Anda di halaman 1dari 14

DEV

“Human Intervention tidak diperbolehkan”

Intervensi:
Lauterpacht dalam Huala Adolf memberikan definisi intervensi sebagai campur
tangan secara diktaktor oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain
dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau
barang di negara tersebut (Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Nagara Dalam Hukum
Internasional, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm.31)

Intervensi kemanusiaan
- Intervensi kemanusiaan didefinisikan oleh Danish Institute of International
Affairs sebagai: “coercive action by States involving the use of armed force in
another State without the consent of its Government, with or without
authorization from the UN Security Council, for the purpose of preventing or
putting to a halt gross and massive violations of human rights or international
humanitarian law” (Hans Corell, 2001, To intervene or not: The dilemma that
will not go away, dalam Conference On The Future Of Humanitarian
Intervention, hlm.2)
- Intervensi kemanusiaan juga dapat diartikan sebagai intervensi bersenjata
yang dilakukan oleh suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan.
Intervensi ini bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara
tetapi menyelamatkan para korban perlakuan brutal atau kejam dan tidak
manusiawi yang dialami di suatu negara (Ian Brownlie, 2003, Principles of
Public International Law, Six Edition, Oxford University Press, hlm.710)
- hak negara untuk bertindak secara koersif terhadap negara lain untuk
menghentikan kekejaman massal untuk mencegah atau menghentikan
pelanggaran berat terhadap HAM atau hukum humaniter internasional.
Dengan demikian maka motif lain selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai
sebuah intervensi kemanusiaan.

Pro:
1. Setuju tidak diperbolehkan, tidak setuju jika human intervention itu ada
2. Pendapat yang setuju tidak di perbolehkan
3. Dampak negative human intervention:
a. Destabilizing the region or country
b. Expense
c. Impacting the global economy, currency rates, stock markets,
balance of trade and the like
d. Establishing a tradition of interventionism
e. Excessive interventionism in the past causes delays when
intervention is actually necessary
f. Dapat melanggar kedaulatan Negara
g. Menafikkan piagam PBB, serta melanggar PS 2 ayat (4) Piagam.
DEV

h. Modus Negara untuk mengintervensi Negara lain

Kontra:
1. Tidak setuju tidak diperbolehkan, setuju jika human intervention ada
2. Pendapat yang setuju
3. Dampak positif human intervention:
a. Providing humanitarian help
b. Protecting innocent civilians
c. Increasing awareness of human, women’s, and children rights
d. Helping to topple adjust regimes
e. Helping to establish the rule of law and democracy
f. Bringing people guilty of war crimes to justice

Tolak ukur:
1. Jika Negara dianggap gagal mengatasi masalahnya sendiri
2. Jika sudah melibatkan banyak Negara yang terganggu
3. Jika sudah dianggap menganggu atau mengancam keamanan dunia

The basis of intervention on humanitarian grounds is that it is no state’s prerogative


to allow the wanton disregard and violation of human rights, and therefore, if such
wanton disregard and violations take place, another state, or other states may
intervene to put an end to them. (OPPENHEIM, supra note 5, at 312. “Humanitarian
intervention derives from the teachings of Grotius.” J.D. van der Vyver, Statehood in
International Law, 5 EMORY INT’L L. REV. 9, 76 n.323 (1991).

Dianggap menimbulkan konflik bila:


1. Intervensi tanpa legalitas DKPBB
2. Intervensi diketahui sebagai alat/modus operandi

Intervensi ada 2:
A. Intervensi tanpa senjata, jadi hanya sugesti diplomatic. Diplomat
berinisiatif untuk bertanya ke presiden
B. Intervensi dengan senjata

*notes
- Asian C. Udoh mengusulkan beberapa kriteria untuk menilai layak atau
tidaknya suatu intervensi kemanusiaan, yang mana berdasarkan kriteria-
kriteria ini bisa dijadikan pijakan untuk melihat syarat-syarat yang diperlukan
untuk melakukan intervensi kemanusiaan di suatu negara. Kriteria yang
diusulkan oleh Asian C. Udoh adalah sebagai berikut:
- 1. The use of humanitarian intervention must be immediate and only occur
during the actual commission of the human rights violation or immediate
threat of an offense; 2. Authorization for intervention must be by a competent
DEV

body within the United Nation; 3. Humanitarian intervention must be a


collective effort executed by more than one nation; 4. Humanitarian
intervention must be used as a last resort when all other means have failed; 5.
Humanitarian intervention must only be used for grave and large scale
violations of human rights; 6. All military forces involved in the intervention
must respect the principles and spirit of the Geneva Conventions and all other
applicable international humanitarian laws. (Asian C. Udoh, When Is
Humanitarian Intervention Legal)

- Madicin Sans Fronteriers adalah satu dari sekian organisasi internasional yang
fokus pada “human Rights” daripada “human needs” serta mengadopsi
strategi politik di medan konflik[7]. Mereka sangat vocal dalam menyuarakan
dukunganya terhadap intervensi militer. Bernard Kouchner pendiri dari MSF
merupakan aktifis yang sangat sepakat terhadap adanya intervensi eksternal
terutama dari militer di medan konflik dan dia sangat vocal mendukung NATO
dalam upayanya melakukan intervensi militer di Kosovo 1999 serta
mendukung penuh penggulingan rezim Saddam Hussein 2003. Organisasi lain
yang dianggap sebagai pelopor paham moderen adalah HRW (Human right
Watch) yang mana mereka mengabsakan serta menyokong adanya intervensi
militer dalam konflik Kosovo dan Timor Timur. HRW percaya bahwa
penggunaan militer dalam melakukan intervensi dimedan konflik sangat
efektif dan mereka menyebut bahwa trend ini merupakan era baru dalam
gerakan hak asasi manusia[8] (http://erry-mega-
fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-97993-
Humanitarianisme%20Dan%20Intervensi%20Kemanusiaan-
INTERVENSI%20KEMANUSIAAN%20:%20%20IDE,%20KONSEP%20DAN%20IMP
ELEMENTASINYA%20PADA%20ABAD%2019%20DAN%2020.h)

- Intervensi kemanusiaan yang dilkukan juga harus dilaksanakan secara kolektif


dan dilakukan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan pelanggaran berat
HAM yang terjadi. Hal ini berarti sebelum dilakukan intervensi kemanusiaan,
harus dilakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai
sebagaimana yang disediakan dalam aturan hukum internasional, misalnya
seperti yang diatur dalam Piagam PBB yang menyediakan cara-cara
penyelesaian sengketa secara damai melalui, perundingan, penyeledikan,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian melalu jalur hukum, penyelesaian
melalui badan-badan atau peraturan-peraturan regional, dan melalui cara-
cara penyelesaian secara damai lainnya yang disepakati oleh pihak-pihak yang
bersengketa (9 Pasal 33 Piagam PBB)
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj1weyxmdrXAhXC6Y8KHVomBKYQFgglMAA&url
=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2F4459095%2FINTERVENSI_KEMANUS
IAAN_DALAM_KERANGKA_PIAGAM_PBB&usg=AOvVaw1ZAbaQsfBlH-
SC9WYeiLH9)
DEV

 Intervensi tidak ada negoisasi karena masalah yang masih bisa negoisasi masih
dianggap kecil; Kalau sudah intervensi, berarti masalah didalam Negara sudah
besar.

 Humanitarian intervention memandang kedaulatan bukan sebagai hal yang


absolut (mutlak)

 Intervensi sering disebutkan sebagai modus operandi negara besar untuk


memperoleh kekuasaan di negara yang memiliki konflik atau untuk memenuhi
national interest seperti kasus intervensi amerika-uk ke Irak yang dikatakan
bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal tetapi disetelah dicari tahu
oleh PBB bahwa irak tidak memiliki hal tsb dan disebut2 amerika ingin
menguasai minyak yang ada di IRak (In 2003, the US-UK invasion and
occupation of Iraq was labeled "humanitarian intervention" by UK Prime
Minister Tony Blair.)

 When nations send their military forces into other nations' territory, it is
rarely (if ever) for "humanitarian" purposes. They are typically pursuing their
narrow national interest - grabbing territory, gaining geo-strategic advantage,
or seizing control of precious natural resources. Leaders hope to win public
support by describing such actions in terms of high moral purposes - bringing
peace, justice, democracy and civilization to the affected area. In the era of
colonialism, European governments all cynically insisted that they acted to
promote such higher commitments - the "white man's burden," "la mission
civilisatrice," and so on and so forth.
(https://www.globalpolicy.org/qhumanitarianq-intervention.html)

 Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB menyatakan bahwa “All members shall refrain in
their international relations from the threat or use of force against the
territorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the purposes of the United Nations.” Pasal 2 ayat 4
tersebut melarang semua anggota PBB untuk tidak menggunakan ancaman
ataupun kekerasan di dalam hubungan internasional terhadap keutuhan
wilayah dan kemerdekaan poitik dari suatu negara dengan cara apapun yang
tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB (50 Sumaryo Suryokusumo, 2007, Studi
Kasus Hukum Internasional, PT. Tata Nusa, Jakarta, hlm, 46.)

 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 Tahun 1970 melarang negara- negara
menggunakan ancaman serta kekerasan terhadap integritas wilayah atau
kebebasan politik negara manapun, atau dengan cara apapun yang tidak
sesuai dengan tujuan PBB, tindakan penggunaan ancaman atau kekerasan
merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan Piagam PBB serta
DEV

tidak akan pernah digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan isu-isu


internasional. Setiap negara juga dilarang mengorganisir ataupun mendukung
gerakan bersenjata ataupun tentara bayaran untuk menyerang negara lain.
Setiap negara juga dilarang mengorganisasikan, menghasut, membantu atau
ikut campur dalam pergolakan sipil atau tindakan teroris di negara lain atau
bentuk tindakan lain berupa penggunaan ancaman serta kekerasan. Wilayah
dari negara lain tidak boleh dijadikan objek pendudukan militer karena
penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan ketentuan Piagam PBB. (51
Document General Assembly Resolution No. 2625 (XXV) (A/8082) “Declaration
On Principles Of International Law Concerning Friendly Relations And Co-
Operation Among States In Accordance With The Charter Of The United
Nation”)

 Pasal 1 dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 2131 Tahun 1965 melarang setiap
negara melakukan intervensi dengan alasan apapun, baik secara lansung
ataupun tidak terhadap persoalan internal dan external dari negara lain.
Setiap negara dilarang melakukan tindakan intervensi militer ataupun bentuk
intervensi lainnya yang mengancam kedaulatan, politik, ekonomi dan budaya
dari negara lain.
Pasal 2 di atas menyatakan dengan tegas bahwa mengutuk setiap tindakan
dari suatu negara yang menggunakan atau mendorong penggunaan ekonomi,
politik atau jenis lain sebagai pemaksaan terhadap negara lain dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan kedaulatan suatu negara.
Juga melarang setiap negara mengatur, membantu secara finansial,
menghasut atau membiarkan tindakan subversif, teroris atau kegiatan
bersenjata yang diarahkan menggulingkan rezim negara lain, atau campur
tangan dalam konflik sipil di negara lain.
(Document General Assembly Resolution 2131 (XX) Of 21 December 1965
Declaration On The Inadmissibility Of Intervention In The Domestic Affairs Of
States And The Protection Of Their Independence And Sovereignty, Pasal 1
dan 2) contoh ****

 Hak asasi manusia adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat dan memiliki
kedudukan yang sama dengan kedaulatan

 Senjata hanya digunakan pada saat keadaan sudah sangat rumit dan
mengancam perdamaIan dunia

 A legal instrument or provision in itself is not a safeguard. A law cannot


guarantee complete success of every endeavour of intervention on
humanitarian grounds. But, with a law in place, a minimum standard of
accepted behaviour and procedure is set. An accepted standard could well
DEV

prove to be useful in setting right the chaotic state of affairs as they exist
presently

 Kedaulatan Negara harus dihormati dan Kedaulatan yang dimiliki oleh


negara−negara pada hakikatnya memuat tanggung jawab dasar untuk
melindungi individu−individu, harta benda dan untuk menjalankan fungsi
pemerintahan di wilayah terirorial masing−masing negara tersebut.

 Dalam hukum internasional terdapat suatu prinsip umum yang dinamakan


dengan "Par Imparem Non Hebet Imperium" yang berarti "Tidak ada suatu
negara berdaulat manapun yang dapat menaklukkan negara berdaulat
lainnya". Prinsip ini mendasari persamaan kedaulatan antar negara−negara
dalam hukum internasional.

 Tahun 1994 terjadi suatu kasus genosida (genocide) di Rwanda yang memakan
korban sebanyak 850.000 orang suku Tutsi. Pembunuhan massal (mass
murder) terhadap suku Tutsi tersebut dikomando oleh Akazu yang merupakan
kelompok mayoritas suku Hutu, lalu Genosida terhadap suku Kurdi di Irak
pada tahun 1987, konflik di Kosovo pada tahun 1998 sampai dengan 1999,
dan konflik Darfur pada tahun 2003. Pernyataan asli Kofi Annan : "Just as we
have learned that the world cannot stand aside when gross and systematic
violations of human rights are taking place, so we have also learned that
intervention must be based on legitimate and universal principles if it is to
enjoy the sustained support of the world's peoples. This developing
international norm in favour of intervention to protect civilians from
wholesale slaughter will no doubt continue to pose profound challenges to
the international community." Dikutip dari Humanitarian Action And State
Sovereignty, International Institute of Humanitarian Law , 2001, hal.38

 Kedaulatan negara adalah sebuah konsep yang intinya bermakna identitas


legal sebuah negara di dalam hukum internasional. Ide ini merupakan produk
dari konsep “Westphalian” mengenai kedaulatan negara yang dikembangkan
di era Eropa modern selama beberapa ratus tahun terakhir. Konsep inilah
yang menciptakan tatanan dan stabilitas di dalam hubungan internasional
karena negara-negara berdaulat, di bawah sistem Westphalian, dipandang
setara, tanpa memandang ukuran atau kekayaan yang berbeda-beda satu
sama lain. Prinsip kedaulatan yang setara dari semua negara adalah salah satu
prinsip dasar di dalam Piagam PBB (perjanjian yang ditetapkan oleh PBB pada
tahun 1945). Sebuah negara berdaulat memiliki yurisdiksi atau kontrol penuh
atas wilayah kekuasaannya. Di bawah sistem kedaulatan negara, negara-
negara lain tidak semestinya melakukan intervensi di dalam urusan internal
dari negara lain. Sementara PBB dibangun di atas pemahaman mengenai
kedaulatan negara ini, PBB juga adalah sebuah organisasi yang didedikasikan
DEV

pada pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Sejak akhir abad


ke-20, karakter dari konflik-konflik modern telah mengalami perubahan;
ketika konflik-konflik umumnya bersifat antar negara hingga pertengahan
abad ke-20, hari ini konflik-konflik umumnya adalah internal. Lebih dari itu,
perbandingan jumlah kaum sipil yang tewas di dalam konflik telah mengalami
peningkatan dari 10% pada permulaan abad ke-20 hingga menjadi 90% pada
tahun 2000.
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOht6ljNrXAhUNSI8KHQXhDUMQFggrMAE&url=
https%3A%2F%2Fr2pasiapacific.org%2Ffilething%2Fget%2F906%2FR2P_basic
_info_Bahasa.pdf&usg=AOvVaw1d9PrElR5U-O9lb7dMjBUF)

 Sejatinya, segala bentuk intervensi (sebuah negara melada negara lain) itu
tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan dan sistem
negara bangsa yang diadopsi sejak Perjanjian Westphalia 1948 di Eropa.
Sistem negara bangsa kemudian berkembang di Amerika Latin pada abad 19,
dan di Asia-Afrika abad ke 20 (pasca perang dunia ke dua), seiring dengan
kemerdekaan dari kolonialisme.

 Prinsip kedaulatan juga tertulis di Artikel 2 UN Charter poin 1: "The


Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its
Members." Sementara di poin 7: "Nothing contained in the present Charter
shall authorize the United Nations to intervene in matters which are
essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the
Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but
this principle shall not prejudice the application of enforcement measures
under Chapter Vll." http://www.un.org/en/sections/un-charter/chapter-
i/index.html

 Hans Kelsen menyatakan bahwa tujuan adanya hukum internasional adalah


untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri.
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiuo7T-
jNrXAhVMPo8KHZ5pAbAQFgg7MAM&url=http%3A%2F%2Fpustakahpi.kemlu.
go.id%2Fapp%2FVolume%25202%2C%2520Mei-
Agustus%25202011_35_45.PDF&usg=AOvVaw1b7d-7H2wBzMzOP-L9nraE)

 Tapi, persoalan semakin kompleks. Misal apa yang harus dilakukan oleh
masyarakat internasional untuk menjaga hak asasi manusia terutama
menghadapi crime against humanity atau kejatahan perang lainnya, seperti
genosida di Rwanda 1994 dan pembantaian Srebrenica di Bosnia 1995. Maka,
dibuatlah mekanisme yang memungkinkan terjadinya intervensi untuk
menghentikan kejahatan kemanusiaan semacam itu.
DEV

 Bicara kedaulatan akhirnya berkembang dari, tahun 2011 istilah ’right to


intervene’ diganti dengan istilah yang lebih soft yakni ’responsibility to
protect (R2P)'. Kedaulatan bukan lagi soal boleh intervensi atau tidak,
tetapi masalah tanggungjawab, terutama dalam melindungi hak asasi
manusia dari "genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crimes against
humanity."

 Mekanisme intervensi bisa dilakukan hanya dengan mekanisme atau


rekomendasi dari UN Security Council (Dewan Keamanan PBB). Chapter 7
UN Charter, Article 39: "The Security Council shall determine the existence of
any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall
make recommendations, or decide what measures shall be taken in
accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace
and security.". Intervensi yang dimaksud termasuk juga dalam hal penggunaan
pasukan bersenjata, embargo ekonomi dll (artikel 41) dan blokade baik darat,
laut maupun udara (artikel 42). http://www.un.org/en/sections/un-
charter/chapter-vii/index.html

 Jika disetujui oleh DK PBB, maka intervensi bisa dilakukan oleh organisasi
regional yang diberi otoritas oleh DK PBB bentuknya bisa organisais
keamanan regional maupun dengan membentuk Multi National Forces (MNF).
Intervensi juga dilakukan dalam kapasitas netral, bukan berpihak pada salah
satu kubu yang berkonfik. Tujuannya hanya untuk menghentikan konflik,
memastikan/mendorong perdamaian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.

 Namun intervensi melalui mekanisme DK PBB juga terbatas, karena 5 anggota


tetap DK PBB harus mufakat dan tidak mengeluarkan hak vetonya. Kasus
paling nyata adalah di Suriah (Syria), DK PBB tidak bisa mengeluarkan résolusi
karena Rusia mengeluarkan veto dan punya kepentingan untuk supply senjata
ke rezim Assad. Karena rusia termasuk dalam G5

 Untuk kasus ASEAN, khususnya menanggapi pelanggaran HAM termasuk


kasus Rohingya jelas tidak ada mekanismenya. ASEAN tetap berlandaskan
pada 'ASEAN Way" yakni asas non-intervensi, penyelesaian masalah secara
damai, dan musyawarah-mufakat.

 Jadi intinya, masalah kedaulatan (yang lahir dari Perjanjian Westphalia 1948)
dengan prinsip Hak Asasi Manusia (yang dideklarasikan secara universal
1948) masih menjadi dilema.

- Contoh:
DEV

The United States proclaimed them to be the guardians of humanitarian intervention


in the 90's even though they conducted no humanitarian interventions, but they did
commit many awful atrocities. The first US intervention of the 90's was in Iraq. This
was supposedly in response to the invasion of Kuwait but since there were still
diplomatic routes open to ending the occupation this is a ridiculous assertion. Also,
the US didn't care about territorial integrity when they invaded Panama in 1989, with
very similar circumstances and death toll to Iraq's invasion of Kuwait. The
intervention had numerous violations of human rights and international law, such as
the use of depleted uranium shells and the bombing of civilian targets such as houses
and water treatment facilities. The bombing was responsible for the deaths of about
200,000 people. But the US continued to intervene in Iraq and maintained sanctions
under the pretence of forcing Saddam out of power. But these sanctions caused
suffering on an enormous scale. Food and medicine was blocked and children
starved to death and died from curable diseases and there was no clean-up of
depleted uranium which resulted in unparalleled cancer and leukemia epidemics.
The sanctions were responsible for the deaths of about 1.5 million people by 1998,
most of them children, according to US judge Ramsey Clark. They were also
described as genocidal by Dennis Halliday, the UN humanitarian co-ordinator in Iraq
who resigned in protest of the sanctions. This was added to many other grievous
abuses. These include the terrorist attack on the Al-Shifra pharmaceutical plant in
Sudan, killing tens of thousands of people and destroying more than half the
pharmaceuticals to the poor country with aids, tuberculosis and cholera epidemics;
the double intervention in Somalia, killing 6 to 10 thousand people, mainly women
and children; and support for Turkish atrocities against the Kurds, Colombian
atrocities against its own people and Indonesian genocide in East Timor, all quite
arguably the worst crimes of the 1990's along with the genocide in Bosnia and the US
led sanctions on Iraq.
(http://debatepedia.idebate.org/en/index.php/Debate:_Humanitarian_intervention)

- Contoh
NATO bombing of Serbia, intervention in Kosovo worsened situation. For example
the Nato bombing of Serbia to "protect" Kosovo is one of the most cited examples of
humanitarian intervention. But the bombing, as well as killing many innocent
Serbians, also greatly escalated the murdering of Kosovar Albanians by the Serb
police - a response anticipated by NATO Commander General Wesley Clark and US
Secretary Of State, Madeline Albright. Far from solving the problem of ethnic
cleansing against the Kosovar Albanians, the bombing merely exacerbated it. The
Belgrade Centre for Human Rights wrote that “the airstrike erases the results of 10
years of hard work by NGOs etc. and the democratic opposition to promote non-
violent conflict resolution etc.” So this "humanitarian intervention" not only killed
innocent Serbians and exacerbated the crimes against the Kosovar Albanians but it
destroyed the hope for a peaceful overthrow of Milosevic.
(http://debatepedia.idebate.org/en/index.php/Debate:_Humanitarian_intervention)
DEV

- Contoh:
Intervensi kemanusiaan Amerika Serikat dan koalisi di Libya pada 2011 pada
dasarnya adalah upaya mengganti rezim Khadafi yang dianggap tidak ramah
terhadap negara-negara barat. Amerika Serikat menemukan momentum itu ketika
Libya dilanda revolusi politik yang berlarut-larut oleh kaum pemberontak yang
didukung barat. Demokratisasi ternyata tidak berjalan mulus seperti yang terjadi di
Tunisia dan Mesir dimana demonstran anti pemerintah berhasil menggulingkan
rezim Ben Ali dan Mubarak. Alih-alih mundur, Khadafi justru memberangus
kelompok anti pemerintah dengan kekerasan. Situasi ini membuat DK PBB terpaksa
mengambil langkah tegas. Tiga anggota tetap (Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)
minus Rusia dan Cina yang mengambil keputusan abstain mengeluarkan resolusi
untuk menggelar operasi militer terhadap Libya dengan satu misi: menyelamatkan
warga sipil yang menjadi korban penindasan rezim Khadafi. Intervensi kemanusiaan
di Libya adalah sebuah paradoks (Finnemore dalam Price 2008). Serangan koalisi ke
negara itu justru mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan sipil. Pada
serangan tanggal 20 Maret 2011 serangan NATO membunuh 48 warga sipil Libya
(Viva News 2011). Serangan militer itu membuktikan bahwa motivasi pasukan koalisi
tidak lagi bersifat kemanusiaan, tetapi politis. Setelah NATO mengambil alih
serangan, korban sipil terus berjatuhan. Pada tanggal 13 Mei 2011, serangan tentara
NATO menewaskan 16 warga sipil Libya dan melukai sedikitnya 40 orang di kota
Brega, Libya Timur (Antara News 2011). Intervensi Kemanusiaan dalam Studi
Hubungan Internasional Global & Strategis, Th. 10, No. 1 65 Bukti lain jika serangan
ke Libya bukan bermotif kemanusiaan adalah NATO menolak tawaran negosiasi dari
pemimpin Libya Moammar Khadafi (Republika 2011). NATO meragukan kredibilitas
tawaran damai tersebut. Penolakan barat tersebut bisa dikategorikan sebagai
pengabaian terhadap upaya damai. Bagi negara-negara barat, upaya damai tidak ada
gunanya jika Khadafi belum berhasil digulingkan dan menggantinya dengan rezim
demokratis.
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&
uact=8&ved=0ahUKEwiQvqfUltrXAhXLKY8KHSTbAYUQFgglMAA&url=http%3A%2F%2
Fjournal.unair.ac.id%2FJGS%40intervensi-kemanusiaan-dalam-studi-hubungan-
article-10423-media-23-category-8.html&usg=AOvVaw2BxDq5c-3Fmep5B7QEcgGh)

Contoh****:
1. Ada beberapa kasus serupa yang pernah terjadi, antara lain: Pertama, Kasus
Hungaria pada tahun 1956, tanggal 23 Oktober masyarakat Hungaria
melakukan demontrasi di Kota Budapest untuk menentang pemerintahan
pada masa itu.54 Negara Hungaria tidak mampu mengatasi permasalahan ini
sehingga meminta bantuan kepada Uni Soviet. Pada 4 November 1956,
pasukan Rusia memenuhi permintaan Negara Hungaria setelah Hungaria
mengajukan permintaan yang kedua.55 (54 D.J. Harris, 2004, Cases and
Materials on International Law, Sweet & Maxwell, London, hlm, 917.)
DEV

2. Kedua, Kasus Negara Grenada pada tahun 1979. Negara Grenada merupakan
negara kepulauan yang terletak di antara Trinidad dan Tobago serta negara
paling selatan dari kepulauan Windward, Karibia.56 Presiden terpilih Maurice
Bishop melakukan kerjasama dengan Negara Kuba dan Uni Soviet. Tindakan
Maurice Bishop tersebut menimbulkan banyak tekanan dari pihak oposisi
yang radikal. Pada 19 Oktober, Bishop dan para pendukungnya di gulingkan
oleh pihak yang menentangnya. Keributan semakin parah ketika pemerintah
Grenada melakukan kekerasan terhadap kerumunan masyarakat sipil.57 Pada
23 Oktober, Negara Amerika mengirimkan pasukannya ke Grenada dengan
beberapa alasan pembenar, yaitu: untuk melindungi warga Negara Amerika
Serikat; adanya permintaan untuk mengintervansi dari Organization Of
Eastern Caribbean States (OECS), Organisasi Negara-Negara Karibia Timur; dan
adanya permintaan intervensi dari Governor-General Grenada, dimana
kewenangannya untuk meminta bantuan Negara lain diragukan.58 Resolusi
Dewan Keamanan (DK) PBB menyatakan bahwa tindakan intervensi yang
dilakukan oleh pihak Amerika merupakan tindakan yang tidak sah atau illegal.
Negara Amerika Serikat melakukan veto terhadap Resolusi Dewan Keamanan
PBB.59 (57 Robert J Beck, “Grenada”, Oxford Public International Law, dapat
dilihat di http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-
9780199231690-e1292,diakses pada tanggal 25 Desember 2014. 58 Ibid., 59
D.J. Harris, 2004, Op.Cit. hlm, 919.)

3. Ketiga, kasus intervensi pasukan Uni Soviet ke Afganistan tahun 1987.


Kehadiran pasukan Uni Soviet untuk memenuhi permintaan pemerintahan
rezim mujahidin; juga dikarenakan adanya kerjasama persahabatan antara Uni
Soviet dan Afghanistan. 60 Dewan Keamanan PBB menyesalkan tindakan
intervensi yang dilakukan Uni Soviet. DK PBB mengeluarkan resolusi yang
menyatakan bahwa Negara Uni Soviet harus menarik kembali pasukan
militernya dari Afghanistan. Resolusi ini kemudian di veto oleh Negara Uni
Soviet. Terkait dengan tindakan Rusia tersebut, Majelis Umum PBB juga
mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Januari 1980.
Dalam Resolusi Majelis Umum tersebut menegaskan bahwa menghormati
kedaulatan, integritas wilayah serta kebebasan politik dari dari negara lain
merupakan prinsip dasar Piagam PBB.61 (59 D.J. Harris, 2004, Op.Cit. hlm,
919. 60 Ibid., hlm. 918.)

4. Keempat, kasus Nikaragua dengan Amerika Serikat pada tahun 1986. Pada
tahun 1984 Nikaragua menuntut negara Amerika Serikat ke Mahkamah
Internasional.62 Nikaragua mempermasalahkan tindakan intervensi yang
dilakukan oleh negara Amerika Serikat terhadap permasalahan internal
Nikaragua, serta penggunaan kekerasan atau the use of force terhadap
Nikaragua.63 Amerika Serikat menyatakan bahwa tindakan intervensi militer
yang dilakukan dalam kapasitas kolektif self defence.64 Negara Amerika
DEV

dalam kasus ini beralasan membantu negara Honduras, Costa Rica, dan El
Salvador.65 Mahkamah internasional memutuskan bahwa tindakan Amerika
telah melanggar ketentuan hukum internasional dengan melakukan intervensi
terhadap permasalahan internal Nikaragua.

1. Menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) Dalam melakukan intervensi


kemanusiaan di dalam wilayah negara lain tempat terjadinya pelanggaran
berat HAM atau hukum humaniter internasional, digunakan kekeuatan
bersenjata untuk melindungi korban dan menghentikan pelanggaran yang
terjadi. Oleh karena itu penggunaan tindakan intervensi yang tidak
menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) seperti ancaman atau
penggunaan sanksi ekonomi, diplomatic , atau politik atau sanksi lainnya tidak
dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan.
2. Dilakukan dengan tujuan kemanusiaan yaitu untuk menghentikan pelanggaran
berat HAM atau hukum humaniter internasionalDapat dilihat dari pengertian
di atas bahwa tujuan utama dari intervensikemanusiaan adalah untuk
mencegah atau menghentikan pelanggaran beratterhadap HAM atau hukum
humaniter internasional. Dengan demikian makamotif lain selain hal ini tidak
dapat dianggap sebagai sebuah intervensi kemanusiaan.
Dalam melakukan tujuan kemanusiaan tersebut intervensi yang dilakukan oleh suatu
negara dalam wilayah negara lain melibatkan penggunaan kekeuatan bersenjata. Hal
ini dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara tersebut. Penekanan
perlu dilakukan terhadap bagian dimana tindakan intervensi ini dapat dilakukan
tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara yang bersangkutan. Hal ini perlu
ditekankan karena eratkaitannya dengan kedaulatan suatu negara dan kemampuan
suatu negaradalam mengatasi permasalah HAM atau pun permaslahan humaniter di
dalamwilayahnya.

3. Dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi


Sebagaimana diakui dalam hukum internasional, suatu negara
memilikikedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi miliknya.
Olehkarenanya negara memiliki yurisdiksi atas benda, orang, ataupun
kejadianyang terjadi di dalam wilayahnya tersebut. Hal ini berarti negara juga
berdaulat penuh untuk mengatasi pelanggaran berat HAM ataupun hokum
humaniter internasional yang terjadi di dalam wilayahnya. Oleh karena itu
sepanjang negara tersebut masih mempunyai kemampuan dan kapasitas
untuk mengatasi permaslahan tersebut, negara lain tidak mempunyai hak
untuk mengintervensi. Intervensi kemanusiaan mungkin untuk dilakukan
tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi ketika
negaratersebut tidak berkeinginan atau tidak mempunyai kemampuan atau
kapasitasyang cukup untuk menyelasaikan permasalahan tersebut atau
negara tersebutmenjadi pelaku dari pelanggaran berat HAM atau hukum
humaniter internasional. Contohnya intervensi kemanusiaan yang dilakukan di
DEV

SomaliaTahun 1992 yang dalam hal ini Somalia dipandang tidak mampu untuk
menyelasaikan persoalan kemanusiaan yang terjadi di sana karena
dianggasebagai negara gagal.

Dilakuakan dengan atau tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB Tindakan


intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari Danish Institute of International
Affairs dapat dilakukan dengan atau tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.
Dewasa ini masyarakat internasional akan lebih bisa menerima suatu intervensi
kemanusiaan yang dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer Mauna bahwa
penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak sesuai dengan tujuan Piagam
PBB kecuali setelah mendapatotorisasi dari Dewan Keamanan PBB.

Contohnya adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda, dan


Haiti, yang manadilakukan berdasarkan otoritas Dewan Keamanan PBB sehingga
dapatditerima oleh masyarakat internasional.Sebaliknya, intervensi kemanusiaan
yang dilakukan oleh suatu negaratanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan
diragukan legalitasnya dancenderung mendapat penolakan dan kecaman dari
masyarakat internasional. Contohya adalah intervensi militer yang dilakukan NATO di
Kosovo pada Tahun 1999. Intervensi ini oleh sebagian besar sarjana dipandang
sebagai tindakan unilateral dari NATO tanpa ada otorisasi dari Dewan Keamanan
PBB.

Contoh lainnya adalah Intervensi militer yang dilakukan oleh AmerikaSerikat di


beberapa negara seperti di Nicaragua pada Tahun 1989, di GrenadaPada Tahun
1983, dan di Panama Tahun 1989 pada masa pemerintahan Ronald Reagan diragukan
oleh masyarakat internasional sebagai sebuah intervensi kemanusiaan yang
bertujuan untuk alasan kemanusiaan. Intervensi ini dipandang lebih bertujuan untuk
menggulingkan pemimpin totaliter dan memungkinkan hidupnya kebebasan memilih
secara demokratis di negara-negara tersebut.

Asia-Pacific Centre for the Responsibility to Protect: www.r2pasiapacific.org

Jayshree Bajoria and Robert McMahon, The Dilemma of Humanitarian


Intervention, https://www.cfr.org/backgrounder/dilemma-humanitarian-
intervention

Humanitarian Intervention: A Legal Analysis; KIRTHI JAYAKUMAR, FEB 6 2012


http://www.e-ir.info/2012/02/06/humanitarian-intervention-a-legal-analysis/

http://www.un.org/en/sections/un-charter/chapter-i/index.html
DEV

http://www.un.org/en/sections/un-charter/chapter-vii/index.html

https://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/humanitarian-
intervention-pada-kasus-konflik-di-libya_555e86bb347b612217796014

https://www.academia.edu/19798504/Intervensi_Kemanusiaan_Humanitarian_Inter
vention_Australia_dalam_Kasus_Teroris_ISIS_di_Afrika

Anda mungkin juga menyukai