Anda di halaman 1dari 3

Dilema Di Tahun Politik; Antara Politik Nilai dan Politik Kekuasaan

Sosiologi Intelegensia, Cendekiawan dan Intelektual


Istilah intelegensia, cendekiawan dan intelektual awam digunakan oleh banyak kalangan, dari
masyarakat lapisan bawah sampai masyarakat teristimewa – familiar dengan istilah tersebut. Karena
pemakaian yang tumpang tindih dan sambil lalu menjadikan istilah tersebut memiliki pengertian yang
sama. Sebagai kata benda ia memiliki terminologi yang sesungguhnya berbeda, bahkan jika dielaborasi
istilah itu memiliki akar sejarah yang panjang di Eropa abad 18. Dalam sejarahnya, kaum cendekiawan
atau intelegensia ini merupakan suatu komposisi masyarakat yang berada diluar stratifikasi sosial yang
telah mapan, namun baru mendapatkan bentuknya pada tahun 1860-an. Ron Eyerman menyebut
bahwa kaum cendekiawan bukanlah suatu kategori ekonomi berbasis kelas seperti halnya definisi
Gramsci, melainkan suatu kategori sosial diluar kategori relasi-relasi kelas, yang didefinisikan secara
keras, sebab identitas kolektif mereka membentuk disekitar jenis-jenis kepentingan daripada yang
berkaitan dengan posisi atau status sosial.1 Sejalan dengan pandangan tersebut, Nahirny menyatakan
intelegensia sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristiknya sendiri, tak dapat disangkal
berada di atas dan di luar tatanan sosial yang ada, baik berupa sistem kelas maupun status sosial.2
Pandangan serupa diperkuat oleh Karl Mannheim, bahwa cendekiawan sebagai suatu kelompok
merupakan semacam lapisan yang terapung bebas dalam masyarakat, tanpa pertalian dengan suatu
kelas tertentu.3
Secara historis, istilah cendekiawan muncul dan berkembang terkait dengan skandal Dreyfus
abad 19. Istilah ini dikenal secara luas sejak diterbitkannya surat terbuka Emile Zola. Kontroversi
tersebut tidak hanya mengenai isi surat melainkan merembet pada konsep “cendekiawan” yang
digunakannya. Tidak heran jika Habermas dalam penelusurannya tentang basis sosial kaum
cendekiawan merupakan “lingkungan masyarakat borjuis” sebagai diskursus kritis terhadap karya
sastra yang muncul bersamaan dengan sarana salon-salon, warung kopi, cafe dan jamuan makan
kalangan tertutup lingkaran para cendekiawan.4 Berbeda halnya di Rusia, terbentuknya ide kaum
intelegensia merupakan hasil dari revolusi pendidikan pada masa Peter Agung, melalui dekritnya
membebaskan para cendekiawan dari kungkungan Gereja.5 Dengan demikian dapat dilihat bahwa
pembentukan cendekiawan di Eropa dan intelegensia di Rusia memiliki perbedaan yang nantinya juga
berpengaruh pada perilaku dan keberpihakan mereka sampai pada tahun 1860 menjadi sebuah
komposisi kekuatan nyata.
Dalam magnum opus-nya Prison Note Books Gramsci memberikan sebuah pernyataan apakah
kaum intelektual merupakan sebuah kelompok sosial otonom dan independent, atau setiap kategori
sosial tertentu memiliki kriteria tertentu khusus mengenai kaum intelektual?6 Gramsci memberikan
beberapa argumentasi bahwa disetiap masyarakat mengandung kaum intelektualnya masing-masing,
ia membagi intelektual berdasarkan kategori asal usul kelasnya, yaitu; intelektual organik dan
intelektual tradisional. Intelektual organik ialah mereka yang berasal dari kelasnya sendiri dan menjadi

1 Ron Eyerman. Penerjemah. Matheos Nalle. Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta. Yayasan Obor
Indonesia. 1996.Hlm. 8
2 Yudi Latif. Genealogi Intelegensia; Pengetahuan & Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX. Yogyakarta. Prenadamedia.

2013.Hlm. 17
3 Arief Budiman. Editor; Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan; Mereka Yang Berumah di Angin. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Cetakan ke-2. 1981. Hlm. 71


4
Lihat juga Ron Eyerman. Penerjemah. Matheos Nalle. Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta.
Yayasan Obor Indonesia. 1996.Hlm. 49
5 Lihat juga Ibid. Hlm. 60
6 Antonio Gramsci. Penerjemah. Teguh Wahyu Utomo. Prison Note Books; Catatan-catatan Dari Penjara. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

1996.Hlm. 7
agen intelektual dan tidak menarik diri dari asal usul kelasnya tersebut. Mereka merupakan elemen
subtansial dari sebuah sistem sosial dan mengorganisasikan diri bersama kelompok sosial lainnya.
Sedangkan intelektual tradisional ialah hasil dari hubungan sosial masa silam. Sejalan dengan definisi
tersebut, Bottomore memberikan pengertian tentang intelektual sebagai kelompok yang jauh lebih
kecil berisi orang-orang yang langsung menyumbangkan kreasi, transmisi dan gagasan kritik, antara
lain; penulis, seniman, ilmuwan, filsuf, ulama, teoritisi sosial, komentar politik.7

Mengartikulasikan Politik Nilai Mahasiwa


Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia merupakan
sejarah panjang keterlibatan pemuda dalam kontestasi politik nasional. Dimulai dari 1908
terbentuknya Budi Utomo sampai sumpah pemuda 1928, keterlibatan pemuda dan secara khusus
para kaum terdidik (mahasiswa) dalam pergerakan nasional terus berlanjut sampai Indonesia
merdeka. Politik nilai sebagai jalan hidup diartikulasikan dalam satu suara mencapai Indonesia
Merdeka. Berbeda halnya dengan perumusan politik nilai mahasiswa angkatan 66 dengan slogan
“tritura”; pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora dan turunkan harga pangan – bisa dikatakan
bahwa mahasiswa merupakan arsitek lahirnya Orde Baru. Tentu bukan berlebihan anggapan tersebut,
melihat secara faktual data sejarah bahwa peranan mahasiswa dalam menumbangkan rezim “Orde
Lama”. Hanya saja disayangkan tidak sedikit para aktivis mahasiswa diangkatan ini tersandera oleh
idealisme dan pragmatisme politik untuk masuk dalam rezim yang baru terbentuk.
Angkatan 77/78 yang kerap disebut Arief Budiman sebagai “moral force” ia menandaskan
bahwa mahasiswa dan gerakannya ibarat seorang resi yang harus hadir ketika kondisi masyarakat
kritis dan setelah itu kembali kepada rutinitas kehidupan. Tentu hal ini merupakan suatu bentuk kritik
bagi angkatan sebelumnya yang tersandera oleh kepentingan pragmatisme jabatan. Berbeda halnya
dengan gerakan mahasiswa ankatan 80-an yang membentuk kelompok studi dan membangun basis
gerakan dengan mengangkat isu-isu lokal. Basis gerakan dibangun bergandengan tangan dengan
rakyat terdampak kebijakan semisal pelarangan penambangan pasir di kali berantas dan kasus kedung
ombo.8 Gerakan mahasiswa 90-an sampai 98 bisa dikatakan sebagai gerakan mahasiswa yang memiliki
andil besar dalam perpolitikan bangsa pasca Indoensia merdeka, tentu hal ini tidak lepas dari
keberhasilan sang “bintang lapangan“ menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, dengan mengusung
slogan “tritura”; turunkan Soeharto & keluarga, turunkan harga dan reformasi kabinet gerakan ini
mampu membawa perubahan signifikan dan memberikan harapan hari depan bangsa Indonesia.
Politik nilai yang diusung gerakan mahasiswa 90-an menginginkan adanya ruang demokratis bagi
kehidupan berbangsa hal ini tentu tercermin dalam slogan tritura yang diusung mereka.

Politik Nilai dan Bukan Politik Kekuasaan


Gelaran permusyawaratan akbar (MUKTAMAR) telah usai beberapa bulan lalu, harapan baru
muncul seiring sejalan dengan pembentukan struktur Dewan Pimpinan Pusat IMM. Konflik internal
yang sempat mencuat di level elit telah terselesaikan dengan keikutsertaan elit-elit organisasi dalam
penyuksesan hajatan 2-tahunan tersebut. Komposisi struktur Dewan Pimpinan Pusat seiring sejalan
mulai terbentuk, dan merupakan tanggung jawab besar bagi periode ini untuk mengkonsolidasikan
internal dan menyambut gelaran pentas politik nasional tahun yang akan datang. Merupakan sesuatu
yang tidak bisa dinafikan bahwa kondisi politik nasional hari ini perlu adanya penyikapan secara serius
oleh hierarki organisasi tertinggi. Hal ini tidak saja dikarenakan dalam rentang waktu kedepan bangsa

7 T.B. Bottomore. Penerjemah. Abdul Harris & Sayid Umar. Elite dan Masyarakat. Jakarta. Akbar Tandjung Institute.1993. Hlm. 87
8
Lihat Denny J.A. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Jakarta. Miswar. 1990. Hlm. 107-108.
Indonesia akan merayakan gelaran “pesta demokrasi” melainkan juga kondisi sosial masyarakat di
tataran bawah yang terdiskriminasi dan tertindas. Sebut saja beberapa kasus agraria di beberapa
daerah yang semakin meruncing dan meminggirkan hajat hidup masyarakat di level grassroot.
Seperti halnya hajatan 5-tahunan (pemilu) sebelum-sebelumnya, tentu tahun ini merupakan
tahun politik yang akan dihadapi oleh periode tertentu dalam kepemimpinan organisasi – baik
organisasi politik (partai) maupun organisasi kepemudaan – secara khusus IMM. Menarik untuk
disimak periode IMM sekarang ialah adanya momentum “pesta demokrasi” yang menjadi tantangan
periode IMM saat ini. Saya katakan tantangan tak lain karena IMM merupakan bagian dari kaum
intelektual apakah dapat merumuskan “politik nilai” yang dapat menjadi trendsetter sebuah
pergerakan atau paling tidak mampu keluar dari dilema politik kekuasaan ditahun politik.
Apakah mahasiswa sebagai kaum intelektual bebas dari politik? Tentu pertanyaan ini bisa kita
temui dari warung kopi sampai ruang-ruang akademis, dari obrolan santai sampai ruang edukasi. Jika
kita melihat sejarah panjang gerakan mahasiswa tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan mereka
dalam aksi massa, pembentukan kelompok studi, advokasi masyarakat sampai penggulingan rezim
berkuasa merupakan bentuk aksi politik. Hanya saja bukan semata pragmatisme jabatan, relasi modal
bahkan relasi sosial kekuasaan yang diutamakan melainkan sebuah gerakan politik nilai yang dapat
tercermin dalam setiap level periode gerakan mahasiswa. Sebagai organisasi mahasiwa yang
berbasiskan kaum intelektual tentu IMM perlu untuk menyuguhkan gerakan “politik nilai” sebagai
tanggung jawab moral kepada publik.
Sebuah gerakan “politik nilai” dapat dibangun dengan mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan seperti; keadilan sosial, keberpihakan kepada rakyat tertindas, penegakan hukum,
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pemberantasan korupsi, terbukanya ruang-ruang yang
lebih demokratis dan sebagainya.

Membangun Budaya Politik Nilai


Perlunya membangun budaya politik nilai dalam organisasi merupakan hal yang urgen.
Menurut Almond dan Verba, budaya politik merupakan orientasi dari suatu masyarakat didaerah
tertentu yang berkaitan dengan sistem politik. Artinya bukan perilaku-perilaku individu tertentu yang
dinilai melainkan perilaku anggota komunitas secara luas dan berpengaruh dalam proses politik.
Pembangunan budaya politik nilai berimplikasi secara signifikan bagi terciptanya watak atau karakter
anggota organisasi dan praksis gerak organisasi. Dengan membiasakan mengedepankan politik nilai
daripada politik kekuasaan (kapling jabatan) hal ini dapat membangun karakter anggota menjadi lebih
visioner serta dapat meminimalisir sikap oportunis yang sekedar berorientasi pragmatisme jabatan.
Hal ini penting diketahui karena tidak sedikit aktivis mulai terjangkiti sikap menjadi “politisi” di dalam
organisasi yang hanya mengedepankan tawar menawar jabatan tanpa membangun political view
dalam prosesnya. Sedangkan dalam aspek praksis gerakan tentu organisasi dapat bergerak bebas
menyuarakan pandangan politik keberpihakan dan tidak lagi tersandera oleh pragmatisme kekuasaan.
Tentu hal yang demikian tidak semudah membalik telapak tangan, dibutuhkan peran bersama
dalam seluruh elemen organisasi membangun budaya dan menumbuhkan kesadaran tersebut.
Dengan terciptanya iklim gerakan intelektual yang demikian akan selalu tercipta nalar kritis untuk
selalu mengkoreksi dan mengontrol rezim kekuasaan. Aktivisme tidak lagi hanya berbicara soal siapa
mendapat apa, kapan dan bagaimana. Melainkan mulai mengedepankan segi-segi politik nilai yang
diawali dengan mengkoreksi praktik keseharian dan bermuara pada sebuah gerakan.

By: Zelahenfi

Anda mungkin juga menyukai