Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan peradaban, peningkatan kesejahteraan (mutu

hidup), dan pertumbuhan jumlah penduduk, pembangunan di berbagai sektor

semakin meningkat untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan hidup dari

penduduk tersebut. Fenomena semacam ini dibarengi dengan dinamika sosial

budaya masyarakat yang cenderung bersifat materialistik dan konsumtif serta

perkembangan ipteks dan politik yang relatif cepat, telah banyak

memunculkan kota-kota baru dan mendorong perkembangan kota-kota yang

sudah ada berkembang secara ekonomis dengan berbagai fasilitas

infrastruktur fisik untuk mendukung perkembangan tersebut.

Akibatnya, wilayah perkotaan tersebut dipenuhi lahan terbangun,

sedangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru

(RTB) banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perkantoran, pemukiman,

perdagangan, industri, pelabuhan, lapangan udara, dan sarana-prasarana kota

lainnya. Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan timbulnya berbagai

permasalahan kota, diantaranya pencemaran lingkungan, banjir, intrusi air laut

ke wilayah perkotaan, kemacetan, terbentuknya “pulau bahang kota”,

kekurangan air bersih pada musim kemarau, penurunan permukaan tanah,

sanitasi yang buruk, timbulnya berbagai penyakit pada penduduk, konflik

sosial, kawasan kumuh, dan lain- lain yang mengakibatkan tidak terwujudnya

1
ekosistem kota hijau yang nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat yang dihuni

oleh penduduk yang sejahtera secara berkelanjutan.

Inti diri ekosistem Kota Hijau adalah biodiversitas (keanekaragaman hayati

tingkat genetik, spesies, dan ekosistem) yang menyebabkan suatu

ekosistem kota berfungsi optimal secara berkelanjutan memberikan

beragam jenis produk dan jasa lingkungan yang penting untuk menunjang

perikehidupan makhluk hidup, khususnya masyarakat kota tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, keanekaragaman hayati wilayah perkotaan

harus dikelola dengan baik agar dapat berperan dalam perlindungan sistem

penyangga kehidupan kota, pelestarian genetik, spesies, dan komunitas

beragam makhluk hidup serta pemanfaatan produk/jasa lingkungan yang

timbul akibat dari keberadaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Keanekaragaman hayati adalah topik yang hangat dibicarakan pada

dekade terakhir ini, tetapi pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai

hal tersebut masih sangat kurang. Keanekaragaman hayati atau dalam bahasa

Inggris disebut biodiversity sebenarnya adalah jumlah jenis (species). Dalam

satu kesempatan kuliah di UNPAD, Guru Besar Biologi Lingkungan FMIFA

UNPAD, Prof. Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa keanekaragaman hayati

adalah pilihan-pilihan yang tersedia. Manusia yang hidup dengan banyak

pilihan adalah manusia yang sejahtera.

Lebih lanjut Soemarwoto (1992) dalam bukunya “Indonesia Dalam

Kancah Isu Lingkungan Global” menggambarkan potensi manfaat

keanekaragaman hayati, bahwa dari 5000 tumbuhan yang dimakan manusia,

2
hanya 150 jenis yang mempunyai arti penting dalam perdagangan dunia.

95% dari tanaman pangan dunia berasal dari tidak lebih dari 30 jenis

tumbuhan, 80% kalori dalam pangan manusia berasal dari jenis Graminae, dan

60% dari jumlah ini berasal dari 3 jenis tumbuhan yaitu padi, gandum dan

jagung. Sekitar 40% dari jenis yang dibudidayakan berasal dari 4 famili yaitu :

graminae (misalnya padi dan jagung), Leguminoseae (misalnya kedelai),

Rosaseae (misalnya apel), dan Solanaceae (misalnya tomat dan kentang).

Uraian di atas memperlihatkan bahwa kehidupan manusia tergantung pada

beberapa jenis tanaman, padahal di muka bumi ini terdapat ± 300.000

jenis tumbuhan tinggi. Demikian pula jenis hewan yang dimanfaatkan oleh

manusia masih sangat kecil, oleh karena itu potensi pemanfaatan jenis

tumbuhan dan jenis hewan masih sangat besar. Manfaat potensial Sumberdaya

hayati itu terdapat pada sifat keturunan yang terkandung di dalam gen,

untuk itu sumber daya hayati secara lebih khusus disebut sumberdaya

gen/plasma nutfah. Maka tidaklah berlebihan apabila konservasi

keanekaragaman hayati masuk kedalam salah satu strategi konservasi sedunia

untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya tersebut oleh umat

manusia. Strategi konservasi sedunia menunjukkan betapa pentingnya

pelestarian keanekaragaman jenis bagi pembangunan berkelanjutan, strategi itu

adalah:

1. Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang

penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan.

3
2. Melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi

program budi daya agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat

tanaman dan hewan budidaya. Selain itu hal ini penting bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya

sejumlah industri besar yang menggunakan sumber daya alam.

3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan jenis dan ekosistem oleh

manusia (Mackinnon et.al., 1990).

Sistem pendukung kehidupan adalah proses-proses yang memungkinkan

kehidupan di bumi tetap berjalan misalnya; fotosintesis, respirasi, dekomposisi,

perkembangbiakan hewan, persilangan pada tumbuhan dan lain-lain.

Keanekaragaman hayati mencakup keragaman jenis, dan keragaman ekosistem.

Proses evolusi menyebabkan timbulnya jenis-jenis baru dan kepunahan jenis

terjadi pula secara alami. Apabila laju kepunahan jenis lebih tinggi dari laju

terjadinya jenis baru maka terjadilah pengurangan keanekaragaman, peran

manusia di abad terakhir ini telah menyebabkan meningkatnya tingkat

kepunahan. Meningkatnya kemampuan manusia untuk memanfaatkan

sumberdaya hayati menyebabkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan

meningkat dengan pesat. Proses seleksi hewan dan pemuliaan tanaman melalui

rekayasa genetika telah menghasilkan bibit unggul dengan produktifitas tinggi

sehingga produksi pangan mengalami peningkatan jauh melebihi tingkat

pertambahan penduduk.

Pada sisi lain sukses itu menyebabkan timbulnya masalah baru, penanaman bibit

unggul secara luas, telah menggeser pemakaian varietas lokal sehingga

4
keberadaan tumbuhan dan ternak lokal terancam keberadaannya. Hal

ini diperburuk oleh pola penanaman monokultur yang meningkatkan kerentanan

tanaman terhadap serangan hama.

Menurut Soemarwoto (1992) laju kepunahan jenis akibat intervensi manusia

diperkirakan 40-400 kali lebih besar dari laju kepunahan alami. Kehidupan yang

ada di bumi selama jutaan tahun telah membentuk kehidupan yang ada di

bumi seperti sekarang ini dan kita umat manusia dengan teknologinya menjadi

ancaman karena manusia baru sedikit memahami apa yang terjadi, dan terlalu

sedikit mengetahui bagaimana hubungan antar komponen ekosistem yang sangat

rumit.

1.2 Tujuan

1. Memahami peran perlindungan keanekaragaman hayati

2. Memamahi pentingnya peran ekosistem dalam keanekaragaman hayati

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity)

merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman

ekosistem dan berbagai bentuk variabilitas hewan, tumbuhan, serta jasad

renik di alam. Dengan demikian keanekaragamn hayati

mencakup keragaman ekosistem (habitat), jenis (spesies) dan genetik

(varietas/ras). Sementara Pasal 2, Konvensi tentang Keanekaragaman

Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD) mendefinisikan bahwa

keanekaragaman hayati sebgai variasi yang terdapat diantara makhluk

hidup dari semua sumber termasuk diantaranya ekosistem daratan, lautan,

dan ekosistem perairan lain, serta kompleks ekologis yang merupakan

bagian dari keanekaragamannya (Dahuri, 2003).

Menurut Loveless (1989), keanekaragaman tumbuhan sudah

dikenal manusia sejak berada di bumi dan sampai saat ini kajian tentang

keanekaragaman tumbuhan masih terus dipelajari dan dikembangkan.

Sehubungan dengan ini, tumbuhan paku yang banyak manfaatnya bagi

manusia dan belum banyak dikenal oleh masyarakat sehingga merupakan

salah satu potensi yang patut untuk digali dan dikembangkan demi

kemajuan ilmu pengetahuan.

Apabila seorang ekolog berbicara tentang keanekaragaman hayati,

maka akan merujuk kepada dua bentuk keanekaragaman. Pertama

6
keanekaragaman yang merujuk kepada pengertian jumlah jenis yang

terdapat pada suatu areal atau seringkali disebut species richness dalam

suatu ekosistem. Kedua merujuk kepada jumlah individu yang mewakili

setiap jenis. Dua ekosistem mungkin memiliki jumlah individu dalam

jumlah yang relatif sama, tetapi memiliki keanekaragaman (dalam

pengertian yang kedua) yang berbeda.

Keanekaragaman jenis seringkali dijadikan parameter pokok dalam

mengukur/melihat pengaruh manusia terhadap lingkungan. Hal ini

disebabkan karena intervensi manusia ke dalam suatu ekosistem selalu

mempengaruhi/ mereduksi keanekaragaman jenis. Sehingga hanya sedikit

yang dapat ditemukan pada lingkungan yang tercermar, misalnya; sampah

yang dibuang ke dalam aliran sungai akan mengkomsumsi oksigen yang

tersedia di dalam air dalam proses pembusukan dan jumlah sampah yang

besar akan mengkonsumsi sebagian besar oksigen yang ada sehingga

beberapa jenis organisme tidak mampu bertahan dan kemudian mati dan

untuk mendekomposisikannya diperlukan sejumlah oksigen. Proses ini

berlangsung secara berkesinambungan sehingga akhirnya hanya ada

beberapa jenis organisme saja yang mampu bertahan hidup dalam

kondisi tersebut. Proses di atas yang disebut dengan pencemaran karena

akan merubah fungsi badan air dan perubahan yang terjadi adalah

perubahan yang permanen karena melebihi kemampuan badan air untuk

memperbaharui diri secara alami. Dibandingkan dengan lingkungan

yang tidak tercemar, kedua lingkungan mungkin memiliki jumlah

7
individu yang relatif sama tetapi berbeda jauh dalam jumlah jenis yang

ditemukan.

Semakin beranekaragam jenis yang hidup di dalam suatu ekosistem,

semakin beraneka pula kondisi lingkungan yang ada dan semakin banyak

relung kehidupan yang tersedia. Ini berarti telah berjalan proses ekologi

yang menyediakan kebutuhan untuk semua jenis. Banyak yang

berpendapat bahwa kondisi seperti ini mencerminkan kondisi yang

stabil. Proses ekologi seperti ini “hanya” terjadi dalam kondisi yang

optimum yaitu iklim yang memiliki suhu udara tidak terlalu panas juga

tidak terlalu dingin demikian pula dengan kelembaban, curah hujan,

dan komponen iklim lainnya. Iklim seperti ini di miliki oleh

negara kita, Indonesia dimana menurut Suryani (1993) memiliki + 20%

keanekaragaman jenis tumbuhan maupun hewan yang ada di dunia.

2.2 Peran Ekositem dalam Keanekaragaman Hayati

Ekosistem adalah suatu proses yang terbentuk karena adanya

hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya,

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup

keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta

flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan

kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana

menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan

menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi

perkembangan kehidupan manusia. jadi kita tahu bahwa ada komponen

8
biotik (hidup) dan juga komponen abiotik (tidak hidup) yang terlibat

dalam suatu ekosistem ini, kedua komponen ini tentunya saling

mempengaruhi, contohnya saja hubungan hewan dengan air. Interaksi

antara makhluk hidup dan tidak hidup ini akan membentuk suatu kesatuan

dan keteraturan. Setiap komponen yang terlibat memiliki fungsinya

masing-masing, dan selama tidak ada fungsi yang terngganggu maka

keseimbangan dari ekosistem ini akan terus terjaga.

2.3 Penyebab Turunnya Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman dapat turun oleh intervensi kegiatan manusia yang

dampaknya dapat berupa :

(1) Hilangnya habitat asli

(2) Fragmentasi habitat dan efek lain yang mengikutinya seperti

efek tepi, tekanan penduduk

(3) Eksploitasi yang berlebihan

(4) Introduksi jenis-jenis eksotis

(5) Pencemaran air, tanah dan udara

(6) Perubahan Iklim.

Keenam kategori di atas mungkin adalah penyebab hampir semua

kepunahan jenis tetapi yang menjadi akar permasalahan adalah kondisi

masyarakat/manusianya. Berikut ini adalah akar permasalahan

9
yang menyebabkan upaya-upaya penanggulangan yang sesaat akan

mengalami kegagalan :

1. Pertumbuhan Populasi Manusia; Pertumbuhan populasi

manusia dua abad terakhir ini adalah salah satu penyebab

rusaknya kualitas lingkungan. Populasi manusia mencapai 1

milyar pada tahun 1800, 6 milyar di akhir abad 20 dan

diperkirakan akan mencapai 10 milyar pada tahun 2046.

Jumlah sebanyak itu diperkirakan akan sangat mengganggu

proses ekologi dan evolusi yang berlangsung, seperti (i)

terancamnya keberadaan predator besar, yang

memerlukan areal lahan yang besar untuk kelangsungan

hidupnya, misalnya : gajah, badak, banteng, dan lain-lain, (ii)

kelangsungan migrasi tahunan burung, karena berkurangnya

luas rawa-rawa yang menjadi shelter dalam migrasi dari

belahan bumi utara ke selatan atau sebaliknya, (iii) proteksi

dan pemeliharaan lingkungan alami dalam menghadapi

tekanan dari penduduk sekitar, serta (iv) masuknya jenis

introduksi ke dalam kawasan konservasi. Semua proses ini

akan berkurang “jika dan hanya jika” jumlah populasi

manusia menurun seperti yang terjadi di beberapa negara

industri sekarang ini.

2. Kemiskinan; Rusaknya lingkungan bukan hanya karena

besarnya jumlah manusia tetapi lebih disebabkan karena

10
kemiskinan. Kemiskinan meningkatkan tekanan penduduk

terhadap lahan dan mendorong penggunaan lahan yang

berlebihan, rusaknya habitat dan kepunahan jenis. Hal seperti

ini banyak terjadi di negara berkembang di mana kemiskinan

memperhebat rusaknya kehidupan. Kebutuhan suatu negara

berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

mengejar ketinggalannya dari negara maju mungkin akan

menghabiskan hutan yang dimilikinya. Oleh karena itu

diperlukan kompensasi bagi negara berkembang seperti

Indonesia yang telah menyisihkan + 40% hutannya untuk

kawasan konservasi. Selain pembagian beban biaya, hal yang

mendesak untuk diselesaikan adalah kesenjangan

pemanfaatan sumber daya hayati antara negara maju dengan

negara berkembang. Bioteknologi yang berkembang dengan

pesat di negara maju, meningkatkan kemampuan mereka

dalam memanfaatkan Sumberdaya hayati yang sebagian besar

terdapat di negara berkembang. Sedangkan negara

berkembang selaku pemilik asli tidak mampu memanfaatkan

kekayaannya secara optimal . Ironisnya pada saat mereka

akan memanfaatkan produk bioteknologi yang bahan bakunya

berasal dari negaranya, mereka harus membelinya dengan

harga komersial.

11
3. Kesalahan persepsi dan skala waktu; Kemunduran kualitas

lingkungan sering tidak terasa. Karenanya pemerintah sering

bereaksi cepat terhadap masalah- masalah yang instan yang

tidak menyelesaikan keseluruhan permasalahan. Gejala ini

memperlihatkan bahwa kebijaksanaan yang menghasilkan

hasil dan keuntungan yang segera dapat dilihat sangat disukai.

Tetapi masalahnya keuntungan program konservasi baru

dapat dilihat dan dirasakan setelah puluhan tahun

berlalu. Perbedaan dalam skala waktu antara proyek

pembangunan ekonomi dan proyek konservasi

seringkali menimbulkan konflik.

4. Transisi budaya; Kerusakan yang terbesar pada

lingkungan akan terjadi apabila sekelompok masyarakat

mendiami daerah yang baru (membuka kawasan alam).

Kerusakan yang lebih besar akan terjadi dibandingkan dengan

apa yang telah dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang

berada di sana sejak ratusan tahun yang lalu. Masyarakat baru

ini seringkali dalam fase pertanian tradisional yang baru

mengenal ekonomi pasar dan pada fase ini perhatian terhadap

perlindungan alam sangat rendah.

5. Implementasi Kebijakan; terdapat banyak sebab yang

mengakibatkan tidak mampunya suatu pemerintah

melaksanakan aturan yang telah dikeluarkannya. Terutama

12
aturan yang mengharuskan dilakukannya pengorbanan

kepentingan pihak-pihak tertentu.

6. Ekonomi; Kerusakan lingkungan dan erosi keanekaragaman

hayati seringkali dimulai dengan diperkenalkannya sistem

ekonomi pasar yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan

barang-barang modern yang justru semakin mempercepat

kerusakan lingkungan.

2.4 Transformasi habitat

Beberapa tahun terakhir ini cukup banyak tipe-tipe ekosistem

bervegetasi yang produktif terkena gangguan kerusakan akibat pesatnya

pembangunan perkebunan, infrastruktur kota, pemukiman, tambak, dan

lain-lain yang menyebabkan terdegradasinya bahkan lenyapnya ekosistem

tersebut.

2.5 Perubahan iklim

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan

berbagai barang dan jasa untuk menunjang kehidupannya,

pembangunan di berbagai sektor semakin pesat untuk memenuhi

berbagai kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk tersebut.

Sebagian besar kegiatan pembangunan, khususnya di sektor

industri dan transportasi banyak digunakan energi fosil yang

mengeluarkan limbah gas rumah kaca (terutama gas CO2). Selain itu

proses pembangunan tersebut juga banyak mengkonversi lahan

bervegetasi yang produktif menjadi bentuk lahan lain yang tidak

13
bervegetasi, sehingga kapasitas penyerap karbon dari atmosfir semakin

menurun. Fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya pemanasan global

yang memicu terjadinya perubahan iklim. Situasi seperti ini menyebabkan

naiknya permukaan air laut, perubahan pola distribusi dan musim hujan,

naiknya frekuensi kejadian bencana alam (kekeringan, banjir, longsor,

dan lain-lain) yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

keanekaragaman hayati (biodiversity) yang menunjang keberlangsungan

perikehidupan manusia.

2.6 Polusi

Semakin pesatnya kegiatan industi untuk memenuhi berbagai barang

keperluan hidup disertai dengan semakin intensifnya kegiatan pertanian

untuk meningkatkan produksi telah menyebabkan pencemaran tanah, air,

dan udara. Pencemaran lingkungan tersebut akan berdampak negatif

terhadap biodiversitas, baik dalam tingkat genetik, spesies, maupun

ekosistem.

2.7 Species invasif

Dengan bantuan manusia berbagai jenis tumbuhan dan hewan

dapat tersebar ke suatu daerah, contohnya pada kegiatan budidaya

pertanian yang menggunakan jenis tumbuhan atau satwa eksotik yang di-

import dari negara lain. Jenis-jenis eksotik tersebut akan tumbuh dan

berkembang mengalahkan jenis-jenis asli setempat, merubah genetic pool,

atau menyebarkan hama dan npenyakit yang mengancam

keanekaragaman hayati di suatu daerah tertentu.

14
2.8 Eksploitasi Berlebih

Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %.

Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas

rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global.

Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat

dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang

terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi

secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan

permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca

yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta

distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi.

Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi

dan melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan

curah hujan dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi

dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak

ekologis dari deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada

manusia.

Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara

langsung maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya

memberikan konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena.

Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk

kesengsaraan manusian yang terkena. Erosi dan terbentuknya gurun karena

15
deforestasi menurunkan kemampuan masyarakat setempat untuk menanam

tanaman dan memberi makan mereka sendiri.

Ekploitasi sumbedaya hutanyang tidak bijaksana pada akhirnya

juga berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari

yang dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini

bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam

mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem

yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu

sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan

permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih.

Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah

ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-

tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat;

demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah

digantikan bila rusak.

Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti

bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang

sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia

yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk

selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis

mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak

spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan

sumber bahan obat-obatan yang penting.

16
2.9 Metode dan Alat pengelolaan keanekaragaman hayati

Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman

hayati yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies,

variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu

meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar

alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan

lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan

bergambut. Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk

pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar

kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu

juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di

habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa

menspesifikasikan habitatnya.

2. Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies

tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar

habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain

penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat

mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat

digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru

atau pendidikan lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk:

pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi

kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme

17
dikelola dalam lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies

dari proses-proses evolusi.

3. Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu,

untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas,

populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis

biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi

alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk

reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk

memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai,

tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies

asli.

4. Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang

kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata

untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta

kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat

bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk

lansekap, baik pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk

pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk

dapat diperoleh.

5. Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang

membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian

insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang

secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang

18
mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan

pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan

bagi konservasi keanekaragaman hayati.

2.10 Perundang-Undangan Lingkungan Hidup

1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa:

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan

pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

2. Undang – undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan

hidup, dan menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan

Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”

seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-

gunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum

seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai

kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh

dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi

masa depan.

3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan

pokok Pengelolaan Lingkungan hidup secara terpadu dengan

19
mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan

pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang

dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”

4. Pasal 9 ayat (3) tentang pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan

secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam

non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konsensus sumber daya

alam hayati dan eksistensinya, cagar budaya, keanekaragaman hayati

dan perubahan iklim.

5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 3 dari

Undang-Undang ini misalnya menentukan: “Penyelenggaraan

kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang

berkeadilan dan berkelanjutan:

6. Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 khususnya yang berkenaan

dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup –

menggambarkan telah dimasukkannya perkembangan lingkungan

dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan

bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan hidup telah dilaksanakan.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Upaya perlindungan keanekaragaman hayati merupakan masalah yang

dihadapi oleh umat manusia yang tidak mengenal batas negara. Kekayaan

keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia adalah warisan dunia, yang

menjadi tanggungjawab Indonesia untuk memeliharanya. Akan tetapi ada

beberapa aspek yang perlu dicatat misalnya : (1) Kebutuhan pembangunan

Indonesia harus dipenuhi dari keanekaragaman hayati, (2) Perlu diadakan

pembagian beban biaya pemeliharaan keanekaragaman hayati karena selama ini

negara majulah yang memperoleh manfaat dari keanekaragaman hayati di

negara berkembang.

21
DAFTAR PUSTAKA

Salim, E., 1993, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3S


Jakarta
ReVele, P., Charles ReVele. 1988. The Environment, Third Edition, Jones
and Bartlett, Boston.
Chusharini. 1997. Pengendalian Hama Terpadu, Buletin Mimbar no. 34
LPPM- UNISBA, Bandung.
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Lingkungan Global.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
MacKinnon, K. G. Child dan J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press,
Jogyakarta.
Soule, E.M., 1991. . Conservation : Tactics for a Constant Crisis, Science
vol. 253, USA.

22

Anda mungkin juga menyukai