Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH STUDI KASUS

PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK

“Rheumatoid Arthritis”

KELAS A/ KELOMPOK 1

Dosen Pengampu :

Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt.

Disusun Oleh :

1. Ade Irma Suriyani 1820353868


2. Aguthina Tri Astuty 1820353869

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXV


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2018
A. DEFINISI
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimune yang menyebabkan inflamasi
sistemik kronis yang ditandai dengan peradangan yang simetris persisten pada beberapa
sendi perifer. Ini adalah salah satu penyakit rematik inflamasi yang paling umum dan
ditandai dengan perkembangan proliferasi inflamasi kronis lapisan sinovial sendi
diarthrodial, yang menyebabkan kerusakan kartilago yang agresif dan erosi tulang yang
progresif. Arthritis rheumatoid adalah tipe arthritis yang paling parah dan dapat
menyebabkan cacat, kebanyakan menyerang perempuan hingga tiga sampai empat kali
daripada laki-laki.

B. PATOFISIOLOGI
Rhematoid Athritis terjadi akibat disregulasi imunitas humoral dan imunitas
yang dimediasi oleh sel. Sebagian besar pasien menghasilkan antibodi yang disebut
faktor rheumatoid. Imunoglobulin (Ig) mengaktifkan sistem komplemen, yang
memperkuat kekebalan tubuh respon dengan meningkatkan kemotaksis, fagositosis,
dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear yang kemudian dipresentasikan ke
limfosit T. Antigen yang diolah yakni protein kompleks histokompatibilitas utama pada
limfosit permukaan, menghasilkan aktivasi sel T dan B.
Tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), dan IL-6 adalah
proinflammatory sitokin penting dalam inisiasi dan kelanjutan peradangan. Sel T yang
diaktivasi menghasilkan sitotoksin dan sitokin, yang merangsang lebih lanjut aktivasi
proses inflamasi dan menarik sel ke area peradangan. Makrofag dirangsang untuk
melepaskan prostaglandin dan sitotoksin. Aktivasi sel T membutuhkan stimulasi baik
dengan sitokin proinflamasi maupun interaksi antara reseptor permukaan sel, disebut
costimulation. Salah satu interaksi costimulation semacam itu adalah antara CD28 dan
CD80 / 86. Sel B yang diaktivasi menghasilkan sel plasma, yang membentuk antibodi
yang, dalam kombinasi dengan sistem komplemen, menghasilkan akumulasi
polimorfonuklear leukosit Leukosit ini melepaskan sitotoksin, radikal bebas oksigen,
dan hidroksil radikal yang meningkatkan kerusakan synovium dan tulang.

Molekul pensinyalan penting untuk mengaktifkan dan mempertahankan


peradangan. Janus kinase (JAK) adalah tirosin kinase yang bertanggung jawab untuk
mengatur pematangan leukosit dan aktivasi. JAK juga memiliki efek pada produksi
sitokin dan imunoglobulin. Zat vasoaktif (histamin, kinin, prostaglandin) dilepaskan di
lokasi peradangan, peningkatan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Hal ini
menyebabkan edema, kehangatan, eritema, dan nyeri, dan memudahkan pelepasan
granulosit dari pembuluh darah ke situs peradangan.
Peradangan kronis jaringan sinovial yang melapisi kapsul sendi menghasilkan
jaringan proliferasi (pembentukan pannus). Pannus menyerang tulang rawan dan
akhirnya tulang permukaan, menghasilkan erosi tulang dan tulang rawan dan
menyebabkan kerusakan sendi. Hasil akhir kurangnya ruang gerak sendi dan gerakan
sendi, fusi tulang (ankylosis), sendi subluksasi, kontraksi tendon, dan deformitas kronis.
C. ETIOLOGI
Etiologi Rhematoid Athritis belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA),
yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi
esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen
dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit
ini.
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA.
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis.
e. Faktor lingkungan, salah satunya contohnya adalah merokok.

D. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan
merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari,
khusunya kopi decaffeinated. Obesitas juga merupakan faktor resiko.

E. KLASIFIKASI
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu :
a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris,
meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi
permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan
metakarpofalangeal.
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal non spesifik yang berkembang berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan bisa termasuk kelelahan, kelemahan, demam ringan, hilangnya nafsu makan,
pengembangan sinovitis.
Keterlibatan sendi cenderung simetris dan mempengaruhi persendian kecil pada
tangan, pergelangan tangan, dan kaki; siku, pundak, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki
juga bisa terpengaruh. Kekakukan sendi biasanya memburuk di pagi hari, biasanya
melampaui 30 menit dan bisa bertahan sepanjang hari.
Pada pemeriksaan, pembengkakan sendi bisa terlihat atau hanya bisa terlihat
dengan palpasi (pemeriksaan dengan menyentuh). Jaringan terasa lunak dan berongga dan
bisa terlihat eritematus (kemerahan) dan terasa hangat, terutama di awal penyakit.
Deformitas sendi kronik biasanya melibatkan subluksasi pergelangan tangan, persendian
metacarpopalangeal (MCP), dan persendian proxmal interphalangeal (PIP) (deformasi
leher angsa, deformitas boutonniere, deviasi ulnar). Keterlibatan ekstra-artikular bisa
termasuk nodul rheumatoid, vasculitis, efusi (lepasnya cairan) pleural, fibrosis pulmonal,
manifestasi okular, pericarditis, abnormalitas konduksi kardiak, supresi sumsum tulang,
dan lymphophadenopathy.
G. DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain,
pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan
sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound.
Kriteria Asosiasi Rheumatik Amerika untuk klsifikasi RA tercantum pada.
Abnormalitas laboratorium yang bisa terlihat termasuk anemmia normositik
normokromik; trombositosis atau trombositopenia; leukopenia; peningkatan laju
sedimentasi eritrosit (erythrocyte sedimentation rate, ESR); faktor rheumatoid positif (60-
70% pasien); dan antibodi antinuklear (ANA) positif (25% pasien).
Pemeriksaan cairan sinovial bisa menunjukkan turbiditas, leukositosis,
pengurangan viskositas, dan glukosa relatif terhadap konsentrasi serum normal atau
rendah. Temuan radiologi termasuk pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis dekat
persendian (periartikular osteoporosis). Erosi terjadi di akhir penyakit biasanya terlihat di
persendian PIP dan MCP tangan dan persendian metatarsophalangeal (MTP) di kaki.

H. PENATALAKSANAAN TERAPI
Rhematoid Athritis harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi
penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Terapi RA harus dimulai sedini
mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3
bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs).
Terapi RA bertujuan untuk :
 Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
 Mempertahakan status fungsionalnya
 Mengurangi inflamasi
 Mengendalikan keterlibatan sistemik
 Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
 Mengendalikan progresivitas penyakit
 Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
a. TERAPI FARMAKOLOGI
A. NSAID
NSAID bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, yang hanya merupakan
rangkaian penghasil inflamasi. NSAID mempunyai efek analgesik dan anti inflamasi tapi
tidak cukup untuk memperlambat progres penyakit atau mencegah erosi tulang atau
deformitas sendi. NSAID umumnya digunakan sebagai terapi pertama untuk perawatan
simtom dari RA ringan. Digunakan sebagai terapi primer, NSAID seharusnya diberikan
dalam dosis inflamasi dan tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal selama lebih dari
3 bulan kecuali pasien memberikan respon yang baik.
B. DMARD
a. Methotrexate
Methotrexate (MTX) menginhibit produksi sitokin dan biosintesis purine, yang
mungkin bertanggung jawab untuk sifat anti inflamsinya. Onsetnya relatif cepat (2-
3minggu), 45-67% pasien bertahan dalam studi dengan rentang 5-7 tahun. Pemberian
asam folat bersamaan bisa mengurangi beberapa efek samping tanpa mengurangi
efeknya. MTX teratogenik, dan pasien harus menggunakan kontrasepsi dan
menghentikan obat jika kehamilan diinginkan.
b. Leflunomide
Leflunomide (Arava) menginhibit sintesi piriin, yang mengurangi proliferasi limfosit
dan modulasi dari inflamasi. Efeknya untuk RA serupa dengan MTX. Dosis awal 100
mg/hari untuk 3 hari pertama bisa memberikan respon terapetik dalam bulan pertama.
Obat ini bisa menyebabkan toksisitas liver, dan ALT harus dimonitor tiap bulan pada
awal dan periode selanjutnya. Obat ini teratogenik dan harus dihindari selama kehamilan.
Leflunomide tidak menghasilkan toksisitas sumsum tulang, sehingga monitoring
hematologis tidak dibutuhkan.
c. Hydroxychloroquine
Hydroxychloroquine tidak mengakibatkan toksisitas meyelosuppresive, hepatik, dan
ginjal seperti DMARD lainnya, sehingga mempermudah monitoring. Onsetnya bisa
tertunda sampai 6 mnggu, tapi pengobatan bisa dianggap gagal jika sampai 6 bulan tidak
ada respon.
d. Sulfasalazine
Penggunaan sulfasalazine terbatas karena efek sampingnya. Efek antirematik
seharusnya terlihat dalam 2 bulan. Efek samping saluran cerna bisa dikurangi dengan
memulai pada dosis rendah dan mengkonsumsi obat bersama makanan.
e. Minocycline
Minocycline dapat menghambat metaloproteinase yang aktif dalam merusak
kartilago artikular. Ini bisa menjadi alternatif bagi pasien dengan penyakit ringan dan
tanpa fitur prognosis buruk.
f. Tofacinitib
Tofacitinib (Xeljanz) adalah inhibitor JAK nonbiologis yang diindikasikan untuk
pasien dengan nodulus RA berat yang telah gagal atau memiliki intoleransi terhadap
MTX. Dosis yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah 5 mg dua
kali sehari sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan DMARD nonbiologis
lainnya.
C. DMARD BIOLOGIS
DMARD biologis mungkin efektif bila DMARD nonbiologis gagal mencapai
respons yang memadai namun harganya jauh lebih mahal. Selain anakinra dan
tocilizumab, agen ini tidak memiliki toksisitas yang memerlukan pemantauan
laboratorium, namun membawa sedikit peningkatan risiko infeksi, termasuk
tuberkulosis.
a. TNf-α INHIBITORS
Inhibitor TNF-α umumnya merupakan DMARD biologis pertama yang digunakan.
Memilih inhibitor TNF alternatif dapat bermanfaat bagi beberapa pasien; Pengobatan
dengan rituximab atau abatacept mungkin juga efektif pada pasien yang mengalami
penghambat TNF. Kombinasi terapi DMARD biologis tidak dianjurkan karena
adanya peningkatan risiko infeksi.
b. Etanercept (Enbrel) adalah protein fusi yang terdiri dari dua penghambat TNF yang
dapat larut p75 yang terkait dengan fragmen FG IgG1 manusia. Ini mengikat dan
menonaktifkan TNF, mencegahnya berinteraksi dengan reseptor TNF sel permukaan
dan dengan demikian mengaktifkan sel.
c. Infliximab (Remicade) adalah antibodi anti-TNF chimeric yang menyatu dengan IgG1
konjugasi manusia. Ini mengikat TNF dan mencegah interaksinya dengan reseptor
TNF pada sel-sel inflamasi. Untuk mencegah pembentukan respons antibodi terhadap
protein darurat ini, MTX harus diberikan secara oral dalam dosis yang digunakan
untuk mengobati RA selama pasien terus infliximab. Dalam uji klinis, kombinasi
infliximab dan MTX menghentikan pengembangan kerusakan sendi dan lebih unggul
daripada monoterapi MTX.
d. Adalimumab (Humira) adalah antibodi IgG1 manusia terhadap TNF-α yang kurang
antigenik daripada infliximab. Ini memiliki tingkat respons yang serupa dengan
penghambat TNF lainnya.
e. Golimumab (Simponi) adalah antibodi manusia terhadap TNF-α dengan aktivitas dan
pencegahan yang serupa dengan inhibitor TNF-α lainnya.
f. Certolizumab (Cimzia) adalah antibodi humanized yang spesifik untuk TNF-α dengan
precau- tions dan efek samping yang serupa dengan penghambat TNF-α lainnya
g. Abatacept (Orencia) adalah modulasi costimulation yang disetujui untuk pasien
dengan penyakit berat yang gagal mencapai respons yang memadai dari satu atau
lebih DMARDs. Dengan mengikat reseptor CD80 / CD86 pada sel antigen-
presenting, abateri menghambat interaksi antara sel penyajian antigen dan sel T,
mencegah sel T untuk mengaktifkan proses inflamasi.
h. Rituximab (Rituxan) adalah antibodi chimeric monoklonal yang terdiri dari protein
manusia dengan daerah pengikatan antigen yang berasal dari antibodi tikus terhadap
protein CD20 yang ditemukan pada permukaan sel limfosit B dewasa. Pengikatan
rituximab ke sel B menghasilkan penipisan sel B perifer yang hampir lengkap, dengan
pemulihan bertahap selama beberapa bulan.
i. Tocilizumab (Actemra) adalah antibodi monoklonal manusiawi yang menempel pada
reseptor IL-6, mencegah sitokin berinteraksi dengan reseptor IL-6. Ini digunakan
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan MTX atau DMARD lainnya.
j. Anakinra (Kineret) adalah antagonis reseptor IL-1; Ini kurang efektif daripada
DMARD bio-logika lainnya dan tidak termasuk dalam rekomendasi pengobatan ACR
saat ini. Ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan DMARD lain
kecuali penghambat TNF-α.
D. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid memiliki sifat anti-inflamasi dan imunosupresif. Bersifat
mengganggu presentasi antigen terhadap limfosit T, menghambat sintesis prostaglandin
dan leukotriene, dan menghambat pembentukan radikal superoksida neutrofil dan
monokonversi.
Kortikosteroid oral (misalnya prednison dan metilprednisolon) dapat digunakan
untuk mengendalikan rasa sakit dan sinovitis sementara DMARD mulai berlaku. Terapi
kortikosteroid jangka panjang dosis rendah dapat digunakan untuk mengendalikan gejala
pada pasien dengan penyakit yang sulit dikendalikan. Dosis prednisone di bawah 7.5 mg
/ hari (atau setara) dapat ditoleransi dengan baik namun tidak mengandung efek samping
jangka panjang. Gunakan dosis terendah yang mengendalikan gejala. Dosis alternatif
kortiko- steroid oral dosis rendah biasanya tidak efektif pada RA. Semburan oral atau IV
dosis tinggi dapat digunakan selama beberapa hari untuk menekan flare penyakit. Setelah
gejala terkontrol, lancip obat ke dosis efektif terendah.
Rute intramuskular lebih disukai pada pasien yang tidak patuh. Bentuk depot
(triam- cinolone acetonide, triamcinolone hexacetonide, dan methylprednisolone acetate)
memberikan 2 sampai 6 minggu kontrol simtomatik. Onset efek mungkin tertunda
selama beberapa hari. Efek depot memberikan lancip fisiologis, menghindari penekanan
sumbu hipotalamus-hipofisis. Injeksi intra artikular bentuk depot mungkin berguna bila
hanya beberapa persendian yang terlibat. Jika efektif, suntikan bisa diulang setiap 3
bulan sekali. Jangan menyuntikkan satu sendi lebih dari dua atau tiga kali per tahun. Efek
samping dari glukokortikoid sistemik membatasi penggunaan jangka panjang.
Pertimbangkan penurunan dosis dan penghentian sementara pada beberapa titik selama
terapi kronis.

b. TERAPI NON FARMAKOLOGI :


- Istirahat yang cukup, pengurangan berat jika kegemukan, terapi fisik, terapi
occupational (terapi dengan aktivitas untuk merangsang penyembuhan), dan
penggunaan peralatan pembantu bisa memperbaiki simtom dan mempertahankan
fungsi sendi.
- Pasien dengan penyakit yang parah bisa mendapat manfaat dari tindakan operasi
seperti tenosynovectomy, perbaikan tendon, dan penggantian sendi.
- Mengedukasi pasien mengenai penyakit dan manfaat serta batasan dari terapi obat.

KASUS 1 : Rheumatoid Arthritis

Seorang pria 42 tahun, 2 tahun yang lalu didiagnosa menderita rheumatoid arthritis
(RA). Sebelumnya ia telah menggunakan NSAID selama tahun tanpa efek yang bermakna.
Akhirnya dokter memberiakn methotrexate (MTX) 20 mg/minggu, kemudian diturunkan
menjadi 15 mg/minggu setelah gejala membaik.
Setelah 6 bulan, gejala RA memburuk kembali. Pasien mengeluhkan kekakuan
persendian, merah dan bengkak di jari-jari tangannya. Pengujian MRI menunjukkan mulai
ada erosi tulang. Dokter akan memberikan agen DMARD biologis namun terkendala dengan
biaya, karena pasien tidak memiliki asuransi kesehatan. Akhirnya kembali diberikan
methotraxate dengan dosis ditingkatkan menjadi 20 mg/minggu, dan efek perbaikan gejala.
Tahun berikutnya pasien berhasil mendapatkan asuransi dan mendapatkan pengobatan
di RS. Ia mendapatkan infuse infliximab dosis bulanan dan tetap menggunakan MTX (dosis
awal 15 mg/minggu, kemudian dinaikkan menjadi 20 mg/minggu).

Pengobatan yang ia terima saat ini adalah :


MTX 15 mg/minggu, dinaikkan 20 mg/minggu,
Leucovorin calcium 5 mg PO 4 d.d
Asam folat 1 mg/hari
Levothyroxine sodium 0.05 mg PO 4 d.d,
Infus Infliximab tiap 6-8 minggu.
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : - (pria42th) No Rekam Medik :-
Tempat/tanggal lahir :- Dokter yang merawat : -
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :
Riwayat masuk RS : -
Riwayat penyakit terdahulu : Rheumatoid Arthritis
Riwayat sosial :
Kegiatan
Pola makan/diet Ya / Tidak

Merokok Ya / Tidak ..........batang/hari

Meminum alkohol Ya / Tidak

Meminum obat herbal Ya / Tidak

Riwayat alergi : -
2. Keluhan / Tanda Umum
Data Subjektif:
Tanggal Subyektif
2 tahun Kaku pada persendian, merah dan bengkak di jari-jari tangannya
sebelumnya
Data Objektif

Tanggal Pemeriksaan Nilai normal Objektif Keterangan


2 tahun MRI - ada erosi tulang Rheumatoid
sebelumnya Athritis

Riwayat penyakit dan pengobatan


Nama penyakit Tanggal/tahun Nama obat
- NSAID
2 tahun yang - Methotrexate (MTX) 20 mg/minggu,
lalu kemudian diturunkan menjadi 15
Rhematoid mg/minggu
Artritis - Infus infliximab dosis bulanan
1 tahun yang - MTX (dosis awal 15 mg/minggu,
lalu kemudian dinaikkan menjadi 20
mg/minggu)
OBAT YANG DIGUNAKAN SAAT INI
No Nama obat Indikasi Dosis Rute Interaksi ESO Outcome terapi
1. Methotrexate Rhematoid Athritis 15 mg / minggu p.o Asam folat stomatitis, mual, muntah,
(MTX) dinaikkan menurunkan efek dari diare, myelosupresi Untuk pengobatan
methotrexat. trombositopenia, Rheumatoid arthritis
20 mg /minggu leukopenia, paru, fibrosis,
pneumonitis, ruam
2. Leucovarin Leucovorin calcium
Ruam, pruritus, eritema,
5 mg 4 d.d p.o - sebagai antidotum
calcium Antidotum urtikaria
antagonis asam folat,
Trombositosis, Mengi
seperti metotreksat
3. Asam Folat Asam folat Pemakaian asam folat
Menurunkan efek menurunkan efek dari Reaksi alergi, untuk menurunkan efek
efek samping dari 1 mg / hari p.o methotrexat. bronchospasm, flushing, samping dari
obat methotrexat malaise pruritus, ruam methotrexat

4. Levothyroxin Angina, tekanan darah


Tidak ada indikasi
Hipotiroid 0.05 mg 4 d.d p.o - meningkat, sakit kepala,
sodium terapi
fatigue, demam dll
5. Infus IV
Sakit kepala, mual, diare,
Infliximab tiap Pemakian Infus
Rheumatoid sakit perut, sinusitis,
3 mg/kg 6-8 - Infliximab untuk
arthritis batuk, demam, fatigue,
min penyakit RA
ruam, hipertensi dll
ggu
Problem medik Subjektif Objektif Terapi Analisis Drug Related Problem
Rhematoid Kaku pada Pada pengujian Methotrexat
Athritis persendian. MRI mulai ada 15mg /minggu, Penanganan terapi untuk
rhematoid Atritis, biasanya
Merah dan erosi tulang dinaikkan diberikan pada pasien yang Pemberian obat sudah tepat
bengkak pada menjadi 20 mg tidak merespon pemberian
NSAID.
persendian jari. /minggu.
Penanganan terapi untuk
Rhematoid Athritis dan
Infus infliximab biasanya dikombinasi dengan
methotrexat untuk mengurangi Pemberian obat sudah tepat
tiap 6-8 /minggu.
gejala pd pasien bengkak dijari-
jari.

Asam folat 1 Penanganan terapi untuk


menurunkan efek samping / Pemberian obat sudah tepat
mg/hari
toksisitas dari obat methotrexat
Leucovorin
Penanganan terapi untuk
calcium 5 mg p.o menurunkan efek samping / Pemberian obat sudah tepat
4 d.d. toksisitas dari obat methotrexat

Levothyroxine
sodium 50 mcg Penanganan untuk hipotiroid Tidak ada indikasi terapi.
p.o 4 d.d
CARE PLAN :
1. Pemberian Methotrexat mungkin dapat diturunkan menjadi 15mg/minggu karena
peanganan terapinya sudah dikombinasikan dengan infus infliximab untuk
menghambat kerusakan sendi secara progresif dan inflamasi yang terjadi.
2. Pemberian Infus Infliximab harap melakukan pemeriksaan laboratorium Tuberculin
skin test terlebih dahulu dan selama terapi juga dianjurkan untuk tetap melakukan test
karena, pemberian infliximab meningkatkan resiko angka terjadinya infeksi dan untuk
mendeteksi apakah pasien menderita tuberkulosis laten atau infeksi lainnya. Apabila
pasien positif menderita infeksi, pemberian infliximab harus dihentikan.
3. Pemberian asam folat dan Leucovorin calsium digunakan untuk mengontrol efek
samping atau toksisitas dari penggunaan obat methotrexat, Leucovorin merupakan
bentuk metabolit aktif dari asam folat. Jadi penggunaan nya dapat menurunkan resiko
toksisitas dari methotrexat.
4. Tidak ada indikasi pada pemberian obat Levothyroxine sodium untuk pasien ini,
Levothyroxine diindikasikan untuk menangani hipotiroid. Mungkin pemberian
Levothyroxine dapat dihentikan, dilhat dari tidak adanya data subjektif maupun
objektif ada kasus ini. Namun bisa dievaluasi atau dianjurkan untuk pemeriksaan lab
melihat kadar TSH dan kadar T4 pada pasien.

TERAPI NON FARMAKOLOGI :


- Menganjurkan kepada pasien untuk melakukan istirahat yang cukup
- Menganjurkan kepada pasien untuk melakukan fisioterapi.
- Mengingatkan pasien bahwa dalam pengobatan dibutuhkan kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat
- Menjaga pola makan dan pola hidup sehat
- Jika pergerakan nya sudah terhambat akibat kekakuaan persendian, maka diperlukan
alat bantu.

MONITORING :
- Monitoring efek samping pada masing-masing obat.
- Monitoring terjadinya infeksi, peningkatan nilai ALT akibat pemberian infus
infliximab.
- Monitoring tes fungsi hati , kadar albumin, bilirubin, CBC with platelet pasien pada
pemberian Methotrexat setiap 1-2 bulan.
- Monitoring tanda dan gejala klinis pada pasien untuk melihat progresi penyembuhan
setelah pemberian obat.
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM Indonesia. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta :


Sagung Seto. 2017.

Depkes., 2006. Pharmaceutical Care untuk pasien penyakit Arthritis Rematik.


Jakarta.

Dipiro et al. 2014. Pharmacoteraphy a Phatofisiology Aproach, 9th edition,


McGraw Hill Companies, Manufacture in the United States of America.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Diagnosis dan Pengelolaan


Rhematoid Arthritis.

Anda mungkin juga menyukai