Anda di halaman 1dari 40

TUGAS MAKALAH

“ STRATEGI PEMBELAJARAN KIMIA “

NAMA KELOMPOK
1. CITRA LESTARI ( E1M016009)
2. NI PUTU INTAN LISUARI RENA ( E1M0160
3. SRI NURSAKINAH ( E1M016067)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MATARAM
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Banyak usaha telah dilakukan oleh ilmuwan pembelajaran dalam mengklasifikasi
variable-variabel pembelajaran yang menjadi perhatiannya. Terutama bila dikaitkan
dengan kegiatan dalam ilmu merancang (a design science) pembelajaran. Pada tahun 1965,
seorang ilmuwan pengajaran yang bernama Glaser mengemukakan empat components of
a psychology of instructional. Keempat komponen tersebut, yaitu: (1) analisis isi bidang
studi, (2) diagnosis kemampuan awal siswa, (3) proses pengajaran, dan (4) pengukuran
hasil belajar. Klasifikasi lain, yang nampaknya lebih rinci dan amat memadai sebagai
landasan pengembangan suatu teori pembelajaran dikemukakan oleh Reigeluth, dkk. pada
tahun 1977. Pada mulanya mereka memperkenalkan empat variabel yang menjadi titik
perhatian, yaitu: (1) kondisi pengajaran, (2) bidang studi, (3) strategi pengajaran, dan (4)
hasil pengajaran. Variabel-variabel yang dikelompokkan ke dalam kondisi pengajaran
adalah karakteristik siswa, karakteristik lingkungan pengajaran, dan tujuan institusional.
Variabel bidang studi mencakup karakteristik isi/tugas. Variabel strategi pengajaran
mencakup strategi penyajian isi bidang studi, penstrukturan isi bidang studi, dan
pengelolaan pengajaran. Variabel hasil pengajaran mencakup semua efek yang dihasilkan
dari pengajaran, apakah itu pada diri siswa, lembaga, termasuk juga pada masyarakat
Jika kita melihat praktik kegiatan belajar mengajar di lapangan, kita akan
menemukan banyak guru yang belum mengetahui dasar penting dalam pembelajaran yaitu
variabel pembelajaran. Padahal pengetahuan yang baik tentang masalah ini akan membuat
guru lebih cakap dalam menangani dan memahami permasalahan yang terjadi di sekolah.
Sehingga pemahaman guru yang baik tentang variabel pembentukan pembelajaran dapat
mendukung terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang lancar. Masalah diatas masih
ditambah lagi dengan keterbatasan peran pemerintah untuk mencukupi fasilitas yang
diperlukan untuk mendukung kondisi pembelajaran yang termasuk dalam variabel
pembentukan pembelajaran. Untuk itu diperlukan peran guru yang lebih aktif dan kreatif
dalam menciptakan kondisi pembelajaran yang memadai namun terjangkau. Tidak hanya
menunggu peran pemerintah yang tidak pasti.
Pada dasarnya variable-variabel pembelajaran perlu diperhatikan oleh para
pengajar atau guru, agar dapat menuangkan variable-variabel pembelajaran ke dalam
desain pembelajaran. Dari pernyataan tersebut, maka calon guru perlu mengetahui secara
mendalam tentang variabel pembentuk pembelajaran. Seorang calon guru juga perlu
berfikir kritis apakah model-model desain pembelajaran yang selama ini digunakan masih
sesuai dengan paradigma baru pembelajaran. Pengetahuan tersebut bertujuan agar ketika
mereka benar-benar terjun dalam kancah pembelajaran di sebuah sekolah, mereka akan
menjadi guru yang menguasai medan, memahami masalah yang terjadi dalam
pembelajaran, dan mampu dengan bijak memyikapi masalah tersebut.Dengan latar
belakang diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Variabel Pembentuk
Pembelajaran
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu strategi pengorganisasian pembelajaran?
2. Apa itu strategi penyampaian pembelajaran?
3. Apa itu strategi pengelolaan pembelajaran?
4. Apa yang dimaksud dengan hasil belajar?
5. Apa saja yang menjadi variabel hasil belajar ?
6. Apa Karakteristik Bahan Ajar Dalam Standar Proses Pendidikan ?
7. Bagaimana Pemanfaatan Sumber Belajar yang didesain dalam pembelajaran ?
8. Bagaimana Pemanfaatan Sumber Belajar yang non desain dalam pembelajaran ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui strategi pengorganisasian pembelajaran
2. Untuk mengetahui strategi penyampaian pembelajaran
3. Untuk mengetahui strategi pengelolaan pembelajaran
4. Untuk mengetahui pengertian hasil belajar
5. Untuk mengetahui variabel hasil belajar
6. Untuk mengetahui Karakteristik Bahan Ajar Dalam Standar Proses Pendidikan
7. Untuk mengetahui Pemanfaatan Sumber Belajar yang didesain dalam pembelajaran
8. Untuk mengetahui Pemanfaatan Sumber Belajar yang non desain dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN

1. METODE PEMBELAJARAN

Metode pembelajaran adalah suatu proses yang sistematis dan teratur yang
dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materi kepada muridnya. Dengan cara ini
diharapakan tujuan dari kegiatan belajar mengajar dapat tercapai dengan baik.
Variabel-variabel dalam metode pembelajaran , terdiri atas 3 yaitu :
a) STRATEGI PENGORGANISASIAN PEMBELAJARAN
b) STRATEGI PENYAMPAIAN PEMBELAJARAN
c) STRATEGI PENGELOLAAN PEMBELAJARAN
A. Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran merupakan cara pengorganisasian isi pelajaran,
penyampaian pelajaran dan pengelolaan kegiatan belajar dengan menggunakan berbagai
sumber belajar yang dapat dilakukan guru untuk mendukung terciptanya efektivitas dan
efisiensi proses pembelajaran. Pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan
pembelajaran diarahkan pada berbagai komponen yang disebut sistem pembelajaran.
Oleh karena itu, strategi pembelajaran merupakan bagian terpenting dari komponen
teknik dan metode dalam suatu sistem pembelajaran.
Reiguluth (1983), juga menyatakan konsep yang tidak jauh berbeda, bahwa
strategi pembelajaran merupakan cara pandang dan pola pikir guru dalam mengajar.
Dengan demikian, strategi pembelajaran meliputi aspek yang lebih luas daripada metode
pembelajaran.

1. STRATEGI PENGORGANISASIAN PEMBELAJARAN


Strategi pengorganisasian isi pembelajaran disebut oleh Reigeluth,
Bunderson, dan Merrill (1977) sebagai structural strategy, yang mengacu kepada
cara untuk membuat urutan ( sequencing ) dan mensintesis (synthesizing) fakta-
fakta, konsep-konsep, prosedur, atau prinsip-prinsip yang
berkaitan.Sequencing mengacu kepada pembuatan urutan penyajian isi bidang studi
dansynthesizing mengacu kepada upaya untuk menunjukkan kepada si-pembelajar
keterkaitan antar isi bidang studi itu.
Pengorganisasian pembelajaran secara khusus, merupakan fase yang amat
penting dalam rancangan pembelajaran. Synthesizing akan membuat topik-topik
dalam suatu bidang studi menjadi lebih bermakna bagi si-belajar (Ausubel,1968)
yaitu dengan menunjukkan bagaimana topic-topik itu terkait dengan keseluruhan
isi bidang studi. Sequencing atau penataan urutan, amat diperlukan dalam
pembuatan sintesis. Strategi pengorganisasian terdiri atas dua jenis yaitu :
Strategi Makro dan Mikro
Strategi pengorganisasian makro diacukan untuk menata keseluruhan isi
bidang studi, strategi pengorganisasian mikro diacukan untuk menata sajian suatu
konsep, atau prinsip, atau prosedur.
A. Strategi Mikro
Teori Gagne dan Briggs, teori pembelajaran yang dikembangkannya
mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Kapabilitas Belajar

Lima kapabilitas belajar yang dapat dipelajarai oleh si-belajar, meliputi:


1. Informasi verbal. Si-belajar telah belajar informasi verbal apabila ia dapat
mengingat kembali informasi itu.
2. Ketrampilan Intektual. Si-belajar akan menggunakan suatu ketrampilan
intelektual apabila ia berinteraksi dengan lingkungan simbulnya bahasa dan
angka. Ketrampilan Intelektual mencakup lima katagori, yaitu: (1)Diskriminasi;
(2)Konsep konkrit; (3)Konsep abstrak; (4)Kaidah; (5)Kaidah tingkat lebih
tinggi
3. Strategi Kognitif. Siswa telah belajar strategi koqnitif apabila ia telah
mengembangkan cara-cara untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi proses
berfikir dan proses belajarnya.
4. Sikap. Keadaan mental yang komplek dari si-belajar yang dapat
mempengaruhi pelihannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
pribadi terhadap orang lain, benda, atau peristiwa.
5. Ketrampilan Motorik. Si-belajar telah mengembangkan ketrampilan
motorik apabila ia telah menampilkan gerakan-gerakan fisik dalam
menggunakan bahan-bahan atau peralatan-peralatan menurut prosedur.
Gagne dan Briggs mendeskripsikan kondisi belajar yang berbeda untuk
setiap katagori kapabilitas. Mereka membedakan dua jenis kondisi belajar yaitu:
1. Kondisi belajar internal. Mengacu kepada perolehan dan penyimpanan
kapabilitas-kapabilitas yang telah dipelajari si-belajar yang mendukung belajar
kapabilitas lainnya.
2. Kondisi belajar eksternal. Mengacu kepada berbagai cara yang dirancang
untuk memudahkan proses-proses internal dalam diri si-belajar ketika belajar.
2. Peristiwa Pembelajaran

Teori belajar pengolahan informasi mendeskripsikan bahwa tindakan


belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Gagne
(1985) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan dengan
menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu yang ia
sebut dengan “peristiwa pembelajaran”.
Peristiwa pembelajaran ini dibagi menjadi sembilan tahapan yang
diasumsikan sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-
proses internal dalam belajar, yaitu:
1. Menarik perhatian;
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada si-belajar;
3. Merangsang ingatan pada prasarat belajar;
4. Menyajikan bahan perangsang;
5. Memberikan bimbingan belajar;
6. Mendorong unjuk kerja;
7. Memberikan balikan informative;
8. Menilai unjuk kerja;
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar.
3. Pengorganisasian Pembelajaran (urutan pembelajaran)

Kini sampai pada inti kajian yaitu mendeskripsikan cara yang


diperkenalkan Gagne dalam mengorganisasikan urutan pembelajaran.
Pertimbangan terpenting dalam membuat urutan pembelajaran adalah ada
tidaknya prasyarat untuk suatu kapabilitas, dan apakah si belajar telah memiliki
prasyarat belajar itu.

Model Taba : Pembentukan Konsep


Taba(1980) memperkenalkan strategi pengorganisasian pembelajaran
tingkat mikro, khusus untuk belajar konsep dengan pendekatan induktif.
Strategi yang diciptakannya terdiri dari tiga tahapan sejalan dengan tiga
tingkatan proses berpikir yang dikemukakannya. Ketiga tingkatan proses
berpikir itu adalah: (1) pembentukan konsep, (2) intepretasi, dan (3) aplikasi
prinsip.

Pengorganisasian pembelajaran untuk keperluan pembentukan konsep


terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1. Mengidentifikasi contoh-contoh yang relevan dengan konsep yang akan
dibentuk.
2. Mengelompokkan contoh-contoh berdasarkan karakteristik serupa
(criteria tertentu) yang dimiliki.
3. Mengembangkan katagori atau nama untuk kelompok-kelompok itu.

Model Bruner: Pemahaman Konsep


Pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan
mengkategorikan yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda
pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan
menempatkan contoh-contoh ke dalam kelas dengan menggunakan dasar
criteria tertentu.
Bruner (1980) memandang bahwa suatu konsep memilki lima unsur dan
seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua
unsur dari konsep itu. Kelima unsure tersebut adalah (1)Nama; (2)Contoh-
contoh; (3)Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; (4)Rentangan
karakteristik, dan (5)Kaidah.
4. Menganalisis Strategi Berpikir untuk Memahami Konsep

Bruner (1980) menggunakan istilah strategi yang mengacu kepada


urutan keputusan yang dibuat oleh seseorang dalam meneliti setiap keputusan
yang dibuat oleh seseorang dalam meneliti setiap contoh dari suatu konsep.
Bruner juga mengembangkan strategi-strategi yang berbeda untuk mencapai
jenis konsep yang berbeda. Ada tiga strategi pengorganisasian pembelajaran
pemahaman konsep yang telah dikembangkan, yaitu: (1)Model penerimaan;
(2)Model pilihan, dan (3)Model dengan contoh yang terorganisasi.
1. Model penerimaan mengacu kepada strategi pengorganisasian contoh-
contoh konsep dengan memberi tanda “ya”, bila contoh itu menjadi contoh
konsep, dan tanda “tidak”, bila contoh itu bukan contoh konsep.
2. Model pilihan mengacu kepada strategi pengorganisasian contoh-contoh
konsep tanpa memberi tanda “ya” atau “tidak”.
3. Model dengan contoh yang terorganisasi mengacu kepada strategi
pemahaman konsep dengan menggunakan contoh-contoh yang terorganisasi
dalam lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.

B. STRATEGI MAKRO
1. Hirarki Belajar
Gagne (1968) menekankan pada penataan urutan dengan
memunculkan gagasan prasyarat belajar yang disebut hirarkhi belajar.
Reigeluth dalam Degeng (1988) mengemukakan bahwa analisis hirarkhi
belajar kurang berarti untuk membuat sintesis. Pendapat ini dipertegas oleh
Gagne (1977) bahwa analisis hirarkhi belajar kurang berarti untuk membuat
sintesis, dengan demikian untuk mengorganisasi keseluruhan isi bidang
studi (strategi makro) perangcang pembelajaran perlu beralih ke strategi
lain.
1. Analisa Tugas

Cara lain yang dipakai untuk menunjukkan keterkaitan isi bidang


studi adalahinformation- processing approach to task analysis Seseorang
dapat saja mempelajari langkah terakhir dari suatu prosedur pertama kali,
tetapi dalam unjuk kerja ia tidak dapat memulai dari langkah terakhir.
Gropeper, Landa, Merrill, Resnick, dan Scandura adalah orang-orang yang
pertama kali menekankan pentingnya hubungan jenis ini (information-
processing approach to task analysis ) dalam pengorganisasian pembelajran
pada tingkat makro.
2. Sub Sumptife Sequence

David Ausubel (1968) mengemukakan gagasan, cara membuat urutan


sistem pembelajaran yang dapat membuat pembelajaran jadi lebih bermakna, ia
menggunakan urutan dari umum ke rinci. Bila pengetahuan baru diassimilasikan
dengan pengetahuan yang sudah ada, maka perolehan belajar dan retensi akan
dapat ditingkatkan
3. Kurikulum Spiral

Jerome Brunner (1960) menyatakan bahwa a spiral curriculum merupakan


pembelajaran tingkat makro, dengan konsep pembelajaran dimulai dengan
mengajarkan isi pengajaran secara umum, kemudian secara lebih rinci.

4. Teori Skema

Anderson dkk. (1977) menguatkan pendapat David Ausubel (1968)


dengan tori skema, teori Ausubel (1968) memandang proses belajar sebagai
pengetahuan baru dalam diri si belajar dengan cara mengaitkannya dengan struktur
kognitif yang sudah ada dan hasil belajar sebagai hasil pengorganisasian struktur
kognitif yang baru, struktur kognitif yang baru ini akan menjadi asimilatif skema.

5. Webteaching

Norman (1973) mengenai webteaching sebagai prosedur menata


urutan isi bidang studi termasuk strategi makro. Prosedur ini menekankan
pentingnya peran struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh si belajar dan
struktur isi bidang yang akan dipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapat
Tillema (1983).

2. Strategi Peyampaian Pembelajaran


Strategi penyampaian (delivery strategy) mengacu kepada cara-cara yang
dipakai untuk menampilkan pembelajaran kepada peserta didik dan sekaligus untuk
menerima serta merespon masukan-masukan dari peserta didik. Oleh karena
fungsinya seperti ini, maka strategi juga disebut sebagai metode untuk melaksanakan
proses pembelajaran.
Menurut Degeng (1989) secara lengkap ada tiga komponen yang perlu
diperhatikan dalam mempreskripsikan strategi penyampaian, yaitu sebagai berikut:
a) Media Pembelajaran
Menurut Martin dan Briggs (1989), media adalah semua sumber yang
diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan peserta didik. Media bisa berupa
perangkat keras seperti komputer, televisi, proyektor, dan perangkat lunak yang
digunakan pada perangkat keras tersebut.
Ada lima cara untuk mengklasifikasikan media pengajaran untuk keperluan
mempreskripsikan strategi penyampaian, yaitu:
1. Tingkat kecermatan representasi
Suatu media yang bisa diletakkan dalam suatu garis kontinum, seperti:benda
konkrit, media pandang dengar, seperti film bersuara;media pandang, seperti
gambar atau diagram; media dengar ,seperti rekaman suara dan simbol-simbol
tertulis.
Bruner (1966) dalam pengembangan teori pengajarannya, mengemukakan bahwa
suatau pembelajaran harus bergerak dari pengalaman langsung ke representasi
ikonik (seperti: kata atau simbol-simbol lain).

2. Tingkat interaktif yang ditimbulkan


Tingkat interaksi yang mampu ditimbulkan oleh suatu media juga dapat
dibentangkan dalam suatu kontinum, tetapi titik-titik dalam kontinum ini
ditunjukkan oleh jenis media yang berbeda-beda: computer, guru, buku kerja, buku
teks/ rekaman dan siaran radio/televisi.
.
3. Tingkat kemampuan khusus yang dimiliki
Tingkat kemampuan khusu yang dimiliki oleh suatu media juga dapat dipakai
untuk mempreskripsikan strategi penyampaian. Tiap media dari berbagai media
ynag telah dibicarakan diatas, bak dari kontinum tingkat kecermatan maupun
tingkat interaktifnya, dapat diidentifikasi karakteristik khusu yang dimaksu adalah
kemampuannya dalam menyajikan sesuatu yang tidak dapat disajikan oleh media
lain.

4. Tingkat motivasional yang mampu ditimbulkan


Tingkat motivasional yang dimiliki suatu media juga penting, artinya untuk
keperluan mempreskripsikan trategi penyampaian. Namun,perlu dicatat bahwa
pengaruh motivasional ini sering kali amat bervariasi sejalan dengan perbedaan
perseorangan diantara peserta didik.
5. Tingkat biaya yang diperlukan
Tingkat biaya yang diperlukan dalam menyiapkan suatu media juga penting untuk
mempreskripsikan strategi peyampaian. Mulai dari perancangan sampai pada
pembuatannya kalau media itu dikembangkan sendiri.
Kemp (1985, hlm. 139) mengklasifikasi media pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan bentuk belajar-mengajar: kelas besar, kelompok kecil
dan belajar sesuai dengan kecepatan peserta didik secara perseorangan.
b) Interaksi Peserta Didik dengan Media
Bentuk interaksi antara peserta didik dengan media merupakan komponen
penting kedua untuk mengeskripsikan strategi penyampaian. Komponen inin
penting karena uraian mengenai strategi penyampaian tidaklah lengkap tanpa
memberi gambaran tentang pengaruh apa yang ditimbulkan oleh suati media pada
kegiatan belajar peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, media yang digunakan guru harus sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang tekah ditetapkan sehingga mampu merangsang dan
menumbuhkan minat peserta didik dalam belajar. Dengan demikian, akan tumbuh
interaksi antara media pembelajaran dan peserta didik dalam belajar. Adanya
interaksi positif antar media pembelajaran dan peserta didik pada akhirnya akan
mampu mempercepat proses pemahaman siswa terhadap isi pembelajaran. Irulah
sebabnya komponen ini lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan
belajar apa yang dilakukan peserta didik dan bagaimana peran media untuk
merangsang kegiatan-kegiatan belajar tersebut.

c) Bentuk Belajar Mengajar


Pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai bentuk maupun cara. Seperti
diungkapkan Gagne (1985) bahwa pembelajaran yang efektif harus dilakukan
dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai macam media pembelajaran.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki kiat maupun seni untuk
memadukan antara bentuk pembelajaran dan media yang digunakan sehingga
mampu menciptakan proses pembelajaran yang harmonis.

d) Pengelolaan variable dalam pembelajaran


Menurut Dunkin dan Biddle, proses pembelajaran berada dalam empat variable
interaksi, yaitu;
1. Variable pertanda (presage variables) berupa pendidik
2. Variable konteks (contex variables) berupa peserta didik
3. Variable proses (process variables) berupa proses kegiatan pembelajaran
4. Variable produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

3. Strategi Pengelolaan Pembelajaran


Strategi pengelolaan berkaitan dengan penetapan kapan suatu strategi atau komponen
strategin tepat dipakai dalam situasi pembelajaran (Degeng, 1989). Menurut Reigeluth dan
Merrill (1979) paling tidak ada empat hal yang menjadi urusan strategi pengelolaan, yaitu:
a) Penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran
Mengacu kepada kapan dan berapa kali suatu strategi pembelajaran atau komponen suatu
strategi pengajaran dipakai dalam suatu situasi pembelajaran.
b) Pembuatan Catatan Kemajuan Belajar Siswa
Catatan kemampuan belajar siswa sangat penting bagi guru, karena dapat
digunakan untuk melihat efektifitas dan efisiensi pembelajaran, guru akan dapat
menentukan langkah-langkah selanjutnya, seperti:
1) Apakah strategi pembelajaran yang digunakan telah sesuai / belum,
2) Apakah rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh faktor guru atau siswa, dan.
3) Apakah penjadwalan penggunaan strategi pelajaran sudah sesuai / belum.
c) Pengelolaan Motivasional
Menurut Degeng (1998) peranan strategi penyampaian untuk meningkatkan
motivasi belajar jauh lebih nyata dari strategi pengorganisasian. Ini berarti seni dan cara
penjadwalan penggunaan strategi penyampaian dapat memengaruhi motivasi belajar siswa.
Mengingat hal tersebut, seorang guru harus mampu mengembangkan kiat-kiat khusus
dalam melakukuan penjadwalan penggunan strategi penyampaian.
d) Kontrol belajar.
Kontrol belajar penting sekali untuk memprekrisikan strategi pengelolaan Karena ia
berguna untuk menetapkan agar pengajaran benar benar sesuai dengan karakteristik
perseorangan siswa. strategi pengelolaan yang berurusan dengan kontrol belajar banyak
terkait dengan aspek penjadwalan.
3. Pengaruh Karakteristik Siswa Dalam Menetapkan Strategi Pengelolaan
Reigluth (1983) jelas menunjukan variabel kondisional yang paling berpengaruh
dalam menetapkan strategi pengelolaan adalah karakteristik siswa. penampilan komponen
suatu strategi pengorganisasian harus disesuaikan dengan kemampuan awal siswa dan
berapa kali menampilkanya harus disesuaikan dengan kamejuan belajarnya.umpamanya,
penyajian pengetahuan analogis benar diperlakukan pada saat siswa mengalami kesulitan
memahami isi yang dipelajari. makin lambat kemajuan belajar siswa maka makin banyak
pula pengetahuan analogis yang perlu disajikan.
Karakteristik siswa juga harus menjadi pertimbangan pokok dalam pengelolaan
strategi penyampaian. media pandang hanya efektif bila digunakan pada siswa siswa yang
memiliki gaya belajar visual, sedangkan media dengar untuk siswa yang memiliki gaya
belajar auditif. umur siswa juga perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan media
pengajaran. media konkret lebih memadai untuk kelas rendah, sedangkan media yang lebih
abstrak untuk kelas tinggi
4. Tahap Pengelolaan Pembelajaran
Tahap-tahap pengelolaan pembelajaran terdiri dari :
1. Perencanaan, tahap perencanaan meliputi:
a. Menetapkan apa yang mau dilakukan, kapan dan bagaimana cara
melakukannya;
b. Membatasi sasaran dan menetapkan pelaksanaan kerja untuk mencapai hasil
yang maksimal melalui proses penentuan target;
c. Mengembangkan alternatif-alternatif;
d. Megumpulkan dan menganalisis informasi;
e. Mempersiapkan dan mengkomunikasikan rencana-rencana.

2. Pengorganisasian, tahap pengorganisasian meliputi:


a. Menyediakan fasilitas, perlengkapan dan tenaga kerja yang diperlukan
untuk melaksanakan rencana-rencana melalui proses penetapan kerja;
b. Pengelompokan komponen kerja ke dalam struktur organisasi secara teratur;
c. Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi;
d. Memutuskan dan menetapkan metode dan prosedur;
e. Memilih, mengadakan pelatihan dan pendidikan tenaga kerja serta mencari
sumber-sumber lain yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
3. Pengarahan, tahap pengarahan meliputi:
a. Menyusun kerangka waktu dan biaya secara terperinci;
b. Memprakarsai dan menampilkan kepemimpinan dalam
melaksanakan rencana dan pengambilan keputusan;
c. Mengeluarkan instruksi–instruksi yang spesifik;
d. Membimbing, memotivasi dan melakukan supervisi.

4. Pengawasan, tahap pengawasan meliputi:


a. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan yang mengacu pada rencana;
b. Melaporkan penyimpangan untuk tindakan koreksi dan merumuskan
tindakan koreksi, menyusun standar-standar dan saran-saran;
c. Menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap
penyimpangan-penyimpangan.

5. Tujuan dan Fungsi Pengelolaan Pembelajaran


Tujuan pengelolaan pembelajaran adalah untuk menciptakan proses
belajar mengajar yang dengan mudah direncanakan, diorganisasikan,
dilaksanakan dan dikendalikan dengan baik sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai ecara efektif dan efisien.
Fungsi pengelolaan pembelajaran yaitu :
a. Merencanakan tujuan belajar
b. Mengorganisasikan berbagai sumber belajar untuk mewujudkan
tujuan belajar.
c. Memimpin, yang meliputi memotivasi, mendorong, dan
menstimulasi siswa.
d. Mengawasi segala sesuatu, apa sudah berfungsi sebagaimana
mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.

2. HASIL PEMBELAJARAN

Pengertian hasil pembelajaran menurut Degeng (1989) adalah semua efek


yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan strategi
pembelajaran di bawah kondisi yang berbeda. Secara umum pengertian hasil belajar
adalah perubahan perilaku dan kemampuan secara keseluruhan yang dimiliki oleh
siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor (bukan hanya salah satu aspek potensi saja) yang disebabkan oleh
pengalaman.
Definisi hasil belajar lainnya bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang
dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal
tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar
yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri indivdu
penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan, kecakapan dasar dan perubahan
tingkah laku secara kuantitatif. Setelah suatu proses belajar berakhir, maka siswa
memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam
proses pembelajaran. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam kegiatan
pembelajaran adalah hasil belajar. Hasil belajar digunakan untuk mengetahui
sebatas mana siswa dapat memahami serta mengerti materi tersebut
Jadi, hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai siswa dalam proses
kegiatan belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan pembentukan
tingkah laku seseorang. Hasil belajar sebagai pengukuran dari penilaian kegiatan
belajar atau proses belajar dinyatakan dalam symbol, huruf maupun kalimat yang
menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu.
Melihat uraian diatas bisa disimpulkan pengertian hasil belajar secara umum adalah
adalah suatu hasil yang diperoleh siswa setelah siswa tersebut melakukan kegiatan
belajar dan pembelajaran serta bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang
dengan melibatkan aspek kognitif, afektif maupun psikomotor, yang dinyatakan
dalam symbol, huruf maupun kalimat. Variabel hasil pembelajaran dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kefektifan, (2) efisiensi, dan (3) daya
tarik.
a. Efektivitas pembelajaran
Degeng mengutip Reigeluth dan Merril yang mengungkapkan pengukuran
keefektifan pembelajaran harus selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan tujuan
pembelajaran. Reigeluth dan Merril mengungkapkan bahwa indikator untuk
menetapkan keefektifan pembelajaran adalah sebagai berikut :
a) Kecermatan penguasaan perilaku.
b) Kecepatan unjuk kerja.
c) Tingkat alih belajar.
d) Tingkat retensi
Degeng menambahkan lagi tiga indikator lainnya dalam kaitannya dengan
pencapaian tujuan, yaitu: (1) kesesuaian dengan prosedur, (2) kuantitas unjuk-kerja,
dan (3) kualitas hasil akhir. Dengan demikian, keseluruhan ada tujuh indikator yang
dapat digunakan untuk menetapkan keefektifan suatu pembelajaran, seperti berikut
ini:
a) Kecermatan penguasaan perilaku.
b) Kecepatan unjuk kerja.
c) Kesesuaian dengan prosedur.
d) Kuantitas unjuk kerja.
e) Kualitas hasil akhir.
f) Tingkat alih belajar.
g) Tingkat retensi.

a. Kecermatan Penguasaan
Kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari, juga sering disebut
dengan tingkat kesalahan unjuk kerja, dapat dipakai sebagai indikator untuk
menetapkan keefektifan pembelajaran. Makin cermat siswa menguasai perilaku
yang dipelajari, makin efektif pembelajaran yang telah dijalankan. Atau, dengan
ungkapan lain, makin kecil tingkat kesalahan, berarti makin efektif
pembelajaran. Kesulitan yang segera muncul adalah ketika penentuan kriteria
tingkat kecermatan. Tingkat kecermatan dapat ditunjukkan oleh jumlah
kesalahan dalam suatu unjuk-kerja. Makin banyak kesalahan yang dibuat,
makin tidak cermat unjuk-kerja siswa.
Berapa tingkat kesalahan yang bisa diterima untuk menetapkan bahwa suatu
pembelajaran efektif? Nampaknya sukar menemukan jawaban yang baku
mengenai pertanyaan ini. Ia akan amat tergantung pada jenis unjuk-kerja yang
diinginkan. Umpamanya, unjuk kerja: “Menghitung jumlah kuadrat 50 skor”,
menuntut tingkat kecermatan 100%. Dalam unjuk-kerja: “Membuat definisi
penelitian eksperimental”, tingkat kecermatannya bisa bergerak turun dari
100%. Pertanyaan yang muncul, berapa persen penurunan tingkat kecermatan
yang bisa ditoleransi sebagai ukuran keefektifan. Kemp (1985:230) memberi
rambu-rambu tentang hal ini, sebagai berikut:

“In a systematically planned academic cource, attainment of the 80 percent


level by at least 80 percent of the learners in a class could be acceptable as
a highly effective program. In a vocational or skill area, 90-90 (90 percent
of the trainees accomplishing 90 percent of the objectives) might be the
accepted success level.”

Indeks keefektifan mengungkapkan 2 hal pokok, yaitu (1) tingkat


persentase siswa yang mencapai tingkat penguasaan tujuan, dan (2) persentase
rata-rata penguasaan tujuan oleh semua siswa. Jadi, apabila semua siswa
mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan, maka indeks keefektifannya
dapat diungkapkan dengan 100-100. Ini adalah indeks keefektifan maksimum.
Apabila hanya 85% siswa mencapai 80% tujuan yang telah ditetapkan, apakah
pembelajaran dapat dikatakan efektif? Rambu-rambu Kemp dapat menjawab
pertanyaan ini.
Bagaimanapun juga, dengan berbagai kondisi yang ada: karakteristik
tujuan dan bidang studi, kendala, dan karakteristik siswa; demikian juga
ketidak-mampuan guru dalam merancang metode pembelajaran yang optimal:
strategi pengorganisasian, strategi penyampaian, dan strategi pengelolaan; akan
terlalu ideal kalau mengharapkan tingkat keefektifan 100%. Memang tingkat
keefektifan ini adalah yang terbaik, namun variabel kondisional pembelajaran
secara sistematik membatasi kemungkinan pencapaian tingkat keefektifan
tertinggi ini.

b. Kecepatan unjuk-kerja

Indikator kedua untuk mengukur tingkat keefektifan pembelajaran


adalah kecepatan dalam unjuk-kerja. Kalau kecermatan penguasaan dikaitkan
dengan jumlah kesalahan, maka kecepatan unjuk-kerja dikaitkan dengan jumlah
waktu yang diperlukan dalam menampilkan unjuk-kerja itu. Kecepatan unjuk
kerja ini diacu oleh Reigeluth dan Merrill (1979) sebagai performance
efficiency. Makin cepat seorang siswa manampilkan unjuk-kerja, semakin
efektif pembelajaran. Umpamanya, unjuk kerja:

“Menghitung jumlah kuadrat 50 buah skor”, yang diselesaikan oleh seorang


siswa dalam 5 menit, lebih efektif dari yang diselesaikan setelah 5 menit.
Bagaimanapun juga, jumlah waktu yang dipakai untuk menampilkan
unjuk-kerja, sebenarnya hanya merupakan indikator eksternal. Efisiensi unjuk-
kerja hakekatnya lebih dari sekedar mengukur jumlah waktu yang digunakan.
Ia juga mengacu kepada cara-cara singkat yang dipakai dalam unjuk-kerja.
Umpamanya, untuk menghitung jumlah kuadrat, tersedia beberapa rumus.
Rumus tertentu dapat membantu siswa menemukan hasil perhitungan lebih
cepat dari yang lain.

Kecepatan unjuk-kerja juga dapat ditaksir dari jumlah pengulangan hal


sama yang dilakukan siswa ketika menampilkan unjuk-kerja. Ini bisa terjadi
karena adanya kesalahan dalam menampilkan bagian-bagian dari suatu unjuk-
kerja sehingga perlu diulangi, atau karena melakukan usaha coba-gagal.
Semakin sedikit usaha coba-gagal dan/atau semakin sedikit kesalahan unjuk-
kerja bagian yang dilakukan siswa, maka semakin cepat ia menampilkan unjuk-
kerja itu.

c. Kesesuaian dengan Prosedur


Kesesuaian unjuk-kerja dengan prosedur baku yang telah ditetapkan
juga dapat dijadikan indikator keefektifan pembelajaran. Pembelajaran
dikatakan efektif apabila si-belajar dapat menampilkan unjuk-kerja yang sesuai
dengan prosedur baku yang telah ditetapkan. Indikator ini penting sekali
khususnya untuk unjuk-kerja tipe isi prosedural, baik tipe isi prosedural yang
menunjukkan hubungan prasyarat, maupun tipe isi prosedural yang
menunjukkan hubungan putusan.

Untuk tipe isi prosedural hubungan prasyarat, setiap bagian prosedur


yang menjadi prasyarat harus diselesaikan

lebih dulu sebelum menampilkan unjuk-kerja bagian prosedur


berikutnya. Umpamanya, unjuk-kerja: “Mengetik dengan mesin pengolah
kata”, harus mengikuti prosedur baku yang telah ditentukan. Unjuk-kerja
bagian-bagian prosedur tidak dapat diubah urutannya.

Untuk tipe isi prosedural hubungan putusan, penyelesaian suatu bagian


prosedur membawa pada pilihan-pilihan bagian prosedur berikutnya. keputusan
untuk mengikuti suatu bagian prosedur berikutnya harus diambil dengan tepat.
Kesalahan putusan dalam memilih suatu bagian prosedur akan mengantarakan
siswa pada kesalahan unjuk-kerja secara keseluruhan. Umpamanya, dalam
unjuk kerja: “Prosedur mengambil keputusan statistik dalam pengujian
hipotesis”. Penyelesaian suatu langkah prosedural menghitung nilai statistik,
membawa pada pilihan langkah prosedural berikutnya yaitu pengujian nilai
statistik. Apabila signifikan, maka hipotesis nihil ditolak, sedangkan apabila
tidak signifikan, maka hipotesis nihil diterima. Putusan “Hipotesis nihil
ditolak” dan “Hipotesis nihil diterima” ini didasarkan pada informasi yang ada
pada langkah prosedural sebelumnya, yaitu hasil pengujian nilai statistik.

d. Kuantitas unjuk-kerja
Sebagai indikator keefektifan pembelajaran, kuantitas unjuk-kerja
mengacu kepada banyaknya unjuk-kerja yang mampu ditampilkan oleh siswa
dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan. Perancang-perancang pembelajaran
banyak yang mengaitkan kuantitas unjuk-kerja ini pada jumlah tujuan yang
dicapai siswa. Makin banyak tujuan yang tercapai berarti makin efektif
pembelajaran. Dengan ungkapan lain, keefektifan suatu pembelajaran dapat
diukur dengan banyaknya unjuk-kerja yang mampu diperlihatkan oleh siswa.

Persoalan yang sama muncul kembali seperti pada uraian mengenai


tingkat kecermatan. Dengan ungkapan pertanyaan: berapa batas terendah
persentase tujuan yang tercapai untuk menetapkan suatu pembelajaran itu
efektif atau tidak? Rambu-rambu Kemp (1985), seperti telah dikemukakan
sebelumnya, nampaknya juga dapat dipakai di sini.

e. Kualitas Hasil Akhir


Kadang-kadang keefektifan suatu pembelajaran sukar diukur dengan
cara-cara sebelumnya, seperti pembelajaran dalam bidang ketrampilan atau
seni. Unjuk-kerja sering kali lebih didasarkan pada sikap dan rasa seni, daripada
prosedur baku yang harus diikuti. Oleh karena itu, cara-cara mengukur
keefektifan pembelajaran seperti diuraikan sebelumnya sukar diterapkan. Cara
yang paling mungkin untuk ini adalah mengamati kualitas hasil unjuk-kerja.
Umpamanya, unjuk-kerja melukis. Yang diamati bukan unjuk-kerja ketika
siswa melukis, tetapi lukisannya setelah selesai digarap.

Unjuk-kerja menari, umpamanya, tidak dapat diukur hanya dengan


menggunakan prosedur baku. Ada unsur lain, yaitu rasa seni, yang lebih
menentukan kualitas tarian. Dua orang penari meskipun telah mengikuti semua
prosedur baku yang telah ditetapkan, tetapi mereka tetap memperlihatkan
kualitas tarian yang berbeda.

f. Tingkat Alih Belajar

Kemampuan siswa dalam melakukan alih belajar dari apa yang telah
dikuasainya ke hal lain yang serupa, juga merupakan indikator penting untuk
menetapkan keefektifan pembelajaran. Indikator ini banyak terkait dengan
indikator-indikator sebelumnya, seperti: tingkat kecermatan, kesesuaian
prosedur, dan kualitas hasil akhir.

Indikator-indikator ini amat menunjang unjuk-kerja alih belajar. Oleh


karena itu, penetapan keefektifan pembelajaran berdasarkan tingkat alih belajar,
perlu didasarkan pada informasi mengenai indikator-indikator tersebut.

Semakin cermat penguasaan siswa pada unjuk-kerja tertentu, maka


semakin besar peluangnya untuk melakukan alih belajar pada unjuk-kerja yang
sejenis. Demikian pula, semakin sesuai unjuk-kerja yang diperlihatkan siswa
dengan prosedur baku yang telah ditetapkan, semakin besar peluangnya untuk
melakukan alih belajar pada unjuk-kerja yang sejenis. Akhirnya, semakin tinggi
kualitas hasil yang diperlihatkan siswa, semakin besar peluang keberhasilan
dalam melakukan alih belajar pada hasil unjuk-kerja yang sejenis.

g. Tingkat Retensi

Indikator terakhir yang dapat digunakan untuk menetapkan keefektifan


pembelajaran adalah tingkat retensi, yaitu jumlah unjuk-kerja yang masih
mampu ditampilkan siswa setelah selang periode waktu tertentu. Atau, dengan
menggunakan konsepsi memory theorists, jumlah informasi yang masih mampu
diingat atau diungkapkan kembali oleh si-belajar setelah selang waktu tetentu.
Jadi, makin tinggi retensi berarti semakin efektif pembelajaran itu.

Sebagai indikator pengukuran keefektifan pembelajar-an, tingkat retensi


lebih tepat dipakai pada pembelajaran yang menekankan ingatan. Kalau
menggunakan taksonomi Merrill (1983), dari tiga tingkat unjuk-kerja yang
dikemu-kakannya: mengingat, menggunakan, dan menemukan; tingkat
mengingat fakta, konsep, prosedur, atau prinsip, yang cocok digunakan untuk
menetapkan tingkat retensi. Kalau menggunakan taksonomi Gagne (1985),
maka pembelajaran ranah informasi verbal dapat diukur keefektifannya dengan
menggunakan tingkat retensi.

b. Efisiensi Pembelajaran
Efisien, menurut Freemont E. Kast, adalah optimasi sumber daya,
yaitu yang termudah cara mengerjakannya, termurah biayanya, tersingkat
waktunya, teringan bebannya, dan terpendek jaraknya. Bila dalam suatu usaha
mencapai tujuan tertentu dianggarkan 100 juta, tetapi dengan metode baru
dapat dikerjakan dengan 80 juta, maka terdapat efisiensi sebesar 20 juta. Dari
sini dapat dipahami bahwa efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan
perbandingan terbaik antara usaha dengan hasilnya.Efisiensi berarti pula
melakukan segala sesuatu secara benar, tepat, akurat, dan mampu
membandingkan antara besaran input dan output.
Dalam konteks belajar, efisiensi mempunyai arti, meningkatkan
kualitas belajar dan penguasaan materi belajar; mempersingkat waktu belajar;
meningkatkan kemampuan guru, mengurangi biaya tanpa mengurangi kualitas
belajar mengajar. Bagi suatu lembaga pendidikan, pengertian efisiensi tersebut
tampaknya mengarah pada efisiensi yang memberikan arti peningkatan
kemampuan guru dalam proses belajar-mengajar. Hal ini karena dalam proses
belajar mengajar yang mementingkan hubungan peserta didik dan guru, guru
menjadi pihak yang aktif. Efisiensi pembelajaran dapat diukur dengan rasio
antara keefektifan dengan jumlah waktu yang digunakan atau dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan.

c. Daya Tarik Pembelajaran

Daya tarik, sebagai hasil pembelajaran, erat sekali kaitannya dengan


daya tarik bidang studi. Namun demikian, daya tarik bidang studi, dalam
penyampaiannya, akan banyak tergantung pada kualitas pembelajarannya.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengukuran daya tarik pembelajaran
dapat dilakukan dengan mengamati apakah siswa ingin terus belajar atau tidak.
Jadi, kecenderungan siswa untuk tetap terus belajar bisa terjadi karena daya tarik
bidang studi itu sendiri, atau bisa juga karena kualitas pembelajarannya, atau
keduanya. Untuk mempreskripsikan daya tarik sebagai hasil pembelajaran,
maka tekanan diletakkan pada kualitas pembelajaran, bukan pada daya tarik
yang berasal dari bidang studi.

1. Daya Tarik Pembelajaran Vs Minat Siswa

Pada dasarnya, setiap bidang studi memiliki daya tarik tersendiri,


meskipun daya tarik ini amat tergantung pada karakteristik siswa, seperti:
bakat, kebutuhan, minat, serta kecenderungan-kecenderungan atau pilihaqn-
pilihan per-seorangan lainnya. Suatu bidang studi memiliki daya tarik tinggi
bisa karena sesuai dengan bakat siswa, atau dibutuhkan secara pribadi oleh
siswa, atau karena sekedar minat. Daya tarik inilah yang menyebabkan siswa
ingin mempelajari bidang studi itu. Namun kecenderungan ini, bagaimanapun
juga, dipengaruhi oleh bagaimana bidang studi itu diorganisasi dan
disampaikan kepada siswa. Jadi, strategi pengorganisasian pembelajaran dan
penyampaian pembelajaran memegang peranan yang amat peting untuk
mempertahankan dan sekaligus menunjukkan daya tarik bidang studi.
Meskipun demikian, strategi pengelolaan, yang berfungsi untuk menata
penggunaan kedua strategi pembelajaran itu, peranannya tak dapat diabaikan.

2. Kualitas Pembelajaran

Adalah tugas pembelajaran untuk menunjukkan daya tarik suatu


bidang studi kepada siswa. Pembelajaran dapat mengubah semuanya. Suatu
bidang studi bisa kehilangan daya tariknya karena kualitas pembelajaran yang
rendah. Kualitas pembelajaran selalu terkait dengan penggunaan metode
pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran, di bawah
kondisi pembelajaran tertentu. Ini berarti, bahwa untuk mencapai kualitas
pembelajaran yang tinggi, bidang studi harus diorganisasi dengan strategi
pengorganisasian yang tepat, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa
dengan strategi penyampaian yang tepat pula.
Sebagai hasil pembelajaran, kecenderungan siswa untuk tetap belajar,
adalah tanggungjawab pembelajaran, bukan tanggungjawab bidang studi.
Pembelajaran lah yang harus mampu membuat bidang studi itu menarik, dan
tidak sebaliknya. Bukan karena daya tarik bidang studi, kemudian
pembelajaran menjadi menarik. Agar dapat mempreskripsikan strategi
pembelajaran yang optimal, maka hubungan antara bidang studi dan
pembelajaran, lebih tepat diungkapkan dengan hubungan sebab-akibat. Di sini,
pembelajaran sebagai sebab dan daya tarik bidang studi sebagai akibat.

3. Indikator Daya Tarik Pembelajaran

Variabel penting yang dapat digunakan sebagai indikator daya tarik


pembelajaran adalah penghargaan dan keinginan lebih (lebih banyak atau
lebih lama) yang diperlihatkan oleh siswa. Kedua indikator ini dapat
dikaitkan, baik pada bidang studi, maupun pada pembelajaran.

Penghargaan dan keinginan untuk lebih banyak mempelajari isi bidang


studi, merupakan hasil pembelajaran yang bukan hanya disebabkan oleh daya
tarik bidang studi, tetapi terutama disebabkan oleh kualitas pembelajaran yang
mampu memciptakan penghargaan dan keinginan itu. Oleh karena itu, maka titik
awal pengukuran daya tarik, sebagai hasil pembelajaran, haruslah diletakkan pada
variabel metode pembelajaran: strategi pengorganisasian, penyampaian, dan
pengelolaan pembelajaran. Variabel inilah yang paling menentukan kualitas
pembelajaran secara keseluruhan.
3. KARAKTERISTIK BAHAN AJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses.
Standar proses Pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan.
Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar
dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar
proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik
pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil
pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses
pembelajaran yang efektif dan efisien.

Suatu bahan pembelajaran yang baik memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri yang melekat
pada bahan ajar yang disajikan (disusun) merupakan ciri khas yang membedakan antara
bahan pembelajaran yang baik dengan bahan pembelajaran yang tidak baik.

Bahan pembelajaran yang baik memenuhi syarat substansial dan penyajian sebagai
berikut:
a. Secara substansial bahan pembelajaran harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Sesuai dengan visi dan misi sekolah
Visi merupakan wawasan jauh ke depan yang menunjukkan arah bagi
pencapaian tujuan. Sedangkan misi merupakan gambaran tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh lembaga, dalam hal ini sekolah/madrasah. Visi dan misi
sekolah dalam pencapaiannya diwujudkan melalui proses pembelajaran, sedangkan
proses pembelajaran dibanguna diantaranya karena adanya bahan pembelajaran.
Oleh karena itu bahan pembelajaran yang disusun harus sesuai dengan visi, misi,
karena bahan pembelajaran itu sendiri merupakan sarana materi yang akan
disampaikan pada siswa dalam upaya mencapai visi dan misi sekolah.
2) Sesuai dengan kurikulum
Kurikulum yang dimaksud adalah seperangkat program yang harus
ditempuh siswa dalam penyelesaian pendidikannya. Paling tidak, secara sempit
kurikulum meliputi aspek tujuan/kompetensi, indikator hasil materi, metoda dan
penilaian yang digunakan dalam proses pembelajaran. Bahan ajar, dalam hal ini
merupakan pengembangan materi pembelajaran hendaknya senantiasa sesuai
dengan tujuan/kompetensi, materi dan indikator keberhasilan.
3) Menganut azas ilmiah
yang dimaksud adalah bahan ajar tersebut disusun dan disajikan secara
sistematis (terurai dengan baik) metodologis (sesuai dengan kaidah-kaidah
penulisan).
4) Sesuai dengan kebutuhan siswa
Bahan ajar merupakan hal yang harus dicerna dan dikuasai siswa. Dengan
demikian bahan ajar disusun semata-mata untuk kepentingan siswa. Oleh karena
itu, maka bahan ajar yang disusun hendaknya sesuai dengan kebutuhan siswa, yaitu
sesuai dengan tingkat berpikir, minat, latar sosial budaya dimana siswa itu berada.

b. Memenuhi kriteria penyajian, yang meliputi:


1) Memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi
Bahan pembelajaran yang disusun hendaknya memiliki derajat keterbacaan
yang tinggi, dalam arti bahasa yang disajikan menggunakan struktur kalimat dan
kosa kata yang baik, bentuk kalimat sesuai tata bahasa, dan isi pesan yang
disampaikan melalui huruf, gambar, photo dan ilustrasi lainnya memiliki
kebermaknaan yang tinggi.
2) Penyajian format dan fisik bahan pembelajaran yang menarik
Format dan fisik bahan pembelajaran juga harus diperhatikan. Format dan
fisik buku ini berkaitan dengan tata letak (layout), penggunaan model dan ukuran
huruf, warna, gambar komposisi, kualitas dan ukuran kertas, penjilidan, dsb. Format
dan fisik bahan ajar sebenarnya merupakan tanggung jawab penerbit (bila bahan
ajar tersebut diterbitkan), tetapi sebaiknya penulis memiliki gagasan bagaimana
format dan fisik bahan ajar yang diinginkan.Istilah belajar sudah sangat akrab
dengan kehidupan kita. Belajar, merupakan kegiatan yang terjadi pada semua orang
tanpa mengenal batas usia, dan berlangsung seumur hidup. Belajar merupakan
usaha yang dilakukan seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya untuk
merubah perilakunya yang relatif permanen pada dirinya sendiri. Tentu saja,
perubahan yang diharapkan adalah perubahan ke arah yang positif.
Dalam pasal 1 no 20 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”. Dari apa yang terdapat dalam Undang-Undang RI tentang
Sisdiknas tersebut jelaslah bahwa sumber belajar, di samping pendidik, mutlak
diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena
proses pembelajaran hanya akan berlangsung apabila terdapat interaksi antara
peserta didik dengan sumber belajar dan pendidik. Dengan kata lain tanpa sumber
belajar maka pembelajaran tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan optimal,
karena tidaklah mencukupi untuk mewujudkan pembelajaran bila interaksi yang
terjadi hanya antara peserta didik dengan pendidik saja. Yang sangat diperlukan dari
pendidik terutama adalah perannya dalam memberikan motivasi, arahan,
bimbingan, konseling, dan kemudahan (fasilitasi) bagi berlangsungnya proses
belajar dan pembelajaran yang dialami oleh peserta didik dalam keseluruhan proses
belajarnya. Sedang sumber belajar berperan dalam menyediakan berbagai informasi
dan pengetahuan yang diperlukan dalam mengembangkan berbagai kompetensi
yang diinginkan pada bidang studi atau mata pelajaran yang dipelajarinya. Oleh
karena itu sumber belajar yang beraneka ragaam, di antaranya berupa bahan (media)
pembelajaran memberikan sumbangan yang positif dalam peningkatan mutu
pendidikan dan pembelajaran.
Sebagai suatu proses, belajar-mengajar merupakan suatu sistem yang tidak
terlepas dari komponen-komponen didalamnya. Salah satu komponen penting
dalam proses belajar mengajar tersebut adalah sumber belajar. Sumber belajar
adalah daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar-mengajar,
baik secara langsung maupun tidak langsung, Depdiknas (2004: 12) menyebutkan
bahwa sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data,
orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar,
baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta
didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.
Dalam konteks yang lebih sempit sumber belajar misalnya buku-buku atau
media cetak lainnya. Pengertian sumber belajar tersebut sama sempitnya bila
diartikan sebagai semua sarana pembelajaran yang dapat menyajikan pesan atau
informasi secara auditif maupun visual saja, misalnya: OHP (over head projector),
slides, video, film, dan lain-lain. Dale (dalam Novrianti, 2012) mengemukakan
sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi
belajar seseorang. Pendapat lain dikemukakan oleh Association Educational
Comunication and Tehnology (AECT) (1997) yang menyebutkan bahwa sumber
belajar merupakan berbagai atau semua sumber baik berupa data, orang dan wujud
tertentu yang dapat digunakan peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah
maupun terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai
tujuan belajar.
Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya sumber
belajar begitu luas dan kompleks, lebih dari sekadar media pembelajaran. Segala
hal yang sekiranya diprediksikan akan mendukung dan dapat dimanfaatkan untuk
keberhasilan pembelajaran dapat dipertimbangkan menjadi sumber belajar.
Dengan pemahaman ini maka guru bukanlah satu-satunya sumber tetapi
hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar lainnya. Masih menurut Dale,
pengertian yang lebih luas tentang sumber belajar adalah pengalaman itu adalah
sumber belajar. Artinya, sumber belajar dalam pengertian tersebut menjadi sangat
luas maknanya, seluas hidup itu sendiri, karena segala sesuatu yang dialami
seseorang dapat dianggap sebagai sumber belajar sepanjang hal itu membawa
pengalaman nyata bagi orang yang bersangkutan sehingga secara tidak langsung
pengalaman itu menjadi salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan ia
melakukan kegiatan “belajar”.
Dalam pengembangannya, sumber belajar itu terdiri dari 2 (dua) macam,
yaitu:
(1) sumber belajaryang dirancang atau sengaja dibuat atau dipergunakan
untuk untuk membantu kegiatanpembelajaran, biasa disebut learning resources by
design, misalnya : buku, brosur, ensiklopedi, film, video, tape, slides, film strip,
OHP dan
(2) sumber belajar yang dimanfaatkan untuk memberikan kemudahan
kepada seseorang dalam belajar, berupa segala macam sumber belajar yang ada di
lingkungan sekitar. Sumber belajar ini disebutlearning resources by utilization,
misalnya: pasar, toko, museum, tokoh masyarakat dan sebagainya.

a. Sumber belajar yang di Desain dalam Pembelajaran


Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar
yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem
instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat
formal.Sumber belajar yang dirancang atau dipergunakan untuk membantu belajar
mengajar (learning resources by design): buku, brosur, ensiklopedi, film, video, tape,
slides, film strips, OHP.
Sumber belajar yang di desain merupakan sumber-sumber belajar yang secara
khusus di kembangkan sebagai “komponan sistem instruksional” yang diharapkan
dapat membantu kemudahan kegiatan belajar yang bersifat formal ataupun non formal
dan mempunyai tujuan tertentu. Dengan demikian sumber belajar jenis ini harus
dianalisis, direncanakan, dan kemudian baru dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
tujuan dan materi serta karateristik si belajar/siswa agar hasilnya benar-benar dapat
memudahkan belajar.
Sumber belajar yang tinggal dimanfaatkan yaitu sumber-sumber yang tidak secara
khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat di temukan, diterapkan,
dan digunakan untuk keperluan belajar.
Dari beberapa definisi dan penjelasan tentang teknologi instruksional dapat diambil
beberapa kesimpulan; bahwa teknologi instruksional menghasilkan sumber belajar
yang dapat digunakan untuk memperbaiki pengajaran. Terdapat fungsi-fungsi tertentu,
misalnya pengembangan instruksional, produksi media, pengelolaan sumber belajar,
penilaian program, dan sebagainya yang harus dijalankan oleh tenaga-tenaga tertentu
dalam bidang teknologi instruksional.
Sumber belajar yang didesain untuk keperluan belajar telah banyak dikenal orang.
Namun demikan tidak semua sumber yang didesain untuk keperluan pendidikan. AECT
dalam Miarso (1986: 88) disebutkan bahwa ada kesangsian apakah fasilitas yang ada
dalam masyarakat, misalnya museum semuanya itu didesain khusus terutama untuk
pembelajaran peserta didik sekolah dalam bidang yang sesuai dengan kurikulum.
Kenyataan bahwa sumber-sumber ini dimanfaatkan untuk membantu belajar manusia,
membuat semuanya itu menjadi sumber belajar.

 Orientasi Desain Pembelajaran


Desain pembelajaran lazimnya dimulai dari kegiatan analisis yang digunakan
untuk menggambarkan masalah pembelajaran sesungguhnya yang perlu dicari
solusinya. Setelah dapat menentukan masalah yang sesungguhnya maka langkah
selanjutnya adalah menentukan alternaif solusi yang akan digunakan untuk mengatasi
masalah pembelajaran. Seorang perancang program pembelajaran perlu menentukan
solusi yang tepat dari berbagai alternatif yang ada. Selanjutnya ia dapat menerapkan
solusi tersebut untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Evaluasi adalah langkah
selanjutnya, sehingga nantinya bias mengetahui rancangan atau desain yang sesuai
dengan pembelajaran dan desain tersebut bisa diaplikasikan dalam proses
pembelajaran.

Secara garis besar desain pembelajaran terdiri dari lima langkah penting, yaitu:
1) Analisis lingkungan dan kebutuhan belajar siswa.
2) Merancang spesifikasi proses pembelajaran yang efektif dan efesien serta sesuai
dengan lingkungan dan kebutuhan belajar siswa.
3) Mengembangkan bahan-bahan untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
4) Implementasi desain pembelajaran.
5) Implementasi evaluasi formaif dan sumatif terhadap program pembelajaran

Tujuan sebuah desain pembelajaran adalah untuk mencapai solusi terbaik dalam
memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang tersedia.
Dengan demikian, suatu desain muncul karena kebutuhan manusia untuk memecahkan
suatu persoalan yang dihadapi. Menurut Morisson, Ross & Kemp (2007) terdapat empat
komponen dasar dalam perencanaan desain pembelajaran. Keempat hal tersebut
mewakili pertanyaan pertanyaan berikut:
 Untuk siapa program ini dibuat dan dikembangkan? (karakteristik siswa atau
peserta ajar)
 Anda ingin siswa atau peserta ajar mempelajari apa?
 (tujuan)Isi pembelajaran seperti apa yang paling baik untuk dipelajari? (strategi
pembelajaran)
 Bagaimanakah cara anda mengukur hasil pembelajaran yang telah dicapai?
(prosedur evaluasi)

 Komponen Utama Desain Pembelajaran


Esensi desain pembelajaran hanyalah mencakup empat komponen, yaitu : peserta
didik, tujuan, metode, evaluasi.(Kemp, Morrison dan Ross, 1994).
1. Peserta didik
Dalam menentukan desain pembelajaran dan mata pelajaran yang akan
disampaikan perlu diketahui bahwa yang sebenarnya dilakukan oleh para
desainer adalah menciptakan situasi belajar yang kondusif sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai dan peserta didik merasa nyaman dan termotivasi
dalam proses belajarnya. Peserta didik sebelum dan selama belajar dapat
dipengaruhi oleh berbagai factor baik fisik maupun mental, misalnya kelelahan,
mengantuk, bosan, dan jenuh.
2. Tujuan
Setiap rumusan tujuan pembelajaran selalu dikembangkan berdasarkan
kompetesi atau kinerja yang harus dimiliki oleh peserta didik jika ia selesai
belajar. Seandainya tujuan pembelajaran atau kompetensi dinilai sebagai
sesuatu yang rumit, maka tujuan pembelajaran tersebut dirinci menjadi
subkompetensi yang dapat mudah dicapai.
3. Metode
Metode terkait dengan stratei pembelajaran yang sebaiknya dirancng agar
proses belajar berjalan mulus. Metode adalah cara-cara atau teknik yang
dianggap jitu untuk menyampaikan materi ajar. Dalam desain pembelajaran
langkah ini sangat penting karena metode inilah yang menentukan situasi
belajar yang sesungguhnya. Di lain pihak kepiawaian seorang desainer
pembelajaran juga terlihat dalam cara menentukan metode. Pada konsep ini
meode adalah komponen strategi pembelajaran yang sederhana.
4. Evaluasi
Konsep ini menganggap menilai hasil belajar peserta didik sangat penting.
Indikator keberhasilan pencapaian suatu tujuan belajar dapat diamati dari
penilaian hasil belajar. Seringkali penilaian dilakukan dengan cara menjawab
soal-soal objektif. Penilaian juga dapat dilakukan dengan format non soal, yaitu
dengan instrument pengamatan, wawancara, kuesioner dan sebagainya.

b. Sumber Belajar yang Non desain dalam Pembelajaran


Sumber belajar yang non desain yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus
untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.sumber belajar yang dimanfaatkan guna
memberikan kemudahan kepada seseorang dalam belajar berupa segala macam sumber
belajar yang ada disekelilingnya. Sumber belajar tersebut tidak dirancang untuk
kepentingan tujuan suatu kegiatan pengajaran yang disebut (learning resources by
utilization): pasar, toko, museum, tokoh masyarakat, taman dan sebagainya.
Dari kedua macam sumber belajar tersebut Depdiknas (2004: 20) menyebutkan
bahwa sumber-sumber belajar yang dimaksud dapat berbentuk:
(1) pesan, berupa: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan
sebagainya;
(2) orang: guru, instruktur, peserta didik, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat,
pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya;
(3) berupa bahan pembelajaran: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik
yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya;
(4) alat atau perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD,
kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan
sebagainya;
(5) berupa pendekatan/ metode/ teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah,
simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan
sejenisnya, dan
(6) lingkungan: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko,
museum, kantor dan sebagainya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Susilana (2009:200) menyebutkan bahwa sumber


belajar dapat dikategorikan menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: pesan, manusia/orang, bahan,
peralatan, teknik/metode, dan lingkungan. Untuk lebih mudah memahami keenam jenis
sumber belajar tersebut di bawah ini disajikan tabel yang terdiri dari (1) kategori, (2)
maksud, (3) contoh sumber belajar yang dirancang (by design) dan (4) contoh sumber
belajar yang dimanfaatkan (by utilization).
Keenam hal tersebut dijabarkan dalam tabel berikut ini.
CONTOH
KATEGORI MAKSUD
BY DESIGN BY UTILIZATION
1. Pesan Informasi yang Bahan ajar sains, Cerita rakyat,
disalurkan oleh pengetahuan sosial, dongeng, nasihat,
komponen lain bahasa, teknologi hikayat, dll.
berupa ide, fakta, informasi, dll.
pengertian, data
2. Manusia/orang Orang yang memiliki Guru, instruktur, Narasumber,tokoh
informasi, tidak peserta didik (tidak masyarakat,
termasuk yang termasuk teknisi dan pimpinan lembaga,
menjalankan fungsi pengembang kyai, dokter dsb.
pengembangan dan kurikulum)
pengelolaan sumber
belajar
3. Bahan Bisa disebut sebagai Transparansi, film, Relief, candi, arca,
software yang slides, taperecorder, komik, dll.
mengandung pesan grafik, dan
untuk disajikan sejenisnya yang
melalui pemakaian dirancanguntuk
alat Pembelajaran
4. Peralatan Bisa disebutsebagai OHP, LCD Generator, mesin
hardware yang Proyektor, TV, jahit, mesin bubut,
menyalurkan pesan kamera, dll. mobil, motor, dll.
untukdisajikan
dalamsoftware
5. Teknik/ Metode Prosedur yang Ceramah, tanya Permainan,
digunakan dalam jawab, penugasan, sarasehan, diskusi
menggunakan bahan diskusi, sosiodrama, ilmiah, debat, dll.
ajar, alat, situasi, dan dll.
orang yang
menyampaikan
pesan
6. Lingkungan Situasi di sekitar Ruang kelas, studio, Taman, kebun, took,
pembelajaran tempat perpustakaan, aula, museum, kelurahan,
pesan atau informasi auditorium yang tropong bintang, dll.
disampaikan dirancang untuk
pembelajaran

 Pemanfaatan Sumber Belajar Dan Peranannya Terhadap Keberhasilan Belajar

Bentuk dan cara pemanfaatan sumber belajar banyak sekali ragamnya, tergantung
pada ragam dan macam sumber belajar itu sendiri. Oleh karena itu penulis mengambil
beberapa macam proses pemanfaatan sumber belajar yakni interaksi terhadap guru,
pamahaman terhadap perpustakaan guru, kunjungan dan pemanfaatan perpustakaan
serta pemanfaatan media dan lingkungan sebagai sumber belajar
1) Interaksi terhadap Guru
Pada dasarnya proses belajar mengajar berintikan interaksi antara guru
dengan anak didik. Interaksi antara guru dan anak didik sangat penting untuk
diketahui, karena hal ini yang akan menentukan keberhasilan belajar. Maka dari itu,
guru mempunyai tanggung jawab yang utama yakni membina hubungan yang
sebaik-baiknya dengan anak didiknya. Di dalam interaksi ini terjadi proses
pengaruh mempengaruhi, guru memberikan suatu pelajaran tentunya akan
mempengaruhi anak didik yang belajar, dengan demikian pengetahuan anak didik
menjadi bertambah.
Peranan guru disini sebagai pendidik dan pembimbing. Didikan dan
bimbingan tidak hanya diberikan di dalam kelas, tetapi juga diluar kelas ataupun
luar sekolah. Adanya tujuan yang jelas sebagai usaha-usaha sadar, maka proses
belajar mengajar disebut proses interaksi edukatif, yaitu proses yang mengandung
sejumlah ilmu sebagai medium untuk mencapai keberhasilan belajar. Menurut
Suryosubroto dalam bukunya proses belajar mengajar bahwa: "Interaksi edukatif
adalah hubungan timbal balik antara guru (pendidik) dan anak didik (murid) dalam
suatu sistem pengajaran interaksi edukatif merupakan faktor penting dalam usaha
mencapai terwujudnya situasi belajar dan mengajar yang baik dalam kegiatan
pendidikan dan pengajaran. Tercapainya tujuan proses belajar mengajar yang baik
dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran memerlukan usaha tercapainya interaksi
yang baik pula antara guru dan anak didik. Dengan demikian interaksi edukatif yang
berlangsung, telah terjadi interaksi antara guru dan anak didik yang
menggerakkannya. Interaksi yang bertujuan tersebut disebabkan oleh guru yang
memakainya dalam kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan
layanan yang terbaik kepada anak didik dengan menyediakan lingkungan yang
menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik
dengan arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis
antar guru dan anak didik.
Ada tiga pola komunikasi antara guru dan anak didik dalam interaksi belajar
mengajar yaitu: komunikasi sebagai aksi (guru sebagai pemberi aksi dan siswa
sebagai penerima aksi), komunikasi sebagai interaksi (guru dan anak didik sama-
sama sebagai pemberi dan penerima aksi) dan komunikasi sebagai transaksi
(adanya interaksi guru dengan anak didik dan anak didik dengan anak didik),
demikian menurut Nana Sudjana. Ketiga pola tersebut dikemukakan oleh Nana
Sudjana tersebut berarti bahwa kegiatan interaksi belajar mengajar sangat beraneka
ragam caranya, mulai dari kegiatan yang didominasi oleh guru sampai kegiatan
mandiri yang dilakukan anak didik. Hal itu tentu tergantung kedua belah pihak
antara guru dan murid. Penggunaan variasi pola komunikasi dimaksudkan agar
tidak menimbulkan kebosanan, kejenuhan serta untuk menghidupkan suasana kelas
demi keberhasilan anak didik dalam mencapai keberhasilan belajar. Dalam jenis
pola interaksi ini Zahara Idris, juga mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1) Pola komunikasi satu arah
Yaitu guru menjadi pusat belajar mengajar (teacher centered). Guru
menyampaikan pelajaran dengan berceramah, anak didik mendengarkan dan
mencatat. Jadi gurulah yang merencanakan, mengendalikan dan melaksanakan
segala sesuatunya. Komunikasi ini lebih banyak kelemahannya di balik
kebaikannya. Diantara kelemahannya antara lain, suasana kelas beku,
cenderung otoriter, pengertian anak didik tidak cepat diketahui guru dan
membuat bosan anak didik.
2) Pola komunikasi dua arah
Dalam proses belajar mengajar terjadi suatu proses saling bertukar pikiran atau
saling memberi informasi antara pikiran guru dan anak didik. Pola komunikasi
ini dibagi menjadi tiga jalur diantaranya:
a) Jalur dua arah, guru dan anak didik
Pada jalur ini anak didik mempunyai kesempatan bertanya, mengajukan
pendapat dan sebagainya.
b) Jalur dua arah guru, anak didik dan anak didik bersampinganJalur ini anak
didik tidak hanya bertanya kepada guru, tetapi juga temannya yang ada di
sampingnya
c) Jalur dua arah guru - anak didik dan antar anak didik
Jalur ini lebih luas daripada di atas, karena siswa juga dapat berinteraksi
antar teman bukan hanya pada teman sebelahnya.
Dari berbagai macam pola komunikasi tersebut, memberikan bentuk yang
berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kelemahan dan
kebaikan. Akan tetapi komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai
transaksi dianggap sesuai dengan konsep cara belajar siswa aktif yang
dikehendaki oleh para ahli pendidikan modern.
Dengan demikian jelas peran guru, sebagai sumber belajar yang dilakukan
melalui jalur interaksi dengannnya. Dengan intimnya interaksi antara guru
dengan murid, maka murid akan mendapat banyak informasi terutama hal-
hal yang berkaitan dengan bahan pelajaran. Siswa akan lebih mengetahui
atau bahkan menguasai bahan pelajaran, dan ilmu. Hal ini merupakan
indikasi bahwa siswa tersebut berhasil dalam belajar.

2) Pemahaman terhadap Buku


Informasi dan pengetahuan bisa dengan pemahaman terhadap buku, karena
dalam buku tersimpan infomasi dan ilmu pengetahuan. Pemahaman terhadap suatu
buku tidak bisa datang dengan sendirinya, namun perlu usaha dan keterampilan
tersendiri yaitu keterampilan membaca.
Membaca sebenarnya menjadi kebutuhan hidup. Dengan keterampilan
membaca seseorang akan memasuki dunia keilmuan yang penuh pesona. Menurut
The Liang Gie, ”Aktivitas membaca yang terampil akan membuka jendela
pengetahuan yang luas, gerbang kearifan yang dalam, dan lorong keahlian yang
lebar di masa depan. Kegiatan dan keterampilan membaca itu tidak dapat diganti
dengan metode-metode yang lain.
Membaca adalah ”melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang
tertulis”. Membaca bila diterjemahkan dalam bahasa inggris adalah ”to get the
meaning of writing by interpriting the caracters” (mendapatkan makna dari suatu
tulisan dengan cara menafsirkannya). Menurut The Liang Gie membaca adalah
”serangkaian kegiatan pikiran seseorang yang dilakukan secara penuh perhatian
untuk memahami makna suatu keterangan yang disajikan kepada indra penglihatan
dalam bentuk lambang huruf dan tanda lainnya. Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa membaca bukanlah kegiatan mata memandang serangkaian
kalimat dalam bahan bacaan atau hanya melafalkan kata-kata yang di lihat,
melainkan membaca terutama adalah kegiatan pikiran memahami suatu keterangan
melalui panca indera. Belajar memang tidak lepas dari membaca. Ayat Al-Qur'an
yang pertama turun dengan perintah membaca dan menulis, yakni Artinya:
”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah”.
Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam kegiatan membaca, maka
seseorang harus mempunyai keterampilan membaca, sehingga ia memiliki
kemampuan sebagai seorang pembaca yang efisien, yang mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Memiliki kebiasaan-kebiasaan baik dalam membaca
b. Dapat membaca cepat
c. Dapat menangkap dan memahami isi bahan bacaannya.
d. Seusai membaca dapat mengingat butir-butir gagasan utama dari bahan
bacaanya.
Ciri-ciri tersebut akan terpenuhi jika pembaca mempunyai kemampuan melakukan
konsentrasi secara intensif sewaktu membaca pelajaran. Dengan demikian
kegiatan membaca tersebut berhasil, dan pada akhirnya akan menambah
pengetahuan dan pengalaman seseorang.

3) Kunjungan dan Peminjaman Buku Perpustakaan


Perpustakaan merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam setiap program
pendidikan. Tujuannya adalah untuk mendukung, memperlancar, mempertinggi
pelaksanaan program kegiatan sekolah melalui pelayanan informasi dan
mempertinggi keberhasilan belajar siswa.
Menurut The Liang Gie yang mengutip pendapat J.N. Hook dan William F.
Ekstrom, menyatakan bahwa perpustakaan merupakan jantung setiap lembaga
pendidikan. Barang siapa yang ingin mempelajari hampir segala pokok soal apapun
yang diketahui oleh manusia dapat terhimpun keterangan dalam suatu
perpustakaan.
Perpustakan adalah: ”Kumpulan buku-buku (bacaan dan sebagainya)”. The
Liang Gie memberi definisi perpustakaan adalah sebuah kumpulan atau tempat
penyimpanan fisik yang di da lamnya suatu kumpulan demikian itu disimpan.
Jadi, perpustakaan adalah suatu unit kerja yang bertempat menyimpan
koleksi bahan pustaka yang diatur secara sistematis dengan cara tertentu untuk
digunakan secara berkesinambungan oleh pemakainya sebagai sumber informasi.
Perpustakaan mempunyai misi mulia yaitu menunjang upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui jasa layanan infomasi. Dengan pengertian lain, semua isi
perpustakaan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pengguna dalam rangka
mencari informasi. Perpustakaan kini dianggap sebagai pusat pembacaan yang
mempunyai fungsi mencerdaskan pikiran orang-oang yang menggunakannya.
Dengan berkunjung dan meminjam buku perpustakaan serta membaca buku
tersebut maka seseorang akan mendapatkan sejuta pengetahuan.
Ciri utama suatu perpustakaan adalah adanya unsur-unsur pemakai
(peminjam buku) terhadap koleksi buku yang ada di dalam perpustakaan tersebut
dimanfaatkan maka harus dikelola dengan baik sesuai dengan aturan yang ada. Oleh
karena itu perlu diperhatikan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan
pengelolaan perpustakaan. Fakto-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu internal dan eksternal
4. Lingkungan sebagai SumberBelajar

Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan
memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran
peserta didik. Dengan kata lain dapat disebut bahwa lingkungan dapat
memperkaya bahan ajar dan kegiatan belajar. Lingkungan yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari : (1) lingkungan sosial dan (2)
lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan
untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan
kesadaran peserta didik akan cinta alam dan partispasi dalam memlihara dan
melestarikan alam.
Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan
kegiatan dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti melakukan
survei, karyawisata, berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan
belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut
sebagai out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran dengan
menggunakan alam terbuka. Di samping itu pemanfaatan lingkungan dapat
dilakukan dengan cara membawa lingkungan ke dalam kelas, seperti :
menghadirkan narasumber untuk menyampaikan materi di dalam kelas. Agar
penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan efektif, maka perlu
dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak lanjutnya.
Sumber belajar akan dapat digunakan bila sumber belajar itu tersedia
sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Penggunaan sumber belajar
merupakan komponen yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, karena
tanpa menggunakan sumber belajar maka pesan yang tersimpan dalam materi
suatu pelajaran sulit di terima oleh peserta didik. Semakin banyak sumber belajar
yang digunakan semakin banyak pula keterlibatan indera peserta didik dalam
penerimaan pesan tersebut dan akan semakin banyak kesan dan pengalaman yang
di serap oleh pesertadidik.
Secara teoritis pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar
mempunyai berbagai arti penting. Ini karena lingkungan mudah dijangkau,
biayanya relatif murah, objek permasalahan dalam lingkungan beraneka ragam
dan menarik serta tidak pernah habis. Sehubungan dengan pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar ini, Nasution (dalam Novrianti, 2012)
menyatakan bahwa pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu (1) dengan cara membawa sumber-sumber dari
masyarakat atau lingkungan ke dalam kelas dan (2) dengan cara membawa
peserta didik ke lingkungan. Tentunya masing-masing cara tersebut dapat
dilakukan dengan pendekatan, metode, teknik, dan bahan ajar tertentu yang sesuai
dengan tujuanpembelajaran.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam rangka membawa peserta
didik ke dalam lingkungan itu sendiri yaitu metode karya wisata, service proyect,
school camping, surfer dan interviuw. Lewat karyawisata umpamanya, peserta
didik akan memperoleh pengalaman secara langsung, membangkitkan dan
memperkuat belajar peserta didik, mengatasi kebosanan peserta didik belajar
dalam kelas serta menanamkan kesadaran peserta didik tentang lingkungan dan
mempunyai hubungan yang lebih luas dengan lingkungan.
Namun metode karya wisata ini memiliki kelemahan yang berbeda yang
berkaitan dengan waktu dan follow up karya wisata ini perlu diperhatikan secara
cermat. Demikian juga dengan metode lain yang membawa peserta didik ke luar
kelas, metode yang di pilih memerlukan rencana yang lebih cermat dan matang
serta harus berpedoman kepada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Cara
yang kedua yaitu dengan cara membawa sumber dan lingkungan luar ke dalam
kelas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membawa resourses person, hasil,
contoh dan koleksi tertentu ke dalam kelas.
Kedua cara yang telah dijelaskan di atas sebenarnya saling berkaitan satu
dengan yang lainnya karena keduanya dapat dikombinasikan. Misalnya melalui
karya wisata peserta didik mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan
berbagai benda sehingga koleksi benda tersebut dapat memperkaya khasanah
laboratorium di sekolah dan sewaktu-waktu benda- benda tersebut dapat
digunakan sebagai media sekaligus sebagai sumber belajar.

 Teknik Menggunakan Lingkungan sebagai Sumber Belajar


Ada beberapa cara bagaimana mempelajari lingkungan sebagai media dan
sumber belajar, yaitu:
a. Survey
siswa mengunjungi lingkungan seperti masyarakat setempat untuk
mempelajari proses sosial, budaya, eonomi, kependudukan dan lain-lain.
Kegiatan belajar dilakukan siswa melalui observasi, wawancara dengan berbagai
pihak yang dipandang perlu, mempelajari data atau dokumen yang ada, dan lain-
lain. Hasilnya dicatat dan dilaporkan di sekolah untuk dibahas bersama dan
disimpulkan oleh guru dan siswa untuk melengkapi bahan pengajaran.
b. Field trip atau karya wisata
Dalam pengertian pendidikan karyawisata adalah kunjungan siswa keluar
kelas untuk mempelajari objek tertentu sebagai bahan integral dari kegiatan
kurikuler di sekolah. Objek karyawisata harus relevan dengan bahan pengajaran
misalnya museum untuk pelajaran sejarah, kebun binatang untuk pelajaran
biologi, taman mini untuk pelajaran ilmu bumi dan kebudayaan, peneropongan
bintang di Lembang untuk fisika dan astronomi. Karyawisata sebaiknya
dilakukan pada akhir semester atau catur wulan dan dikaitkan dengan keperluan
pengajaran dari berbagai bidang studi secara bersama-sama dan dibimbing oleh
guru bidang studi yang bersangkutan.
c. Praktik lapangan
Praktik lapangan dilakukan oleh para siswa untuk memperoleh ketrampilan
dan kecakapan khusus. Misalnya siswa SPG diterjunkan ke sekolah dasar untuk
melatih kemampuan sebagai guru di sekolah. Siswa SMEA dikirimkan ke
perusahaan untuk mempelajari dan mempraktekkan pembukuan, akutansi dan
lain-lain.
d. Mengundang manusia sumber atau narasumber
Sekolah mengundang tokoh masyarakat ke sekolah untuk memberikan
penjelasan mengenai keahliannya di hadapan para siswa. Misalnya mengundang
dokter atau mantri kesehatan untuk menjelaskan berbagai penyakit, petugas
keluarga berencana untuk menjelaskan keluarga kecil, petugas pertanian untuk
menjelaskan cara bercocok tanam, dan lain-lain.
e. Melalui proyek pelayanan dan pengabdian pada masyarakat
Cara ini dilakukan apabila sekolah (guru dan siswa secara bersama-sama
melakukan kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat seperti pelayanan,
penyuluhan, partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan kegiatan lain yang
diperlukan. Misalnya para siswa membantu memberikan pelayanan posyandu,
perbaikan jembatan, jalan-jalan, kebersihan lingkungan, dan lain-lain.
f. Night at school
Night at school adalah pintu gerbang untuk mengikuti asyiknya petualangan
belajar. Di saat anak kelas satu sudah merasa nyaman berinteraksi di sekolah,
maka kini saatnya mereka mendapatkan suasana yang berbeda: berpisah dengan
orangtua selama semalam, dan tidur bersama teman-teman. Dengan kata lain,
NAS merupakan ajang pembuktian: mampukah anak-anak sejenak terlepas dari
rumah? Melalui kegiatan ini guru bisa menjalin kedekatan emosi dengan anak-
anak. Tujuan NAS adalah meningkatkan keberanian, kemandirian,
tanggungjawab dan leadership. Pembentukan karakter dimulai sejak awal anak
masuk sekolah. NAS bisa menjadi salah satu alat ukur, sampai di mana kemajuan
yang mereka peroleh selama tiga bulan bersekolah. Selama menginap di sekolah,
semua anak berusaha mengurus diri sendiri. Tidak ada orang tua atau guru yang
membantu. Kalaupun ada, maka yang membantu adalah teman-teman mereka
sendiri. Mereka makan malam bersama-bakar jagung, ayam, atau ikan jika ada.
Shalat berjamaah, mengaji, menyimak kisah-kisah kepahlawanan, dan saling
bercerita. Dalam suasana yang akrab, anak-anak kelas 1 diharapkan mulai berani
mengungkapkan pendapat, dan anak-anak kelas 2-3 mulai belajar menghargai
pendapat kawan dan adik-adik kelasnya.
g. Homestay
Program ini mengantarkan anak-anak berinteraksi dengna kehidupan yang
sangat berbeda dengan kesehariannya. Selama tiga hari mereka bukan hanya
berpisah dengan keluarga dan merasakan suasana keluarga baru, tetapi juga
mengukuhkan suasana pedesaan, mengolah kemampuan beradaptasi, dan
menegakkan kemandirian. Di desa, anak-anak juga memperoleh kesempatan
yang segar untuk memupuk jiwa kepemimpinan, rasa percaya diri, dan empati.
Tidak ketinggalan muatan kurikulum juga dimasukkan dalam kemasan program
homestay. Homestay berbeda dengan piknik ke kampung wisata. Tiga sampai
empat anak dititipkan selama dua malam tiga hari di rumah-rumah penduduk
desa. Selain pertimbangan vegetasi dan topografi yang bisa menjadi wahana
belajar, tim survei juga memastikan bahwa penduduk desa yang menjadi lokasi
homestay bersedia menerima “kehebohan” anak-anak.
h. Camping
Camping merupakan aktivitas yang menguji ketahanan fisik, mental, dan
juga emosi. Kerja sama tim, tanggungjawab, dan kepemimpinan anak-anak
dilatih. Tujuannya jelas yaitu melatih tanggungjawab dan kepemimpinan.
Orangtua diminta untuk menahan diri, dan lebih banyak memberikan
kepercayaan kepada anak-anak. Bantuan yang berlebihan berarti merebut
kesempatan anak untuk belajar. Game-game dirancang untuk membentuk
kekompakan, kepemimpianan, tanggung jawab dan kegigihan. Game ketahanan
fisik seperti merayap, memanjat, meluncur, dan menjaga keseimbangan diujikan.
Sambil menjalankan ujian fisik, berbagai pertanyaan brain buster juga
dilontarkan para guru untuk melatih konsentrasi. Ada juga game yang menguji
konsentrasi seperti mengoper telur jatah makan malam mereka dengan
menggulirkannya dari satu anak ke anak lain menggunakan kulit batang pisang.
Jika telur sampai jatuh dan pecah, maka lenyaplah lauk untuk makan malam itu.
Kegiatan camping juga diisi uji keberanian berjalan di tengah malam. Tujuannya
bukan menakut-nakuti anak. Karena itu, materi di setiap pos juga dirancang
untuk membangun ketahanan mental dan control emosi.
i. Supercamp
Kunci keberhasilan belajar adalah menguasai cara belajar. Di supercamp
anak-anak kelas 5 dan 6 dibimbing untuk menggidentifikasi gaya belajar yang
efektif bagi dirinya. Bukan hanya itu, mereka dipandu untuk mengenal diri
sendiri, memahami perasaan atau keinginan dan cara pengungapannya dan
mampu menentukan tujuan.
Selama supercamp, anak mendapatkan pengalaman tentang bagaimana
mengelola dan memanfaatkan waktu. Mereka dilatih untuk mengerjakan tugas
dengan alokasi waktu yang jelas. Tujuan yang lebih besar adalah agar anak
mendapatkan insight bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi yang unik dan
hebat.Melalui berbagai kuis, anak-anak dituntun untuk menemukan suasana
yang bisa membantunya belajar. Selain itu, mereka juga menelisik factor-faktor
apa saja yang bisa mengganggu konsentrasinya. Ada juga kuis yang didesain
untuk memetakan, bagaimana seorang anak memandang diri, lingkungan, kedua
orangtua dan keluarganya. Berikut sekilas materi yang biasa diberikan dalam
supercamp: Menciptakan pusat belajar di rumah, manajemen waktu, tips dan trik
menyimak dan mencatat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pengertian beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran


adalah pendekatan menyeluruh dalam suatu sistem pembelajaran yang berupa pedoman
umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran, yang
dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori belajar tertentu. Strategi pembelajaran
dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu, Strategi pembelajaran penyampaian
(exposition), Strategi pembelajaran penemuan (discovery), 3. Strategi pembelajaran
Individual (individual), dan Strategi pembelajaran kelompok (groups). Dalam pemilihan
strategi pembelajaran, guru harus mengacu pada kriteria sebagai berikut: Kesesuaian
antara strategi pembelajaran dengan tujuan atau kompetensi, Kesesuaian strategi
pembelajaran dengan jenis pengetahuan yang akan disampaikan, Kesesuaian strategi
pembelajaran dengan sasaran (kemampuan awal, karakteristik yang berhubungan dengan
latar belakang dan status sosial, karakteristik yang berkaitan dengan perbedaan-
perbedaan kepribadian), Kemampuan strategi pembelajaran (kelompok atau individu),
Karakteristik strategi pembelajaran (kelemahan maupun kelebihannya) , Biaya, dan
Waktu.
Hasil belajar merupakan keluaran yang diperoleh melalui input berupa kegiatan
belajar yang berbentuk perubahan perilaku yang bersifat relatif menetap atau permanen
yang meliputi tiga ranah penilaian yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sinteasa, dan
evaluasi. Aspek psikomotork meliputi: menirukan, manipulasi, keseksamaan, artikulasi,
dan naturalisasi. Aspek afektif meliputi: menerima, merespon, penghargaan,
mengorganisasi, dan mempribadi. Indikator hasil belajar ada 3 yaitu efektifitas
pembeljaran, efisiensi pembelajaran dan daya tarik pembelajaran.
Pusat sumber belajar adalah tempat atau wadah dimana media dan material
pembelajaran dibuat, digunakan dan dievaluasi. Pusat sumber belajar merupakan sumber
belajar yang dirancang secara sistematis dan diorganisir untuk mencapai tujuan atau
kompetensi belajar.Riwayat perkembangan sumber belajar di mulai dari Pada zaman
praguru, sumber belajar utamanya adalah orang dalam lingkungan keluarga atau
kelompok karena sumber belajar lainnya dianggap belum ada atau masih sangat langka
(Sadiman, 1989: 143). Bentuk benda yang digunakan sebagai sumber belajar antara lain
adalah : batu-batu, debu, daun-daunan, kulit pohon, kulit binatang dan kulit karang. Isi
pesan itu sendiri ada yang disajikan dengan isyarat verbal dan ada yang menggunakan
tulisan. lahirnya guru sebagai sumber belajar utama. Proses belajar tidak lagi ditangani
oleh anggota keluarga, tetapi sudah diserahkan kepada guru. sumber belajar dalam
bentuk cetak seperti buku, komik, majalah, koran, panplet. Sumber Belajar yang Berasal
dari Teknologi Komunikasi. Teknologi dalam pendidikan populer dengan istilah audio
visual, yakni pemanfaatan bahan-bahan audio visual dan berbentuk kombinasi lainnya
dalam sistem pendidikan. Sumber belajar yang didesain dan dimanfaatkan untukdidesain
khusus terutama untuk pembelajaran peserta didik sekolah dalam bidang yang sesuai
dengan kurikulum.
B. Saran
Diharapkan kepada pembaca agar setelah mempelajari dan memahami materi ini dapat
memberikan kritik dan saran kepada penulis jika terdapat kesalahan dalam penulisan.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.abdan-syakuro.com/2014/11/strategi-pengorganisasian-penyampaian.html
https://kistono.wordpress.com/2008/06/10/strategi-pengorganisasian-pembelajaran/
https://www.google.com/amp/s/informasismpn9cimahi.wordpress.com/2011/05/28/daya-tarik-
hasil-pembelajaran/amp/
http://www.abdan-syakuro.com/2014/06/efektivitas-belajar-mengajar.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/informasismpn9cimahi.wordpress.com/2011/05/28/daya-tarik-
hasil-pembelajaran/amp/
http://www.makalahskripsi.com/2013/09/makalah-efektifitas-efisiensi.html?m=1
http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pemanfaatan-sumber-belajar-dan.html?m=1
http://jefri-irawan.blogspot.com/2014/10/karakteristik-bahan-ajar.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai