Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut
membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian
dari hukum nasional turut mengalami perubahan, kecuali sektor hukum pidana yang
sebelumnya penuh dengan ketidakpastian. Dinamika hukum, terutama ditandai dengan
peralihan sistem pemerintahan sentralistrik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang
di dalam UU No.32 Tahun 2004 (birokrasi.kompasiana.com, 2012).

Adanya sistem otonomi daerah yang akhirnya melegitimasi kekuasaan daerah


dalam membuat suatu kebijakan yang dituangkan dalam sebuah peraturan daerah tak
ayal menimbulkan kesewenang-wenangan dari pejabat pemerintah pembuat kebijakan
tersebut. Fungsi Hukum yang digunakan sebagai social engineering dalam rangka
terciptanya efektifitas dan ketertiban sosial digunakan sebagai gagasan utama
pemerintah daerah kota tangerang dalam membentuk kebijakan peraturan daerah kota
tangerang nomor 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Dalam pertimbangannya
Perda tersebut dibuat dalam hal pelacuran merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negative terhadap
sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya
masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap
praktik-praktik pelacuran Kota Tangerang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
pelarangan pelacuran.1 Pemberlakuan perda No 8 tahun 2005 itu juga bertujuan untuk
menertibkan praktik prostitusi dan menutup ruang gerak pengedar miras di wilayah kota
Tangerang banten.2

1
2
"Kementerian Dalam Negeri." Pemkot Tangerang Pertahankan Perda Larangan Pelacuran dan Miras - Berita -
Kementerian Dalam Negeri - Republik Indonesia. Maret 14, 2008. Diakses bulan Desember 10, 2017.
http://www.kemendagri.go.id/news/2008/03/14/pemkot-tangerang-pertahankan-perda-larangan-pelacuran-dan-miras.

1
Jika dilihat, tak ada yang aneh dengan perda kota Tangerang tentang perlarangan
pelacuran tersebut, namun terjadi permasalah-permasalahan yang ditimbulkan perda
tersebut karena banyak memakan korban perempuan yang harus bekerja di malam hari
atau mereka memang yang baru pulang kerjadi larut malam, padahal mereka bekerja
hingga larut malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Para pekerja wanita yang
selalu pulang malam itu mengaku tidak mungkin bisa mengubah jadwal kerja ke siang
hari, agar tidak tergaruk razia yang dilakukan Pemerintah Kota Tangerang. Menurut Evi
yang sering pulang malam dari tempatnya bekerja di Tangerang, penerapan perda itu
terlalu berlebihan, karena menyulitkan mereka yang tidak tahu apa-apa. "Mestinya
semua wanita yang pulang malam jangan disamaratakan," ujarnya. Sementara itu, meski
perda sudah diberlakukan, sejumlah PSK masih tetap beroperasi di beberapa lokasi di
Tangerang. Bahkan, dari pantauan SCTV akhir pekan silam, mereka merasa tidak
terganggu dengan pemberlakukan perda tersebut. Selain itu, tidak tampak adanya
3
petugas yang melakukan razia terhadap para PSK. Semuanya peraturan itu
menunjukan kemerdekaan yang hakiki bagi perempuan Indonesia masih jauh dari cita-
cita, peraturan diskriminatif itu juga menunjukan pemahaman yang rendah atas mandat
konstitusi (www.jurnalperempuan.org, 2013) .

Tak hanya itu perda tentang larangan pembatasan jam keluar malam juga
menimbulkan korban salah tangkap. Peristiwa terssebut dialami oleh Lilis Lisdawati
yang menjadi korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2005 yangmana ia adalah seorang karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan.
Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Bermula ketika pada Senin 27 Februari 2006
sekitar pukul 20.00 WIB. Karyawati sebuah restoran di Cengkareng ini ditangkap
petugas Trantib karena dianggap “keluyuran” malam-malam padahal ia ditangkap oleh
petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di Daerah Tangerang karena baru saja
pulang kerja. Dia lalu naik angkutan kota Roda Niaga jurusan Kalideres, Tangerang.
Ketika sampai di Gerendeng, ia turun dari angkot dan mencari tumpangan angkot lain
menuju rumahnya di daerah Sepatan, Kabupaten Tangerang. Biasanya lilies yang
sedang hamil 2 bulan ini baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB. Ia dituduh telah

3
Liputan6.com. "Pemberlakuan Perda Cemaskan Wanita di Tangerang." Liputan6.com. Maret 05, 2006. Diakses
bulan Desember 10, 2017. http://news.liputan6.com/read/118745/pemberlakuan-perda-cemaskan-wanita-di-tangerang.

2
melanggar Perda nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Meski telah
menyampaikan bahwa ia bukan pelacur, lilis tetap ditahan dan dihukum bersama 27
perempuan lainnya yang senasib dalam pengadilan tindak pidana ringan (tipiring).
Pengadilan tipiring ini digelar bersamaan dengan HUT ke-13 Kota Tangerang pada 28
Februari. Meski dia menyangkal sebagai pelacur Pengadilan Negeri Tangerang
menjatuhkan Hukuman 8 hari penjara dan denda Rp300,000. Lilis berada dalam tahanan
selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda
tersebut. Sejak ditahan, Lilis bukan tak berusaha menghubungi suami dan keluarganya.
Namun, upaya meminjam telepon kepada petugas atau pergi ke warung telekomunikasi
untuk menghubungi saudara atau rekannya pun ia tidakmendapat izin. “Suami saya tak
punya telepon,” papar Lilis. Ketika selesai sidang dia mendapat pinjaman telepon, Lilis
buruburu menelpon salah seorang teman suaminya. Namun, sang suami yang hari
Selasa menderita tekanan darah tinggi ternyata tidak muncul di sidang pengadilan
sehingga ia dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Tak pulangnya Lilis ke
rumah membuat suaminya, Kustoyo memilih menunggu sang istri pulang. Selasa
malam seorang rekannya yang mendapat telepon dari Lilis baru sempat memberi Dalam
sidang, Lilis gagal menghadirkan saksi yang bisa menyatakan dia bukanlah pelacur.
kabar bahwa istrinya ditahan karena kena razia. Malam itu juga Kustoyo datang ke
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang sambil membawa kartu tanda
penduduk, surat nikah, dan kartu keluarga. Petugas menyarankan, guru yang sudah
mengabdi selama 20 tahun dengan golongan 3C tersebut datang keesokan harinya
(Rabu). “Saya tak punya uang sama sekali, untung sama teman saya dikasih Rp 5.000.
Tapi malam itu saya tak berani pulang, takut tak punya ongkos buat besoknya,” tutur
tamatan sekolah pendidikan guru agama itu. Malam itu ia nekat minta izin seorang yang
bekerja di warteg (warung tegal) kenalannya untuk menginap di bangku belakang
warung. “Semalaman itu saya tak bisa tidur, bingung harus bagaimana,” katanya. Ia
mengatakan, Lilis dua bulan lalu terakhir bekerja di sebuah rumah makan di Tangerang.
Sang istri biasa berangkat kerja siang hari dan sampai di rumah sekitar 23.00 dengan
naik angkutan kota yang berganti beberapa kali. Rabu pagi Kustoyo datang ke Kantor
Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Karawaci untuk melapor kepada Ius, atasannya.
Atas saran Ius, Kustoyo membuat surat klarifikasi bersegel yang menyatakan bahwa

3
Lilis adalah istrinya dan bekerja di sebuah restoran di Tangerang. Surat klarifikasi itu
ditujukan kepada Kepala Dinas Penertiban dan Ketertiban Kota Tangerang. Ketika ia
membawa surat ke kantor tersebut, petugas di sana meminta dia pergi ke Pusat
Pemerintahan (Puspem) Kota Tangerang untuk bertemu dengan petugas bernama Lubis.
“Uang di kantong tinggal dua ribuan. Supaya cukup untuk ongkos pulang, saya jalan
kaki ke Puspem. Tapi di kantor itu saya diminta membayar Rp 300.000 jika ingin
membebaskan istri saya, “ tuturnya lirih. Dia dihukum berdasakan pasal 4 Perda
Pelacuran. Kemudian Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah
tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Pemerintah Kota
Tangerang juga tidak melakukan upaya merehabilitasi nama baik lilis. Lilis mengalami
keguguran pasca peristiwa tersebut. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya
keluar dari pekerjaannya sebagai guru SD golongan II C karena tertekan dengan
tudingan bersitrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling.
Ditengah keterpurukan, Lilis dan keluarganya mulai terlilit gutang dan hidup berpindah-
pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi
(birokrasi.kompasiana.com , 2012).
Pada kasus tersebut Lilis yang menjadi korban salah tangkap akibat
pemberlakuan UU No.8 tahun 2005 tentu menjadi bukti nyata terjadinya diskriminasi
terhadap wanita, terdapat nilai-nilai yang dominan, serta budaya patriarki yang melekat
pada masyarakat Indonesia dan para pejabat-pejabat negara. Pada kasus ini Lilis
ditangkap oleh petugas trantib dengan alasan berlatar belakang Perda tentang larangan
jam malam bagi perempuan, dalam hal ini yang menjadi pokok permasalahannya adalah
perda tersebut jauh dari cita-cita konstitusi yang memandatkan bahwa terjadinya
kesamaan kedudukan bagi setiap orang dihadapan hukum, namun nyatanya kenyataan
itu tidak. Hadirnya Perda tersebut menjadi bayangan menakutkan bagi perempuan,
ketika perempuan yang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dengan
laki-laki justru perda tersebut lahir sebagai bentuk legitimasi khusus bagi kaum laki-laki
sebabagi bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Dalam pasal tersebut terdapat butir
pasal yang menyatakan bahwa setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan,
sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama,

4
rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, disudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di
daerah, pada butir pasal tersebut menyiratkan bahwa setiap orang berhak
mempransangkakan orang lain yang sikap atau perilakunya mencurigakan , padahal
setiap perilaku mencurigakan padangan tersebut akan berbeda tiap orang atau bersifat
relative , sehingga terhadap pebuatan atau perilaku yang mencurigakan tentunya tidak
dapat dipastikan perilaku seperti apa yang mencurigakan. Dengan mudahnya pada butir
pasal tersebut tersirat bahwa setiap orang boleh di prasangkakan sebagai pelacur , yang
mana pada kasus ini seorang wanita yang baru pulang kerja sedang menunggu angkot
disebuah halte pada pukul 20.00 WIB di tangkap oleh trantib yang beralasan Perda no 8
tahun 2005.

Permasalah disini juga dipicu dengan sejumlah lembaga yang telah melakukan
Judicial Review terhadap Perda tersebut ke MA namun MA menolka dengan alasan
bahwa tidak ada yang bertentangan dengan MA tersebut , menurut MA Perda tersebut
tidak ada yang salah terhadap MA tersebut juga tidak menimbulkan multitafsir sehingga
terhadap Judicial Review Tersebut ditolak. Pada perda ini pula terlihat pada nilai-nilai
norma yang dominan dipicu pada pemikiran untuk menjadikan sebuah kota yang agamis
jauh dari prostitusi, sehingga pembuatan perda ini sangat menyiratkan nilai-nilai agama
yang dominan, dimana norma dan nilai-nilai yang dominan tersebut hadir dibeberapa
butir pasal. Pada Perda tersebut pula banyak dimaknai akan Perda yang diskriminatif
terhadap perempuan ini tercermin pada butir pasal yang menyatakan bahwa bolehnya
melakukan prasangkaan terhadap seseorang yang berperilaku mencurigakan di temapt-
tempat umu, halte, dsb yang tercermin pada pasal 4. Diskriminatif ini timbul sebagai
upaya menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang seharusnya tercermin dengan
nilai-nilai agama, menjauhkan daerah dari kegiatan prostitusi dan sebagainya sehingga
pada Perda ini sebagai legitimasi khusus bahwa boleh dilakukan prasangkaan terhadap
seperti apa yang dimaksud pada pasal 4 tersebut. Lebih lagi bahwa pada Perda tersebut
tercermin budaya patriarki yang kental dengan anggapan bahwa terhadap setiap
perempuan mempunyai peran dan kedudukan yang yang tidak setara dengan kaum laki-
laki, perempuan dijadikan sebagai tameng untuk melindungi rusaknya moral laki-laki

5
dan perlindungan khusus terhadap laki-laki bahwa seorang perempuan yang keluar
malam dapat di prasangkakan sehingga dengan mudah Perda ini sebagai alat yng
melahirkan legitimasi khusus bagi rusaknya moral laki-laki dari perbuatan mereka
sehingga timbul dorongan- dorongan bahwa semua penyebab masalah timbul dari
perempuan sebagai pemuas nafsu laki- laki.

6
BAB II

PERMASALAHAN

Apakah didalam UU No 8 tahun 2005 sesuai dengan kondisi sosial masyarakat


ataukah hanya mengandung nilai-nilai dominan sentiment pejaat pembuat Perda
tersebut ?

Perlu dilihat bahwa terhadap Perda tersebut tersirat akan nilai norma yang
dominan. Nilai norma yang dominan seperti apa? perlu di mengerti terlebih dahulu
bahwa nilai apa yang dianut ? serta nilai seperti apa yang dominan. nilai Nilai sosial
adalah segala sesuatu pandangan yang dianggap baik dan benar oleh suatu lingkungan
masyarakat yang kemudian dipedomani sebagai contoh perilaku yang baik dan
diharapkan oleh seluruh warga masyarakat. Nilai sosial dapat diartikan sebagai konsep
abstrak mengenai segala sesuatu yang baik, dicita-citakan, yang penting, dan yang
berguna bagi kehidupan manusia menurut ukuran masyarakat dimana nilai tersebut
dijunjung tinggi. 4 mengenai pengertian nilai itu sendiri menurut Para Tokoh5
Kimball Young: asumsi-asumsi abstrak dan sering tidak disadari mengenai apa
yang benar dan apa yang penting
Woods: petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama mengarahkan
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari
Peper: segala sesatu menegnai yang baik atau yang buruk
Robert M.Z. Lawang: gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas,
berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial orang yang memiliki nilai itu

Pada Perda ini tentunya tersirat nilai-nilai didalamnya yangmana nilai tersebut
berfungsi untuk mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan bertingkahlaku, penentu
bagi warga masyarakat dalam memenuhi peran sosialnya, alat untuk memenuhi peran
sosialnya, alat untuk menumbuhkan solidaritas sosial, sebagai kontrol perilaku manusia
4
“Nilai dan norma sosial." Nilai dan norma sosial. Diakses bulan Desember 9, 2017.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiki4Wf
tYTYAhUDTY8KHZozBRwQFggoMAA&url=http%3A%2F%2Fstudent.uigm.ac.id%2Fassets%2Ffile%2FMateri%
2Fpert_14.pdf&usg=AOvVaw29cei5lfJhgXmjAuSiPN6e.
5
Ibid

7
serta sebagai acuan dan sumber motivasi untuk berbuat sesuatu. Sehingga seyogyanya
tidaklah dapat dikatakan hukum yang baik itu seperti kacamata kuda yang hanya lurus
kedepan tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai sosial didalamnya. Mengenai
pengertian nilai yang dominan Nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting
daripada nilai lainnya. Ukuran dominan tidaknya suatu nilai didasarkan pada hal-hal
berikut.

 Banyak orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar


anggota masyarakat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di segala
bidang.
 Berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
 Tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh,
orang Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-hari
besar keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
 Prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut

Setelah dijelaskan mengenai pengertian nilai dan menurut intensitasnya yakni nilai
yang dominan maka terhadap Perda no 8 tahun 2005 didalamnya tersirat nilai yang
dominan dimasyarakat. nilai yang dominan tersebut terlihat sangat jelas yakni nilai nilai
keagaamaan pada norma agama. Tentulah jelas bahwa pertimbangan dari pembentukan
Perda ini sendiri sebagai upaya atau bentuk guna mencapai tertib sosial menjauhkan
daerah dari kegiatan prostitusi sehingga menciptakan daerah yang aman, tentram, dan
nyaman jauh terhindar dari suatu perbuatan tercela. Namun dapat dilihat bahwa nilai
tersebut tak sepenuhnya murni didasarkan atas nilai keagaamaan tetapi juga sentiment
dari pejabat permbuat Perda tersebut. Pejabat pembuat Perda tersebut memuat suatu
Perda yang terkesan bahwa nilai-nilai agama yang disematkan dalam Perda tersebut
dianggap yang terbaik tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lain dan kondisi sosial
masyarakat. Suatu perda tidaklah boleh didalamnya mengandung unsur-unsur nilai

8
yang dominan dalam satu sisi saja seperti yang terapat dalam Perda tersebut yakni
adanya nilai dominan pada nilai keagamaan sehingga terhadap nilai tersebut
memaksakan kehendak sendiri pada Perda tersebut yang sebenarnya malah menciderai
tujuan dan fungsi hukum itu sendiri. Memanglah dikatakan bahwa nilai dominan
tersebut karena banyak orang yang menganut nilai tersebut, karena pemda Tangerang
sebagai Lembaga yang membuat Perda No 8 tahun 2005 terseut menghendaki adanya
perubahan agar kota Tangerang kearah yang lebih baik jauh dari tempat-tempat
prostitusi serta pelacuran , nilai yang dianut tersebut juga sudah mendarah daging bagi
sebagian masyarakat Indonesia bahwa Nilai agama diatas segalanya. Nilai keagamaan
yang menjadi nilai yang dominan tersebut sebenarnya tak ada yang salah namun apabila
nilai yang dominan tersebut menciderai fungsi dan tujuan hukum itu sendiri serta tidak
sesuai dengan nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat maka tentunya terhadap nilai
tersebut hendaklah tidak boleh dijadikan sebagai sesuatu bentuk yang memaksa, karean
seperti yang kita tahu hukum itu sendiri bukanlah sesuatu yang lurus kedepan seperti
kacamata kuda tetapi juga dengan memperhatikan nilai-nilai sosial dan kondisi sosial
masyarakat. Nilai agama yang dominan disini yang menjadi pemicu yang kuat
terbentuknya Perda No 8 tahun 2005 adalah nilai-nilai yang oleh pembuat kebijakan itu
sendiri dimaknai sebagai nilai dogmatis, yakni pemahaman yang kuat mengenai dogma
dogma agama dimaknai sebagai nilai yang harus dan pasti benar , fanatisme terhadap
nilai agama yang dominan sehingga nilai itu sendiri menciderai fungsi dan tujuan
hukum itu sendiri. Nilai agama sebagai nilai utama yang menjadi dasar dari pembuatan
Perda itu sendiri juga sangat erat kaitannya dengan sentimen pejabat Pembuat
kebijakan itu , nilai-nilai yang dianutnya sengaja dimasukkan dan dipaksakan dalam
Perda sebagai asumsi bahwa nilai yang dianut tersebut wajib dan harus diikuti karena
kebenaran yang hakiki didalamnya, padahal apa yang dianut oleh masyarakat tidaklah
semua dipahami yang sama, karena pada akhirnya nilai agama yang dominan tersebut
menimbulkan asumsi bahwa terhadap sesamanya tidaklah boleh ada perbedaan,
terhadap suatu permasalahan dianggap sesuatu yang baku , padahal terhadap
permasalahan sosial tidaklah terdapat nilai-nilai atau patokan-patokan yang baku
sehingga didalam nilai agama yang dominan tersebut akibat adanya penanaman nilai
agama yang dominan dan sarat akan sentiment pejabat pembuat keijakan tersebut justru

9
menimbulkan suatu permasalahan yang baru yakni terhadap nilai yang dominan
didalamnya diisaratkan bahwa kebolehan untuk mencurigai sesama dalam hal seseorang
yang berbuat mencurigakan di tempat-tempat sepi, halte, dsb yang tercantum dalam
pasal 4 Perda no 8 tahun 2005 tersebut, padahal nilai agama yang sesungguhnya
tidaklah demikian, nilai agama itu sendiri mengajarkan untuk berprasangka baik
terhadap sesama, tidak ada ajaran agama manapun yang mengajarkan untuk
berprasangka buruk kepada sesama terhadap perbuatan yang mencurigakan.
Prasangkaan buruk terhadap orang lain : Islam sendiri melarang seseorang menuduh
zina orang lain, dan hal itu diatur dalam jarimah qadzf (had menuduh orang baik-baik
melakukan zina), namun dalam implementasinya ketentuan perda dapat diberlakukan
berdasarkan pada anggapan, penilaian, dan keyakinan individu bahwa seseorang telah
melakukan pelacuran seperti yang tercantum dalam pasal 4 dan 5 perda Kota Tangerang
Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, hal ini tentu bertentangan
dengan norma agama. Terhadap perbuatan yang tercela itu sendiri tidaklah ada bentuk-
bentuk baku yang mengarah pada perbuatan itu. Sehingga nilai agama yang dominan
tersebut merupakan sentimen pejabat pembuat Perda tersebut yang salah mengartikan
bagaimana ajaran dari nilai agama itu sendiri serta memaksakan kehendaknya untuk
menjadikan daerah yang dianutnya untuk menjadi apa yang dikehendaki nya melalui
kebijakan yang didalamnya terdapat nilai yang dominan.

Apakah UU No 8 Tahun 2005 dapatkah dikatakan sebagai UU yang hadir


sebagai bentuk untuk perlindungan terhadap kaum perempuan ataukah sebagai bentuk
legitimasi khusus bagi laki-laki ?

Perda No 8 tahun 2005 cenderung sebagai Perda yang mendiskriminasikan


perempuan. Pada bunyi butir pasal 4 tersebut didalamnya terkandung bahwa
diperbolehkannya terhadap orang lain untuk mencurigakan orang lain yang melakukan
perbuatan yang mencurigakan pada tempat-tempat sepi, halte, dsb.. sehingga
menibulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur , yang mana didalamnya tersirat
bahwa mengenai pelacuran itu maksnanya memang bukan hanya pelacuran itu pada
perempuan saja, ada juag bentuk pelacuran laki-laki, namun terhadapnya mengenai
kasus ini kasus salah tangkap mengenai konotasi pelacuran dimaknai oleh kegiatan

10
prostitusi PSK perempuan . mengapa korban salah tangkap ini terjadi pada perempuan ?
padahal pelacuran sendiri tidak hanya seharusnya dimaknai dengan pelacuran
perempuan saja tetapi juga terdapat pelacuran laki-laki. Mengenai batasan jam malam
bagi perempuan yang tersirat pada Perda no 8 yahun 2005 tersebut mengindikasi bahwa
patutlah dicurigai perempuan yang pada malam hari “masih keluyuran diluar rumah”,
padahal pada kasus ini Lilis (korban) yang sehabis pulang kerja sedang menunggu
angkot yang sedang menunggu di halte,tak ada perbuatan mencurigakan didalamnya,
seorang buruh pabrik yang baru pulang kerja sedang menunggu angkot , dapatkah
terhadapnya dikatakan sedang melakukan perbuatan yang mencurigakan selain
menunggu angkot?. Padahal pada jaman sekarang banyak perempuan yang bekerja
hingga larut malam demi mencukupi kebutuhannya, hal itu didasari atas semakin
meningkatkan kebutuhan yang tidak dapat diimbangi apabila hanya mengadnalkan
penghasilan dari suami saja. Namun, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup lantas
mengapa Perda ini justru timbul sebagai upaya yang untuk mendiskriminasikan
perempuan, alih alih sebagai upaya perlindungan justru Perda ini timbul dan hadir
menciderai tujuan hukum itu sendiri.

Diskriminasi yang ditujukan Perda ini juga terlihat dengan korban salah tangkap
yang berlatar belakang Perda ini , yakni Lilis korban salah tangkap yang telah dirugikan
hak-haknya serta tak ada nya pemulihan harkat dan martabatnya oleh negara sehingga
mengakibatkan depresi, tentu pendiskriminasian Perda tersebut membawa dampak
buruk bagi perempuan. Alih-alih menciptakan Perda yang mengakomodasi perempuan ,
karean perempuan dianggap sebagai kelompok yang rentan terhadap kejahatan justru
malah menimbulkan permasalahan yang baru, Perda yang justru menyudutkan
perempuan tersebut mengisyaratkan bahwa hanya perempuan yang dapat dihukum,
karena makna dari pelacuran yang erat kaitannya dengan perempuan. Bahkan justru
kita jumpai , mengenai penjaringan pelacuran oleh petugas trantib hamper semuanya
adalah perempuan, mereka yang terjaring adalah perempuan bukan laki-laki , sehingga
terlihat bahwa Perda ini ditujukan bagi kaum perempuan. Pada Perda ini yang
menyematkan stigma bahwa Perda ini sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan
laki-laki bahwa pelacuran hanya terjadi pada kaum perempuan dan terhadap prostitusi

11
hanya merupakan kesalahan perempuan bukan laki-lakinya. Padahal kaum laki-laki
tersebut juga merupakan actor penting dari jalannya suatu prostitusi, tidak mungkin
usaha prostitusi dapat berjalan lancar jika tidak ada aktor yang merupakan peran utama
dari usaha prostitusi. Pelacuran atau Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit
masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha
pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin pro-
stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan
persundalan, percabulan, pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal.
Dikenal pula dengan istilah WTS atauWanita Tuna Susila. Secara etimologis prostitusi
berasal dari kata prostitutio yang berarti hal menempatkan dihadapkan, hal menawar.
Adapula yang menghubungkannya dengan kata prostare yang berarti menjual atau
menjajakan.6 Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004)
adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks
dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (dalam Koentjoro 2004)
mendefinisikan seorang pelacur sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk
kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki
kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya.7

Perda ini menunjukan bahwa setiap perempuan patut di prasangkakan buruk,


Perda ini memberi kewenangan pada aparat trantib untuk menangkap perempuan mana
saja yang dicurigai sebagai pelacur. Akibatnya banyak terjadi penangkapan terhadap
perempuan baik-baik yang kebetulan keluar malam seperti pulang kerja. Padahal dalam
system manapun seseorang tidak boleh ditangkap dan dihukum hanya dilandasi
kecurigaan. terhadap perempuan boleh kepada nya dianggap sebagai pelacur manakala
pada malam hari ia berada ditempat-tempat yang oleh menurut psal 4 Perda No 8 Tahun
2005 sebagai dasar hukum seseorang boleh memprasangkakan buruk seorang
perempuan. Munculnya Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran, dalam implementasinya telah membawa korban tidak sedikit

6
Konsultasi-Skripsi-Tesis. "Kresna Konsultan Skripsi Yogyakarta." Judul Skripsi Psikologi/Sosiologi: Pengertian
Pelacuran. January 01, 1970. Di akses Bulan December 10, 2017. http://skripsi-konsultasi.com/2012/12/judul-
psikologisosiologi.html.
7
"Definisi Pelacuran." PSYCHOLOGY. Diakses bulan December 10, 2017.
http://www.psychology.com/2012/10/definisi-pelacuran.html.

12
kaum perempuan, sehingga kaum perempuan di Kota Tangerang merasa trauma
atau takut untuk melakukan aktifitas di malam hari, terutama bagi perempuan yang
bekerja menjadi buruh pabrik di sekitar kota Tangerang yang mana sering pulang kerja
pada malam hari. Padahal saat ini cukup banyak perempuan yang bekerja di sektor
industri dan jasa. Dalam penerapan Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran ini, nampak dengan jelas bahwa akses terhadap keadilan
(access to justice) telah diabaikan yakni Perda ini berdampak terhadap ekonomi kaum
perempuan yang mana takut terkena razia apabila bekerja pada malam hari dan dalam
aplikasinya, hanya kaum perempuanlah yang terkena razia. Oleh karena sebab Perda ini
dalam prakteknya lebih mendiskreditkan perempuan dengan kebijakan yang multitafsir
yang memakan korban perempuan dan warga Tangerang yang dicurigai pelacur, maka
dapat diketahui bahwa Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran ini bertentangan dengan UU No 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Karena dalam UU tersebut menjelaskan bahwa semua warga Negara berkedudukan
sama di dalam hukum dan pemerintah, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
Sebenarnya konflik yang di hasilkan dari adanya Perda ini sendiri bertujuan
untuk menciptakan perubahan dan mengatasi masalah sosial, masalah sosial yang
hendak diatasi Perda No. 8 Tahun 2005 tentang pelacuran tersebut yakni masalah
pelacuran (prostitusi) yang marak terjadi di kota Tanggerang. Terbukti kini keberadaan
PSK tidak semarak dulu sebelum adanya perda tersebut. Kepala Dinas Ketentraman dan
Ketertiban Kota Tangerang, Ahmad Lutfi mengatakan semenjak Perda No 8 Tahun2005
diberlakukan, jumlah PSK diwilayahnya menurun, yaitu dari 200 PSK, kini tinggal 50
orang PSK. 8 Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran, pada dasarnya dibuat
Pemerintah Kota Tangerang selain untuk menciptakan masyarakat yang berakhlakul
karimah, pemerintah juga ingin membantu kepolisian dalam rangka menekan angka
kriminalitas yang kerap ada dan terjadi. Teori ini dibangun dalam rangka menentang
secara langsung teori struktural fungsional. Oleh karena itu, proposisi yang

8
Sumantri Handoyono, Tangerang MIOL., diakse pada 10 Desember 2017 dari
http://www.Kaskus.us/showthread.php?=308011.

13
dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam
teori struktural fungsional. Salah satu tokoh teori konflik adalah Ralp Dahrendorf.

Kalau menurut teori struktural fungsional masyarakat berada dalam kondisi


statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, teori konflik mengatakan
yang sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai
oleh pertentangan yang terus-menerus terjadi di antara unsur-unsurnya. Kalau menurut
teori struktural fungsional setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap
stabilitas, teori konflik melihat setiap elemen memberikan sumbangan terhadap
disintegrasi sosial. Selanjutnya, kalau teori struktural fungsional melihat anggota
masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas umum,
teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat tersebut hanya
disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan
yang berkuasa.

Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Distribusi kekuasan dan
wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik
sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai
posisi dalam masyarakat. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu
pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah
sah, setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi.
Dengan demikian, masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai “persekutuan yang
terkoordinasi secara paksa”.

Karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang
dikuasai, dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan.
Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan
secara substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan
itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan
status quo, sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-
perubahan.

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe,
Kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok

14
semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
Sementara itu, kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Menurut Dahrendorf, konflik dan perubahan sosial sangat berhubungan. Konflik


memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang
terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur
sosial. Kalau konflik terjadi secara hebat, perubahan yang timbul akan bersifat radikal.
Begitu juga kalau konflik disertai oleh penggunaan kekerasan, perubahan struktural
akan efektif.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah teori konflik ternyata terlalu


mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping
konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Teori
konflik juga mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang
menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak
pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.9

Dengan diberlakukannya perda Tangerang nomor 8 tahun 2005 tidak menutup


kemungkinan akan terjadi tindak kejahatan lainnya. Seperti halnya tindak pidana
pemerkosaan, penganiayaan atau bahkan pembunuhan. Hal ini dapat terjadi akibat dari
ketidak beradaannya tempat prostitusi, sehingga orang-orang seperti preman, pria
hidung belang dan orang lain yang ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya ditempat
prostitusi menjadi terhalangi akibat perda tersebut, sehingga tidak tertutup
kemungkinan pemerkosaan akan terjadi sekaligus penganiayaan atau bahkan
pembunuhan yang dilakukan orang-orang yang ingin menyalurkan kebutuhan
biologisnya kepada perempuan baik-baik.

Pada kondisi demikian perempuan yang akan menjadi kambing hitam dalam
persoalan tersebut, terlebih perempuan yang dianggap sebagai pemuas nafsu laki-laki,

9
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, cet. 8 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),
hlm. 21.

15
maka terdapat anggapan bahwa justru tepatkah bila hadirnya UU no 8 tahun 2005 ini
sebagai legitimasi atas khusus bagi laki-laki ? karena jelas bahwa masih ter stigma nya
budaya patriarki masyarakat bahwa kedudukan wanita jelas dibawah laki-laki menurut
Yuniyanti, sebagian besar kasus kekerasan terjadi karena adanya budaya patriarki yang
masih kental di masyarakat. Budaya patriarki menempatkan posisi sosial kaum laki-laki
lebih tinggi daripada kaum perempuan. Sehingga, masyarakat cenderung menganggap
wajar adanya perilaku pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apa pun.
Bahkan, seringkali perempuan yang menjadi korban pelecehan justru disalahkan,
misalnya karena berpakaian yang tak sesuai norma kesopanan.10 Maka demikian dengan
hadirnya Perda tersebut , dianggap seagai jalan keluar untuk melindungi perempuan
karnan dianggap sebagai kelompok yang rentan justru hal ini menjdai tanda Tanya
besar, bukankah hal ini malah menimbulkan bahwa ukan hanya mengenai perempuan
yang harus di edukasi atau bahkan bagaimana caranya mengusir prostitusi. Bukankah
dengan hadirnya Perda yang demikian menimbulkan pertanyaan besar bahwa maka
terhadap perbuatan laki-laki yang senang dalam melakukan prostitusi yang mana
permepuan itu menjadi tidak punya pilihan terhadap laki-laki tersebut juga harus di
edukasi ? bukankah dengan hadirnya Perda justru meligitimasi kebejatan moral yang
ada pada laki-laki sehingga pada laki-laki tersebut dianggap maklum adanya bahwa
terhadap laki-laki dianggap maklum jika memang laki-laki itu memang begitu adanya
dan tidak dapat disalahkan. Padahal pada dunia prostitusi itu sendiri , laki-laki menjadi
aktor penting dalam jalannya sebuah prostitusi, seperti teori ekonomi supply and
demand maka di ibaratkan bahwa laki-laki tersebut diibaratkan sebagai demand yakni
orang yang meminta , maka ini merupakan sesuatu yang adil apabila jika perda No 8
tahun 2005 itu tentang pelacuran. Padahal pelacuran itu sendiri konotasinya akan
kembali ke kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh para perempuan (PSK) padahal
kegiatan pelacuran itu ada juga kegiatan pelacuran laki-laki bukan hanya perempuan.

10
Media, Kompas Cyber. "Kaum Perempuan di Antara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi."
KOMPAS.com. Diakses bulan Desember 11, 2017.
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.
regulasi .

16
Bukankah Perda ini sendiri perda yang maskulin ? merumuskan persoalan
pelacuran menyebabkan moralitas menjadi yang terdepan ketika mencoba
mengintervensi masalah ini dalam kebijakan publik. Meski pada kenyataannya industri
pelacuran melibatkan banyak pihak, baik laki-laki maupun perempuan, implementasi
peraturan atas pelacuran lebih sering berbentuk penertiban pelacuran yang mengarah
pada penangkapan perempuan pekerja seksual. Hal ini disebabkan peraturan memiliki
wajah yang maskulin atau berjenis kelamin laki-laki. Tersudutnya perempuan
dikarenakan aturan dan implementasi aturan itu berangkat dari gagasan pikiran bahwa
perempuanlah yang memiliki rahim, memiliki daya tarik seksual, dan yang harus
menjaga moral masyarakat. Peraturan yang berwajah maskulin atau berjenis kelamin
laki-laki ini juga memiliki sisi lain yaitu perempuan kemudian yang dikriminalisasi.
Perempuan menjadi lebih tersudut ketika mereka dikriminalisasi karena dianggap telah
melakukan pelanggaran peraturan. Mereka dikenakan sanksi baik berbentuk kurungan
badan atau denda, yang besarnya masing-masing peraturan lokal berbeda-beda (lihat
tabel 2), dimana untuk sanksi denda, peraturan Pemerintah Kota Tangerang menetapkan
jumlah terbesar sebanyak lima belas juta rupiah. Padahal, keterlibatan perempuan dalam
praktik-praktik prostitusi atau pelacuran perlu ditelusuri lebih jauh. Pelacuran bukan
semata persoalan moralitas perempuan. Pelacuran juga terkait dengan persoalan
kemiskinan struktural. Bahkan pelacuran pun seringkali merupakan bentuk eksploitasi
perempuan yang terkait dengan persoalan yang lebih besar yaitu trafficking. Seringkali,
tertangkapnya para perempuan pekerja seks tidak ditindaklanjuti lebih jauh dengan
menelusuri persoalan-persoalan makro itu dikarenakan para aparat tidak mampu melihat
keterkaitannya dan sudah terpaku pada asumsi-asumsi yang sangat patriakrhis.

17
KESIMPULAN

Apakah didalam UU No 8 tahun 2005 sesuai dengan kondisi sosial masyarakat


ataukah hanya mengandung nilai-nilai dominan sentimen pejabat pembuat Perda
tersebut ?

Apakah UU No 8 Tahun 2005 dapatkah dikatakan sebagai UU yang hadir


sebagai bentuk untuk perlindungan terhadap kaum perempuan ataukah sebagai bentuk
legitimasi khusus bagi laki-laki ?
Mengapa Perda No 8 tahun 2005 cenderung Perda yan maskulin ?
Siapakah pemeran-pemeran yang ikut andil didalam dunia prostitusi?
Bagaimana Perda tersebut hadir dan mengubah keadaan dengan konflik-konflik
yang ditimbulkannya?

18

Anda mungkin juga menyukai