak ada,
namun digantikan dengan nyeri pinggang.
o Pemeriksaan fisik yang paling khas pada apendisitis infiltrat adalah
terabanya massa (tender mass) pada regio fossa iliaka kanan.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvis
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

4) Perkusi : nyeri ketuk (+)

a. Pemeriksaan khusus
 Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan
peritoneum sekitar apendiks yang meradang (somatic pain).
 Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah dari
yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada
kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan.
 Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila
terasa nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
 Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien
tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul atau artikulasio koksae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri
di perut kanan bawah.

3. Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium : pada pemeriksaan darah terdapat leukositosis
ringan (10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel
polimorfonuklear (PMN), neutrofil (shift to the left) dimana terjadi
pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan
akut appendisitis dan apendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan
leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

o CRP : CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria


yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12
jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya,
pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik.
Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak
dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.

o Urinalisa : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri


dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.

o Foto polos abdomen : radiologi polos tidak spesifik, umunya


tidak efektif untuk biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi
tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram mungkin tidak terlihat
di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat digunakan
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Ditemukan fekalith
dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local
air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang)
bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan
kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran
kemih kalkulus.
o USG : merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan
dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat
digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak
mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks
diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah
adanya noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada
diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada
kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan
pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan
struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol,
dan kehilangan keliling dari layer submukosa. False (+) dapat
ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang
obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel,
divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang
panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada
appendiks.
o Barium enema : suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan
barium ke kolon melalui anus. Barium enema di kontra
indikasikan pada suspek appendisitis akut sebab pada apendisitis
akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga
kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran
kuman ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis
kronik. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras
BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3
secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk
anak – anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini
dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling
dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya appendisitis
kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False
negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus.
o CT Scan : appendisitis dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan
apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi
pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila
terdistensi atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang
termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses,
kumpulan cairan, edema, dan phlegmon. Inflamasi
periappendiceal atau edem terlihat sebagai perkapuran dari lemak
mesenterium (“dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan
peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah.
CT-Scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami
penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga dapat
berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat dengan
mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik adanya
appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang
disebabkan penebalan dari caecum. Kekurangan dari CT-Scan
termasuk mungkin iodinasi-kontras-media alergi,
ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama
jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion,
biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil.

Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya


berdasarkan gambaran klinis dikarenakan sulitnya komunikasi antara anak, orang
tua dan dokter. Anak belum mampu mendiskripsikan keluhan yang dialami. Skor
alvarado adlah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda, dan dua temuan laboratorium.
Klasifikasi ini didasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan appendiks.
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut :

Gejala dan Tanda Skor

Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Keterangan
Peningkatan suhu ≥37,50C 1
Alvarado skor :
Jumlah leukosit ≥ 10X103/L 2
Jumlah neutrofil ≥ 75% 1

Total skor 10

 Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 poin


 Modified Alvaro score (Kalan et al)
1-4 : dipertimbangkan appendisitis akut
5-6 : possible appendisitis tidak perlu operasi
7-9 : appendisitis perlu pembedahan
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1-4 : observasi
5-6 : antibiotik
7-9 : operasi dini

2.11 Diagnosis Banding


a) Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahalui rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Demam dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan dengan appendisitis. Hiperperistaltik sering
ditemukan.
b) Infeksi Saluran kencing
Pada ISK didapatkan keluhan berupa demam, nyeri perut bawah yang
samar dibandingkan appendisitis. Nyeri saat BAK dan lekositosis pada
pemeriksaan urinalisa menjadi tanda ISK.
c) Ileitis Akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali dengan riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anoreksia, mual, muntah.
d) Thyfoid
Demam pada tyfoid biasanya muncul sore-malam hari dan akan berangsur
menurun pada pagi hari, pada penyakit ini juga ditemukan adanya nyeri perut,
diare atau konstipasi. Namun untuk menyingkirkannya bisa dilakukan
pemeriksaan widal untuk memastikan penyakit ini.
e) Peradangan Pelvis
Tuba falopi kanan dan ovarium dekat dengan apendiks. Radang kedua
organ tersebut sering bersamaan sehingga disebut salphingo-ooforitis atau
adnecitis. Untuk menegkaan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak
sexual. Suhu tubuh biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut
bawah lebih difus. Biasanya disertai keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan akan terasa nyeri.
f) Kehamilan Ektopik
Adanya riwayat terlambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di
kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
g) Batu ureter atau Batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut

2.12 Penatalaksanaan
 Appendektomi
- Cito : akut , abses, dan perforasi
- Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalh
appendektomi dan merupakan pilihan terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Masa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih
tinggi daripada pembedahan pada appendiks sederhana tanpa perforasi.(11)
Pada periapendikular infiltrat dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, terlebih bila
massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau
tanpa peritonitis umum. Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif
saja. Pada anak kecil, ibu hamil, dan lansia, jika secara konservatif tidak membaik
atau berkembang jadi abses dianjurkan operasi secepatnya. Bila pada waktu
membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi.(3)
Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat:
1. total bed rest posisi fawler agar pust terkumpul di cavum douglass.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotik parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru stelah keadaan tenang, sekitar 6-8
minggu kemudian dilakukan appendiktomi. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase saja, appendektomi dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

Analgetik diberikan hanya bila diperlukan. Bila gejala menghebat tanda


terjadi perforasi dan segera pertimbangkan appendiktomi. Caranya dengan
membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi grid iron). bila appendiks mudah di ambil, maka sebaiknya
segera diambil karena appendiks akan menjadi sumber infeksi, sedangkan bila
sukar dilepas jangan dipaksakan karena akan terjadi ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Bila sudah abses, didrainase dengan selang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan 72 jam biala pus sudah
kurang dari 100cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit
sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari
post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses dapat di RT setiap hari.(11)
Pembedahan pada appendiks (appendiktomi) dicapai melalui insisi Mc.
Burney. Tindakan pembedahan pada kasus appendiks akut dengan penyulit
peritonitis berupa appendektomi yang dicapai melalui laparatomi (Ein, 2000).
Lapisan yang dibuka pada appendektomi :
1. cutis 6. MOI
2. Subkutis 7. M. Transversus
3. Fascia scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia camfer 9. Pre peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. peritoneum

2.13 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Perforasi dapat
menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. Tanda terjadi
perforasi :6
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh sangat tinggi
 Nadi makin cepat
 Defence muskular yang menyeluruh
 Bising usus berkurang
 Perut distensi

2.14 Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyekit ini sangat kecil. Serangan berulang dapat terjadi bila
appendiks tidak diangkat.

BAB III
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. IGAS


Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 31 Tahun
Alamat : Jl. Imam Bonjol, GG VII A no.14
Agama : Hindu
Suku : Bali
Masuk Rumah Sakit : 03 Maret 2018 jam 23.20 WITA

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke UGD RSU Bhakti Rahayu pada jam 23.20 WITA
mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri
awalnya dirasakan disekitar uluhati dan bersifat hilang timbul. Kemudian nyeri
berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri dirasakan makin memberat
sejak pagi sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri perut disertai demam yang hilang
timbul yang tidak dipengaruhi waktu. Pasien sempat datang berobat ke klinik 2 hari
sebelum masuk rumah sakit dan diberi obat paracetamol namun keluhan dirasa tidak
membaik. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAK sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, tidak ada darah saat BAK. BAB tidak ada keluhan. Pasien menyangkal
ada mual muntah. Tidak ada keluhan datang bulan. Nafsu makan pasien berkurang.
Pasien makan terakhir jam 6 sore.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, DM, asma, jantung, riwayat
operasi sebelumnya, dan alergi.

Riwayat Pengobatan :
Pasien sudah pernah memeriksakan keluhannya ke klinik sebelumnya.
Pasien mendapatkan obat paracetamol.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Dalam keluarga tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Pasien juga
menyangkal keluarga punya riwayat darah tinggi, kencing manis.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien menyangkal merokok, minum minuman beralkohol, minum obat-
obatan ataupun jamu.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum : Tampak nyeri (Skala nyeri 3)
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Berat Badan : 62 Kg
Tinggi Badan : 163 Cm
Status Gizi : BMI 22,9 (normal weight)
Tanda vital
Suhu : 38,7 0C
Pernapasan : 20 kali/menit
Nadi : 100 kali/menit
Tekanan darah : 100/60 mmHg

STATUS GENERALIS
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), epistaksis(-)
Mulut : Kering (-), sianosis (-),Tonsil T1 – T1, tenang, hiperemis (-)
Telinga : Sekret (-/-)
Leher : Kelenjar getah bening tidak teraba
Thorax : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, bising usus (+), nyeri tekan (+)
Ekstremitas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)

STATUS LOKALIS
Pada daerah perut kanan bawah (titik mc.Burney) terdapat nyeri tekan (+),
nyeri lepas (+), obturator sign (+).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 03/03/18


E. DIAGNOSIS KERJA
Observasi abdominal pain e.c Appendisitis Akut

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi Saluran Kencing
2. Gastroenteritis akut
3. adnecitis

G. PENATALAKSANAAN DI IGD
Advis dr Aussie Sp.B (23.40)
 IVFD Ringer Laktat 18 tpm
 Cefoperason 2x1 gr IV
 Paracetamol fls 1x
 USG Abdomen
 Puasa sampai dokter visit
H. PLANING

 Rencanakan untuk pembedahan (appendektomi)

 Informed consent

 EKG

I. SARAN

 Jaga stabilitas tanda vital

 Observasi skala nyeri


 Hasil USG tanggal 05/03/2018
 Hasil EKG

Kesan : dalam batas normal


J. LAPORAN OPERASI (05 MARET 2018)

Diagnosis Pra Bedah Appendisitis akut

Jenis Pembedahan Appendiktomi

Diagnosis Pasca Bedah Post appendiktomi e.c appendisitis akut

Tindakan operasi  Pasien dalam posisi terlentang dengan

PA BSA

 Desinfeksi lapangan operasi dengan

betadine

 Drapping dengan doek steril

 Insisi linier

 Insisi diperdalam lapis demi lapis

 Buka fascia - split otot

 Buka peritoneum

 Dilakukan appendectomy-tabac zac

 Cuci cavum abdomen

 Jahit lapis demi lapis

 Operasi selesai

K. FOLLOW UP PASIEN

Sebelum operasi

Tanggal S O A p

4/3/2018 Nyeri perut KU: tampak sakit Abdominal pain  Rencana


kanan bawah (+), sedang e.c suspek USG
mual (+) Kesadaran: appendisitis akut, abdomen
compos mentis hari rawat I besok
TD: 100/60 (5/3/2018
mmHg pukul 07.00
S :36,20C, WITA)
HR : 72x/m  Rencanakan
RR : 20x/m appendicto
skala nyeri 3 my besok
Abd : BU (+), (5/3/2018
nyeri tekan dan pukul 12.00
nyeri lepas Mc WITA) bila
Burney (+) hasil USG
abdomen
sudah ada.
 Puasakan
pasien
 IVFD RL
18tpm
 Cefoperazo
ne 2x1gr
 Paracetamol
3x1gr

Sesudah operasi

Tanggal S O A P

5/8/2018 Nyeri pada luka KU: tampak sakit sedang Post  IVFD RL 20
Kesadaran: compos mentis tpm,
bekas operasi, appendektomi
TD : 100/70 mmHg  cefoperazon
pusing (+), flatus S :360C, e.c 2x1gr,
(-)
HR : 70x/m
eppendisitis  analgetic
RR : 20x/m drip (D 5%
skala nyeri 2 akut hari 1, + ketorolak
Abd : BU (+) 60mg/Petidi
hari rawat II
Status lokalis regio iliaka ne 175 mg)
dextra : tampak luka  Diet bubur
tertutup kasa, rembesan bila sudah
darah (-), nyeri (+) flatus
6/3/201 Nyeri luka KU: tampak sakit sedang Post  IVFD RL 20
Kesadaran: compos mentis tpm,
8 operasi,flatus appendektomi
TD : 100/60 mmHg  cefoperazon
S :36,70C, e.c 2x1gr,
(+) HR : 80x/m
eppendisitis  analgetic
RR : 18x/m drip (D 5%
skala nyeri 2 akut hari 2, + ketorolak
Abd : BU (+) 60mg/Petidi
hari rawat III
Status lokalis regio iliaka ne 175 mg)
dextra : tampak luka  Diet bubur

tertutup kasa, rembesan


darah (-), nyeri (+)
7/3/201 Nyeri luka KU: tampak sakit sedang Post  Rawat
Kesadaran: compos mentis
8 operasi appendektomi jalan
TD : 110/70 mmHg
S :360C, e.c
berkurang, HR : 80x/m
 Edukasi
eppendisitis
BAB (+) RR : 18x/m perawatan
skala nyeri 1 akut hari 3,
Abd : BU (+) lukadan
hari rawat IV
Status lokalis regio iliaka kontrol
dextra : tampak luka jahitan
tertutup kasa, rembesan
kepoli
darah (-), nyeri (+)
spesialis
bedah
 Diet bebas
 Medikame
ntosa :
- cefixime
2x100mg
-dexketoprofen
3x1

L. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : ad bonam


Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil anamnesis, keluhan yang
dialami pasien menunjukkan kesesuaian dengan acuan dalam diagnosis
appendisitis akut serta usia pasien yang merupakan faktor resiko terjadi
appendisitis. Pasien datang dengan diawali keluhan nyeri pada ulu hati kemudian
nyeri berpindah dan menetap di perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan adanya demam dan kehilangan nafsu makan atau anoreksia. Di
samping itu juga, saat rawat inap hari pertama pasien mengeluh adanya mual.
Keluhan yang dialami pasien berupa adanya nyeri di perut kanan bawah
merupakan khas letak anatomi appendiks walaupun tidak menutup kemungkinan
adanya organ lain disekitar perut kanan bawah. Pasien juga mengalami demam
dimana demam merupakan ciri seseorang mengalami infeksi yang dalam kasus ini
diduga dikarenakan infeksi dari radang pada appendiks. Berdasarkan diagnosis
appendisitis akut dengan alvarado skor, gejala yang di alami berupa nyeri
berpindah, nyeri di perut kanan bawah, demam, mual dan anoreksia dari hasil
anamnesis pasien telah dapat mengarah ke diagnosis appendisitis akut.
Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh suhu badan pasien dalam batas
normal dikarenakan pasien sempat mendapatkan pengobatan dari klinik berupa
paracetamol. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan adanya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada perut kanan bawah tepatnya pada titik Mc Burney. Dilakukan juga
pemeriksaan obturator sign yang merupakan salah satu pemeriksaan khusus untuuk
menentukan adanya appendisitis dan didapatkan hasil positif dimana pasien
merasakan nyeri saat dilakukan pemeriksaan tersebut.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan leukosiit
yang menandakan adanya infeksi dan duduga akibat peradangan appendiks. Pada
pemeriksaan urinalisa juga ditemukan adanya bakteri didalam urin. Oleh karena
kecurigaan adanya infeksi saluran kencing juga tidak dapat disingkirkan. Pada
pasien juga di lakukan pemeriksaan USG abdomen dan dari pemeriksaan
menunjukkan adanya peradangan appendiks sehingga diagnosis pasti appendisitis
pada pasien dapat ditegakkan.
4.2 Penatalaksanaan
Pada pasien diberikan penangan berdasarkan keluhan pasien berupa
paracetamol flash dan cefoperason. Pada kasus appendisitis akut terapi
medikamentosa yang dapat diberikan adalah analgetik dan antibiotik, dalam kasus
ini pasien mendapatkan paracetamol yang merupakan pengobatan untuk
menghilangkan rasa nyeri (analgetik) dan juga untuk menurunkan suhu tubuh
(antipiretik). serta cefoperason yang merupakan antibiotik. Dalam hal ini,
sebagaimana tercantum dalam penanganan appendisitis akut, pasien sudah
mendapatkan terapi yang sesuai.
Pada kasus ini juga pasien dilakukan appendiktomi, berdasarkan literatur
penannganan pada pasien yang mengalami appendisitis akut, tindakan
appendiktomi merupakan penanganan cepat terbaik untuk menghilangkan keluhan
dan mencegah komplikasi lebih lanjut dan setelah tindakan tersebut diberikan,
keadaan pasien membaik.
BAB V
KESIMPULAN

Appendisitis akut adalah peradangan appendiks vermiformis yang bila tidak


tertangani segera dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Insidens
apendisitis di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Risiko
seseorang dapat terkena apendisitis sepanjang hidupnya diperkirakan 8,6% pada
pria dan 6,7% pada wanita dengan insidensi terbesar terjadi pada usia dekade ke 2
dan 3. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendiks. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi titik tumpu utama dalam
mendiagnosis suatu appendisitis akut. Dalam kasus ini pasien mempunyai tanda
dan gejala yang khas sehingga dapat dilakukan diagnosis dan penanganan segera.
Pencegahan merupakan langkah awal yang penting. Apabila apppendisitis dapat
ditangani secara cepat dan tepat maka tidak akan menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Humes DJ, Simpson J. Acute appendicitis. BMJ 2006; 333: 530-4.


2. Ishikawa H. Diagnosis and treatment of acute appendicitis. JMAJ 2003;
46 : 217-21.
3. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, et al.
Schwartz's Principles of Surgery. 10th edition. New York : McGraw-
Hill;2015.
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TO, Rudiman R. Buku
Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2013.
5. Williams Norman S. Bailey and Love: Short practice of surgery. 26th ed.
London: CRS Press; 2013.
6. Lugo, V.H. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23
No.03. September. 2004
7. Bankey P. Complicated appendicitis the right lower quadrant. Univ of
Rochester Surgical Symposium 2015.
8. Hugh, A.F. Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat. Ed.11. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
9. Hardin, M, 1999. Acute Appendicitis: Review and Update. The
American Academy of Family Physicians. Texas A&M University
Health Science Center, Temple, Texas http://www.aafg.org
10. Malik AM, Shaikh A. Recent trends in the treatment of the appendicular
mass in : Appendicits - A Collection of Essays from Around the World.
InTech 2012.
11. Schwartz, Spencer,S. Fisher, D.G. 1999. Priciples of Surgery Sevent
Edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies.
Enigma an Enigma Electronic Publication.

Anda mungkin juga menyukai