Tugas Mata Kuliah Produktivtas Gizi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MATA KULIAH PRODUKTIVTAS GIZI

HIPERKOLESTEROLEMIA

Disusun Oleh : Kelompok 3

Risqita Catur Wulandari 101511233011

Musyayadah 101511233025

Berliandita Shabhati 101511233045

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
PENDAHULUAN
Saat ini masalah kesehatan telah bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif.
Penyebabnya diduga akibat perubahan gaya hidup, pola makan, faktor lingkungan,
kurangnya aktivitas fisik dan faktor stres. Gaya hidup kurang aktivitas, terlalu banyak
mengonsumsi makanan mengandung lemak dan kolesterol serta kurangnya asupan serat
dapat memicu penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang cukup banyak memengaruhi
angka kesakitan dan kematian adalah penyakit kardiovaskular. Kejadian penyakit jantung
dan pembuluh darah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya disebabkan oleh
hiperkolesterolemia (Yani, 2015).

Hiperkolesterolemia merupakan gangguan metabolisme kolesterol yang disebabkan


oleh kadar kolesterol dalam darah melebihi batas normal (Mayasari dan Rahayuni, 2014).
Ketidaknormalan metabolisme kolesterol tersebut ditandai salah satunya dengan
peningkatan kolesterol low density lipoprotein atau LDL (Orviyanti, 2012).

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama di dunia dengan
16,7 juta kematian per tahunnya dan cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2002
sebesar 28% dan pada tahun 2008 sebesar 30%. (Yani, 2015).

Di Indonesia, 36 juta penduduk menderita penyakit hiperkolesterolemia dan 80%


diantaranya meninggal akibat serangan jantung mendadak (Yuniastuti, 2008). Penderita
yang paling banyak pada usia produktif, yakni usia 25 – 34 tahun, mencapai 9,3 % dan
wanita menjadi kelompok paling banyak menderita masalah ini, yakni 14,5 %, atau hampir
dua kali lipat kelompok laki-laki. (Bahri, 2004)

Peningkatan prevalensi Penyakit Jantung Koroner yang disebabkan oleh


hiperkolesterolemia pada pekerja dan masyarakat umum di Indonesia dan negara lain
menjadi beban bukan hanya karena biaya pengobatan yang mahal tetapi juga karena
produktivitas kerja yang menurun dan kerugian sektor ekonomi yang jauh di atas kerugian
akibat kecelakaan kerja.

Oleh karena itu paper ini dibuat untuk melihat seberapa besar kerugian yang dialami
pihak perusahaan dengan pekerja yang menderita hiperkolesterolemia baik dari segi biaya
maupun tingkat produktivitas dalam bekerja di beberapa negara.
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Hiperkolesterolemia adalah salah satu gangguan kadar lemak dalam darah
(dislipidemia) yang mana kadar kolesterol dalam darah lebih dari 240 mg/dl. (perkeni 2004).
Hiperkolesterolemia berhubungan erat dengan kadar kolesterol LDL di dalam darah.
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai peningkatan kolesterol total,
kolesterol LDL, trigliserida di atas nilai normal serta penurunan kolesterol HDL.
b. Faktor Risiko Hiperkolesterolemia
 Usia dan jenis kelamin.
Ketika seseorang berusia 20 tahun, kadar kolesterolnya akan mulai mengalami
kenaikan. Bagi para pria, tingkat kolesterol secara umum akan berhenti setelah usia 50
tahun. Sementara bagi para wanita, tingkat kolesterol berada dalam kondisi cukup
rendah sampai masa menopause tiba. Setelah masa itu, kadar kolesterol akan merambat
naik sampai kira-kira menyamai keadaan yang dialami oleh para pria (Marathu, 2012).
Hal ini sejalan dengan penelitian Galman, menunjukkan hubungan antara kadar
kolesterol darah dengan pertambahan umur pada tikus. Peningkatan kadar kolesterol
darah dengan pertambahan usia berhubungan dengan penurunan eliminasi kolesterol
sebagai garam empedu dan penurunan reseptor yang memediasi proses clearence dari
LDL plasma. Kadar kolesterol meningkat dengan peningkatan umur.
 Berat badan (Obesitas)
Kelebihan berat badan dapat menaikkan kadar trigliserida dan menurunkan HDL
dalam darah. Hal serupa tampak pada indeks massa tubuh, yaitu pada golongan
kelebihan berat badan tingkat ringan dan sedang dengan nilai IMT diatas 25,1
mempunyai kecenderungan kadar kolesterol 30% lebih tinggi dibandingkan dengan
responden yang mempunyai berat badan normal. Yang mana para pekerja dengan IMT
>25 berisiko mengalami hiperkolesterolemia 1,7 kali lebih tinggi dibandingkan pekerja
dengan IMT < 25 (Marathu, 2012). Hal ini sejalan dengan penelitian Ishikawa-Takata
yaitu untuk melihat pengaruh IMT dan penambahan berat badan sebagai faktor risiko
hiperkolesterolemia pada pria di Jepang. IMT > 29 kg/m2 berhubungan dengan
hiperkolesterolemia.
 Tingkat Aktivitas
Kurangnya aktivitas fisik dapat meningkatkan kadar LDL atau kolestrol jahat serta
menurunkan kadar HDL atau kelosterol baik. Kolesterol LDL adalah kolesterol jahat
karena melekat pada dinding arteri dan menyebabkan perkembangan penutupan-
penutupan pembuluh nadi. Peranan kolesterol HDL adalah membawa kembali
kolesterol buruk ke organ hati untuk pemrosesan lebih lanjut.
 Merokok
Penelitian Garisson et al, pada 4.107 sampel wanita dan pria menemukan hubungan
yang bermakna antara merokok dengan peningkatan kadar kolesterol HDL darah.
Peningkatan kadar kolesterol HDL darah pada perokok pria sekitar 4 mg/dl dan
perokok wanita 6 mg/dl. Penelitian lain menunjukkan hubungan merokok dengan
peningkatan kadar trigliserida darah pada pekerja wanita dan pria, tetapi kadar
kolesterol HDL lebih rendah pada pekerja wanita perokok dibandingkan bukan
perokok (Krisnawaty, 2012).

c. Hubungan Hiperkolesterolemia dengan Tingkat produktivitas dalam bekerja dan


Kerugian Biaya yang dialami baik pihak perusahaan maupun pihak pekerja yang
menderita hiperkolesterolemia
Dalam penelitian Krisnawaty Bantas dkk (2013), di Indonesia menemukan bahwa
tempat kerja memiliki hubungan terhadap resiko terjadinya hiperkolesterolemia.

Prevalensi hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) di perusahaan industri pulo gadung yang


ditemukan adalah 21,1%. Prevalensi hiperkolesterolemia terbesar ditemukan pada
perusahaan makanan (41,4%) dan terkecil pada perusahaan percetakan (7,5%). Sehingga
tempat perusahaan makanan berhubungan bermakna dengan hiperkolesterolemia dengan
resiko yang lebih tinggi mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan pekerja di
perusahaan percetakan. Hiperkolesterolemia berhubungan erat dengan asupan makanan
tinggi lemak dan aktivitas fisik kurang. Pekerja di perusahaan makanan, garmen, kimia, dan
suku cadang berpeluang mempunyai aktivitas fisik lebih rendah dibandingkan pekerja di
perusahaan konstruksi dan baja.

Dalam penelitian Mould Quevedo J (2015), di Rusia mendapatkan hasil bahwa pekerja
yang menderita hiperkolesterolemia mengalami penurunan produktivitas kerja sebesar
30,9% pada pekerja yang pernah dirawat dirumah sakit dan sering mengunjungi layanan
kesehatan sedangkan pada pekerja hiperkolesterolemia yang tidak mengalami keluhan
tersebut penurunan produktivitas sebesar 21,6%

Dari hasil NHWS Rusia, pekerja yang mengalami hiperkolesterolemia menderita HRQOL
yang lebih rendah, terjadi peningkatan penurunan produktivitas kerja dan komorbiditas lebih.
Yang mana menunjukkan masih ada kebutuhan medis yang tidak terpenuhi pada pasien
hiperkolesterolemia Rusia.

Pada penelitian Xue Song, dkk (2015) di Amerika Serikat pada pekerja hiperkolesterolemia
yang memiliki gejala klinis lain dan tidak memiliki gejala klinis lain untuk mengukur
banyaknya absensi kerja di tempat kerja (WA) dan jangka pendek kecacatan (STD) dari jam
dan biaya yang terkait dengan kejadian kardiovaskular.
 Absensi Kerja pada pekerja Hiperkolesterolemia

Absensi kerja terbesar pada bulan pertama masa tindak lanjut, pada pasien yang
mengalami gejala klinis lain memiliki kehilangan 43 jam atau setara dengan $ 1.267 biaya yang
hilang dan pada pasien yang tidak mengalami gejala klinis lain memiliki kehilangan 19,7 jam
atau setara dengan $ $ 585 biaya yang hilang. Di tahun pertama masa tindak lanjut berikutnya
pengalami penurunan, pada pasien dengan gejala klinis lain kehilangan 23,1 jam atau setara
dengan $ 698 biaya yang hilang, sementara pasien tanpa mengalami gejala klinis lain
kehilangan 19,8 jam atau setara dengan $ 597 biaya yang hilang. Pada pasien yang menjalani
tindak lanjut setidaknya dua atau tiga tahun masa tindak lanjut,tidak berbeda secara signifikan.
 Cacat Jangka Pendek (STD) dari jam dan biaya

Cacat jangka pendek secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami gejala
klinis lain untuk semua periode waktu ). Di bulan pertama tindak lanjut, pasien dengan gejala
klinis lain memiliki 57,7 jam atau setara dengan $ 996 dalam biaya, sementara pasien tanpa
gejala klinis lain memiliki 6 jam atau setara dengan $ 102 biaya yang hilang. Perbedaan dalam
jam kerja dan biaya bulananantara pasien dengan dan tanpa gejala klinis lain adalah 51,7 h /$
895, 12,7 h / $ 221, 1,9 h / $ 34, dan 2,4 h / $ 40, untuk yang pertamabulan tindak lanjut dan
selama periode pertama, kedua, dan tahun ketiga tindak lanjut.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang sama di Amerika Serikat oleh Michel Farnier
(2015), bahwa pasien dengan kondisi kardiovaskular menghabiskan biaya lebih dari dua kali
lipat perawatan pasien rata-rata (sekitar $ 13.500, dibandingkan dengan rata-rata $ 5.800) .
Kecacatan (STD) rata-rata untuk kondisi kardiovaskuler membuat karyawan tidak bekerja
sekitar 44 hari kerja dan biaya hampir $ 4,900 dalam penggantian upah. Hasil ini hampir 15%
lebih tinggi daripada hasil untuk non-peredaran darah, dan 4% -5% lebih tinggi daripada hasil
untuk peredaran darah lainnya.
Ketika pekerja tidak hadir, pengusaha juga mengeluarkan biaya peluang dalam bentuk
output yang berkurang dan meningkat biaya tenaga kerja untuk menutupi kekurangan
(tambahan kehilangan produktivitas) karena ini SDM tidak tersedia bagi perusahaan sehingga
untuk penggunaan produktif lainnya. Biaya peluang untuk klaim STD untuk kondisi
kardiovaskuler diperkirakan sebesarhampir $ 4.200 dan total biaya STD menjadi hampir $
9.200, dibandingkan masing-masing sekitar $ 8.700 dan $ 7.900 untuk sirkulasi dan non-
peredaran. Kecacatan juga memiliki biaya untuk karyawan. Karena kebijakan STD yang khas
memiliki tingkat penggantian upah 63 % yaitu, perusahaan mengorbankan rata-rata 37% dari
upah mereka setiap hari mereka tidak hadir – PHK pada pekerja kondisi kardiovaskuler lebih
dari 44 hari absensi kerja akan membuat pihak perusahaan kehilangan sekitar 6% dari
pendapatan tahunan.

Pada IBI research (2013) menjelaskan bahwa Pengusaha harus mempertimbangkan Upaya
di tempat kerja untuk meningkatkan kesadaran kolesterol dan mendorong karyawan untuk
mendapatkan tes kolesterol mereka sesuai untuk pedoman pengobatan. terutama pekerja yang
lebih tua atau mereka dengan faktor risiko lain yang dikenal untuk kondisi kardiovaskular. Bagi
banyak pasien, kebiasaan gaya hidup seperti menghindari tembakau, makan makanan yang
sehat dan terlibat secara teratur aktivitas fisik dapat membantu mencegah atau mengelola
hiperkolesterolemia untuk menurunkan LDL -Clevels. Pengusaha dapat memperoleh manfaat
dari penawaran program untuk membantu karyawan mengadopsi dan memelihara gaya hidup
sehat.
Hal ini didukung juga oleh penelitian Mueller M (2017) di Jerman bahwa adanya
penanganan dari pihak perusahaan terkait hiperkolesterolemia menyebabkan penghematan
biaya sebesar € 150 m untuk SHI.

Kesimpulan
Hiperkolesterolemia adalah kondisi kadar kolesterol dalam darah melebihi batas normal.
Hiperkolesterolemia pada pekerja berhubungan signifikan dengan tingkat produktivitas yaitu
penurunan produktivitas sebesar 30,9%. Dampak dari hiperkolesterolemia menyebabkan
pekerja memilih absensi kerja dan cacat jangka pendek (STD) yang menyebabkan kehilangan
biaya cukup besar. Selain itu pihak perusahaan juga mengalami kerugian ketika pekerja tidak
hadir karena output yang dihasilkan berkurang yang menyebabkan pihak perusahaan mencari
produktif lain yang mana membutuhkan biaya tambahan produktivitas. Adanya penanganan
dari pihak perusahaan terhadap pekerja akan menyebabkan penghematan dari kerugian tidak
hadir kerja dan cacat jangka pendek.

Daftar Pustaka
Asay, G. R., et al. (2016). "Absenteeism and Employer Costs Associated With Chronic
Diseases and Health Risk Factors in the US Workforce." Prev Chronic Dis 13: E141.

Bantas, Krinawaty.2013.Hypercholesterolemia Risk on Workers in Industrial Estate. Indonesia


: Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 5

Galman C, Matasconi M, Persson L, Parini P, Angelin B, Rudling M. Age induced


hypercholesterolemia in the rat relates to reduced elimination not increased intestinal
absorption of cholesterol. American Journal of Physiology Endocrinology and
Metabolism. 2010 September; 293 (3): [p. E737-E742].

Gross, Chapnik,et al. Burden Of Disease Of Hypercholesterolemia In Russia: Results From


2011 National Health And Wellness Survey (Nhws). Kantar Health, Princeton, NJ, USA,
Pfizer, Inc., New York, NY, USA

IBI Research.2013. The Downstream Costs Of High Cholesterol Disability And Lost
Productivity Costs Of Atherosclerotic Cardiovascular Disease.Amerika Serikat: Integrad
Benefit Institute

Mueller, Himler, et al.2017. Modelling the Social Impact of alirocumab in patients with severe
hypercholsterolemia treated with apheresis in Germany.Scotland: ISPOR

Robinson, Jennifer G., Michel Farnier, Michel Krempf et al., 2015, “Efficacy and Safety of
Alirocumab in Reducing Lipids and Cardiovascular Events,” New England Journal of
Medicine, 372:1489-1499; Sabatine, Marc

Soleha, Marathu.2012. Kadar Kolesterol Tinggi Dan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh


Terhadap Kadar Kolesterol Darah. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan
Litbangkes Kemenkes RI

Song, Xue, Ruben, et al.2015. Productivity loss and indirect costs associated with
cardiovascular events and related clinical procedures. Health Services Research (2015)
15:245 DOI 10.1186/s12913-015-0925-x
Yani, Muhammad.2015.Mengendalikan Kadar Kolesterol Pada Hiperkolesterolemia.
Jogyakarta: Jurnal Olahraga Prestasi Vol.11 No.2

Anda mungkin juga menyukai