Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
2.1 Kepribadian
Kepribadian adalah totalitas sifat emosional dan perilaku yang menandai
kehidupan seseorang dari hari ke hari dalam kondisi yang biasanya (Kaplan,
2010). Kepribadian bersifat relatif stabil dan dapat diramalkan.
2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi gangguan kepribadian emosional yang tidak stabil awalnya
diperkirakan 1 hingga 2 persen dari populasi umum dan terjadi tiga kali lebih
sering pada wanita dibandingkan pada pria. Wanita mempunyai
kecenderungan 3 kali lebih rentan dibandingkan laki-laki. Epidemiologi
gangguan kepribadian emosional yang tidak stabil memiliki persentase 6%
pengidap yang berasal dari komunitas masyarakat dan 15-20% pasien di
rumah sakit jiwa merupakan pengidap gangguan kepribadian ambang tersebut.
Sampai saat ini belum ada data pasti di Indonesia, namun diperkirakan
kejadian gangguan kepribadian emosional yang tidak stabil cukup tinggi
karena biasanya gangguan kepribadian ini ditandai oleh perilaku agresif dan
impulsif, yang biasanya banyak terdapat pada individu dengan perilaku
kekerasan. Hal itu dapat dilihat sehari-hari dari berbagai laporan media.
Pada kebanyakan kasus, gangguan kepribadian emosional yang tidak
stabil pertama kali ditemukan pada usia akhir remaja; beberapa terjadi pada
anak namun jarang terjadi pada dewasa di atas 40 tahun Pasien-pasien dengan
gangguan kepribadian emosional yang tidak stabil baru datang ke fasilitas
kesehatan ketika telah ada upaya bunuh diri atau setelah episode melukai diri
sendiri.
2.3.3. Etiologi
Penyebab yang pasti terjadinya gangguan kepribadian ini masih
dipertanyakan. Namun, belakangan ini para peneliti terutama di bidang
neurobiologi dan psikofarmakologi melakukan pendekatan biologis yang
lebih mendalam dengan hipotesis adanya keterlibatan baik unsur fungsi otak,
neurotransmiter, genetik, dan neuroendokrin.
Salah satu yang paling sering diteliti adalah hubungan antara sistem
serotonergik dan regio otak yang terlibat dalam perilaku impulsif
dan agresif pada pasien gangguan kepribadian ambang. Berikut beberapa
penyebab yang diduga mempengaruhi seseorang memiliki gangguan
kepribadian ambang:
a. Genetik
Sebanyak 42-68% pasien dengan gangguan kepribadian ambang
merupakan penyakit gangguan kepribadian yang diwariskan. Gen yang
diduga terlibat dalam gangguan kepribadian ambang belum teridentifikasi.
b. Biologis
Penelitian menggunakan MRI pada pasien dengan gangguan
kepribadian ambang menunjukkan hiperesponsitifitas amygdala dan
gangguan inhibisi dari korteks prefrontal selama melibatkan kegiatan-
kegiatan yang menunjukkan ekspresi wajah, reaksi emosional dan
hubungan interpersonal. Dalam kasus gangguan kepribadian ambang,
hipersensitivitas terhadap rangsangan negatif dan aktivasi berlebihan dari
pengaruh negatif, terkait dengan hiperaktivitas amigdala dan struktur
terkait dari sistem limbik, dan, pada saat yang sama, kurangnya kapasitas
untuk kontekstualisasi kognitif dan mempengaruhi kontrol.
Terkait dengan penurunan fungsi korteks prefrontal dan preorbital dan
daerah anterior cingular, merupakan korelasi neurobiologis yang signifikan
dari patologi ini. Terdapat bukti bahwa neurohormone seperti oksitosin dan
opioid memediasi kemunculan rasa takut atas penolakan dan ditinggalkan.
c. Lingkungan
Lingkungan juga mempengaruhi seseorang memiliki kepribadian
ambang, keadaan seperti mengucilkan seseorang dapat membuat trauma
pada diri seseorang. Trauma yang terjadi dapat bermanifestasi pada
penderita sebagai rasa tidak percaya diri, pendiam dan masih banyak lagi.
d. Keluarga
Keluarga merupakan tempat utama terbentuknya suatu kepribadian
pada seseorang. Hal ini terkait erat dengan pola asuh orang tua. Pola asuh
yang menelantarkan anak akan membentuk kepribadian seorang anak
menjadi impulsif, tidak mau diatur dan masih banyak lagi.
2.3.4. Patofisiologi
Beberapa regio di otak diperkirakan berperan dalam perilaku manusia.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perilaku impulsif, disregulasi, dan
kelainan kepribadian adalah aspek utama gangguan kepribadian ambang.
Gangguan kepribadian ini dapat dipikirkan mempunyai profil neurobiologi
yang unik. Prefrontal korteks terutama korteks prefrontal orbital dan korteks
ventral media yang bersebelahan berperan dalam pengaturan perilaku agresif.
Aktivitas korteks prefrontal dimodulasi oleh traktus serotonergik yang naik
dari nukleus raphe di otak tengah, di mana badan-badan sel serotonergik
terletak dengan sinaps pada neokorteks, berlaku pada sejumlah reseptor
terutama reseptor 5-HT2a.
Lesi pada korteks prefrontal, terutama korteks orbito frontal, pada
masa kanak awal dapat bermanifestasi sebagai disinhibisi perilaku antisosial
dan perilaku agresif pada masa kehidupan selanjutnya. Sedangkan
pengurangan massa abu-abu di prefrontal telah dihubungkan dengan defisit
autonomik pada gangguan kepribadian antisosial dengan perilaku agresif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa korteks orbitofrontal dan media frontal
yang bersebelahan mempunyai pengaruh hambatan/inhibisi agresi untuk
mengatur atau mengontrol pelepasan agresi.
Lesi pada korteks frontal telah lama dikenal berhubungan dengan
perilaku impulsif agresif. Kasus pertama dan paling terkenal berasal dari suatu
kasus dari tahun 1800-an. Seorang pekerja bernama Phineas Gage berperilaku
bermusuhan dan agresif secara verbal setelah mengalami luka tembus di lobus
frontal otaknya karena kecelakaan saat bekerja. Phineas Gage
kemudian berubah dari seseorang yang sebelumnya serius, aktif dalam
bekerja, dan energik menjadi seorang yang bermusuhan, kekanakan, tidak
bertanggung jawab dan berperilaku agresif. Penelitian modern menyimpulkan
bahwa lokasi luka saat itu terdapat pada bagian anterior dan medial dari
korteks orbitofrontal, juga mengenai girus cinguli anterior dan korteks frontal
anterior dan yang berhubungan di medial.
Banyak laporan lain menyimpulkan bahwa luka atau pembedahan
pengangkatan daerah korteks frontal terutama orbitofrontal akan
menyebabkan perilaku agresif. Salah satunya adalah impulsivitas pada pasien
gangguan kepribadian ambang serupa dengan akibat kerusakan pada korteks
orbitofrontal. Namun hal lain yang merupakan karakteristik utama gangguan
kepribadian ambang, misalnya tingginya emosional, tidak terdapat pada
pasien dengan kerusakan korteks orbitofrontal. Pasien dengan gangguan
kepribadian ambang juga mempunyai ketidakseimbangan neurokimiawi dan
hiperaktivitas amigdala yang tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan
korteks orbitofrontal.
Hubungan timbal balik antara korteks orbitofrontal dan amigdala
mungkin berperanan dalam mengatur respons emosional dan perilaku.
Disfungsi sirkuit limbik-orbitofrontal mungkin terlibat dalam gangguan
kepribadian ambang. Terdapat penelitian yang menyatakan amigdala dan
korteks orbitofrontal bertindak sebagai bagian dari sistem neuron yang
terintegrasi, sebagai penunjuk pembuatan keputusan dan seleksi respons
adaptif berdasarkan gabungan penguatan stimulus. Gangguan kepribadian
ambang mempunyai beberapa defisit yang dapat dihubungkan dengan fungsi
yang ditunjukkan oleh korteks orbitofrontal. Kekurangan ini mungkin
berhubungan dengan volume korteks orbitofrontal yang lebih kecil atau
terhadap aktivitas yang rendah di korteks orbitofrontal.
Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui regio di otak yang
berhubungan dengan perilaku impulsif agresif dilakukan dengan
menggunakan bantuan positron emission tomography (PET) scan. Dari
penelitian itu didapatkan bahwa terdapat pengurangan aktivitas di daerah
korteks prefrontal pada pasien dengan gangguan bipolar, pasien dengan
gangguan kepribadian yang dikarakteristikan dengan perilaku impulsif
agresif, orang dengan masalah alkohol yang berperilaku impulsif dan agresif,
pembunuh yang impulsif, dan pasien rawat dengan perilaku kekerasan.
Beberapa penelitian menggunakan fenfluramine sebagai zat serotonergik yang
dapat meningkatkan aktivitas sistem serotonergik dan meningkatkan
metabolisme dan atau aliran darah di korteks orbitofrontal pada subjek yang
normal.
Fenfluramine meningkatkan akitivitas serotonergik dengan cara
pelepasan langsung serotonin, menghalangi pengambilan kembali serotonin
dari celah sinaps, atau mungkin dengan kerja di reseptor. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah pemberian fenfluramine terdapat aktivitas
metabolik yang rendah pada pasien dengan perilaku impulsif agresif
dibandingkan dengan subjek yang normal. Perbedaan aktivitas metabolisme
ini secara nyata terdapat di regio ventral medial frontal, girus cinguli tengah
kanan dan kiri atas, dan lobus parietal kanan atas. Metabolisme yang
meningkat setelah pemberian fenfluramine juga terdapat pada daerah korteks
prefrontal, orbitofrontal kiri, dan daerah lateral hemisfer kanan subjek normal.
Hal ini tidak ditemukan pada subjek dengan perilaku impulsif agresif. Pada
penelitian ini didapatkan respons metabolik yang tumpul terhadap fenfluramin
terdapat secara khusus pada bagian orbital dan regio prefrontal yang
berhubungan seperti halnya pada korteks cinguli.
Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara fenfluramine
dengan perilaku agresif impulsif berfokus pada respons prolaktin terhadap
fenfluramine. Namun respons prolaktin terhadap fenfluramine tidak
mencerminkan sirkuit otak yang terpengaruh pada modulasi perilaku agresif.
Respons metabolik glukosa terhadap fenfluramine mendasari suatu tes yang
lebih langsung dan sensitif terhadap respons pembentukan serotonin.
Mekanisme pasti yang bertanggung jawab terhadap respons metabolik
terhadap fenfluramine belum ditentukan. Reseptor serotonergik multipel
termasuk 5-HT1a, 5-HT1b, 5-HT2a, dan 5-HT2c terdapat di korteks serebral.
Bergantung pada regio otak, dosis, dan spesifisitas reseptor agonis
serotonergik, reseptor-reseptor ini mungkin berperan dalam meningkatkan
atau menurunkan aktivitas metabolisme glukosa serebral. Suatu penelitian
terhadap primata memperlihatkan bahwa perilaku agresif primata
berhubungan secara terbalik dengan jumlah reseptor 5-HT2 di korteks
orbitofrontal posterior, korteks frontal media, dan amigdala; hubungan itu
tidak ditemukan di daerah otak yang lain.
Sebaliknya jumlah reseptor 5-HT2 di korteks frontal orbital posterior,
postrerior temporal, dan amigdala secara langsung berhubungan dengan
perilaku prososial. Penemuan itu mendukung hipotesis bahwa efek serotonin
secara spesifik terhadap perilaku bergantung pada regio yang dipengaruhinya.
Sebagai contoh, kadar serotonin yang tinggi di korteks orbital menyebabkan
perilaku yang kooperatif sedangkan sebaliknya kadar serotonin yang rendah di
korteks orbital menyebabkan perilaku agresif.
2.3.5. Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia ICD-10 mendefinisikan gangguan yang secara
konseptual mirip dengan gangguan kepribadian ambang, yang disebut (G60.3)
Gangguan kepribadian emosional yang tidak stabil . Dua subtipenya
dijelaskan di bawah ini. [82]
a) F60.30 Jenis impulsif
Setidaknya tiga dari yang berikut ini harus ada, salah satunya harus:
1) Kecenderungan yang ditandai untuk bertindak secara tidak terduga dan
tanpa mempertimbangkan konsekuensinya;
2) Kecenderungan yang ditandai untuk terlibat dalam perilaku bertengkar
dan memiliki konflik dengan orang lain, terutama ketika tindakan
impulsif digagalkan atau dikritik;
3) Pertanggungjawaban atas ledakan kemarahan atau kekerasan, dengan
ketidakmampuan untuk mengendalikan ledakan perilaku yang
dihasilkan;
4) Kesulitan dalam mempertahankan tindakan apa pun yang tidak
menawarkan hadiah langsung;
5) Suasana tidak stabil dan berubah-ubah (impulsif, aneh).
b) F60.31 Tipe batas bawah
Setidaknya tiga gejala yang disebutkan dalam F60.30 Jenis impulsif harus
ada, dengan setidaknya dua dari berikut ini sebagai berikut:
1) Gangguan dan ketidakpastian tentang citra diri, tujuan, dan preferensi
internal
2) Tanggung jawab untuk terlibat dalam hubungan yang kuat dan tidak
stabil, sering mengarah ke krisis emosional
3) Upaya berlebihan untuk menghindari pengabaian
4) Ancaman berulang atau tindakan menyakiti diri sendiri
5) Perasaan kekosongan yang kronis
6) Menunjukkan perilaku impulsif, misalnya, ngebut di mobil atau
penyalahgunaan zat
2.3.9. Prognosis
Dengan pengobatan, sebagian besar orang dengan BPD dapat
menemukan bantuan dari gejala yang menyedihkan dan mencapai remisi,
yang didefinisikan sebagai bantuan yang konsisten dari gejala setidaknya
selama dua tahun. Studi longitudinal ini melacak gejala orang dengan BPD
menemukan bahwa 34,5% mencapai remisi dalam waktu dua tahun dari awal
penelitian. Dalam empat tahun, 49,4% telah mencapai remisi, dan dalam enam
tahun, 68,6% telah mencapai remisi. Pada akhir penelitian, 73,5% peserta
ditemukan dalam kondisi remisi. Selain itu, dari mereka yang mencapai
pemulihan dari gejala, hanya 5,9% mengalami kekambuhan. Sebuah
penelitian kemudian menemukan bahwa sepuluh tahun dari awal (selama
rawat inap), 86% pasien mengalami pemulihan stabil dari gejala.
Kepribadian pasien dapat memainkan peran penting selama proses
terapi, yang mengarah ke hasil klinis yang lebih baik. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pasien BPD yang menjalani terapi perilaku dialektik
(DBT) menunjukkan hasil klinis yang lebih baik berkorelasi dengan tingkat
yang lebih tinggi dari sifat kesediaan dalam pasien, dibandingkan dengan
pasien yang rendah dalam kesetujuan atau tidak diobati dengan DBT. Asosiasi
ini dimediasi melalui kekuatan aliansi kerja antara pasien dan terapis; yaitu,
pasien yang lebih menyenangkan mengembangkan aliansi kerja yang lebih
kuat dengan terapis mereka, yang pada gilirannya, mengarah pada hasil klinis
yang lebih baik.
Selain pulih dari gejala yang menyusahkan, orang dengan BPD juga
mencapai tingkat fungsi psikososial yang tinggi. Sebuah penelitian
longitudinal yang melacak kemampuan sosial dan kerja para peserta dengan
BPD menemukan bahwa enam tahun setelah diagnosis, 56% peserta memiliki
fungsi yang baik dalam pekerjaan dan lingkungan sosial, dibandingkan
dengan 26% peserta ketika mereka pertama kali didiagnosis. Prestasi kejuruan
pada umumnya lebih terbatas, bahkan dibandingkan dengan mereka dengan
gangguan kepribadian lainnya. Namun, mereka yang gejalanya telah dikirim
secara signifikan lebih mungkin memiliki hubungan yang baik dengan
pasangan romantis dan setidaknya satu orang tua, kinerja yang baik di tempat
kerja dan sekolah, riwayat kerja dan sekolah yang berkelanjutan, dan fungsi
psikososial yang baik secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP