Kelompok kami akan membahas tentang Proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan kaitannya
dengan Hukum Pranata Pembangunan .
- Hukum pranata pembangunan adalah suatu peraturan perundang – undangan yang mengatur
suatu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi yang di miliki oleh kelompok ataupun individu
dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.
Tumpang tindihnya peraturan dinilai menjadi penyebab tidak adanya kewajiban yang jelas
terkait perizinan yang harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan. Setidaknya ada
empat peraturan yang saling tumpang tindih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Peraturan itu adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai
Jakarta; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur; Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang merupakan revisi dari Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007.
Selama ini, pihak-pihak yang terlibat maupun terkena dampak dari proyek reklamasi Teluk
Jakarta memiliki argumentasi sendiri. Landasan regulasinya berbeda-beda, tetapi mengacu
pada salah satu peraturan di atas.
Dalam rapat yang digelar di kantornya pada Senin (18/4/2016), Menteri Koordiantor Bidang
Maritim Rizal Ramli sempat menyinggung soal tumpang tindihnya peraturan serta
perdebatan yang terjadi selama ini. Ia menegaskan, peraturan yang seharusnya menjadi
acuan adalah peraturan terbaru sesuai hierarki yang berlaku di Indonesia.
"Undang-undang lebih tinggi hierarkinya dari keppres maupun perpres. Peraturan yang lama
tentu dikalahkan undang-undang yang baru, kecuali ada pasal-pasal pengecualiannya,"
ucap Rizal.
Jika mengacu pada ucapan Rizal, maka peraturan yang seharusnya kini menjadi acuan
proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seperti yang selama ini digunakan oleh
Menteri Susi.
Mengenai kegiatan vital yang akan terpengaruh seperti listrik, gas dan lain-lain,
ternyata tak dikaji. “Kecuali Pulau G dan H memang disebutkan dan menimbulkan dampak
penting. Banjir Pulau H-L tak dikaji,” katanya.
Sama juga soal pemenuhan kebutuhan bahan urukan, keseluruhan pulau tak melakukan
kajian. “Bilang Pulau Benda. Gitu aja.”
Mengenai PLTU Muara Karang dan Tanjung Priok, Pulau C,D dan E, I, L, tak dikaji. Hanya
Pulau G dan H melakukan kajian dalam Amdal dan disebutkan menimbulkan dampak
penting. “Mereka katakan, kabel-kabel kalau bisa digeser. Kalau gak bisa, pulau yang
digeser. Rata-rata tak dikaji (dalam Amdal pulau).”
KLHK, katanya, juga melakukan kajian menyeluruh sebagai satu ekosistem, baik Jakarta
mapun Tangerang. Dalam penelitian aspek lingkungan dari dokumen Amdal, kata Siti, konflik
kabel, Tangerang dan Jakarta, tak ada kajian. Soal limpasan sedimen terhadap ekosistem
terumbu karang, Tangerang mencatat timbulkan dampak penting tetapi tak masuk kajian di
Pulau F dan G.
Mengenai dampak sedimentasi terhadap sentra perikanan di Teluk Jakarta dan Pelabuhan
Marina, juga tak dikaji. “Dampak sedimentasi muara sungai dan perendaman air tawar di
kawasan reklamasi, Tangerang catat dampak penting. DKI tak mengkaji.” (lihat grafis)
Dari lapangan, katanya, KLHK juga menemukan beberapa fakta seperti, reklamasi di Pulau
C dan D. Saat ini, luas Pulau C 109 hektar dan Pulau D 300 hektar, sudah memiliki izin
lingkungan untuk reklamasi tetapi pembangunan di lahan reklamasi tak ada izin lingkungan.
Di Pulau D, katanya, sudah terbangun sekitar 104 ruko dan beberapa rumah tinggal.
Sumber: KLHK
Pulau ini, menggunakan tanggul batu gunung tak sesuai dokumen Amdal. Sumber batu
gunungpun, katanya, tak jelas. “Perusahaan tak dapat menunjukkan bukti kontrak dengan
supplier batu gunung.” Bukan itu saja, Pulau C dan D, tak dipisahkan kanal sesuai RTRW
Jakarta. Dalam dokumen Amdal, juga tak disebutkan detil rencana pemisahan Pulau C dan
D.
Sumber pasir laut material reklamasi juga berbeda. Volume mereka pakai 35 juta meter
kubik, dalam Amdal disebutkan perlu pasir 20 juta meter kubik.
Di sekitar Pulau C dan D juga terjadi pendangkalan. Kala tim KLHK mewawancarai nelayan,
kata Siti, mereka mengeluhkan jarak tempuh melaut lebih jauh hingga khawatir pendapatan
berkurang.
Di Pulau D, yang digarap PT Jakarta Propertindo, tampak belum ada kegiatan reklamasi.
Perusahaan memiliki sisa waktu enam bulan untuk mereklamasi berdasarkan SK Gubernur
yang keluar 2015. Namun, surat izin membangun prasarana sudah habis masa berlaku,
surat izin membangun prasarana terbit sebelum ada izin lingkungan.
Di Pulau G, yang dipegang PT Muara Wisesa Samudra, perusahaan menolak pengawasan.
Bahkan, tak mau memberikan dokumen perizinan lingkungan. Untuk peninjauan lapangan,
katanya, perusahaan menyatakan, perlu satu dua hari berkoodinasi dengan kontraktor
reklamasi.
Adapun temuan lapangan di Pulau I-Barat, oleh PT Jaladri Kartika Pakci, tampak Pulau I-
Timur dan I-Barat, menyatu seluas 405 hektar. Jaladri Kartika Pakci di Pulau I-Barat, seluas
202,5 hektar dan belum kontruksi.
Lalu, temuan di Pulau L selatan dikerjakan PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, terlihat izin
prinsip sudah tak berlaku sejak 2013. Perusahaan sudah mengajukan perpanjangan tetapi
belum terbit yang baru. Perusahaan, katanya, tak dapat menunjukkan izin reklamasi.
Di Pulau L ini, perusahaan sudah bikin tanggul sepanjang sekitar 1.800 meter sisi utara
sejak Juni 2014 dan selesai Januari 2015. Tanggul area proyek selesai kesekuruhan 2.923
meteran.
Sumber: KLHK
Pindahkan masalah
Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, dalam rapat mengatakan, kajian lingkungan
proyek reklamasi ini harus menyeluruh mencakup Jabar dan Banten.
Dia mengatakan, dampak buruk reklamasi terasa di wilayah mereka. Belum lama ini,
Pemerintah Jabar, mengumpulkan para penambang, sekitar 80% mengakui memasok
bahan buat reklamasi Jakarta.
Dia mencontohkan, di Rumpin, Parung, Bogor, ada sekitar 115 penambangan. Sekitar 3.000
ret truk bermuatan 40-45 ton tiap hari. Hampir tiap truk bermasalah, terlihat kala ada
operasi, sekitar 5.000 an kertas tilang habis.
“Ini tak ada jalan tambang, jalan pakai jalan masyarakat, jalan kabupaten dan provinsi
hancur. Timbulkan keresahan masyarakat. Pungli di mana-mana akibat reklamasi Jakarta
ini.”
Seharusnya, kata Deddy, proyek pembangunan seperti reklamasi ini ada kajian menyeluruh.
“Ada jalan tambang, jangan sampai jalan rakyat hancur, bikin orang sesak nafas. Jadi harus
dipikirkan menyeluruh. Jangan pindahkan bencana dari Jakarta Utara ke Jabar. Begitu juga
Banten,” ujar dia.
Dari paparan Menteri Siti, pengembang mengatakan, pasir dari Pulau Tunda. “Batu dari
mana? Tak ada atupun perusahaan jawab darimana batu? Dari hulu ke hilir kemaksiatan
terjadi.”
Jabar, katanya, tak keberatan ada reklamasi, asal ada penyelesaian dampak. “Jangan
sampai memindahkan musibah Rob di Jakut, dipindahkan ke Jabar dan Banten, yang jadi
penambangan buat material itu.”
Dia mengingatkan, jangan sampai reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang bakal menjadi
industri perdagangan malah mengusir orang miskin dari Jakarta. “Kalo usir, pasti pelarian ke
Jabar dan Banten. Karena industri manufaktur 60% di Jabar. Kami tak keberatan tampung
orang miskin Jakarta, tapi ini harus dijawab. Bukan hanya peraturan yang mendukung
pembangunan.”
Irman Gusman, Ketua Komisi VII mengatakan, Komisi VII mendorong penegakan hukum
lingkungan terkait temuan pelanggaran pada reklamasi pantura Jakarta. Dia juga miris, ada
korporasi yang menolak pengawasan pemerintah. “Ada yang memberikan jawaban
seadanya. Negara mesti hadir. Kita mendorong. Nanti kita akan diskusikan, terkait kelautan
dengan Komisi IV, penegakan hukum Komisi III.”
Sumber: KLHK
Sumber: KLHK
Tindak lanjut
Siti mengatakan, langkah penyelesaian dari berbagai temuan ini dengan perbaikan tata
kelola pemerintahan, penaatan sampai penegakan hukum.
Dari reklamasi yang sudah berjalan, sedang dan masih perencanaan, katanya, KLHK
memandang secara keseluruhan belum berjalan baik. “Jadi kami menyarankan, ada KLHS,
melengkapi subtansi raperda. Raperda harus diselesaikan. Kami berkepentingan buat
memperkaya dengan KLHS. Dalam raperda ini, selain KLHK, juga unsur-unsur pemerintah
pusat lain, misal Kementerian Kelautan dan Perikanan, angkatan laut dan lain-lain.” Kini,
rancangan peraturan daerah soal reklamasi dalam bahasan Pemerintah Jakarta bersama
DPRD Jakarta.
Pemerintah Jakarta, kata Siti, cukup kooperatif kala pemerintah pusat meminta setop
seluruh kegiatan. “Seluruh kegiatan, atau perencanaan dan lain-lain harus hentikan dulu
sampai seluruh pendekatan, isi dan mengurai kompilasi hukum bisa selesai.”
Penegakan hukum
Siti mengatakan, tindaklanjut dari temuan ini KLHK akan mengambil langkah-langkah
penegakan hukum. “Saya mau dekati dulu dari sanksi administrasi,” katanya usai rapat.
Untuk penetapan sanksi dan penyetopan operasi pascamoratorium, KLHK akan
berjalan sesuai prosedur. “Harus turun di berita acara, analisis lalu keluarkan SK (surat
keputusan),” katanya.
Untuk itu, sesegera mungkin, tim penegakan hukum KLHK turun ke lapangan. Sebenarnya,
langkah ini tak dari nol, karena sebelum ini sudah ada kajian awal.
Jadi sebenarnya proyek Reklamasi Teluk Jakarta ini sangat erat kaitannya dengan Hukum
Pranata Pembangunan , karna untuk membangun proyek besar tersebut banyak
pertimbangan-pertimbangan dan aturan pemerintah yang tidak bisa di acuhkan. Sebab
proyek tersebut sangat mempunyai dampak yang luas tidak hanya sekedar di Ibukota
Jakarta, namun ke daerah daerah disekitar Jakarta. Proyek besar seperti ini perlu dikawal
dan dikaji dengan peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada di negri ini, agar
menguntungkan segala pihak, dan tidak ada penyesalan suatu hari nanti.