Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DIFTERIA
Oleh:
Preseptor:
dr. Iskandar Syarif, SpA (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2
1.3 Etiologi Difteria
Corynebacterium diphteriae merupakan kuman batang Gram-positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
600C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak
dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi
mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi
lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler.1
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphteriae yaitu tipe gravis, intermedius
dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Ciri khas
C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksi baik in vivo maupun in
vitro.2
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/ debu bisa
merupakan wahana penularan. Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang
peran yang cukup penting secara epidemiologik.1
3
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri
dari sel radang, eritrosit, dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan.1
Toksin yang dihasilkan dapat memengaruhi semua sel di tubuh , akan tetapi
paling sering ditemukan pada jantung (miokarditis), sel saraf (demielisasi), dan ginjal
(nekrosis tubular). Toksin difteria sangat poten, sebuah molekul dapat
memberhentikan sintesis protein di sel dalam hitungan jam.5
4
Tabel 1. Manifestasi klinis pada kasus akut
Clinical presentation n %
Fever 99 100
Sore throat 91 91.92
Toxic look 82 82.82
Nasal discharge 8 8.08
with nasal obstruction
Dysphagia 64 64.64
Hoarseness of voice 28 28.28
Respiratory distress 34 34.34
Cervical lymphadenopathy 50 50.5
Presence of pseudomembrane 99 100
Neck swelling(bull neck) 54 54.54
Abnormal PR/HR rhythm 5 5.05
6
menetskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva blbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/maata positif, ADS
diberikan dengan cara desentisasi (Bedreska). Bila ujia hipersensitivitas tersebut
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 mL glukosa 5% dalam 1-2
jam.1
Tabel 2. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
2. Antibitoik
Rekomendasi CDC :
- Metronidazole
- Eritomisin (oral atau injeksi) selama 14 hari (40 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimum 2 gram/hari)
- Penisilin prokain (IM) selama 14 hari (300.000 U/hari pada pasien dengan
berat <10 kg dan 600.000 U/hari pada pasien dengan berat >10 kg). Pasien
yang alergi terhadap penisilin G atau eritromisin dapat menggunakan
rifampin atau klindamisin.2,5
7
b. Dampak toksin, bila bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis. Pada
umunya miokarditis ini terjadi pada minggu ke -2, tetapi bisa lebih dini pada
minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6. Manifestasi miokarditis
dapat berupa takikardia, suara jntng redup, terdengar bising jantung, atau
aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung, pada pemeriksaan elektrokardiogram
dapat ditemukan elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart
block. Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada
palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi senga, terjadi regurgitasi
nasal, kesukaran menelan.1
1. 10 Prognosis Difteri
Prognosis pada pasien difteria bergantng pada virulensi, umur pasien, status
imunisasi, lokasi infeksi, dan cepatnya pemberian antitoksin. Obstruksi saluran nafas
atas atau bullneck dan penyulit miokarditis biasanya berhubungan dengan kejadian
mortalitas difteria. Case fatality rate hampir mencapai 10% untuk difteria saluran
nafas dan tidak berubah selama 50 tahun terkahir. Saat pemulihan, pemberian
toksoid difteri menjadi suatu indikasi untuk melengkapi imunisasi primer mauoun
booster, karena tidak semua pasien yang terkena infeksi langsung memiliki imunitas
terhadap difteria.2
8
1.12 Vaksin Difteri
Difteria dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi dapat dimulai saat usai enam
minggu dengan dosis selanjutnya diberikan setiap empat minggu. Vaksin difteria
sanga aman, sangat jarang ditemukan efek samping yang signifikan. Pemberian
vaksin difteria sangat bervariasi, ada yang diberikan dengan tetanus toksoid (dikenal
dengan vaksin dT atau DT) dan yang lain diberikan dengan vasik tetanus serta
pertusis (dikenal dengan DPT).5
9
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : An. AFA
No.MR : 01.00.17.61
Umur : 4 tahun 4 bulan
JenisKelamin :Laki - laki
Sukubangsa :Indonesia
NamaIbu : Ny. HE
Tanggal pemeriksaan : 23 Desember 2017
Seorang pasien laki-laki berumur 4 tahun 4 bulandirawat di bangsal akut anak RSUP
Dr. M. Djamil sejak tanggal 23 Desember 2017, dengan :
Keluhan utama :Nyeri menelan sejak 1 hari SMRS
10
pemeriksaan darah dengan hasil Hb: 13,2 gr/dl; Leukosit: 14.400;
Hematokrit: 39%; dan Trombosit: 204.000.
Riwayat Kehamilan :
Anak lahir cukup bulan, lahir spontan, persalinan dibantu oleh dokter di
rumah bersalin, langsung menangis kuat, berat badan lahir 3200 gr, panjang lahir 51
cm.
11
Ikan : 3x/minggu
Telur : 2x/minggu
Sayur : 3x/minggu
Buah : 3x/minggu
Riwayat Imunisasi:
BCG : 2 bulan
DPT : 2 bulan (I), 3 bulan (II), 4 bulan (III)
Polio : 2 bulan (I), 3 bulan (II), 4 bulan (III)
Hepatitis B : saat lahir (0), 2 bulan (I), 3 bulan (II), 4 bulan (III)
Campak : 9 bulan
Booster : Tidak ada
Kesan : imunisasi dasar lengkap
12
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. N Ny. HE
Umur 35 tahun 32 tahun
Pendidikan SMA S1
Pekerjaan Wiraswasta Pegawai
Penghasilan Rp. 4.000.000 Rp. 3.000.000
Perkawinan I I
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada
Pemeriksaan fisik :
Keadaanumum : Tampak sakit sedang
Kesadaran :Sadar
Tekanandarah : 90/50mmHg
Nadi : 94 x/ menit
Nafas : 21x/ menit
Suhu : 37,8oC
TinggiBadan : 104 cm
13
BeratBadan : 16 kg
BB/U : 94%
TB/U : 100%
BB/TB : 94%
Gizi : Gizi baik
Kulit : Teraba hangat, turgor kulit baik
KGB : Teraba pembesaran kelenjar getah bening regio colli
sinistra, dengan ukuran 2 x 2 x 1 cm, kenyal, padat,
terfiksir
Kepala : Bentuk simetris, bulat, normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudahrontok
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : Tonsil T2-T3 tampak hiperemis dengan pseudomembran
bewarna putih keabuan, sukar dilepas, tapi mudah
berdarah, faring tampak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Leher : Bullneck (+), JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran tiroid
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikuler, rhonki tidak ada,wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Teraba iktus cordis di 1 jari medial dari linea mid
clavicula sinistra RICV
Perkusi :Batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis
14
Dextra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alatkelamin : A1P1G1
Ekstremitas :
Atas : Akral hangat, perfusi baik, CRT< 2 detik
Bawah : Akral hangat, perfusi baik, CRT< 2detik
15
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah rutin
(23/12/2017)
Hb : 13,2gr/dl
Ht : 39%
Leukosit : 14.400 /mm3
Trombosit : 204.000/mm3
Kesan : leukositosis
Pemeriksaan Penunjang :
Kultur swab tenggorokan : belum keluar hasilnya
Pewarnaan swab tenggorok : belum keluar hasilnya
EKG : tidak ada pemanjangan PR interval
16
Tatalaksana :
- Rawat IKA - isolasi
- ML 1300 kkal
- ADS 40.000 IU (IV)
- Penicilin prokain 1 x 800.000 IU (IM)
Follow up (24/12/2017)
S : Demam sudah turun, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat
Nyeri menelan masih ada
Nafsu makan menurun
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
TD : 90/60mmHg, Nadi : 84 x/ menit
17
ML 1300 kkal
Penicilin prokain 1 x 800.000 IU (IM)
Follow up (27/12/2017)
S : Demam tidak ada
Nyeri menelan berkurang
Nafsu makan mulai membaik
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
18
Hasil EKG 27 Desember 2017
Kesan : Tidak tampak pemanjangan PR Interval
Follow up (28/12/2017)
S : Demam tidak ada
Nyeri menelan berkurang
Nafsu makan mulai membaik
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
19
Follow up (29/12/2017)
S : Demam tidak ada
Nyeri menelan berkurang
Nafsu makan mulai membaik
BAK ada, jumlah dan warna biasa
BAB ada, warna dan konsistensi biasa
O :
KU : Sakit sedang Kesadaran :Sadar
20
BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki- laki berumur 4 tahun 4 bulan di RSUPDr.
M. Djamil sejak tanggal 23 Desember 2017 dengan diagnosa suspek difteria tonsil.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis.
Pasien datang ke IGD dengan keluhan utama nyeri menelan. Nyeri menelan
dapat menggambarkan bahwa terjadi kelainan pada daerah tenggorokan pasien.
Keluhan tersebut merupakan manifestasi umum dari penyakit infeksi, walaupun
dapat juga disebabkan oleh penyakit non-infeksi. Oleh sebab itu, perlu pula
mengetahui keluhan lain yang menyertai.
Pasien merasakan nyeri menelan sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami keluhan yang sama. Keluhan tersebut juga diikuti dengan keluhan
demam yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Demam dirasakan tinggi, hilang timbul,
tidak menggigil, tidak disertai kejang, dan tidak berkeringat. Selain itu dirasakan
pula pembengkakan pada bagian leher sejak 1 hari SMRS. Bengkak dirasakan tidak
nyeri, tidak merah dan tidak semakin membesar.
Rasa nyeri menelan dapat menjadi suatu manifestasi klinis dari beberapa
peyakit infeksi seperti faringitis, tonsilitis, dan difteria maupun non infeksi seperti
tumor nasofaring. Akan tetapi, pada pasien tidak ditemukan keluhan keganasan
seperti penurunan berat badan yang drastis. Sebaliknya, keluhan yang disampaikan
pasien berupa demam yang dapat disebabkanoleh proses infeksi.
Faringitis merupakan semua infeksi akut pada faring yang berlangsung hingga
14 hari. Bila infeksi tersebut mengenai tonsil maka disebut dengan tonsilitis dan bila
mengenai keduanya disebut dengan tonsilofaringitis. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh virus maupun bakteri. Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri
penyebab terbanyak faringitis atau tonsilofaringits akut. Gejala faringitis yang khas
akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorkan dengan awitan mendadak,
disfagia, dan demam. Dan dapat ditegakkan dan ditatalaksana bedasarkan centor
21
score. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun
adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang
dapat mencapai suhu 400C.7
Sedangkan difteria merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh Corynobacterium diphteriae yang ditandai dengan pembentukan
pseduomembran pada kulit dan/atau mukosa. Penyakit ini dapat pula disertai dengan
demam. Pada pasien ini didapatkan demam yang tidak terlalu tinggi yaitu 37,80C.
Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis demam yang disebabkan oleh difteria yaitu
demam yang jarang di atas 38,90C. Berdasarkan pola demam pasien juga dapat
disingkirkan kemungkinan penyebab demam karena demam dengue, malaria,
maupun tifoid.1
Pada pemeriksaan fisik, dilihat dari tanda vital ditemukan dalam batas normal
kecuali suhu sedikit di atas nilai normal yaitu 37,80C dan status gizi baik. Pada
pemeriksaan tenggorokan, ditemukan tonsil T2-T3 tampak hiperemis dengan
pseudomembran bewarna keabuan serta faring tampak hiperemis. Pada penyakit
difteria, penemuan pseudomembran keabuan yang sulit diangkat dan mudah berdarah
merupakan suatu patognomonis penyakit ini. Pada tonsilitis, bisa saja ditemukan
pembesaran tonsil disertai dengan adanya eksudat hanya saja tidak ditemukan
psedomembran yang sulit diangkat dan mudah berdarah. Pada leher, juga ditemukan
gambaran bullneck yang merupakan suatu limfadenitis serta pembengkakan jaringan
lunak leher yang luas. Hal ini makin meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit
difteria.1 Sedangkan pada pemeriksaan labor didapatkan kesan leukositosis. Untuk
menegakkan diagnosis pasti difteria, maka diperlukan konfirmasi laboratorium
berupa penemuan C. diphteriae pada apusan pseudomembran. Dalam hal ini belum
didapatkan hasil dari isolasi C.diphteriae karena memerlukan waktu ± 7 hari. Dengan
demikian diagnosis suspek difteria dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Tatalaksana pasien difteria secara umum dianjurkan untuk bed rest dan dirawat
di ruangan isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut – turut. Kemudian diberikan Anti Diphteria Serum (ADS)
22
sebagai antitoksin dengan dosis sesuai lokasi membran dan lama sakit karena
membran yang ditemukan berada pada tonsil maka diberikan dosis 40.000 IU (IV).
Pemberian antibitoik penisilin prokain bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Dosis
pemberian penisilin prokain adalah 50.000 – 100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari.
Untuk meredakan demam pada pasien maka diberikan antipiretik yaitu parasetamol
dengan dosis 10 mg/kgBB/kali (3 – 4x sehari).1 Sedangkan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi maka diperlukan perhitungan kalori sesuai berat badan pasien yaitu
30 kg. Untuk 10 kg pertama dikali 100 kkal, 10 kg kedua dikali 50 kkal, dan 10 kg
ketiga dikali 20 kkal maka didapatkan kebutuhan kalori pada pasien ini yaitu 1300
kkal.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI (2015). Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi kedua. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI, pp. 312-321.
4. Dinas Kesehatan Kota Padang (2015). Menkes minta dinas kesehatan kota
padang putuskan mata rantai difteri.
http://dinkes.padang.go.id/index.php/baca/artikel/62. Diakses tanggal 25
Desember 2017.
5. Mustafa M, Yusof IM, Jeffree MS, Illzam EM, Husain SS, Sharifa AM (2016).
Diphteria : Clinical manifestations, diagnosis, and role of immunization
prvention. IOSR Journal of dental and medical sciences 15 (8): pp. 71-76.
24