Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PRE-EKLAMPSIA

DISUSUN OLEH

AULIA SAFITRI
NIM. I4052181024

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2018
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi
Preeklamsia merupakan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai proteinuria (Prawirohardjo, 2012).
Prawirohardjo (2005, dalam Rukiyah dan Yulianti, 2010) mengatakan
bahwa preeklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria
dan edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada
mola hidatidosa.
Muchtar (1998, dalam Rukiyah dan Yulianti, 2010) mengatakan bahwa
preeklamsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan
dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema
yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma. Ibu tersebut tidak
menunjukkan tanda-tanda kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya.
Preeklamsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan atau edema
patologik, biasanya terjadi setelah minggu ke-20 (atau lebih awal pada adanya
kasus penyakit trofoblastik seperti mola atau hidrops). Terbagi atas preeklamsia
ringan dan berat (Dewi dan Sunarsih, 2011).
Dapat disimpulkan bahwa preeklamsia adalah hipertensi yang terjadi pada
ibu hamil yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu.
1.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab preeklamsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai “maladaptation syndrome” akibat vasospasmae general dengan segala
akibatnya (Sujiyanti, 2009).
Penyebab preeklamsia saat ini tidak bisa diketahui dengan pasti, walaupun
penelitian yang dilakukan terhadap penyakit ini sudah sedemikian maju.
Semuanya baru didasarkan pada teori yang dihubung-hubungkan dengan kejadian
Itulah sebab preeklamsia disebut juga “disease of theory”, gangguan kesehatan
yang berasumsi pada teori. Adapun teori-teori tersebut antara lain:
1. Peran prostasiklin dan tromboksan
Pada preeklamsia dan eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada
kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran faktor imunologi
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul
lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada
kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya
sistem imun pada penderita preeklamsia-eklamsi. Beberapa wanita dengan
preeklamsia-eklamsia mempunyai komplek imun dan serum, beberapa studi
juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada preeklamsia-
eklamsia diikuti proteinuria. Stirat (1996) menyimpulkan meskipun ada
beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi
komplemen terjadi pada preeklamsia-eklamsia, tetapi tidak ada bukti bahwa
sistem imunologi bisa menyebabkan preeklamsia-eklamsia.
3. Faktor genetik
Beberapa bukti menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
preeklamsia-eklamsia antara lain:
a. Preeklamsia hanya terjadi pada manusia;
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi preeklamsia-eklamsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklamsia-eklamsia;
c. Kecenderungan meningkatnya frekwensi preeklamsia-eklamsia pada anak
dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklamsia-eklamsia dan bukan pada
ipar mereka;
d. Peran Renin-Angiotensi-Aldosteron sistem (RAAS).
Beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklamsia dan
eklamsia antara lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan alira darah ke
rahim. Faktor resiko terjadinya preeklamsia, Preeklamsia umumnya terjadi
pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan
pada wanita diatas 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah: riwayat tekanan
darah tinggi yang kronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklamsia
sebelumnya, riwayat preeklamsia pada ibu atau saudara perempuan,
kegemukan, mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat kencing manis,
kelainan ginjal, lupus atau ramatoid arthritis (Rukiyah dan Yulianti, 2010)
Berbagai faktor risiko pre eklamsia (Wibowo dan Rachimhadi, 2006):
1. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a. Kelainan kromosom
b. Mola Hydatidosa
c. Hydrops fetalis
d. Kehamilan multifetus
e. Inseminasi multifetus
f. Kelainan struktur kongenital
2. Faktor spesifik maternal
g. Primigravida
h. Usia >35 tahun
i. Usia <20 tahun
j. Ras kulit hitam
k. Riwayat pre-eklamsia pada keluarga
l. Nulipara
m. Pre-eklamsia pada kehamilan sebelumnya
n. Stres
1.3 Klasifikasi
Menurut (Mochtar, 2011) Pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat dengan
tanda dan gejala sebagai berikut :
1. Pre-eklamsia Ringan
Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteimuria dan
edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan. Gejala
ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.
Penyebab preeklamsia ringan belum diketahui secara jelas, penyakit ini dianggap
sebagai “maladaptation syndrome” akibat vasospasme general dengan segala
akibatnya (Rukiyah dan Yulianti, 2010).
Gejala klinis preeklamia ringan meliputi :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang, kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih atau kenaikan sistolik 30
mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Oedema umum, kaki, jari tangan dan muka atau kenaikan berat badan 1 kg
atau lebih perminggu.
c. Proteiuria kwantittif 0,3gr atau lebih per liter, kwalitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau midstream.
2. Pre-eklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan
edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Rukiyah dan Yulianti, 2010).
Gejala klinis preeklamia berat meliputi:
a. Tekanan darah 160/110mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5gr atau lebih per liter.
c. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, mual-muntah, dan rasa
nyeri di epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis.

1.4 Patofisiologi
Terjadinya preeklampsia dari berbagai teori tersebut diatas, secara garis
besar ditemukan berbagai kondisi yang sama. Yakni terjadi gangguan aliran darah
maternal ke plasenta, akibat perkembangan arteri spiralis. Pada kehamilan
normal, lapisan muskuloelastis arteri spiralis secara perlahan digantikan oleh
fibrosa sehingga dapat berdilatasi menjadi sinusoid vaskuler yang lebar.
Gangguan pada perubahan lapisan tersebut terjadi pada preeklampsia dan
eklampsia, sehingga lumen menjadi sempit. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya hipoperfusi plasenta. Kondisi ini mengakibbatkan terjadinya hipoksia
dan pada plasenta. Penyempitan tersebut juga menyebabkan terjadinya tekanan
pembuluh darah mikro uteroplasenta yang mengakibatkan kerusakan endotel.
Kerusakan endotel memicu pelepasan mediator-mediator yang bersifat
vasokonstriktor seperti prostasiklin, prostaglandin E2 dan NO ke sirkulasi
sistemik, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. (Prawihardjo, 2012;
Cunningham, dkk, 2010).
1.5 Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis preeklamsia ringan meliputi:
a. Kenaikan tekanan darah sistol 30 mmHg atau lebih, diastol 15 mmHg atau
lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau
lebih atau sistol 140 mmHg sampai kurang 160 mmHg, diastol 90 mmHg
sampai 110 mmHg;
b. Proteinuria : secara kuantitatif lebih 0,3 gr/liter dalam 24 jam atau secara
kualitatif positif 2 (+2);
c. Edema pada pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau
tangan.
2. Gejala dan tanda preeklamsia berat :
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg;
b. Tekanan darah diastolik > 110 mmHg;
c. Peningkatan kadar enzim hati/ dan ikterus;
d. Trombosit <100.000/mm3;
e. Oligouria <400 ml/24 jam;
f. Proteinuria lebih dari 3 g/ liter;
g. Nyeri epigastrium; Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal
yang berat;
h. Perdarahan retina;
i. Odem pulmonum.
Penyulit lain juga bisa terjadi, yaitu kerusakan organ-organ tubuh
seperti gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan
pembekuan darah, sindroma HELLP, bahkan dapat terjadi kematian pada
janin, ibu atau keduanya bila preeklamsia tidak segera diatasi dengan baik dan
benar (Rukiyah, dkk 2010)
Gambaran klinis mulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema
kaki atau tangan, peningkatan tekanan darah, dan terakhir terjadi proteinuria.
Pada preeklamsia ringan, gejala subjektif belum dijumpai, tetapi pada
preeklamsia serta diikuti keluhan subjektif berupa sakit kepala terutama
daerah frontalis, rasa nyeri di daerah epigastrium, gangguan mata, penglihatan
menjadi kabur, terdapat mual sampai muntah, gangguan pernapasan sampai
sianosis, dan terjadi gangguan kesadaran. Dengan pengeluaran proteinuria,
keadaan penyakit semakin berat, karena terjadi gangguan fungsi ginjal.
1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr %), hematokrit
meningkat (nilai rujukan 37-43 vol %), trombosit menurun (nilai rujukan
150-450 ribu/mm3).
2) Pemeriksaan Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.

3) Pemeriksaan fungsi hati


Billirubin meningkat (N= <1mg/dl), LDH (Laktat Dehidrogenase)
meningkat, Aspartat aminomtransfarase (AST) >60U/L, serum glutaman
pirufat transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45U/ml), Serum
glutamate oxcaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= <31U/L),
Total protein serum menurun (N= 6,7-8,7 g/dl)
4) Tes kimia darah
Asam urat meningkat (N= 2,4-2,7 mg/dl)
2. Radiografi
1) Ultrasonografi
Ditemukannya retardasi pertumbuhan janin intrauterus, pernapasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit
2) Kardiotografi:
Diketahui DJJ lemah
1.7 Penatalaksanaan
Menurut Manuaba (2010), penatalaksanaan pada klien dengan
preeklamsia adalah sebagai berikut:
1. Preeklamsia ringan
Penanganan preeklamsia ringan dapat dilakukan dengan dua cara
tergantung gejala yang timbul yakni:
a. Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklamsia ringan, dengan cara:
1) Ibu dianjurkan banyak istirahat (berbaring tidur/miring),
2) Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam;
3) Pemberian sedativa ringan: tablet phenobarbital 3x30 mg atau
diazepam 3x2 mg peroral selama 7 hari (atas instruksi dokter);
4) Roborantia;
5) Kunjungan ulang setiap 1 minggu;
6) Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin, hemotokrit, trombosit, urin
lengkap, asam urat darah, fungsi hati, fungsi ginjal;
b. Penatalaksanaan rawat tinggal pasien preeklamsia ringan berdasarkan
kriteria
Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan
adanya perbaikan dari gejala-gejala preeklamsia; kenaikan berat badan ibu
1 kg atau lebih perminggu selama 2 kali berturut-turut (2 minggu); timbul
salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda preeklamsia berat.
Perawatan obstetri pasien preeklamsia ringan meliputi:
a. Kehamilan preterm (kurang 37 minggu);
Bila desakan darah mencapai normotensif selama perawatan,
peralinan ditunggu sampai preterm; bila desakan darah turun tetapi belum
mencapai normotensif selama perawatan maka kehamilan dapat diakhiri
pada umur kehamilan 37 minggu atau lebih;
b. Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih);
Persalinan di tunggu sampai terjadi onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada taksiran tanggal
persalinan;
c. Cara persalinan
Persalinan dapat dilakukan secara spontan bila perlu
memperpendek kala II.
2. Preeklamsia Berat
Untuk penanganan preeklamsia berat dapat ditinjau dari umur
kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama
perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
a. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah
pengobatan medicinal;
Perawatan aktif, sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada
setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal assesment yakni pemeriksaan
Nonstress Test (NST) dan ultrasonografi (USG), dengan indikasi (salah
satu atau lebih) yakni:
1) Ibu: usia kehamilan 37 minggu atau lebih; adanya tanda-tanda atau
gejala impending eklamsia, kegagalan terapi konservatif yaitu selama
6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah
24 jam perawatan medicinal, ada gejala-gejala status quo (tidak ada
perbaikan);
2) Janin: hasil fetal assesment jelek (NST dan USG): adanya tanda-tanda
Intra Uterin Growt Retardation (IUGR);
3) Hasil laboratorium: adanya “HELP Syndrome” (hemolisis dan
peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
b. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah
pengobatan medicinal.
Perawatan konservatif atau Pengobatan medicinal pasien
preeklamsia berat (dilakukan dirumah sakit dan atas instruksi dokter)
yaitu:
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring kesatu sisi.
3) Tanda vital diperiksa setiap 30 menit, refleks patella setiap jam;
4) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-
125 cc/jam) 500 cc;
5) Berikan antasida;
6) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam;
7) Pemberian obat anti kejang MgSO4: deuretikum tidak diberikan
kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongesif atau
edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IM.
Antihipertensi diberikan bila: tekanan darah sistolik lebih 180
mmHg, diastolik lebih 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran
pengobatan adalah tekanan sistolis kurang 105 mmHg (bukan kurang 90
mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta, dosis antihipertensi
sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya. Bila dibutuhkan
penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-obat
antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang
bisa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan
dengan tekanan darah.
Bakri (1997 dalam Rukiyah dan Yulianti, 2010) mengatakan
bahwa Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet
anti hipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5 kali.
Bersamaan dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama
mulai diberikan secara oral. Pengobatan jantung jika ada indikasinya
yakni ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat
dengan cedilanid D. Lain-lain: konsul bagian penyakit dalam/jantung,
mata; obat-obat antipiretik diberikan jika suhu rectal lebih 38,50C dapat
dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon
2cc IM; antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampisilin
1gr/6jam/IV/hari; anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena
kontraksi uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja,
selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.
1.8 Komplikasi
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklamsia dan eklamsia.
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada pre-eklamsia berat dan eklamsia
(Wibowo dan Rachimhadi, 2006):
1. Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan
lebih sering terjadi pada pre-eklamsia.
2. Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada pre-eklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan
untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis
Penderita dengan pre-eklamsia berat kadang-kadang menunjukkan
gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan
pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah
merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita
eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklamsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru-paru.
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada pre-eklamsia/eklamsia merupakan akibat
vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi
ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat
diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP
Sindrom HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low
platelet. Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi
hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif
[cepat lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan
membran eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom (Manuaba,
2010).

9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang- kejang
pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular cogulation). DIC
adalah penyakit gangguan sistem koagualsi terutama gangguan thrombin.
Karekteristik dari DIC adalah meningkatnya produksi thrombin dalam
pembuluh darah disertai dengna meningkatnya keluar-masuk fibrinogen dan
trombosit. Gejala DIC mirip dengan sindroma HELLP dimana terjadi
gangguan thrombin tetapi pada mikroangiopati gangguan utama adalah
pemakaian trombosit meningkat, tetapi kadar fibrinogen normal dan tidak ada
koagulopati.
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Dapat meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, status pekerjaan,
status perkawinan, pendidikan.
2. Keluhan utama
a. Sakit kepala terutama daerah frontalis
b. Rasa nyeri di daerah epigastrium, terdapat mual sampai muntah,
c. Gangguan pernapasan sampai sianosis
d. gangguan kesadaran.
e. Gangguan mata, penglihatan menjadi kabur,
f. Kedua tungkai edema
g. Apatis gelisah
3. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan keluhan sakit kepala, penglihatan kabur dan
berkunang-kunang, kedua tungkai edema, keadaan umum klien apatis gelisah.
4. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
Faktor risiko pre-eklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi
kronis, dan kelainan vaskular jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan
nefropati. Faktor risiko lain berhubungan dengan kehamilan itu sendiri atau
dapat spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin.
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan
fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda
vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan
B6 (Bone).

a. Pernafasan B1 (breath)
1) Inspeksi : Bentuk dada simetris kiri kanan, tidak
tampak lesi, edema dan kemerahan daerah dada. Saat
inspirasi-ekspirasi dada kiri dan kanan seimbang, tidak
ada retraksi dinding dada maupun depresi sternum.
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, edema, maupun massa
teraba. Fokal fremitus terdengar seimbang.
3) Perkusi : Suara paru saat perkusi sonor
4) Auskultasi : Suara nafas terdengar vesikuler
b. Kardiovaskular B2 (blood)
1) Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak tampak
lesi, edema maupun kemerahan
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, edema, maupun massa
teraba. Ictus kordis teraba di IC 4 dan 5
3) Perkusi : Saat perkusi menentukan batas atas, bawah,
kiri, kanan jantung tidak terdapat pembesaran ruang
jantung
4) Auskultasi : Suara S1 dan S2 seimbang
c. Persyarafan B3 (brain)
1) Penglihatan (mata) : penglihatan kabur dan berkunang-kunang
2) Pendengaran (telinga):Klien tidak mengalami
gangguan pada telinga dan pendengaran.
Terganggu bila mengenai lobus temporal
3) Penciuman (hidung) :Klien tidak mengalami
gangguan pada penciuman. Mengeluh bau yang
tidak biasanya, pada lobus frontal
4) Pengecapan (lidah) :Klien tidak mengalami
gangguan pada fungsi pengecapan

d. Perkemihan B4 (bladder)
Inspeksi : Tidak terdapat lesi, kemerahan, edema pada daerah genital.
Tidak ada hipospadia atau kelainan lain. Urine berwarna
bening, tidak ada disuria, hematuria.
e. Pencernaan B5 (bowel)
1) Inspeksi : Mukosa bibir terlihat sedikit kering,
lidah bersih, abdomen tampak datar, tidak terdapat lesi,
kemerahan, edema, ataupun massa yang tampak
2) Palpasi : Palpasi 4 kuadran tidak terdapat nyeri. Palpasi
hepar dan limfa apakah nyeri atau terdapat pembesaran
3) Perkusi : Perkusi 4 kuadran terdengar timpani
4) Auskultasi : Bising usus 15x/menit
f. Muskuloskeletal B6 (bone)
Inspeksi : Ekstremitas atas dan bawah terlihat normal
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin
untuk wanita hamil adalah 12-14 gr %), hematokrit meningkat (nilai
rujukan 37-43 vol %), trombosit menurun (nilai rujukan 150-450
ribu/mm3).
2) Pemeriksaan Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Billirubin meningkat (N= <1mg/dl), LDH (Laktat Dehidrogenase)
meningkat, Aspartat aminomtransfarase (AST) >60U/L, serum
glutaman pirufat transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45U/ml),
Serum glutamate oxcaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N=
<31U/L), Total protein serum menurun (N= 6,7-8,7 g/dl)

4) Tes kimia darah


Asam urat meningkat (N= 2,4-2,7 mg/dl)
b. Radiografi
1) Ultrasonografi
Ditemukannya retardasi pertumbuhan janin intrauterus, pernapasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit
2) Kardiotografi:

Diketahui DJJ lemah

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (nyeri epigastrium, sakit kepala)
2. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d hipertensi
3. Kelebihan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi
4. Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
5. Risiko cidera b.d disfungsi sensorik

6. Ansietas b.d perubahan dalam status kesehatan


7. Defisiensi pengetahuan b.d kurang pajanan

2.3 Intervensi Keperawatan


DIAGNOSA NOC NIC
Nyeri akut Tujuan 1. Observasi reaksi nonverbal
berhubungan 1. Pain Level dari ketidaknyamanan
2. Monitor penerimaan pasien
dengan agen 2. Pain Control
tentang manajemen nyeri
cidera 3. Comfort Level
3. Kaji kutural yang mengkaji
biologis, Kriteria Hasil
respon nyeri
1. Mampu mengontrol nyeri 4. Lakukan pengkajian nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu secara komprehensif
menggunakan tehnik termasuk lokasi,
nonfarmakologi untuk karakteristik, durasi,
mengurangi nyeri, mencari frekuensi, kualitas, dan
bantuan) faktor presipitas.
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Gunakan teknik komunikasi
berkurang dengan terapeutik untuk mengetahui
menggunakan manajemen pengalaman nyeri pasien
6. Evaluasi pengalaman nyeri
nyeri
3. Mampu mengenali nyeri masa lampau
7. Evaluasi bersama pasien dan
(skala, intensitas, frekuensi,
tim kesehatan lain tentang
dan tanda nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman ketidakefektifan kontrol
setelah nyeri berkurang. nyeri masa lampau.
8. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
9. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
10. Kurangi faktor persipitas
nyeri
11. Pilih dan lakukan penangan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
12. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Ajarkan tentang teknik non
farmokologi
17. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
Risiko Tujuan: 1. Monitor adanya paratese
1. Circulation status 2. Instruksikan keluarga untuk
ketidakefektif
2. Tissue perfusion: cerebral
mengobservasi kulit jika ada
an perfusi Kriteria Hasil :
1. Tekanan systole dan diastole isi laserasi
jaringan otak
3. Gunakan sarung tangan
dalam rentang yang
b.d gejala
untuk proteksi
diharapkan
penyakit 4. Batasi gerakan pada kepala,
2. Tidak ada ortodtatikhipertensi
(preeklamsia) 3. Membuat keputusan dengan leher dan punggung
5. Kolaborasi pemberian
benar
4. Tidak ada tanda-tanda analgetik
6. Monitor adanya
peningkatan tekanan
tromboflebitis
intrakranial menunjukan
fungsi sensori motori cranial
yang utuh : tingkat kesadaran
membaik, tidak gerakan
gerakan involunter
Kelebihan Tujuan Manajemen Elektrolit/Cairan
volume cairan 1. Electrolit and acid base 1. Pantau kadar serum
b.d gangguan balance elektrolit yang abnormal
2. Monitor status paru dan
mekanisme 2. Fluid balance
jantung yang menunjukkan
regulasi 3. Hydration
kelebihan cairan
Kriteria Hasil
3. Monitor hasil laboratorium
1. Terbebas dari edema
yang relevan dengan
2. Bunyi nafas bersih tidak ada
keseimbangan cairan
sipnea dan ortopnea
3. Memelihara tekanan vena (hemtokrit, BUN, albumin,
sentral, tekanan kapiler paru, protein total, osmolalitas
output jantung, ttv dalam serum, dan urin spesifik
batas normal tingkat gravitasi)
4. Menjelaskan indicator 4. Jaga pencatatan intake dan
kelebihan cairan output yang akurat
5. Batasi cairan yang sesuai
6. Berikan suplemen elektrolit
yang diresepkan
7. Monitor respon pasien
terhadap terapi elektrolit
yang diberikan
Terapi Intravena
1. Verifikasi perintah terapi IV
2. Instruksikan pasien tentang
prosedur
3. Jaga teknik aseptic dengan
ketat
4. Periksa tipe cairan, jumlah,
kadaluarsa, karakteristik dari
cairan dan tingkat merusak
pada container
5. Lakukan prinsip 5 benar
6. Catat asupan dan output
dengan tepat
Gangguan Tujuan: 1. Jelaskan semua prosedur
1. Anxiety
rasa nyaman dan apa yang dirasakan
2. Fear level
b.d gejala 3. Sleep deprivation selama prosedur
4. Comfort, readines for 2. Dengarkan dengan penuh
terkait
5. Enchanced
perhatian
penyakit Kriteria Hasil:
3. Identifikasi tingkat
1. Mampu mengontrol
kecemasan
kecemasan
4. Bantu pasien mengenal
2. Kualitas tidur dan istirahat
situasi yang menimbulkan
adekuat
3. Control gejala kecemasan
4. Status kenyamanan meningkat 5. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
6. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
7. Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan
Risiko cidera Tujuan: 1. Sediakan lingkungan yang
1. Risk control
b.d disfungsi aman untuk pasien
Kriteri Hasil:
2. Menghindarkan lingkungan
sensori 1. Klien terbebas cedera
2. Klien mampu menjelaskan yang berbahaya (misalnya
cara/metode untuk mencegah memindahkan perabotan)
3. Memasang side rail tempat
injury/cedera
3. Mampu memodifikasi gaya tidur
4. Menyediakan tempat tidur
hidup untuk mencegah injury
4. Menggunakan fasilitas yang nyaman dan bersih
5. Membatasi pengunjung
kesehatan yang ada
6. Menganjurkan keluarga
5. Mampu mengenali perubahan
untuk menemani pasien
status kesehatan
7. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit
Ansietas b.d Tujuan: 1. Gunakan pendekatan yang
1. Anxiety level
perubahan menenangkan
2. Social anxiety level
2. Jelaskan semua prosedur
dalam status Kriteria Hasil:
1. Klien mampu dan aoa yang dirasakan
kesehatan
mengidentifikasi dan selama prosedur
3. Temani pasien untuk
mengungkapkan gejala cemas
2. Mengidentifikasi, memberikan keamanan dan
mengungkapkan dan mengurangi takut
4. Dengarkan dengan penuh
menunjukan teknik untuk
perhatian
mengontrol cemas
3. Vital sign dalam batas norma 5. Identifikasi tingkat
4. Postur tubuh, ekspresi wajah,
kecemasan
bahasa tubuh dan tingkat 6. Bantu pasien mengenai
aktifitas menunjukan situasi yang menimbulkan
berkurangnya kecemasan kecemasan
7. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
8. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi

Defisiensi Tujuan Teaching: disease process


1. Knowledge: disease process
pengetahuan 1. Berikan penilaian tentang
2. Knowledge: health behaviour
b.d kurang Kriteria Hasil tingkat pengetahuan pasien
1. Pasien dan keluarga
pajanan tentang proses penyakit
menyatakan pemahaman
yang spesifik
tentang penyakit, kondisi,
2. Jelaskan patofisiologi dari
prognosis, dan program
penyakit dan bagaimana hal
pengobatan
ini berhubungan dengan
2. Pasien dan keluarga mampu
anatomi dan fisiologi,
melaksanakan prosedur yang
dengan cara yang tepat
dijelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu 3. Gambarkan tanda dan gejala
menjelaskan kembali apa yang biasa muncul pada
yang dijelaskan perawat/tim penyakit, dengan cara yang
kesehatan lainnya tepat
4. Gambarkan proses penyakit,
dengan car yang tepat
5. Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
6. Hindari jaminan kosong
7. Sediakan bagi keluarga atau
SO informasi tentang
kemajuan pasien dengan
cara yang tepat
8. Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi
atau penanganan
10. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
11. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang
tepat
Sumber: Nurarif (2015)
2.4 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan


keperawatan pada klien. Terdiri atas:
S: Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O: Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang
kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil
dengan tujuan.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons klien
yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, dkk. (2010). Williams obstetrics : Prenatal care. Edisi 23. Jakarta:
EGC.
Dewi, V.L.D, Sunarsih, T. (2012). Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika..
Manuaba. I.A.C, dkk. (2010). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta:
EGC.
Mochtar, R. (2011). Sinopsis Obstetri : Obstetri fisiologi, obstetri patologi. Jakarta:
EGC.
Nurarif A. H, Hardhi K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta:
Mediaction.
Prawirohardjo, S. (2012). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Rachimhadhi, T., dan Wibowo, B. (2006). Pre eklamsia dan Eklamsia. Dalam:
Prawirohardjo, S. ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Rukiyah, A.Y, & Yulianti, L. (2010). Asuhan Kebidanan 4 (Patologi), Jakarta : Cv.
Trans Info Media.
Sujianti, M. & Hidayat A. (2009). Asuhan Kebidanan. Jogjakarta : Nuha Litera
Offset.
Ansietas
Faktor resiko

Menginduksi
edema otak Tidak mendapat
M Resistensi otak Preeklamsia paparan informasi yang
adekuat
Gangguan pembuluh Aliran darah ke otak
darah otak berkurang Spasme
pembuluh darah Klien tidak mengerti
Komplikasi Tanda dan gejala: sakit kepala dan nyeri dengan penyakitnya
Eklampsia epigastrium
 Suplai darah ke
plasenta Kurangnya
 Nyeri akut pengetahuan
 Gangguan rasa nyaman
 Perfusi
uteroplasenter

Hipoksia
Plasenta
Iskemi

Mengaktifkan
Pelepasan
angitensinogen
rennin uterus
menjadi angiotensin I

Pelepasan Oleh enzim yang


trombloplastin dihasilkan di paru
mengubah menjadi
 Tromboksan angiotensin II

Merangsang koteks
Vasokonstriksi adrenal menghasilkan
pembuluh darah aldosteron

Vasokonstriksi
pembuluh darah
Resiko
otak
ketidakefektifan
perfusi jaringan
 Nutrisi dan O2
otak
otak Hipertensi
Merangsang koteks
adrenal

 kesadaran, penglihatan Menghasilkan


kabur aldosteron

Resiko cidera Retensi Na+ dan air


dalam tubulus renalis

Kelebihan volume Perpindahan cairan


cairan Edema
intravaskuler ke
intersisil

Anda mungkin juga menyukai