Anda di halaman 1dari 4

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis

Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya

gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang

tidak normal (Maria, 2010).

Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi

cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya

peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi

tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan

hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak

nafas (Harun dan Sally, 2009).

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.

Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru

akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara

diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada

keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai

ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,

2009).

Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema

interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar

dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan

mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan

petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi

untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan

peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan

terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks
bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan

mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang

semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya

hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru.

Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).

Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari

edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan

hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan

ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan

mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara

keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal.

Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang

telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila

keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis

respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru

obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek

depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang

ketat (Harun dan Sally, 2009).

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik

maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan

permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan

protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema

paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah

lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.

Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak
adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara

aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury

dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan

untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Anda mungkin juga menyukai