Anda di halaman 1dari 9

KASUS PROYEK REKLAMASI TELUK JAKARTA

Kelompok kami akan membahas tentang Proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan kaitannya
dengan Hukum Pranata Pembangunan .

- Hukum pranata pembangunan adalah suatu peraturan perundang – undangan yang mengatur
suatu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi yang di miliki oleh kelompok ataupun individu
dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.

- Struktur Hukum Pranata terdiri dari BadanLegislatif, Eksekutif, Yudikatif.

- Pengaplikasian Hukum Pranata Pembangunan dalam kehidupan kita contohnya adalah :

Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) .

Dalam Hukum Pranata Pembangunan di Indonesia, terdapat Undang-Undang dan Peraturan


Pemerintah yang mengatur tentang segala pembangunan nasional yang ada di Indonesia. Salah satu
yang akan saya ungkit kali ini adalah proyek kontroversial yang sedang diperbincangkan sekarang ini
yaitu Reklamasi Teluk Jakarta .

Pemerintah telah memutuskan menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta.


Penyebabnya karena adanya tumpang tindih peraturan.

Tumpang tindihnya peraturan dinilai menjadi penyebab tidak adanya kewajiban yang jelas
terkait perizinan yang harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan. Setidaknya ada
empat peraturan yang saling tumpang tindih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Peraturan itu adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai
Jakarta; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur; Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang merupakan revisi dari Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007.

Selama ini, pihak-pihak yang terlibat maupun terkena dampak dari proyek reklamasi Teluk
Jakarta memiliki argumentasi sendiri. Landasan regulasinya berbeda-beda, tetapi mengacu
pada salah satu peraturan di atas.

Peraturan yang harusnya menjadi acuan

Dalam rapat yang digelar di kantornya pada Senin (18/4/2016), Menteri Koordiantor Bidang
Maritim Rizal Ramli sempat menyinggung soal tumpang tindihnya peraturan serta
perdebatan yang terjadi selama ini. Ia menegaskan, peraturan yang seharusnya menjadi
acuan adalah peraturan terbaru sesuai hierarki yang berlaku di Indonesia.

"Undang-undang lebih tinggi hierarkinya dari keppres maupun perpres. Peraturan yang lama
tentu dikalahkan undang-undang yang baru, kecuali ada pasal-pasal pengecualiannya,"
ucap Rizal.

Jika mengacu pada ucapan Rizal, maka peraturan yang seharusnya kini menjadi acuan
proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seperti yang selama ini digunakan oleh
Menteri Susi.

Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan temuan-temuan


mencengangkan dalam proses dan pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta. Dari soal
perizinan tak lengkap, sampai sumber-sumber pasir urukan tak jelas asal usul. Beragam
temuan inilah yang mendorong, penghentian sementara proyek reklamasi Pantai Utara
Jakarta ini. Hal ini terungkap kala Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu
(20/4/16).
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, KLHK diminta studi
komprehensif di lapangan terhadap reklamasi pantai Jakarta dan review ketentuan terkait.
KLHKpun, katanya, merumuskan langkah-langkah dengan mengeluarkan surat keputusan
penyelesaian reklamasi pantura. “Bentuk tim kerja, dipimpin Dirjen Planologi dan Dirjen
Penegakan Hukum. Sertakan unsur independen. Lalu rapat dengan pemda dan
kementerian lembaga, dan pengembang. Juga identifikasi lapangan, sebagai pengawasan
pendahuluan,” katanya.
Dari pertemuan-pertemuan, analisis dokumen Amdal dan turun ke lapangan, KLHK
menemukan beberapa fakta. Dari sisi dampak lingkungan, rekomendasi-rekomendasi KLHK
dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) 2011, banyak belum dilaksanakan.
Dia mencontohkan, soal kerusakan lingkungan di sumber tanah urukan tak dibahas dalam
KLHS. Dari hasil diskusi, katanya, tak diketahui penanganan dampak di sumber. “Semua
pengembang yang ditanya ambil pasir Pulau Tunda di Banten. Ada Amdal gak di sana?
Kita gak mendapatkan,” katanya.
Soal pencemaran di Teluk Jakarta dan sungai, rekomendasi KLHK terhadap KLHS, lewat
penanganan limbah terpadu di air permukaan dan pengelolaan sedimentasi. “Mitigasi belum
terlaksana,” ucap Siti.
Begitu juga soal degradasi ekosistem pesisir dan mangrove, belum ditangani. Indikasi
muncul, katanya, mangrove tertekan dan makin hilang. “Di Muara Angke, indikasi lapangan,
ada kemungkinan mangrove mati karena air tersumbat. Alur air laut tak jalan baik.”
Hal penting lain, masih minim dalam KLHS, katanya, terkait ancaman dan dampak sosial
yang akan muncul. “Sangat kurang dilakukan. Mitigasi dampak sosial tak memadai. Ini
indikasi-indikasi awal,” ujar dia. Begitu juga persoalan pencegahan kemiskinan dan
ancaman kehidupan nelayan masih tak memadai.
Berkaitan dengan aturan hukum, KLHK juga menemukan banyak dugaan pelanggaran. Dia
memaparkan, dalam peraturan Gubernur tahun 2012, menyebutkan ada dua tahap Amdal,
yakni Amdal reklamasi dan Amdal infrastruktur.
Catatan KLHK, katanya, Amdal reklamasi, ada yang sudah jadi, sedang dilaksanakan,
selesai dan masih rencana. Namun, Amdal infrastruktur, untuk jempatan, jaringan listrik,
pengolahan limbah, dermaga, maupun gedung-gedung baik hotel, sampai pemukiman, tak
ada.
“Pulau D reklamasi sudah terbangun, sudah banyak infrastruktur dan gedung-gedung.
Dalam catatan kami tanpa dilengkapi Amdal, UKL/UPL dan izin lingkungan. Bahkan tak ada
IMB.”
KLHK juga mengkaji kelengkapan Amdal berdasarkan enam kriteria, ternyata banyak tak
masuk kajian. Enam kriteria itu, yakni ketersediaan air bersih, kegiatan vital yang akan
terpengaruh, banjir, kebutuhan bahan bangunan, dan keberadaan PLTU Muara Karang dan
PLTU Tanjung Priok. Serta kabel dan pipa bawah laut terancam terganggu.
“Kami identifikasi sampai Pulau N. Amdal lemah betul. Tentang kesediaan air bersih tak
dikasih pada seluruh dokumen Amdal,” katanya.

Mengenai kegiatan vital yang akan terpengaruh seperti listrik, gas dan lain-lain,
ternyata tak dikaji. “Kecuali Pulau G dan H memang disebutkan dan menimbulkan dampak
penting. Banjir Pulau H-L tak dikaji,” katanya.
Sama juga soal pemenuhan kebutuhan bahan urukan, keseluruhan pulau tak melakukan
kajian. “Bilang Pulau Benda. Gitu aja.”
Mengenai PLTU Muara Karang dan Tanjung Priok, Pulau C,D dan E, I, L, tak dikaji. Hanya
Pulau G dan H melakukan kajian dalam Amdal dan disebutkan menimbulkan dampak
penting. “Mereka katakan, kabel-kabel kalau bisa digeser. Kalau gak bisa, pulau yang
digeser. Rata-rata tak dikaji (dalam Amdal pulau).”
KLHK, katanya, juga melakukan kajian menyeluruh sebagai satu ekosistem, baik Jakarta
mapun Tangerang. Dalam penelitian aspek lingkungan dari dokumen Amdal, kata Siti, konflik
kabel, Tangerang dan Jakarta, tak ada kajian. Soal limpasan sedimen terhadap ekosistem
terumbu karang, Tangerang mencatat timbulkan dampak penting tetapi tak masuk kajian di
Pulau F dan G.
Mengenai dampak sedimentasi terhadap sentra perikanan di Teluk Jakarta dan Pelabuhan
Marina, juga tak dikaji. “Dampak sedimentasi muara sungai dan perendaman air tawar di
kawasan reklamasi, Tangerang catat dampak penting. DKI tak mengkaji.” (lihat grafis)
Dari lapangan, katanya, KLHK juga menemukan beberapa fakta seperti, reklamasi di Pulau
C dan D. Saat ini, luas Pulau C 109 hektar dan Pulau D 300 hektar, sudah memiliki izin
lingkungan untuk reklamasi tetapi pembangunan di lahan reklamasi tak ada izin lingkungan.
Di Pulau D, katanya, sudah terbangun sekitar 104 ruko dan beberapa rumah tinggal.

Sumber: KLHK

Pulau ini, menggunakan tanggul batu gunung tak sesuai dokumen Amdal. Sumber batu
gunungpun, katanya, tak jelas. “Perusahaan tak dapat menunjukkan bukti kontrak dengan
supplier batu gunung.” Bukan itu saja, Pulau C dan D, tak dipisahkan kanal sesuai RTRW
Jakarta. Dalam dokumen Amdal, juga tak disebutkan detil rencana pemisahan Pulau C dan
D.
Sumber pasir laut material reklamasi juga berbeda. Volume mereka pakai 35 juta meter
kubik, dalam Amdal disebutkan perlu pasir 20 juta meter kubik.
Di sekitar Pulau C dan D juga terjadi pendangkalan. Kala tim KLHK mewawancarai nelayan,
kata Siti, mereka mengeluhkan jarak tempuh melaut lebih jauh hingga khawatir pendapatan
berkurang.
Di Pulau D, yang digarap PT Jakarta Propertindo, tampak belum ada kegiatan reklamasi.
Perusahaan memiliki sisa waktu enam bulan untuk mereklamasi berdasarkan SK Gubernur
yang keluar 2015. Namun, surat izin membangun prasarana sudah habis masa berlaku,
surat izin membangun prasarana terbit sebelum ada izin lingkungan.
Di Pulau G, yang dipegang PT Muara Wisesa Samudra, perusahaan menolak pengawasan.
Bahkan, tak mau memberikan dokumen perizinan lingkungan. Untuk peninjauan lapangan,
katanya, perusahaan menyatakan, perlu satu dua hari berkoodinasi dengan kontraktor
reklamasi.
Adapun temuan lapangan di Pulau I-Barat, oleh PT Jaladri Kartika Pakci, tampak Pulau I-
Timur dan I-Barat, menyatu seluas 405 hektar. Jaladri Kartika Pakci di Pulau I-Barat, seluas
202,5 hektar dan belum kontruksi.
Lalu, temuan di Pulau L selatan dikerjakan PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, terlihat izin
prinsip sudah tak berlaku sejak 2013. Perusahaan sudah mengajukan perpanjangan tetapi
belum terbit yang baru. Perusahaan, katanya, tak dapat menunjukkan izin reklamasi.
Di Pulau L ini, perusahaan sudah bikin tanggul sepanjang sekitar 1.800 meter sisi utara
sejak Juni 2014 dan selesai Januari 2015. Tanggul area proyek selesai kesekuruhan 2.923
meteran.
Sumber: KLHK

Pindahkan masalah
Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, dalam rapat mengatakan, kajian lingkungan
proyek reklamasi ini harus menyeluruh mencakup Jabar dan Banten.
Dia mengatakan, dampak buruk reklamasi terasa di wilayah mereka. Belum lama ini,
Pemerintah Jabar, mengumpulkan para penambang, sekitar 80% mengakui memasok
bahan buat reklamasi Jakarta.
Dia mencontohkan, di Rumpin, Parung, Bogor, ada sekitar 115 penambangan. Sekitar 3.000
ret truk bermuatan 40-45 ton tiap hari. Hampir tiap truk bermasalah, terlihat kala ada
operasi, sekitar 5.000 an kertas tilang habis.
“Ini tak ada jalan tambang, jalan pakai jalan masyarakat, jalan kabupaten dan provinsi
hancur. Timbulkan keresahan masyarakat. Pungli di mana-mana akibat reklamasi Jakarta
ini.”
Seharusnya, kata Deddy, proyek pembangunan seperti reklamasi ini ada kajian menyeluruh.
“Ada jalan tambang, jangan sampai jalan rakyat hancur, bikin orang sesak nafas. Jadi harus
dipikirkan menyeluruh. Jangan pindahkan bencana dari Jakarta Utara ke Jabar. Begitu juga
Banten,” ujar dia.
Dari paparan Menteri Siti, pengembang mengatakan, pasir dari Pulau Tunda. “Batu dari
mana? Tak ada atupun perusahaan jawab darimana batu? Dari hulu ke hilir kemaksiatan
terjadi.”
Jabar, katanya, tak keberatan ada reklamasi, asal ada penyelesaian dampak. “Jangan
sampai memindahkan musibah Rob di Jakut, dipindahkan ke Jabar dan Banten, yang jadi
penambangan buat material itu.”
Dia mengingatkan, jangan sampai reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang bakal menjadi
industri perdagangan malah mengusir orang miskin dari Jakarta. “Kalo usir, pasti pelarian ke
Jabar dan Banten. Karena industri manufaktur 60% di Jabar. Kami tak keberatan tampung
orang miskin Jakarta, tapi ini harus dijawab. Bukan hanya peraturan yang mendukung
pembangunan.”
Irman Gusman, Ketua Komisi VII mengatakan, Komisi VII mendorong penegakan hukum
lingkungan terkait temuan pelanggaran pada reklamasi pantura Jakarta. Dia juga miris, ada
korporasi yang menolak pengawasan pemerintah. “Ada yang memberikan jawaban
seadanya. Negara mesti hadir. Kita mendorong. Nanti kita akan diskusikan, terkait kelautan
dengan Komisi IV, penegakan hukum Komisi III.”

Sumber: KLHK
Sumber: KLHK

Tindak lanjut
Siti mengatakan, langkah penyelesaian dari berbagai temuan ini dengan perbaikan tata
kelola pemerintahan, penaatan sampai penegakan hukum.
Dari reklamasi yang sudah berjalan, sedang dan masih perencanaan, katanya, KLHK
memandang secara keseluruhan belum berjalan baik. “Jadi kami menyarankan, ada KLHS,
melengkapi subtansi raperda. Raperda harus diselesaikan. Kami berkepentingan buat
memperkaya dengan KLHS. Dalam raperda ini, selain KLHK, juga unsur-unsur pemerintah
pusat lain, misal Kementerian Kelautan dan Perikanan, angkatan laut dan lain-lain.” Kini,
rancangan peraturan daerah soal reklamasi dalam bahasan Pemerintah Jakarta bersama
DPRD Jakarta.
Pemerintah Jakarta, kata Siti, cukup kooperatif kala pemerintah pusat meminta setop
seluruh kegiatan. “Seluruh kegiatan, atau perencanaan dan lain-lain harus hentikan dulu
sampai seluruh pendekatan, isi dan mengurai kompilasi hukum bisa selesai.”

Penegakan hukum
Siti mengatakan, tindaklanjut dari temuan ini KLHK akan mengambil langkah-langkah
penegakan hukum. “Saya mau dekati dulu dari sanksi administrasi,” katanya usai rapat.
Untuk penetapan sanksi dan penyetopan operasi pascamoratorium, KLHK akan
berjalan sesuai prosedur. “Harus turun di berita acara, analisis lalu keluarkan SK (surat
keputusan),” katanya.
Untuk itu, sesegera mungkin, tim penegakan hukum KLHK turun ke lapangan. Sebenarnya,
langkah ini tak dari nol, karena sebelum ini sudah ada kajian awal.
Jadi sebenarnya proyek Reklamasi Teluk Jakarta ini sangat erat kaitannya dengan Hukum
Pranata Pembangunan , karna untuk membangun proyek besar tersebut banyak
pertimbangan-pertimbangan dan aturan pemerintah yang tidak bisa di acuhkan. Sebab
proyek tersebut sangat mempunyai dampak yang luas tidak hanya sekedar di Ibukota
Jakarta, namun ke daerah daerah disekitar Jakarta. Proyek besar seperti ini perlu dikawal
dan dikaji dengan peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada di negri ini, agar
menguntungkan segala pihak, dan tidak ada penyesalan suatu hari nanti.

Anda mungkin juga menyukai