Teguh Susanto
Teguh Susanto
Muhammadiyah Jawa
Disusun Oleh:
Teguh Susanto
(201810270211019)
MAGISTER SOSIOLOGI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
Muhammadiyah Jawa
Perdebatan tentang Jawa dan Islam telah lama muncul dikalangan para sarjana
dan cendikiawan. Hubungan antara Jawa-Islam atau Islam-Jawa dipandangan sangat
menarik dan unik. Setidaknya dikalangan peneliti ada beberapa pandangan yang
mendasar tentang relasi Islam dan Jawa. Dimana pandangan pertama mengatakan bahwa
islam hanyalah memberi pengaruh kecil terhadap Jawa dan kejawaan. Islam hanyalah
satu elemen dari sekian banyak elemen identitas kejawaan dari mulai pra-Hindu, Hindu,
Budha, Islam, sampai Kristen. Oleh sebab itu seharusnya kajian tentang kejawaan tidak
perlu fokus pada Islam, justru sebaliknya harus menaruh perhatian kuat pada unsur-unsur
Non-Islam. Adapun pendukung dari pandangan ini antara lain thomas raffles, clifford
geertz, dan james Peacock.
Budaya Jawa dapat diklasifikasikan menjadi dua ; tradisi besar (great tradition)
dan tradisi kecil (little culture) atau dapat juga diklasifikasikan antara budaya dalam (deep
culture) dan budaya permukaan (surface culture). Budaya permukaan meliputi aspek-
aspek yang terlihat, seperti makanan, seni, pakaian, hari besar, upacara, bahasa dan yang
lainnya. Sedang budaya dalam lebih pada aspek-aspek yang sifat abstrak yang tak terlihat
pada permukaan seperti perasaan, emosi, sikap, serta nilai etika pergaulan.
Salah satu aspek yang nampak yang mudah ditemukan dalam hidup keseharian
orang Jawa adalah bahasa. Bahasa Jawa adalah linguistik orang Jawa. Bahsa termasuk
subrumpun hesperonesia dalam rumpun Melayu Polinesia. Dalam bahasa Jawa, ada tiga
gaya bahasa tutur, antara lain ngoko (tidak formal), madya (semi formal) dan kromo inggil
(sangat formal). Alfabet jawa hanacaraka datasawala padajayanya mangabatanga yang
dikembangkan dalam kesusastraan periode mataram abad xvii dan xviii dikenal sebagai
aksara Jawa.
Melihat budaya Jawa dalam sekilas dapat dimulai dari sistem simbol orang Jawa,
yang akan memberikan gambaran tentang keseluruhan sistem budaya Jawa dan seluk
beluknya. Koenjtaraningrat mengatakan bahwa orang Jawa mempunyai sistem klasifikasi
simbol berdasarkan dua, tiga, lima, dan sembilan kategori. Sistem berdasarkan pada dua
kategori dihubungkan dengan ide kontras dan antagonisme, dan lebih khusus lagi
didasarkan pada gagasan yang memperlawankan orang dan benda yang punya posisi
tinggi/inggil dengan yang punya posisi rendah/andap ; gagasan yang memperlawankan
benda yang tidak akrab, jauh dan formal (tebih), dan yang akrab, dekat dan tak formal
(celak) ; gagasan yang memperlawankan orang dan benda yang ada disisi kanan
(panengen) dan yang ada disisi kiri (pangiwa) ; gagasan yang memperlawankan yang
suci/sakral dengan yang profan, gagasan yang memperlawankan yang panas (benter) dan
yang dingin (asrep); dan akhirnya pada gagasan yang memperlawankan yang halus dan
dengan yang kasar.
Selain itu orang jawa juga menganggap konsep kanan dan kiri sebagai suatu
sistemyang penting. Mereka menggunakan tangan kanan hampir dalam segala hal yang
mereka anggap baik. Sedangkan menggunakan tangan kiri dianggap tidak sopan dan tidak
beradap. Setiap hal mempunyai pertentangan atau sesuatu yang menetralkan dan yang
menengahi dua hal, ini merupakan konsep tiga kategori. Misalnya dukun atau tabib adalah
semacam pihak penengah antara yang profan dan yang sakral atau suci.
Dalam setiap perbincangan mengenai hubungan Islam dan budaya Jawa, ada tiga
istilah yang sering digunakan, antaralain ; Islamisasi,Reislamisasi, dan Jawanisasi, dua
istilah pertama digunakan dengan objek yang sama. Jika budaya Jawa dianggap tidak
Islami, istilah Islamisasi akan digunakan. Sebaliknya jika budaya Jawa sudah dipandang
Islami, maka istilah Jawanisasilah yang digunakan. Oleh karenanya, dua istilah itu dapat
dianggap sebagai istilah-istilah yang dapat dipertukarkan atau punya makna yang sama.
Istilah Jawanisasi digunakan untuk menggambarkan penyelarasan Islam terhadap budaya
Jawa.
Seperti yang diketahui, pada masa awal Muhammadiyah tidak berhadapn secara
frontal dengan budaya Jawa. Bahkan, Muhammadiyah menganggap beberapa unsur
kejawaan sebagai bagian dari identitasnya. Keadaan ini goyah setelah 1930-an. Beberapa
latarbelakang yang dapat dilihat sebagai embrio pergeseran sikap Muhammadiyah
terhadap budaya Jawa jika ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut ; 1) Bergabungnya
sejumlah tokoh muslim sumatra yang punya keyakinan puritan, yang dipelopori oleh Haji
Rasul ; 2). Pendiria Majlis Tarjih yang membawa pengaruh dalam terbentunya paradigma
syariah centred di Muhammadiyah ; 3) Situasi-situasi eksternal yang mendorong
pergeseran sikap Muhammadiyah, yaitu kemenangan Wahabi di Arab Saudi,
Nasionalisme Indonesia, dan berdirinya Nahdlatul Ulama.
Berubahnya orientasi pemimpin Muhammadiyah dari pendidikan dan kegiatan
kesejahteraan sosial ke konsentrasi terhadap pembaruan akidah dan amalan agama, turut
dibentuk oleh pengaruh dari kelompok sumatra. Orientasi baru Muhammadiyah ini
kemudian hingga taraf tertentu diteruskan menjadi pertentangan kuat terhadap beberpa
unsur budaya Jawa, seperti kepercayaan terhadap kesaktian dukun. Pembentukan mejelis
tarjih berarti bahwa Muhammadiyah menempatkan syariah diposisi tertinggi dari visi dan
misinya. Segala sesuatu harus ditelaah dari sudutpandang syariah, termasuk seni. Wayang
sadat adalah salah satu contoh campur tangan agama dibidang seni. Sementara itu faktor
eksternal berhasil mencegah Muhammadiyah terpaku pada budaya Jawa. Faktor-faktor
itu mengarahkan Muhammadiyah untuk mengadopsi identitas Indonesia dan terbuka pada
pengaruh-pengaruh Internasional.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri telah memberi gambaran paling pas tentang
ambiguitas Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Ia tetap menjadi abdi dalem yang
patuh dan setia pada keraton Yogyakarta hingga akhir hayatnya. Meskipun ia pemimpin
dari organisasi modern, ia tetap mengamalkan nilai-nilai Jawa seperti menunjukkan
kerendahan hati dan takzim kepada orang berstatus lebih tinggi, terutama Sultan.