Anda di halaman 1dari 3

Industri Gula Tidak Efisien

PERSOALAN gula menghangat akhir-akhir ini. Petani tebu unjuk rasa.


Tuntutan mereka, stop impor gula atau impor gula dibebani bea masuk
tinggi. Jika tidak, petani tebu tidak dapat bernapas lagi lantaran tidak
sanggup bersaing dengan gula impor.

Salah satu tolok ukur daya saing adalah harga produk. Dan salah satu
komponen harga produk adalah biaya produksi. Dibandingkan dengan
Thailand, misalnya, biaya produksi gula dalam negeri terbilang mahal.
Menanggapi tuntutan petani tersebut pemerintah telah mengambil dua
kebijakan yang sifatnya lebih "propetani".

Seberapa "parah" industri gula dalam negeri? Produksi gula yang makin
arb menurun merupakan resultante dari banyak faktor, yaitu menurunnya
luas areal, menurunnya produktivitas tebu, dan menurunnya tingkat rendemen. Pertama, areal
yang makin menyusut. (lihat tabel)

Menurunnya areal antara lain disebabkan petani menolak menanam tebu dengan berbagai
alasan, terutama karena rendahnya pendapatan dari tebu dibanding tanaman lain, terutama
padi. Selain itu, panjangnya waktu menunggu turunnya pembayaran tebu. Oleh karena itu, tidak
mengherankan areal tanam tebu yang menyusut terutama adalah areal sawah. Total areal tebu
lebih dari dua pertiga disumbang dari lahan tegalan/kering. Dalam kurun waktu 1996-2000, areal
tebu sawah menyusut menjadi tinggal separuhnya, sedangkan areal lahan tegalan relatif tetap.
Padahal, produktivitas tebu sawah 15-20 persen lebih tinggi daripada produktivitas tebu tegalan.

Bahkan, ketika huru-hara politik dan sosial terjadi tahun 1997-1998, petani tidak mau menanam
tebu karena takut akan penjarahan dan pembakaran tanaman tebu. Sebagian besar pabrik gula
(PG), terutama milik BUMN/PTPN, tidak mempunyai lahan sendiri tetapi diperoleh dari petani
dengan cara bagi hasil atau menyewa.

Luasan tebu lahan sendiri hanya sekitar seperlima dari lahan yang berasal dari petani/rakyat.
Sedangkan PG swasta seperti PT Gunung Madu, PT Gula Putih Mataram, dan PT Sweet Indo
Lampung lebih mendapat kepastian atas tersedianya lahan karena mereka memperoleh
lahannya dari hak guna usaha (HGU) yang cukup luas dan pada dasarnya lahan kering. Di
sinilah salah satu akar masalahnya karena sebagian PG BUMN tidak punya areal sendiri
sehingga tidak terjaminnya areal karena tergantung kesediaan petani untuk menyerahkan
tanahnya.

Faktor kedua ialah produktivitas. Produktivitas tebu yang makin menurun bukan hanya karena
kurang dikuasainya atau diterapkannya cara bercocok tanam tebu yang baik, tetapi juga karena
makin mahalnya harga input (terutama pupuk dan tenaga kerja). Maka, petani tidak
menggunakan input secara cukup. Petani yang bertani tebu di lahan kering semata-mata
menggantungkan diri pada curah hujan.

Petani juga cenderung menggunakan bibit tebu yang itu-itu juga, yaitu pucuk tebu tanaman
sendiri yang sudah beberapa generasi. Akibatnya, produktivitas tebu makin rendah. Kalau pada
zaman Belanda dapat dihasilkan 100-120 ton tebu per hektar (ha), sekarang rata-rata hanya
sekitar 70 ton per ha. Menurut informasi dari Pusat Penelitian Pengembangan Gula Indonesia
(P3GI), ada 13 varietas tebu yang banyak ditanam di seluruh Indonesia, tetapi yang favorit
hanya satu, yaitu varietas M 442-51.

Faktor ketiga adalah rendemen. Rendemen rendah disebabkan rendahnya efisiensi pabrik
dan/atau rendahnya mutu tebu yang digiling. Betapa rendahnya rendemen saat ini dapat dilihat
bila dibandingkan dengan potensi rendemen yang dapat mencapai 12 persen. Pada zaman
Belanda, PG rata-rata sudah mendekati potensi rendemen itu. Saat ini, pabrik gula, yang pada
umumnya sudah tua perangkat kerasnya/mesin-mesinnya, tidak dapat memproses tebu dengan
efisien.
Tingkat rendemen dalam industri gula, terutama PG BUMN, sering menjadi sesuatu yang tidak
jelas. Beberapa penelitian menunjukkan, keengganan petani menanam tebu bukan hanya
karena petani tidak tahu pasti tingkat rendemen tebu yang sebenarnya (meskipun secara formal
disebutkan bahwa petani melalui wakilnya dapat memeriksa tingkat rendemen). Juga karena
petani mengetahui adanya "permainan" tentang tingkat rendemen ini, terutama bila PG
berhadapan dengan pengusaha tebu bebas (cukong). Ada kesan, PG memberi tingkat rendemen
yang wajar, bahkan lebih tinggi kepada cukong. Sebaliknya memberi tingkat rendemen rendah
untuk tebu petani. Jadi, terjadi krisis kepercayaan petani kepada pabrik gula.

***
ADA beberapa faktor lain sebagai penyebab tidak efisiennya industri gula. Kecuali rendahnya
produksi hablur, juga karena industri gula (baca milik BUMN) menghadapi kendala yang tidak
kecil, yaitu besarnya jumlah sumber daya manusia yang terlibat.
BUMN tidak banyak berbeda dalam struktur kepegawaian dengan instansi pemerintah. Mereka
itu adalah karyawan yang puluhan ribu jumlahnya yang merupakan produk dari sistem lama di
mana rekrutmen karyawan tidak didasari atas "analisis kebutuhan" tenaga kerja tetapi lebih
kepada "bagaimana menampung" tenaga kerja melalui berbagai cara, seperti karena masih ada
hubungan keluarga (nepotisme), kolusi, mutasi, dan lain-lain. Akibatnya, industri gula terbebani
biaya overhead yang sangat besar.
Kecuali itu juga mesin-mesin PG banyak yang telah la-ma/kuno dan perlu biaya rehabilitasi dan
perawatan yang tinggi. Selama ini, rehabilitasi dan perawatan terkendala kurangnya dana.
Informasi yang diperoleh menunjukkan, biaya rehabilitasi dan perawatan yang diajukan sering
menggelembung (mark-up).
Segi lain yang juga perlu menjadi perhatian PG ialah meskipun sudah berkali-kali diimbau, masih
saja terkesan pihak pabrik gula berperilaku sebagai pabrik gula pada era kolonial.
Meskipun petani menjerit karena pendapatan tebu rendah, masih saja terkesan pabrik gula
merupakan dunia yang eksklusif dengan cara manajemen dan pola hidup yang feodalistik. PG
didakwa tidak mempunyai sense sebagai PG yang seharusnya prihatin atas keadaan dirinya.
Apa yang digambarkan sebelumnya belum memberikan, gambaran industri gula di In-donesia
secara keseluruhan. Di samping sisi yang memprihatinkan, ada sisi lain yang menggembirakan
yaitu yang menyangkut industri gula dengan skala besar. Perusahaan ditangani dengan
manajemen yang profesional, dan proses produksi gula dikelola dengan orientasi bisnis secara
murni. Itulah wajah PG-PG swasta besar seperti PT Gunung Madu, PT Gula Putih Mataram, PT
Sweet Indo Lampung, dan beberapa lagi. Mereka berope-rasi memanfaatkan lahan HGU
sehingga perusahaan tidak repot-repot "berurusan" dengan petani pemilik lahan, pengolahan
lahan dilakukan secara masinal, pabriknya relatif baru, dan jumlah karyawan sesuai kebutuhan.
Dengan keadaan yang telah mendekati persyaratan perusahaan agrobisnis yang ideal, biaya
produksi dapat ditekan serendah mungkin. Bahkan, hanya separuh dari biaya produksi PG
BUMN dan sanggup bersaing dengan gula impor.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu tidak
efisiennya industri gula Indonesia terutama milik BUMN. Hal itu tercermin pada tingginya biaya
produksi. De-ngan begitu, jangankan bersaing dengan industri gula di luar negeri, dengan pasar
dalam negeri saja tidak akan mampu.
Pada waktu gula impor dibebani bea masuk yang rendah, industri gula dalam negeri (BUMN)
menjerit karena gula mereka tidak dapat bersaing. Oleh karena itu, sangat menarik untuk
mengantisipasi dampak dua dari tiga rencana kebijaksanaan pemerintah mengenai gula yaitu (a)
dinaikkannya bea masuk gula impor sebesar Rp 500 menjadi Rp 1.200/kg dan ditetapkannya
tiga PTPN sebagai pengimpor, dan (b) subsidi kepada petani produsen gula sebesar Rp 500/kg.
Kalau kita simak memang "aneh" situasi pergulaan kita itu. Dari uraian sebelumnya
digambarkan, dalam kurun waktu 5 tahun (1996-2000) produksi gula hablur turun dari 2,09 juta
ton menjadi 1,69 juta ton, padahal konsumsi terus naik. Saat ini produksi gula sekitar 1,9 juta ton
dan konsumsi berkisar antara 3,4-3,6 juta sehingga terjadi kekurangan 1,7 juta ton dan itu kira-
kira jumlah yang diimpor. Jadi, impor gula kurang lebih sama dengan produksi gula dalam
negeri.
Secara neraca, kalau jumlah produksi kurang harus ditutup. Suatu hal yang tampaknya wajar,
tetapi tidak untuk kasus gula. Mengapa? Karena gula yang diimpor itu oleh produsen gula/petani
sangat mengganggu karena gula mereka tidak dapat dijual, sebab gula yang dibebani bea impor
"sangat rendah" (Rp 500/kg) sehingga membuat gula impor menjadi lebih murah dibanding
harga eceran gula produksi dalam negeri. Sekarang setelah dua kebijaksanaan yang lebih pro-
petani itu diambil, apakah masalah pergulaan akan teratasi?
Jawabnya bisa "ya" atau "tidak". Bisa "ya" kalau konsumen mau menerima harga gula di
pasaran, baik itu gula produksi dalam negeri atau gula asal impor. Dengan subsidi yang
diberikan kepada petani, seharusnya harga gula produk petani akan menjadi lebih murah Rp
500/kg, karena sebagian dari komponen harga gula produksi petani yang Rp 500/kg ditanggung
pemerintah. Dalam hal ini perlu kehati-hatian dalam penerapan subsidi tersebut, terutama harus
jelas benar siapa yang dimaksud petani, agar subsidi tersebut benar-benar diterima yang
berhak. Dengan perkiraan, harga gula produksi petani Rp 3.100/kg di tingkat petani, setelah
subsidi, harga gula petani di pasaran akan menjadi Rp 2.600/kg plus biaya transpor dari tingkat
petani ke pasar. Dibanding harga gula impor Rp 2.650/kg setelah bea masuk dinaikkan, harga
gula petani dengan harga gula impor kira-kira menjadi "seimbang". Tetapi, bisa saja jawabnya
menjadi "tidak" bila ternyata konsumen tidak mau menerima harga gula di pasar yang lebih tinggi
karena bea masuk dinaikkan menjadi Rp 1.200/kg.

***
DALAM jangka pendek kebijakan pemerintah dengan memberi subsidi dan menaikkan bea
masuk itu dapat diterima karena dapat memuaskan tuntutan produsen dan "mungkin" dapat
dimengerti konsumen. Masalahnya, dapatkah kebijakan tersebut dipertahankan dalam jangka
panjang, tanpa harus melakukan perombakan total dalam industri pergulaan Indonesia yang
tidak efisien ini?
Untuk mengarah ke situ diperlukan langkah-langkah mendasar. Tanpa langkah-langkah yang
mengarah kepada peningkatan produksi gula yang efisien, kita akan selalu berkutat di sekitar
hal-hal yang serupa, yaitu setiap kali menyesuaikan bea masuk gula impor, menyesuaikan
subsidi dengan biaya produksi baru, dan lain-lain sehingga industri gula kita tidak akan pernah
dewasa. Kalau produksi dalam negeri masih jauh di bawah kebutuhan konsumsi dan produksi,
itu pun harus dicapai dengan tidak efisien, maka kalau impor harus "dipajaki" yang tinggi maka
dapat diduga pasar akan dibanjiri impor gula secara ilegal. *

Anda mungkin juga menyukai