Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH HUKUM ISLAM

Disusun oleh

NAMA :PERMINUS PAKAGE

STAMBUK :014. 501. 126

KELAS : G14
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan


nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Pendidikan Agama
Islam yang berjudul “Hukum Islam” ini. Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan
pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
di program studi Pendidikan Teknik Informaitika dan Komputer, Fakultas
Teknik pada Universitas Negeri Makassar. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Mappasessu Barata,
M.A selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan
kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan


dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi
kita semua.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................

C. Tujuan Penulisan....................................................................................

D. Manfaat Penulisan..................................................................................

BAB II
PEMABAHASAN...........................................................................................

A. Pengertian Hukum Islam..........................................................................

B. Ruang Lingkup Hukum Islam..................................................................

C. Bagian-Bagian Hukum Islam...................................................................

D. Tujuan Hukum Islam................................................................................

E. Sumber Hukum Islam................................................................................

F. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Islam...

G. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Masyarakat................................

BABA III
PENUTUP..........................................................................................................

A. Kesimpulan

B. Saran..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini
memiliki empat aspek, yaitu

(a) kebebasan nurani (freedom of conscience),

(b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious


expression),

(c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious


association), dan

(d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious


institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni
kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli
dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama
tertentu. Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus
dianggap sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki
komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta
pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-
agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.

Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan


Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh
penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang
berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari
berbagai ras, suku bangsa, dan agama.

Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah


bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan
munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam
agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu
mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia
pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan
potensi yang besar.

Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan
pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang
agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu,
hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan
hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup
bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut
terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak
pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain.
Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai
konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.

Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam
memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di
Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia
berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam
tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya.
Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh
kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali
lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak
menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau
hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia.
Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya
adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya
terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang
dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak


didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum
tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang
meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik
yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah
interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious
response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti
ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.

Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk


Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak
dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi
Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon
dari masyarakat Muslim secara umum.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan


mengambil judul ”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:

1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?

2) Apa yang melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?

3) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan


hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah :

1) Untuk mengetahui sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat

2) Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu

3) Untuk mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap


pemberlakuan hukum islam di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan


kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar
belakang munculnya teori receptie, dan hubungan teori receptio in complex
terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masyarakat Islam dan Non Islam

Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan
dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam.
Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah
agama.

Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan


(tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil
seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan
kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.

Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama


dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk
membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung
kebebasan beragama.

Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya


kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin
ada kerukunan antarumat beragama.

Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar


kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat
diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya,
yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk
merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan.
Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai
kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu
yang penting.

Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada
manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan
oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak
berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan
beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan
gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.

Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda
dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata
“toleransi” juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang
masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).

Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti


menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda
itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang.
Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya
atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan
perbedaan itu tetap ada.

Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata


tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan
seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak
kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya
telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?”
Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan
bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu
mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak
setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati, sedang
toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.

Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam,
tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus
menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk
memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang dialami
oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam, karena
biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan
dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli
dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh
kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi

Toleransi dan kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam,
telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu
rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari
komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau
memimpin masyarkat majemuk.

Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara


pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam
madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.

(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu
komunitas

(2) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas
prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi
musuh bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati,
menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga
perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn
dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di
kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan
oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh
Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500
tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga agama dan
satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun bersama-sama
menyertai perbedaan yang genting.
B. Latar Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu

Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi


Putera, yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbulah beberapa teori yaitu:
Teori pertama diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel
Frederik Hunter (1799-1859) Salomo Kayzor (1823-1868) dan Odeniya William
Christian Van Berg (1845-1925)

Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum
agamanya masing-masing jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku
bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku
bagi penduduk asli yang beragam khatolik, demikian juga bagi penganut agama
lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in complex (RIC).

Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement)


tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi
882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di
samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu
kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum
waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama

Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan


posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya
Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya
lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat
diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah
muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem
Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum
mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam,
maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in
Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi
politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan
perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum
Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S.
Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht
yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat
berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang
menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini
sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh
karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.

Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk
membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi
(usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi
pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris
dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya
kepada Landraad (Pengadilan Negeri).
C. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan
Syariat Islam di Indonesia

Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,


kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan
semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti
hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang
hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi
dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem
hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal
dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan
hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya
diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh
pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak
lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi


hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus
diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab
keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru
sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden
Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang
berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan
kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi
negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama
sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di
bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai
pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan


Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari
peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya
menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini
dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam
dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup
mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada
doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam
madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan
undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim,
itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang
berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masing-masing
hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah pertarungan
madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang
kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan
dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-
undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial
adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan perlindungan
hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya pelembagaan
hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan
tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam
bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan
kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik
masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa
pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam
disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil
menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni
berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam
merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh
alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah
membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia
(khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama
dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara.
Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi
syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya
dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara
sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat
sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu
menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya
yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi
perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan
untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga.
Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan
perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di
bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah
mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan
permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil
yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang
berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum
adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006.

Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum


dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama
untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena
tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang
kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek
hukum Islam-yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan
hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga
terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum
memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka
pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum
ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Untuk
memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat
diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada
padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita
Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah
Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta,
1990, hal. 107. hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan
produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek
moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat
yang merupakan peninggalan kolonialis.

Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan
dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara
diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan
berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab
bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus
dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan
aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan
yang dianutnya.

Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional


merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan
kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development
(hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum
sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering
(sarana rekayasa sosial)22. Namun dengan bertambahnya kewenangan
tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan
hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yang
mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang
pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.

Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi


syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial
yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya
hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di
berbagai kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah
dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.

Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi


syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di
satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara
subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan
intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena
berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam

Makna syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di arab) orang
mempergunakan kata syari;ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber
(mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri.

Kata syari’ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak
berkelok-kelok,juga berarti jalan raya. Kemudian penggunaan kata syari’ah ini
bermakna peraturan, adapt kebiasaan, undang-undang dan hukum.

Syariah islam berarti segala peraturan agama yang di tetapkan Allah untuk
ummat islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah saw. yang
berupa perkataan,perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan).

Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang


menerangkan tentang keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari
akhirat dan sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau
ilmu kalam. Ia juga mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah
kepada pendidikan jiwa dan keluarga serta masyarakat. Demikian pula tentang
jalan yang akan membawanya kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak.

Menurut pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hokum-hukum


Allah bagi seluruh perbuatan manusia, tentang halal,haram makruh,sunnah
dan mubah pengertian inilah yang kita kenal ilmu fiqih, yang sinonim dengan
istilah “undang-undang”.

Para pakar hukum islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian


“Syariah” yang lebih tegas, untuk memudahkan kita mebedakan dengan
fiqih,yang dia antaranya sebagai berikut:

1. Imam Abu Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam


mengatakan :
Artinya “ bahwasannya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas
bagi orang-orang mukallaf dalam segala perbuatan,perkataan dan akidah
mereka.

2. Syikh Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun


mengatakan :

Artinya “Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari
hokum-hukum yang telah dibawa oleh seseorang nabi dan para nabi Allah as.
Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan far’iyah
amaliyah, lalu dihimpun oleh ilmu kalam dan syari’ah ini dapat disebut juga
pokok akidah dan dapat disebut juga dengan diin(agama) dan millah.

Definisi tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif(sinonim) dengan diin


dan milah(agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas
tentang amaliyah hukum(ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang
berhubungan dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.

3. Prof.DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa :

“sayariah ialah segala peraturan yang telah diisyaratkan allah,atau ia telah


mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya
sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan
sesama manusia denga alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.”
B. Ruang Lingkup Hukum Islam

Jika kita bandingkan hukum islam bidang muamalah ini dengan hukum barat
yang membedakan antara hukum privat (hokum perdata) dengan hukum
public,maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum islam
tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum
publik disebabkan karena menurut system hukum islam pada hukum perdata
terdapat segi-segi publik ada segi-segi perdatanya.

Itulah sebabnya maka dalam hukum islam tidak dibedakan kedua bidang
hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagian nya saja seperti misalnya, (1)
munakahat (2) wirasah (3) muamalat dalam arti khusus (4) jinayat atau ukubat
(5) al – ahkam as sulthaniyah (khilifah), (5) siyar dan (7) mukhasamat.[2]

Kalau bagian – bagian hukum islam itu disusun menurut sistematik hukum
barat yang membedakan antara hokum perdata dengan hokum publik seperti
yang di ajarkan dalam pengantar ilmu hokum di tanah air kita, yang telah pula
di singung di muka, susunan hokum muamalah dalam arti luas itu adalah
sebagai berikut:

Hukum perdata ( islam ) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya; (2)
wirasah mengatur segala masalh yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam ini
disebut juga hukum fara’id; (3) muamalat dalam arti khusus, mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam
soal jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan
sebagainya.

Hukum publik(islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai


perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarinah
hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumanya dalam
al-Qur’an dan sunnah Nabi MUhamad (hudud jamak dari hadd = batas ).
Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumanya
ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran
atau pengajaran); (5) al-ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan, baik pemerintahan pusat
maupun daerah , tentara, pajak dan sebagainya; (6) siyar mengatur segala
urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan Negara
lain; (7) mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hokum acara.

Jika bagian-bagian hukum islam bidang muamalah dalam arti luas tersebut di
atas dibandingkan dengan susunan hokum barat seperti yang telah menjadi
tradisi diajarkan dalam pengantar Ilmu hokum di tanah air kita, maka butir (1)
dapat disamakan dengan hokum perkawinan, butir (2)

dengan hokum kewarisan , butir (3) dengan hokum benda dan hokum
perjanjian, perdata khusus, butir (4) dengan hokum pidana, butir (5) dengan
hokum ketatanegaraan yakni tata Negara dan administrasi Negara, butir (6)
dengan hokum internasional, dan butir (7) dengan hokum acara.
C. Ciri- ciri Hukum Islam

ciri-ciri khas hukum islam. Yang relevan untuk dicatat disini adalah hukum
islam. Berwatak universal berlaku abadi untuk ummat islam dimanapun
mereka berada tidak terbatas pada ummat islam di suatu tempat atau Negara
pada suatu masa saja. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa
dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan
kemanusiaan secara keseluruhan. Pelaksana annya dalam praktik digerakkan
oleh iman(akidah) dan akhlak ummat manusia.
D. Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia

Hukum Islam sebagai bagian agama islam melindunggi hak asasi manusia hal
ini dapat di lihat pada tujuan hukum islam yang akan dibicarakan dibawah.
Kalau hukum islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran (hukum)
barat (eropa, terutama amerika ) tentang hak asasi manusia akan kelihatan
perbedaannya. Perbedaan itu terjadi karena pemikiran (hukum) barat
memandang hak asasi manusia semata-mata antroposentris artinya berpusat
pada manusia. Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya,
pandangan hukum islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada tuhan.
Manusia adalah penting tetapi yang lebih utama adalah allah. Allahlah pusat
segala sesuatu.

Oleh karena perbedaan pandangan itu, terdapat pokok antara


Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang disponsori Barat dengan Deklarasi Hak-
Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh ummat islam. Deklarasi Kairo tahun
1990, misalnya yang dikeluarkan oleh Organisasi Konfrensi Islam (OKI), di
dalam nya termasuk juga Indonesia, merupakan pendiriaan resmi ummat islam
mengenai hak-hak asasi manusia;berbeda kerangka acuannya dengan deklarasi
atau pernyataan hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan atau disponsori oleh
Negara-negara barat. Dinyatak dalam deklarasi itu bahwa semua hak dan
kebebasan yang terumus dalam deklarasi tunduk pada syari’at atau hukum
islam. Satu-satunya ukuran, mengenai hak-hak asasi manusia adalah syari’at
islam.

Hak-hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu kebanyakan hak


ekonomi. Hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas,
tidak boleh bertentangan dengan asas-asas syariah. Dinyatakan pula bahwa
semua indivudu samadi muka hukum. Ketentuan lain adalah keluarga
merupakan dasar masyarakat, wanita dan pria sama dalam martabat
kemanusiaan. Hal atas hidup, dijamin. Pekerjaan adalah hak individu yang di
jamin oleh Negara. Demikian juga hak atas pelayanan kesehatan, social dan
kehidupan yang layak. Ditegaskan pula bahwa tidak ada sanksi. Kecuali sanksi
yang di tentukan dalam syari’at atau hukum islam.
e. tujuan hukum islam

Hukum yang mejadi penutan masyarakat merupakan cita-cita social yang tidak
pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada
hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan
subjek hokum.Harapan manusia terhadap hokum pada umumnya meliputi
harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu.

Manusia berharap pada beberapa hal-hal berikut:-

1- Kemaslahatan hidup bagi diri orang lain

2- Menegakkan keadilan

3- Persamaan hak dan kewajipan dalam hokum

4- Saling control dalam masyarakat

5- Kebebasan berekpresi,berpendapat,bertindak dengan tidak melebihi


batasan hokum.

6- Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab

Apabila satu menit sahaja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hukum yang
kuat,masyarakat dengan semua komponennya akan rusak,karena semenit
tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam
sesuatu masyarakat tersebut.

Asas legalitas sebagai pokok dari hidup dan berlakunya hukum .Yang
berbahaya lagi adalah memendan hukum tidak berguna lagi karena
keberpihakan hukum kepada keadilan dan persamaan hak sehingga
masyarakat kurang percaya kepada hukum.

Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang menegakkan


keadilan bukan teks-teks hokum,melainkan manusia yang meneria sebutan
hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum,polisi dan sebagainya.

Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah


yang banyak bagi kehidupan.Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan
kezaliman,tidak member rasa keadilan,jauh dari rahmat,menciptakan
kemafsadatan bukan merupakan tujuanhokumIslam.

Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai


kemaslahatan hamba baik di dunia maupon di akhirat.Antara kemaslahatan
tersebut adalah seperti berikut:-

1- Memelihara Agama

2- Memelihara Jiwa

3- Memelihara Akal

4- Memelihara Keturunan

5- Memelihara Kekeyaan
A Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya,dapat
kita bedekan

dengan tiga peringkat ini:-

1: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat

primer .

Contoh : Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah

eksestensi agama.

2- Melaksanakan ketentuan Agama

Contoh : Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian.

jika tidak dilaksanakan solat tersebut,maka tidak akan mengancam

eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang

yang melakukannya.

3- Mengikuti petunjuk agama.

Contoh : Menutup aurat.baik di dalam maupun diluar solat,membersihkan

badan,pakaian dan tempat.Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan

eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang

melakukannya.
B) Memelihara Jiwa

Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan


dengan tiga peringkat yaitu:-

1: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan

hidup.Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi

jiwa manusia.

2: sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan

yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam

eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.

3: Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini

hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidak

mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan

kehidupan seseorang.
C) Memelihara Akal

Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi


tiga peringkat yaitu:

1: Diharamkan meminum minuman keras.Jika tidak diindahkan maka

akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.

2: Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan

maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.

3: Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang

tidak berfaedah.Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya

eksestensi akal secara langsung.

D) Memelihara Keturunan

1: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka

eksestensi keturunannya akan terancam.

2: Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad

nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada

waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan,kerana suami

harus membayar mahar misl.

3: Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan


maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
E) Memelihara Harta

1: Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain.Jika

Diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.

2: Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam,

Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.

3: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal ini erat

Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis.

Salah Paham Terhadap Islam dan Hukum Islam

Islam sebagai agama dan sebagai hukum sering di salah pahami bukan
hanya oleh orang-orang nonmuslim, tetapi juga oleh orang islam sendiri. Oleh
karena itu ada baiknya kalau di ruangan kita kaji sebab-sebab kesalapahaman
itu kendati pun secara sepintas lalu.

Kesalahpahaman terhadap islam disebabkan karena banyak hal, namun


yang relevan dengan kajian ini adalah karena

1. salah memahami ruang lingkup ajaran islam

2. Salah menggambarkan kerangka dasar ajaran islam

3. Salah mempergunakan metode mempelajari islam

Yang dimaksud dengan islam dalam kalimat-kalimat terakhir ini adalah agama
islam.

kesalahpahaman(1) mengenai ruang lingkup ajaran islam terjadi,


misalnya karena orang mengangap semua agama itu sama dan ruang
lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama nasrani yang ruang
lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan saja, orang
mengangap agama islampun demikian juga halnya. Tetapi seperti telah
disebutkan dimuka dinul islam atau agama islam itu tidaklah mengatur
hubungan antara manusia dengan tuhan belaka, seperti yang dikandung oleh
religion, tetapijuga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
dengan masyarakat dan dengan benda dan alam sekitarnya. sebagai satu
sistem ia mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan
karena itu ruang lingkup ajarannyapun mencakup berbagai tata hubungan itu.
Untuk menghindari salah paham orang haruis mempelajari islam dari sumber
yang asli yaitu al-Qura’an dan al-Hadist. Jika kita pelajari agama islam itu dari
sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan al-Hadists yang memuat sunnah Nabi
Muhammad kita akan memperoleh gambaran yang jelas mengenai tata
hubungan itu, sebab al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama agama
islam tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan
syari’ah saja, tetapi memuat juga akhlak tentang bagaimana manusia harus
bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini terhadap
dirinya sendiri, manusia manusia lain dan lingkungan kehidupannya.
Mempelajari agama islam dari kedua sumbernya yang asli yang memuat ruang
lingkup agama islam tidaklah menjadi masalah lagi sekarang, karena kalaupun
orang tidak atau belum menguasai bahasa arab, kedua sumber ajaran islam itu,
sekarang, telah dapat di pelajari dengan mempergunakan bahasa indonesia
sendiri atau bahasa inggris misalnya di tanah air kita tafsir al-qur’an dan atau
syarah (penjelasan) kitab-kitab hadist telah banyak ditulis orang dan dengan
mudah dapat diperoleh.

Dalam hubungan ini, agaknya perlu diingatkan mempelajari islam tanpa


bantuan guru sebaiknya dilakukan melalui karya atau kepustakaan yang di tulis
oleh mereka yang telah mengkaji dan memahami islam secara baik dan benar.
Pada umumnya mereka adalah para ahli atau ulama, cendikiawan dan sarjana
muslim yang diakui otoritasnya di bidang kajian itu. analisis dan kesimpulan
para orientalis kecuali karya mereka yang terkenal kejujurannya terhadap islam
atau karya mereka yang diberi catatan pembenaran atau koreksi oleh sarjana
muslim sebaiknya di hindari oleh orang yang baru belajar islam terutama
tukisan para orientalis sebelum perang dunia kedua,untuk mencegah
kesalahpahaman. akan tetapi, jika pengetahuan seseorang tentang keislaman
telah cukup membaca analisis dan kesimpulan para orientalis malah perlu
untuk bahan studi perbandingan. yang dimaksud dengan orientalis adalah
orang barat yang khusus mempelajari agama (dalam hal ini islam), budaya dan
bahasa-bahasa timur untuk tujuan tertentu dari masa ke masa.
Kesalahapahaman (2) terjadi karena karena orang salah mengambarkan
kerangka dasar ajaran islam. Orang mengambarkan bagian-bagian agama islam
tidak secara menyeluruh sebagian satu kesatuan tetapi sepotong-potong atau
sebahagia-bagian saja. misalnya orang mengambarkan atau membuat
gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama islam isinya hanyalah
mengenai akidah atau iman sajaatau agama islam itu tentang syari’at atau
hukum belaka, atau agama islam itu hanyalah ajaran akhlak semata-mata,
tanpa meletakan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam kerangka dasar
keterpaduan agama islam secara menyeluruh. mengambarkan agama islam
dengan cara sepotong-potong inilah yang telah menyebabkan islam
disalahpahami dunia ini. Pengambaran agama islam seperti ini sering dilakukan
oleh orang islam sendiri tanpa disadarinyadan dengan sadar karena maksud-
maksud tertentuoleh para orientalis, terutama di masa-masa sebelum perang
dunia kedua dahulu. Untuk menghindari kesalahpahaman karena salah
mengambarkan bagia-bagian ajaran islam itu, maka hendaklah komponen-
komponen ajaran islam yang menjadi kerangka dasar agama islam itu
digambarkan seluruhnya dalam satu kesatuan yang padu seperti yng telah
diuraikan dimuka. setelah itu pelajarilah secara tepadu pula. Dalam hubungan
ini perlu di kemukakan bahwa mempelajari islam tidak boleh sepotong-
sepotong tetapi terpadu dalam kesatuan yang bulat.Mempelajari dan
memahami islam secara sepotong-sepotongsaja tanpa menghubungkan
dengan yang lain dalam kerangka sistem agama islam akan menghasilkan
pemahaman yang salah terhadap islam.

Selain itu untuk memperoleh wawasan yang baik dan benar tentang islam dan
memenghindari salah paham, kajian dan pemahaman nya harus dihibingkan
dengan berbagai persoalan asasi yang dihadapi oleh manusia dalam
masyarakat dan dilihat oleh relasasi serta relavansinya dengan masalah-
masalah politik, ekonomi, sosial,budaya sepanjang sejarah, terutama sejarah
ummat islam. Mempelajari dan memahami islam dengan bantuan ilmu-ilmu
pengetahuan yang berkembang sampai sekarang akan memperluas wawasan
kita tentang islam. ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan budaya, ilmu-ilmu
kemanusiaan atau humaniora beserta cabang dan rantingnya adalah ilmu-ilmu
bantu dalam kajian islam untuk memperoleh pemahaman yang baik dan benar.
kesalahpahaman (3) terjadi karena salah mempergunakan metode
mempelajari islam. Metode yang dipergunakan oleh orientalis terutama
sebelum perang dunia kedua, adalah pendekatan yang tidak benar, karena
mereka pada umumnya menjadikan bagian-bagian dan seluruh ajaran (agama)
islam semata-mata sebagai objek studi dan analisis. laksana dokter bedah
mayat kata Fazlur Rahman para orientalis itu meletakan islam di atas meja
operasinya memotongnya bagian demi bagian dan menganalisis bagian-bagian
itu dengan mempergunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka sendiri
yang un islami.[4] mereka mempergunakan metode mempelajari dan
menganalisis ajaran (agama) islam dengan metode dan analisis serta ukuran-
ukuran yang tidak islamii tidak sesuai dengan ajaran agama islam. hasilanya
tentu saja tidak memuaskan dan pasti menimbulkan salah paham terhadap
islam.

Para orientalis yang mempelajari islam sering kali pula melakukan


pendekatan menyamakan agama islam dengan keadaan umat islam disuatu
tempat pada suatu masa. keadaan ummat islam yang miskin, terbelakang
disuatu tempat pada kurun waktu sekarang ini mereka pergunakan sebagai
data untuk menarik kesimpulan bahwa agama islam menganjurkan kemiskinan
dan keterbelakangan. atau mereka mengangap kemiskinan dan
keterbelakangan itu terjadi dikalanganm ummat islamkarena agama islam
tidak mendorongpara pemeluknya untuk maju dan berkembang. Pendapat
para ahli ilmu-ilmu sosial barat (amerika) yang menyamaka ajaran islam
dengan ummat islam dapat dilihat misalnya pada karya Clifford Geerts, Clive S.
Kessler dan max weber.[5]

Metode atau pendekatan yang dilakukan oleh para orientalis ini tidak
sesuai dengan agama islam. Oleh karena itu untuk mempelajari islam dengan
baik dan benar dan agar tidak salah paham dengan islam pelajarilah islam
dengan metode yang sesuai dengan pelajaran islam. metode pembelajaran
islam tealah lama ada dikalangan orang islam sendiri, tetapi masih perlu
dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan studi islam sekarang.
beberapa sarjana muslim telah mengemukakan pendapatnya mengenai
metode yang sesuai dengan ajaran islam.diantaranya sekedar menyebut
beberapa nama sebagai contoh, Ismail R. Faruqi. M. Najib Alatas, S. Hosein
Nasr, Fazlur Rahman,Ali syariati, Deliar Noer, dari sekian banyak metode yang
digunakan orang tidak dapat memilih hanya satu metode saja dari sekian
banyak metode yang ada, karena islam bukanlah agama uni dimensional
(agama satu dimensi). tetapi multi dimensional (berdimensi banyak) oleh
karena itu untuk mempelajari islam yang banyak dimensinya itu harus
mempergunakan banyak metode yang sesuai dengan dimensi yang di kaji itu.
Selain memakai metode filosofis kata ali syari’ati, orang harus juga
mempergunakan metode-metode yang terdapat dalam ilmu yang
dikembangkan oleh manusia dewasa ini. Ali syari’ati menyebut sebagai contoh
metode sejarah dan sosiologi dua dalam bidang studi dan spesialisnya. Soal-
soal yang bersifat kosmologis kat ali syari’ati harus di pelajari dan di pahami
oleh metodologi ilmu-ilmu alam Dalam hubungan dengan metode-metode
ilmiah yang berasal dari eropa, Ali syari’ati mengingatkan keharusan inovativ
dan selektiv dalam memilih metode-metode itu. Tidak semua metode yang di
kembangkan di eropa perlu di ikuti karena ada di antaranya yang tidak sesuai
dengan agama islam. Hal ini di sebabkan menurut Deliar Noer, Karena pada
umumnya metode yang di gunakan oleh penulis itu di pengaruhi oleh dua
pikiran yakni :

aliran liberal kapitalis

Aliran liberal kapitalis mengutamakan benda dan bersifat duniawi semata. Akal
dan perasaan manusia yang dikembangkan secara bebas dan merdeka, oleh
aliran ini di putuskan hubungannya oleh sumber-sumber samawi (langit) yaitu
sumber ajaran yang datang dari tuhan, baik sumber itu sumber masa lalu
maupun tujuan masa yang akan datang disebut akhirat. Aliran marxis yang
tumbuh kemudian yang menolak aliran libelar kapitalis itu dan menolak segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan tuhan agama dan akhirat.disamping
kedua aliran yang besar itu ada aliran yang memasukan kedalam metode yang
dipergunakannya pengertian-pengertia yang berasal dari agama (Kristen dan
Yahudi) yang di anutnya. Oleh karena itu di perlukan pendekatan bukan barat
terhadap pengkajian agama islam dan terhadap masyarakat yang mayoritas
penduduknya beragama islam seperti masyarakat Indonesia, misalnya.

Menurut A.mukhti ali metode mempelajari agama islam tidak cukup dangan
hanya mempergunakan metode ilmiah saja, tetapi perlu juga pendekatan
doktriner (ajaran bersifat keyakinan menerima agama sebagai suatu
kebenaran). Mukti ali menawarkan metode e,pelajari agama dan pendekatan
santifik-doktriner yang dinamakanya metode sintesis.[6]

Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji dan


memahami (ajaran) islam. Mutatis Mutandis (dengan perubahan –perubahan
yang diperlukan disana sini) hal itu berlaku juga dalam mengkaji dan
memahami hukum islam. Ini dasar ajaran islam. Ini berarti bahwa hukum islam
itu :

harus di pelajari dalam kerangka dasar ajaran islam yang menempatkan


hukum islamnya sebagai salah satu bagian agama islam

harus dihubungkan dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak,etika atau


moral) karena dalam system hukum islam, iman,hukum dan kesusilaan tidak
dapat dicerai pisahkan.karena itu

tidak dapat dikaji dan dipahami dengan mempergunakan ilmu hukum barat
(baik continental maupun anglosakson) yang sifatnya sekuler

harus dikaitkan oleh beberapa kunci diantaranya adalah syari’ah dan fikih
yang dapat dibedakan tetapi tidak mungkin diceraipisahkan.untuk
pembahuruan dan pengembangan hukum islam,kedua istilah ini harus
dipahami benar maknanya syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan
Rasul-Nyasedang fikih adalah pemahaman dan hasil karya manusia tentang
syariah

mengatur seluruh tata hubungan manusia baik dengan tuhan maupun


dengan dirinya sendiridengan manusia lain dan benda dalam masyarakat serta
alam sekitarnya

dikaji dan dipelajari dengan mempergunakan metodologi hukum islam


sendiri yang disebut usul fikih. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa
kendatipun hukum islam mempunyai hubungan yang erat dengan iman atau
akidahyakni komponen dasar agama islam tetapi hal-hal yang berhubungan
dengan iman (akidah) atau keyakinan seorang muslim tidaklah
dibicarakan,demikian juga halnya dengan hukum islam bidang ibadah yakni
upacara dan tata acara pengabdian langsung manusia kepada tuhannya. Juga
soal kesusilaan atau akhlak .

Anda mungkin juga menyukai