1 Ron Eyerman. Penerjemah. Matheos Nalle. Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarakat Modern. Yogyakarta. Yayasan Obor
Indonesia. 1996.Hlm. 8
2 Yudi Latif. Genealogi Intelegensia; Pengetahuan & Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX. Yogyakarta. Prenadamedia.
2013.Hlm. 17
3 Arief Budiman. Editor; Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan; Mereka Yang Berumah di Angin. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
1996.Hlm. 7
agen intelektual dan tidak menarik diri dari asal usul kelasnya tersebut. Mereka merupakan elemen
subtansial dari sebuah sistem sosial dan mengorganisasikan diri bersama kelompok sosial lainnya.
Sedangkan intelektual tradisional ialah hasil dari hubungan sosial masa silam. Sejalan dengan definisi
tersebut, Bottomore memberikan pengertian tentang intelektual sebagai kelompok yang jauh lebih
kecil berisi orang-orang yang langsung menyumbangkan kreasi, transmisi dan gagasan kritik, antara
lain; penulis, seniman, ilmuwan, filsuf, ulama, teoritisi sosial, komentar politik.7
7 T.B. Bottomore. Penerjemah. Abdul Harris & Sayid Umar. Elite dan Masyarakat. Jakarta. Akbar Tandjung Institute.1993. Hlm. 87
8
Lihat Denny J.A. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Jakarta. Miswar. 1990. Hlm. 107-108.
Indonesia akan merayakan gelaran “pesta demokrasi” melainkan juga kondisi sosial masyarakat di
tataran bawah yang terdiskriminasi dan tertindas. Sebut saja beberapa kasus agraria di beberapa
daerah yang semakin meruncing dan meminggirkan hajat hidup masyarakat di level grassroot.
Seperti halnya hajatan 5-tahunan (pemilu) sebelum-sebelumnya, tentu tahun ini merupakan
tahun politik yang akan dihadapi oleh periode tertentu dalam kepemimpinan organisasi – baik
organisasi politik (partai) maupun organisasi kepemudaan – secara khusus IMM. Menarik untuk
disimak periode IMM sekarang ialah adanya momentum “pesta demokrasi” yang menjadi tantangan
periode IMM saat ini. Saya katakan tantangan tak lain karena IMM merupakan bagian dari kaum
intelektual apakah dapat merumuskan “politik nilai” yang dapat menjadi trendsetter sebuah
pergerakan atau paling tidak mampu keluar dari dilema politik kekuasaan ditahun politik.
Apakah mahasiswa sebagai kaum intelektual bebas dari politik? Tentu pertanyaan ini bisa kita
temui dari warung kopi sampai ruang-ruang akademis, dari obrolan santai sampai ruang edukasi. Jika
kita melihat sejarah panjang gerakan mahasiswa tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan mereka
dalam aksi massa, pembentukan kelompok studi, advokasi masyarakat sampai penggulingan rezim
berkuasa merupakan bentuk aksi politik. Hanya saja bukan semata pragmatisme jabatan, relasi modal
bahkan relasi sosial kekuasaan yang diutamakan melainkan sebuah gerakan politik nilai yang dapat
tercermin dalam setiap level periode gerakan mahasiswa. Sebagai organisasi mahasiwa yang
berbasiskan kaum intelektual tentu IMM perlu untuk menyuguhkan gerakan “politik nilai” sebagai
tanggung jawab moral kepada publik.
Sebuah gerakan “politik nilai” dapat dibangun dengan mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan seperti; keadilan sosial, keberpihakan kepada rakyat tertindas, penegakan hukum,
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pemberantasan korupsi, terbukanya ruang-ruang yang
lebih demokratis dan sebagainya.
By: Zelahenfi