Anda di halaman 1dari 11

PERILAKU ORGANISASI

EMA 224 AP
SAP 9

Oleh Kelompok 1:

Ni Putu Arlita Ekayanti (1607531069 / 01)


Putu Pradnyani (1607531072 / 02)

Disampaikan Kepada :
Dr. I Gede Riana, S.E., M.M

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KONFLIK, PERUNDINGAN, DAN
HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK DALAM ORGANISASI

9.1 Konsep Tentang Konflik


9.1.1 Definisi Konflik
Banesc (1991) dalam Ardana dkk. (2009: 112) mendefinisikan konflik sebagai kondisi
yang dipersepsikan di antara pihak-pihak yang merasakan adanya ketidaksesuaian tujuan dan
peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan. Menurut McShane dan Glinow (2010)
dalam Wibowo (2014: 219), konflik adalah suatu proses dimana satu pihak merasa bahwa
kepentingannya ditentang atau dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain. Sedangkan, Robbins
dan Judge (2015: 305) mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika salah
satu pihak memandang pihak lainnya telah memengaruhi secara negatif, atau akan berpengaruh
secara negatif atas sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama. Berdasarkan pendapat-
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya konflik adalah proses atau hasil
interaksi dimana pihak pertama merasa bahwa kepentingannya ditentang atau dipengaruhi secara
negatif oleh pihak lainnya.
Adapun cara pandang terhadap konflik yang dijelaskan dalam Robbins dan Judge (2015:
306) yaitu sebagai berikut:
a) Pandangan Tradisional atas Konflik
Konflik dipandang sebagai kegagalan fungsi di dalam kelompok akibat komunikasi yang
buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara orang-orang, serta kegagalan
dari para manajer dalam menanggapi kebutuhan dan aspirasi para karyawannya sehingga
menimbulkan keyakinan bahwa semua konflik berbahaya dan harus dihindari.
b) Pandangan Interaksionis atas Konflik
Keyakinan bahwa konflik tidak hanya merupakan sebuah paksaan yang positif dalam
suatu kelompok tetapi juga sangat diperlukan bagi suatu kelompok untuk bekerja dengan
lebih efektif. Pandangan interaksionis tidak berpendapat bahwa seluruh konflik adalah
baik.
(1) Konflik fungsional akan mendukung tujuan kelompok, meningkatkan kinerjanya
sehingga merupakan bentuk konflik yang bersifat konstruktif (membangun).

2
(2) Konflik disfungsional merupakan konflik yang menganggu kinerja kelompok
sehingga bersifat destruktif (menghancurkan).
9.1.2 Tipe dan Lokus Konflik
a) Jenis Konflik
(1) Konflik Tugas, konflik tentang kandungan dan tujuan dari pekerjaan. Riset mendapati
bahwa konflik tugas pada dasarnya tidak terkait dengan kinerja kelompok, namun
terdapat faktor-faktor yang dapat menciptakan suatu hubungan antara konflik dengan
kinerja.
(2) Konflik Hubungan, konflik yang didasarkan pada hubungan interpersonal. Konflik
hubungan hampir selalu mengalami kegagalan fungsi akibat gesekan dan permusuhan
interpersonal yang sangat melekat dalam konflik hubungan sehingga meningkatkan
benturan kepribadian yang menghambat penyelesaian tugas organisasi.
(3) Konflik Proses, konflik mengenai bagaimana pekerjaan akan diselesaikan.
b) Lokus Konflik
(1) Konflik Dyadic, konflik di antara dua orang. Konflik ini terjadi karena perbedaan
tentang isu, tindakan ataupun tujuan (Ardana dkk. 2009: 116)
(2) Konflik Intragrup, konflik yang terjadi di dalam sebuah kelompok atau tim. Konflik
tugas, hubungan dan proses sering terjadi pada konflik intragroup.
(3) Konflik Antarkelompok, konflik di antara kelompok atau tim yang berbeda. Salah satu
studi menemukan bahwa konflik antarkelompok tersebut saling memengaruhi di
antara posisi seorang individu di dalam sebuah kelompok dan cara individu tersebut
mengelola konflik di antara kelompok.
9.1.3 Proses Konflik
a) Tahap I : Pertentangan yang Berpotensi atas Ketidaksesuaian
Tahap pertama dari konflik adalah sumber atau penyebab dari timbulnya konflik, yang
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:
(1) Komunikasi, kondisi yang berpotensial menyebabkan konflik meningkat yaitu saat
komunikasi yang terlalu sedikit atau terlalu banyak.
(2) Struktur, istilah struktur dalam konteks ini meliputi variabel-variabel seperti ukuran
kelompok, derajat spesialisasi dalam pekerjaan yang ditugaskan kepada para
anggota kelompok, kejelasan yurisdiksional, kesesuaian antara anggota dan tujuan,

3
gaya kepemimpinan, sistem pemberian imbalan, dan tingkat ketergantungan di
antara kelompok.

(3) Variabel-variabel pribadi, meliputi kepribadian, emosi, dan nilai.

b) Tahap II : Kesadaran dan Personalisasi


Saat ketidaksepakatan yang dipandang sebagai konflik (kesadaran oleh salah satu atau
lebih pihak mengenai keberadaan kondisi yang menciptakan peluang bagi konflik untuk
muncul) tidak berarti dipersonalisasikan. Ini berarti terjadi pada tingkat yang dirasakan
sebagai konflik, yaitu ketika para individu menjadi terlibat secara emosional, bahwa mereka
mengalami kecemasan, ketegangan, frusutasi, atau permusuhan. Tahap II penting karena pada
tahap ini permasalahan konflik cenderung didefinisikan, di mana pihak-pihak memutuskan
mengenai apakah konflik tersebut dan bahwa emosi memegang peranan yang besar dalam
membentuk persepsi.
c) Tahap III : Niat
Niat merupakan tahapan yang memberikan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara
tertentu. Dengan dua dimensi yang digunakan yaitu kegotongroyongan dan ketegasan,
maka kita dapat mengidentifikasi lima niat dalam menangani konflik yaitu:
(1) Bersaing, suatu keinginan untuk memuaskan kepentingan seseorang tanpa
memperhatikan dampak dari timbulnya konflik terhadap pihak lain.
(2) Berkolaborasi, sebuah situasi yang mana para pihak melakukan konflik mengenai
keinginan masing-masing untuk memuaskan perhatian sepenuhnya dari semua pihak.
(3) Menghindar, keinginan untuk menarik diri atau menyembunyikan diri dari konflik.
(4) Mengakomodasi, kesediaan dari salah satu pihak dalam sebuah konflik untuk
menempatkan kepentingan pihak lawan di atas kepentingannya sendiri.
(5) Berkompromi, sebuah situasi yang mana tiap-tiap pihak atas suatu konflik bersedia
untuk menyerahkan sesuatu hal.
d) Tahap IV : Perilaku
Tahap ini meliputi pernyataan, tindakan, dan reaksi yang diciptakan oleh para pihak yang
sedang berkonflik, biasanya sebagai upaya untuk mengimplementasikan niatan mereka.

4
Tahap IV merupakan proses interaksi yang dinamis. Misalnya, anda mengajukan tuntutan
terhadap saya, saya memberikan tanggapan dengan berdebat.
e) Tahap V : Hasil
(1) Hasil yang Fungsional
Konflik dapat bertindak sebagai kekuatan untuk meningkatkan kinerja kelompok
yang dilihat dari seberapa rendah atau moderat dari suatu level konflik dapat
meningkatkan efektivitas kelompok tersebut. Konflik bersifat konstruktif saat dia
meningkatkan kualitas dari keputusan, menstimulasi kreativitas dan inovasi,
mendorong kepentingan dan keingintahuan di antara para anggota kelompok,
menyediakan media bagi permasalahan untuk dipublikasikan dan melepaskan
ketegangan, serta membantu perkembangan evaluasi diri sendiri maupun perubahan.
Konflik menentang status quo dan memajukan penciptaan gagasan-gagasan baru,
mempromosikan penilaian ulang dari tujuan dan aktivitas kelompok, serta
meningkatkan probabilitas bahwa kelompok akan memberikan tanggapan terhadap
perubahan.
(2) Hasil yang Disfungsional
Konflik disfungsional dapat menurunkan efektivitas kelompok dikarenakan akibat
dari konflik yang bersifat destruktif terhadap kinerja kelompok atau organisasi adalah
oposisi yang tidak terkendali yang menciptakan ketidakpuasan dan akan berperan
untuk membubarkan ikatan bersama dan akhirnya mengarah pada kehancuran
kelompok. Konsekuensi lainnya yang tidak diinginkan seperti komunikasi yang buruk,
penurunan dalam kekompakan kelompok, dan kurangnya usaha pencapaian tujuan
kelompok akibat pertikaian di antara para anggota.
(3) Mengelola Konflik Fungsional
Kunci untuk meminimalkan konflik yang kontraproduktif adalah dengan
memahami kapan sebenarnya terjadinya ketidaksepakatan. Manajemen konflik yang
berhasil akan mengenali pendekatan yang menyebabkan perbedaan yang menimbulkan
ketidaksepakatan tersebut dan berupaya untuk menyelesaikannya dengan mendorong
pembahasan secara terbuka, dan jujur dengan menitikberatkan pada kepentingan dan
bukan pada permasalahannya. Pendekatan yang lainnya adalah dengan membiarkan
kelompok yang menentang mengambil bagian dari solusi yang sangat penting bagi

5
mereka dan kemudian menitikberatkan pada bagaimana sisi satunya dapat mencapai
terpenuhinya kebutuhan kelompoknya.

9.2 Konsep Mengenai Perundingan


Ardana dkk. (2009: 122) mendefinisikan perundingan atau negosiasai sebagai kegiatan
yang sering mewarnai organisasi yang bias melibatkan orang per orang ataupun kelompok.
Menurut Robbins dan Judge (2015: 316), negosiasi adalah sebagai suatu proses yang terjadi
ketika dua atau lebih pihak memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber daya yang langka.
Setiap negosiasi dalam organisasi juga memengaruhi hubungan di antara para negosiator dan
yang para negosiator rasakan mengenai diri mereka sendiri. Bergantung pada seberapa banyak
pihak-pihak yang akan berinteraksi satu sama lain, kadang kala mempertahankan hubungan
sosial dan berperilaku secara etis akan menjadi sama pentingnya dengan mencapai hasil
perundingan dengan cepat.
9.2.1 Strategi Perundingan
Terdapat dua pendekatan umum mengenai negosiasi, perundingan distribusi dan
perundingan integratif.
a) Perundingan Distributif
Perundingan distributif adalah negosiasi yang berupaya untuk membagi jumlah
sumber daya tetap, situasi kemenangan atau kekalahan. Inti sari dari perundingan
distributif adalah melakukan negosiasi atas siapa yang memperoleh pembagian dari
bagian yang tetap. Bagian yang tetap yang dimaksud adalah satu set jumlah barang atau
jasa yang harus dibagikan. Ketika bagian tersebut sifatnya tetap, atau para pihak
meyakininya, maka mereka akan cenderung untuk melakukan perundingan secara
distributif. Contoh yang banyak dikutip dari perundingan distributif adalah negosiasi
diantara tenaga kerja dan manajemen mengenai jumlah gaji.
b) Perudingan Integratif
Perundingan integratif adalah negosiasi yang berupaya mencari satu atau
lebih kesepakatan yang dapat memberikan solusi kemenangan bagi kedua belah pihak.
Dalam istilah prilaku intraorganisasi, perundingan intregratif lebih dipilih dibandingkan
perundingan distributif karena pertama, membentuk hubungan dalam jangka panjang.
Perundingan integratif mengikat para negosiator dan memungkinkan mereka untuk

6
meninggalkan meja perundingan bila mereka merasa bahwa mereka telah mencapai
kemenangan. Namun dalam perundingan distributif meninggalkan salah satu pihak
sebagai yang kalah. Hal ini cenderung untuk membangun permusuhan dan memperdalam
pembagian divisi ketika orang-orang harus bekerja bersama basis yang sedang
berlangsung. Riset memperlihatkan bahwa atas peristiwa perundingan yang diulang-
ulang, maka pihak yang kalah akan merasakan hal yang positif mengenai hasil negosiasi
jauh lebih cenderung untuk memperundingkan secara kooperatif dalam negosiasi-
negosiasi berikutnya.
9.2.2 Proses Negosiasi
a) Persiapan dan Perencanaan
Sebelum memulai melakukan negosiasi terlebih dahulu lakukan tugas pekerjaan
anda. Hal ini membantu untuk menempatkan tujuan anda dalam perjanjian tertulis dan
mengembangkan kisaran hasil dari yang paling memberikan harapan hingga minimal
dapat diterima untuk menjaga perhatian anda agar selalu terpusat. Anda harus menilai apa
penapat anda mengenai tujuan dari pihak lainnya. Ketika anda dapat mengantisipasi
posisi lawan anda maka anda akan lebih siap untuk melawan argumen dengan fakta dan
angka yang dapat mendukung posisi anda. Hubungan dapat mengalami perubahan
sebagai hasil dari negosiasi, sehingga masukkan hal ini ke dalam pertimbangan.
b) Mendefinisikan Aturan-Aturan Dasar
Ketika anda telah melakukan perencanaan dan mengembangkan sebuah strategi,
maka anda telah siap untuk memulai mendefinisikan dengan pihak lainnya mengenai
aturan mendasar dan prosedur dari negosiasi itu sendiri. Selama fase ini para pihak juga
akan saling menukarkan proposal atau permintaan awal mereka.
c) Klarifikasi dan Pembenaran
Ketika anda telah saling menukarkan proposal awal anda, maka anda dan pihak
lain akan menjelaskan, memperkuat, menjernihkan, mendukung, dan membenarkan
permintaan awal anda. Langkah ini tidak harus berupa konfortasional sebaliknya ini
merupakan peluang untuk saling mengajarkan permasalahan satu sama lain. Memberikan
kepada pihak lainnya dengan dokumentasi apapun yang mendukung posisi anda.
d) Melakukan Perundingan dan Pemecahan Masalah

7
Inti dari proses negosiasi adalah berupa upaya memberi dan mengambil secara
aktual dalam mencoba untuk menyelesaikan perjanjian. Hal ini adalah dimana kedua
belah pihak perlu untuk membuat konsensi.
e) Penutupan dan Implementasi
Langkah terakhir dalam proses negosiasi adalah merumuskan perjanjian dan
mengembangkan prosedur yang diperlukan untuk mengimplementasi dan mengawasinya.
9.2.3 Perbedaan Individual dalam Efektivitas Negosiasi
a) Sifat Kepribadian dalam Negosiasi
Keadaan dimana keramahan dan kepribadian memengaruhi hasil negosiasi akan
bergantung pada situasi. Pentingnya menjadi ekstrover dalam negosiasi, misalnya, akan
sangat banyak bergantung pada bagaimana pihak lain bereaksi terhadap seseorang yang
tegas dan antusias. Salah satu faktor yang menyulitkan bagi keramahan adalah memiliki
dua aspek. Kecenderungan untuk bekerja sama dan selalu mengalah, serta kecenderungan
untuk menjadi hangat dan berempati. Sebuah riset lain menunjukkan bahwa tipe
negosiasi juga mempengaruhi sifat kepribadian seseorang. Dalam studi ini para individu
sangat menyenangkan bereaksi secara lebih positif dan merasakan sendiri tekanan dalam
negosiasi integratif dari pada distributif. Level tekanan yang rendah, pada gilirannya akan
dibuat hasil negosiasi yang lebih efektif. Riset menyarankan bahwa kecerdasan
memprediksi efektivitas negosiasi tetapi sebagaimana dengan kepribadian efeknya tidak
terlalu kuat.
b) Suasana Hati atau Emosi dalam Negosiasi
Suasana hati dan emosi mempengaruhi negosiasi tetapi cara mereka bekerja
bergantung pada emosi maupun konteks. Seorang negosiator yang menunjukkan
kemarahan pada umumnya menimbulkan konsensi. Salah satu faktor yang mengatur hasil
ini adalah kekuasaan. Anda harus memperlihatkan kemarahan dalam negosiasi hanya jika
anda memiliki setidaknya kekuasaan sebanyak yang dimiliki oleh tandingan anda. Faktor
lainnya adalah seberapa asli kemarahan anda, kemarahan yang palsu atau yang dihasilkan
dari permukaan tindakan tidaklah efektif, tetapi menunjukkan kemarahan yang asli akan
efektif. Kecemasan juga memiliki dampak terhadap negosiasi. Emosi yang relevan adalah
kekecewaan. Riset menemukan bahwa bahwa negosiator yang cemas akan mengharapkan
hasil yang lebih rendah memberikan tanggapan pada penawaran dengan lebih cepat dan

8
keluar dari proses perundingan dengan lebih cepat akan mengarahkan mereka untuk
memperoleh hasil yang lebih buruk.
c) Budaya dalam Negosiasi
Orang-orang dari budaya berbeda akan melakukan negosiasi secara berbeda dan
terdapat banyak perbedaan dalam cara bekerjanya. Terlihat bahwa di dalam negosiasi
lintas budaya, terutama penting bahwa para negosiator akan memiliki keterbukaan yang
lebih tinggi terhadap pengalaman, tetapi juga menghindari faktor-faktor misalnya tekanan
waktu yang cenderung untuk menghalangi pembelajaran dalam memahami pihak lain.
Karena emosi secara kultural bersifat sensitif maka negosiator perlu untuk bersikap
waspada dengan dinamika emosional dalam negosiasi lintas budaya.
a) Perbedaan Gender dalam Negosiasi
Terdapat banyak area dalam perilaku organisasi yang mana pria dan wanita tidak
dibedakan. Negosiasi bukanlah salah satu dari mereka. Hal ini sekarang terlihat cukup
adil bahwa pria dan wanita akan melakukan negosiasi secara berbeda, dan perbedaan-
perbedaan tersebut akan memengaruhi hasil. Stereotip yang terkenal adalah bahwa para
wanita lebih dapat bekerja sama dan menyenangkan dalam negosiasi dibandingkan pria.
Meskipun hal ini bersifat kontroversial, tetapi terdapat beberapa kebaikan dari itu. Pria
cenderung menempatkan nilai yang lebih tinggi pada status, kekuasaan, dan penghargaan,
sedangkan wanita cenderung untuk menempatkan nilai yang lebih tinggi pada kasih
saying dan kebajikan. Para wanita cenderung untuk menilai relasi hasil akhir dari pada
pria dan para pria cenderung untuk lebih menilai hasil secara ekonomi dari pada para
wanita.
9.2.4 Negosiasi dengan Pihak Ketiga
Seorang mediator adalah pihak ketiga yang netral yang memfasilitasi solusi yang
dinegosiasikan dengan menggunakan alternative-alternatif pertimbangan, bujukan, saran, dan
sebagainya. Para mediator digunakan secara luas dalam negosiasi tenaga kerja manajemen dan
pertikaian di pengadilan sipil. Seorang arbitrator adalah seorang pihak ketiga dengan otoritas
untuk mendikte perjanjian. Arbitrase dapat secara sukarela atau yang diwajibkan. Kelebihan
terbesar arbitrase atas mediasi adalah selalu menghasilkan penyelesaian. Seorang konsiliator
adalah seorang pihak ketiga yang terpercaya menyediakan komunikasi secara informal diatas
negosiator dengan lawan.

9
9.3 Hubungan Antara Kelompok Dalam Organisasi
Ardana dkk. (2009: 123) mengatakan faktor yang mempengaruhi antar kelompok adalah
adanya koordinasi yang baik. Faktor yang mempengaruhi upaya koordinasi adalah sebagai
berikut:
a) Adanya saling ketergantungan;
b) Ketidakpastian tugas antar kelompok;
c) Waktu dan orientas tujuan.
Adapun metode untuk mengelola hubungan antar kelompok yaitu:
a) Menetapkan aturan dan prosedur;
b) Penggunaan hirarki organisasi;
c) Penggunaan perencaaan untuk mempermudah koordinasi;
d) Peran penghubung;
e) Satuan tugas;
f) Penggunaan Tim;
g) Pembentukan departemen pembantu.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ardana, Komang., Mujiati, Ni Wayan., dan Ayu Sriathi Anak Agung. 2013. Perilaku
Keorganisasian. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Robbin, Stephen P., dan Timothy A. Judge. 2015. Perilaku Organisasi, Edisi 16. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.

11

Anda mungkin juga menyukai