Anda di halaman 1dari 4

JAKARTA, KOMPAS.

com – Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) melalui juru bicaranya Son


Hadi menganggap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah melakukan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat atas penembakan tujuh terduga teoris di
Makassar, Sulawesi Selatan dan Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Menurut Son Hadi, ketujuh orang tersebut masih berstatus terduga teroris yang belum
dapat dipastikan keterlibatannya dalam aksi teror.

“Mereka hanya terduga teroris. Namun yang jelas mereka adalah seorang muslim dan
yang lebih memprihatinkan, dua orang dibunuh di teras Masjid Nur Alfiah RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makasar,” tulis Son Hadi dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (6/1/2013).

Menurutnya, penembakan oleh Densus tersebut termasuk kategori pelanggaran HAM


berat dan harus diusut tuntas oleh Kepolisian, juga Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi
Manusia (HAM). Son Hadi menambahkan agar segera dibentuk tim pencari fakta atas
kasus penembakan terduga teroris tersebut.

“Kami mendesak kepada pihak yang berkompenten, baik internal Polri maupun Komnas
HAM untuk serius mengusut tuntas kasus ini, karena hal ini sangat mencederai nilai-nilai
agama dan kemanusian. Kami mendesak segera dibentuk TPF (tim pencari fakta ) yang
independen dan transparan untuk mengungkap kasus pembunuhan ini,” paparnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri meringkus 11 terduga teroris di


Makassar dan Dompu pada 4-5 Januari 2012. Tujuh orang di antaranya tewas ditembak,
yakni dua orang tewas di Makassar dan lima lainnya di Dompu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar
mengatakan, terduga teroris tersebut ditembak karena berusaha melawan dan melarikan
diri dari aparat saat dilakukan penangkapan.

Penembakan yang dilakukan, kata Boy, menjadi dinamika di lapangan yang dihadapi
pasukan berlambang burung hantu tersebut. Saat penangkapan, polisi juga menyita
senjata api dan granat.

Keberadaan mereka juga telah dipantau sebelumnya karena terlibat aksi teror di
Makassar dan Poso, Sulawesi Tengah. “Mereka kelompok bersenjata, bahkan
menguasai bahan peledak,” terang Boy.

akarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah
mengevaluasi kinerja Datasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror dalam operasi di Poso akhir-
akhir ini. Komnas menuding Densus melakukan tindakan pelanggaran HAM dengan
menggunakan kekerasan dan tidak menghargai HAM, baik terhadap masyarakat atau
terduga teroris itu sendiri.

"Dalam penanganan tindak pidana terorisme, terdapat dugaan kuat penembakan mati secara
tidak prosedural terhadap tersangka teroris serta kekerasan terhadap sejumlah korban salah
tangkap," kata Ketua Tim Penanganan Tindak Terorisme Poso, Siane Indriani, dalam siaran
pers yang diterima detikcom, Selasa (15/1/2013).
Akibat tindakan represif aparat tersebut, imbuh Siane, masyarakat menjadi was-was. "Selain
itu ini mengindikasikan terjadinya pelanggaran HAM, sebagaimana hal ini tidak relevan bagi
hak asasi manusia," jelas Komisioner Komnas HAM lainnya, Siti Noor Laila.

Siane menambahkan, pihaknya akan terus melakukan pemantauan secara intensif dan
berupaya memfasilitasi pertemuan beberapa pihak antara masyarakat, tokoh masyarakat,
demi mencari solusi damai secara komprehensif.

Siane menolak disebut pendukung aksi terorisme terkait sikap Komnas HAM yang meminta
pemerintah mengevaluasi kerja Densus 88/Antiteror.

"Kita tidak mendukung teroris, tapi kita justru membantu polisi karena dengan memakai
tindak kekerasan, masyarakat justru akan memusuhi polisi," ujarnya.

Dalam waktu dekat Komnas HAM berencana menemui para pejabat negara terkait hal ini.
"Kita akan menemui Presiden, Menko Polhukan, TNI dan Polri untuk menyampaikan sikap
kami terhadap tindak kekerasan yang dilakukan aparat di Poso yang harus melihat kepada
sisi-sisi kemanusiaan," ujar Siti.

(ahy/nrl)

JAKARTA, KOMPAS.com – Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) menuding Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror Polri melanggar HAM dalam peristiwa penembakan teroris di Makassar (Sulawesi Selatan) dan
Dompu (Nusa Tenggara Barat).

Melalui pernyataan tertulisnya, Minggu (6/1), juru bicara JAT, Son Hadi, menyatakan, mereka yang
ditembak mati Densus 88 masih terduga teroris. “Mereka hanya terduga teroris. Namun yang jelas
mereka adalah seorang Muslim dan yang lebih memprihatinkan, dua orang dibunuh di teras Masjid Nur
Alfiah RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar,” tulis Son Hadi.

Menurutnya, penembakan oleh Densus tersebut termasuk kategori pelanggaran HAM berat dan harus
diusut tuntas oleh kepolisian, juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Son Hadi
meminta segera dibentuk tim pencari fakta atas kasus penembakan terduga teroris tersebut.

“Kami mendesak kepada pihak yang berkompenten, baik internal Polri maupun Komnas HAM untuk
serius mengusut tuntas kasus ini, karena hal ini sangat mencederai nilai-nilai agama dan kemanusian.
Kami mendesak segera dibentuk TPF (tim pencari fakta ) yang independen dan transparan untuk
mengungkap kasus pembunuhan ini,” paparnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri meringkus 11 terduga teroris di Makassar dan
Dompu pada 4-5 Januari 2012. Tujuh orang di antaranya tewas ditembak, yakni dua orang tewas di
Makassar dan lima lainnya di Dompu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, terduga
teroris tersebut ditembak karena berusaha melawan dan melarikan diri dari aparat saat dilakukan
penangkapan. Saat penangkapan, polisi juga menyita senjata api dan granat. (fys)
Entah kebetulan atau disengaja, setiap ada tamu dari Amerika atau sekutunya, aksi terorisme
selalu muncul. Dan ending-nya, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri selalu sukses menangkap
atau mengeksekusi orang-orang yang diduga teroris.
Terakhir aksi Densus 88 menyebabkan dua orang yang terduga teroris tewas di Solo, Jawa
Tengah. Tidak cuma itu, korban lainnya pun harus jatuh dan menjalani perawatan di rumah
sakit karena dianiaya anggota Densus 88, padahal yang bersangkutan tidak tahu apa-apa.
Tindakan Densus ini menuai kecaman salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Menurut Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, Densus 88 selalu berdalih
atas penegakan hukum memberantas tindak terorisme tetapi dalam pelaksanaannya di
lapangan melakukan pelanggaran HAM sekaligus pelanggaran hukum.
Untuk kasus penangkapan tiga tersangka teroris pada 30 Agustus di Solo misalnya. Si
pembuat plat nomor palsu bernama Bayu Setiyono tiba-tiba ditangkap tanpa pemberitahuan,
tanpa surat penangkapan. Yang paling parah adalah mertua Bayu yang kebetulan berada di
TKP ikut menjadi korban penganiyayan aparat. Sehingga korban ini yang tidak tersangkut
apa pun, terpaksa harus dirawat di rumah sakit dan mendapat empat jahitan.
“Ini sungguh-sungguh memperlihatkan arogansi kekuasaan yang sangat-sangat berlebihan
karena sudah melampaui batas kewenangan!” tegasnya kepada Media Umat, Senin (3/9).
Semestinya, lanjut Daming, Densus 88 itu bertindak secara profesional. Yakni bertindak
meminimalkan segala macam ekses dan menggunakan senjata api secara terseleksi dan
hanya pada sasaran yang bersifat pelumpuhan.
“Yang terjadi di Solo itu kan tidak mengindahkan semua ini. Semua sasaran ditembak mati,
hanya Bayu Setiyono yang ditangkap hidup-hidup. Inilah yang menurut saya menyalahi hasil
pertemuan Komnas HAM dengan Densus 88 dan BNPT sekitar Juli 2012,” ungkapnya.
Daming pun mendesak Densus 88 agar mengubah paradigma untuk menghadapi gelombang
terorisme. Terorisme ini hanyalah label yang diciptakan oleh negara kepada mereka yang
sedang memperjuangkan sebuah ideologi tertentu.

Sudah saatnya negara meninggalkan segala bentuk tindakan represif. “Kalau perlu Densus
88 dibubarkan!” tegasnya.
Karena, lanjutnya, Densus 88 tidak memberikan kebaikan pada iklim keamanan yang
kondusif malah yang terjadi sebaliknya, dendam berlawan dengan dendam. Ketegasan
Densus 88 pasti akan disambut dengan kenekadan teroris. “Itu terjadi terus-menerus, tidak
mungkin ada itu penyelesaiannya,” Daming memprediksi.
Karena Dendam
Senada dengan Daming, Direktur Komunitas Analis Islam Ideologis (CIIA) Harits Abu Ulya
menyatakan makin arogan tindakan Densus88 dengan tindakan extra judicial killing-nya dan
tindakan-tindakan brutal lainya, maka makin menyemai dendam kusumat yang tak
berkesudahan.
Karena itu, jangan dengan mudahnya Badan Nasional Penanggulangan Teroris menebar
label “teroris” di hadapan publik, sementara BNPT sendiri sebenarnya ikut andil
memunculkan kekerasan-kekerasan bersenjata yang oleh BNPT diklaim sebagai tindakan
terorisme. Fenomena dendam kusumat, kebencian lebih dominan tampak menjadi spirit
beberapa aksi “hero” dari orang-orang yang dicap teroris.
Namun sayangnya, stasiun televisi TVOne mendedah teror Solo dengan mengawali tayangan
berita “terorisme” mulai dari penyerangan Polsek Hamparan Perak di Sumut, kemudian bom
di Kalimalang Bekasi, Bom di Mapolres Cirebon hingga kasus terkahir teror tanggal 17, 18
dan 30 Agustus di wilayah Solo.
Investigasi yang Harits lakukan justru menjelaskan fakta empirik yang sesungguhnya.
Dendam menjadi faktor utama yang memicu peristiwa penyerangan polsek Hamparan Perak.
Karena sebelumnya Densus 88 dengan cara yang brutal mengeksekusi seorang yang
bernama Iwan (Ridwan) di daerah Hamparan Perak karena diduga terlibat perampokan
CIMB. Dan sebelumnya Densus 88 juga sudah mengobrak-abrik dan menangkap Ustadz
Khoirul Gozhali.
Seorang Taufiq Hidayat yang memimpin aksi balas dendam itu tidak lagi bergerak karena
faktor “politik: mendirikan negara Islam” seperti yang dituduhkan oleh BNPT kepada
kelompok Taufiq.
Begitu juga seorang Hayyat pemuda canggung meledakkan bom (petasan) di Kalimalang
Bekasi yang diletakkan di sepeta ontelnya. Ia bukan bagian dari jaringan manapun, hanya
seseorang yang masih melek pikiran dan perasaannya sebagai pemuda Muslim.
Melihat berita yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang menimpa orang-orang Muslim
tertentu maka memicu rasa pembelaan pada dirinya. “Kemudian secara mandiri berinisiatif
melakukan tindakan yang akhirnya dibuat heboh oleh BNPT bersama TVone tersebut!”
ungkap Harits.
Tidak jauh beda dengan tindakan Hidayat di Cirebon dan Yosepha di Keponten Solo. Sangat
naïf rasanya kalau aksi-aksi “hero” mereka dilabeli terorisme. Tindakan teror mereka sudah
tercerabut dari definisi sebuah aksi terorisme yang sesungguhnya. Bahkan orang bisa
menyaksikan rencana aski bom Serpong seorang Peppy Fernando justru motif bisnis (uang)
yang mendorong ia merekayasa drama “terorisme”.
Spektrum kekerasan dan tindakan teror tersebut, menurutnya, tidak relevan kalau distempel
dengan tindakan “terorisme”. “Tidak ada satupun evident yang bisa menjelaskan dan
dipertanggungjawabkan bahwa langkah mereka semua karena kepentingan politik
mendirikan Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah,” pungkas Harits.[] joko prasetyo

Anda mungkin juga menyukai