Anda di halaman 1dari 12

ADVERSITY QUOTIENT

SEP102013

ADVERSITY QUOTIENT
Setiap manusia diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, yaitu memiliki akal dan pikiran.
Manusia disebut sebagai makhluk sempurna karena memiliki 2 hal ini. Setiap akal dan pikiran
akan menimbulkan suatu hal yang ajaib dan mengagumkan yang pernah ada, hal itu adalah
sebuah kecerdasan. Pada kali ini saya akan membahas tentangadversity quotient atau kecerdasan
dalam menghadapi tantangan.
Cerdas (IQ) saja belum tentu bisa sukses. Matang secara emosional pun (EQ) demikian.
Ada satu lagi faktor utama : AQ (Adversity Quotient). AQ adalahkecerdasan yang dimiliki
seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup.
Fakta menunjukkan bahwa anak cerdas (IQ tinggi) belum tentu bisa sukses.Ada kasus
seorang anak bernama Ted Kaczynski yang begitu cerdas sehingga dialulus dari Harvard
University dalam usia 20 tahun dan meraih doktor dalam ilmu matematika. Profesi sebagai
dosen di Harvard ditinggalkannya ketika dia tertarik pada teknologi bom. Kejeniusannya
akhirnya membuat dia terpuruk di penjara karena dia menewaskan dua orang dan mencederai 22
orang lainnya. Selain itu ada penelitian menunjukkan bahwa pemilik perusahaan umumnya
adalah orang yang drop-out dari pendidikan, tetapi para eksekutif di bawahnya adalah mereka
yang berpendidikan tinggi dan terpelajar. Stoltz menyimpulkan bahwa ada faktor lain
berpengaruh dalam kesuksesan seseorang : AQ. Dengan AQ, seseorang diukur kemampuannya
dalam mengatasi setiap persoalan hidup. Faktor dominan pembentuk AQ adalah sikap pantang
menyerah. AQ akan menjadi faktor penentu sukses, jika orang lain gagal, sementara kesempatan
dan peluang yang dimiliki sama.
Masih ingat cerita Thomas Alva Edison (1847 – 1931) ??? Ia akhirnya berhasil
menemukan bohlam lampu setelah melewati sekitar 50.000 percobaan dan bekerja selama 20
tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa
yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison
langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil.
Kini saya tahu 50.000 cara yang tidak berfungsi!” Wow, sebuah pernyataan yang sangat luar
biasa. Kegagalan menurut orang lain dianggapnya sebagai sebuah keberhasilan.
Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk
mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau
tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz.
Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya
dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh ekstrem
seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan(adversity
quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi(emotional
quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T.
Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey. AQ ternyata
bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan
tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya. Manusia sejati
adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan
jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir.
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi
kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka
memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang
tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk
mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai
tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai
jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga
karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat
kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan
Dalam dunia kerja, mengapa para karyawan yang ber-IPK tinggi kalah bersaing dibandingkan
para karyawan lain yang ber-IPK rendah tetapi lebih berani dalam bertindak?
A. DEFINISI KECERDASAN ADVERSITY
Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan sebagai
suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran.
Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-
masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat segera dipecahkan (problem solved), dan dengan
demikian pengetahuan pun menjadi bertambah (Fanani, 2005).
Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan
merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam hidup yang
dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu
memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih baik daripada orang yang kurang
cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih sukses dibanding orang yang kurang cerdas
(Fanani, 2005).
Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun
berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus
kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi
kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan adversity memasukkan dua
komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia
nyata. Konsep kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz (Jaffar, 2003).
Menurut Stoltz (2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga bentuk,
yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru yang
digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua,
kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan
yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai seperangkat peralatan yang memiliki
landasan ilmiah untuk merekonstruksi reaksi terhadap kesulitan hidup. Agar kesuksesan menjadi
nyata, maka Stoltz (Kusuma, 2004) berpendapat bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut
yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang
lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.
Berbeda dengan Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar
harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih
kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004) mengatakan bahwa
ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan
membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

Secara garis besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat yang dapat
diperoleh, yaitu:
1. kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah seseorang
dalam menghadapi sebuah kemalangan.
2. kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas seseorang dalam
menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan
3. kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan, kinerja, serta
potensinya, dan siapa yang tidak.
4. kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi
kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).

Stoltz (2005) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan
terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi,
antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur
yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah,
pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap
negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang
rendah. Werner (Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya mengemukakan
bahwa anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu menyelesaikan masalahnya
dan orang yang mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi
batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari
hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.

B. PENGERTIAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)


AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat
menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja
Anda terwujud di dunia,” Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu
mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal
ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
Profil Quitter, Camper, dan Climber

Profil Ciri, Deskripsi, dan Karakteristik

1.Quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup. Mereka ini gampang putus asa
dan menyerah di tengah jalan.

 Menolak untuk mendaki lebih tinggi Lagi


 Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan tidak “lengkap”
 Bekerja sekedar cukup untuk hidup
 Cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesungguhnya
 Jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati
 Dalam menghadapi perubahan
 Mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan menyabot perubahan
 Terampil dalam menggunakan katakata yang sifatnya membatasi, seperti tidak mau”,
“mustahil”, “ini konyol”dan sebagainya.
 Kemampuannya kecil atau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan
keyakinan akan masa depan, kontribusinya sangat kecil.

2. Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena biasanya mereka
berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan
aman. “Ngapain capek-capek” atau“segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-
orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari
para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas
pendakian itu sebenarnya belum selesai.
 Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti” di pos tertentu, dan merasa
cukup sampai disitu.
 Mereka cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satisficer)
 Masih memiliki sejumlah inisiatif,sedikit semangat, dan beberapa usaha.
 Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu
membina hubungan dengan para camper lainnya
 Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar
karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada
 Mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis,misalnya, “ini cukup
bagus”, atau “kita cukuplah sampai di sini saja” Prestasi mereka tidak tinggi, dan
kontribusinya tidak besar juga
 Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu
tempat dan mereka “berkemah” di situ

3. Climber yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan
menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau
mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik
kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan
itu ada kemudahan”

 Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu
memikirkan kemungkinan-kemungkinan
 Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya.
Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang
melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya
 Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang
mendapatkan yang terbaik dalam hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu
terwujud
 Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia;
memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia
menerima kritik
 Menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke
arah yang positif
 Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-
kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara
mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata
yang tidak didukung dengan perbuatan
 Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada
dirinya
 Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari
hidup

Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ
membedakan antara para climber, camper, dan quitter . jawaban luar biasa dari pencipta lampu
pijar (Thomas Alfa Edison) itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber(pendaki)
yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ)tinggi.
Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient)milik Daniel
Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan
eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang
bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa
diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.

Para climber, Menurut Maxwell (Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan
untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu:
1. Para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba
karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
3. Para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
4. Para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6. Para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali.

Stoltz (2005) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi
suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko,
ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam
menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah
sikap tahan banting dan keuletan .
Pannyavaro (2006) menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan
menjadi sesuatu yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah perubahan,
perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan. Padahal jika dilihat,
sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan semata.
Mortel (Kusuma, 2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu
dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan
menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda.
Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam hidup seseorang
harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu individu harus mampu
mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang
disusun dengan model piramid mulai dari dasar sebagai berikut:
1. Societal Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang keamanan
ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana alam, serta krisis
moral.
2. Workplace Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan
ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.
3. Individual Adversity: Individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.
C. DIMENSI ADVERSITY QUOTIENT (AQ)
Dimensi AQ dapat diringkas dalam kata CO2RE yaitu:
1. C adalah Control, seberapa besar control yang Anda rasakan saat Anda dihadapkan
pada persoalan yang sulit, bermusuhan dan berlawanan?
2. O2 adalah Origin dan Ownership. Siapa atau apa yang menjadi asal muasal suatu
kesulitan? Dan sejauh mana Anda berperan memunculkan kesulitan?
3. R adalah Reach. Seberapa jauh suatu kesulitan akan merembes ke wilayah kehidupan Anda
yang lain?
4. E adalah Endurance. Berapa lama kesulitan akan berlangsung? Berapa lama penyebab
kesulitan akan berlangsung?

D. MENGEMBANGKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)


Cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD yaitu:
1. L adalah Listened (dengar) respon Anda dan temukan sesuatu yang salah
2. E adalah Explored (gali) asal dan peran Anda dalam persoalan ini
3. A adalah Analized (analisalah) fakta-fakta dan temukan beberapa factor yang mendukung
Anda
4. D= Do (lakukan) sesuatu tindakan nyata.

E. ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DI SEKOLAH


Paul Stoltz dalam bukunya menulis, Adversity Quotient di dunia pendidikan akan membuat guru
memiliki dan mengembangkan daya tahan dan keuletan dalam hal menyampaikan pengetahuan
yang bermakna dan bertujuan.” Sungguh seorang guru dengan kecerdasan adversitas yang teruji
akan mampu menghadapi segala dinamika yang terjadi dengan arifnya, tidak hanya dinamika di
profesinya, bahkan juga dalam kehidupan pribadi. Ini pada gilirannya akan menjadi ‘virus’ yang
menulari dan mengukir karakter para pembelajarannya.

F. ILMU PENGETAHUAN PEMBENTUK ADVERSITY QUOTIENT (AQ)

a. Psikoneuroimunologi Penelitian akhir-akhir ini di bidang psikoneuroimunologi


membuktikan bahwa ada kaitan langsung dan dapat diukur antara apa yang seseorang pikirkan
dan rasakan dengan apa yang terjadi di dalam tubuh orang tersebut.

b. Neurofisiologi Menurut Dr. Mark Nuwer, kepala neurofisiologi di UCLA Medical


Centers dalam Stoltz (2000:109), mengatakan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar
bagian luar yaitu cerebral cortex. Lama kelamaan jika pola pikiran atau perilaku tersebut diulang
maka kegiatannya akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis, yaitu
basal ganglia. Jadi, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang destruktif,
maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis.
Begitu pun sebaliknya, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang
konstruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, cepat, dan otomatis. Untuk
merubah kebiasaan yang buruk atau destruktif, misalnya AQ rendah, maka seseorang harus
mulai di wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Perubahan dapat bersifat segera, dan
pola-pola lama yang destruktif akan beratrofi dan lenyap karena tidak digunakan.

c. Psikologi Kognitif Bagian yang membahas tentang teori ketidakberdayaan yang dipelajari,
atribusi, kemampuan menghadapi kesulitan, keuletan, dan efektifitas diri/pengendalian.

G. HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) dengan SUKSES


Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy terhadap ratusan orang
sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama.
Pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu
bisaberupa komitmen ,passion, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan
baik.
Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras,
berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

Terakhir, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem
bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Dari ciri-ciri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dua dari tiga karakter orang
sukses erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan.

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; “The Millionaire Mind” menjelaskan hal yang sama,
bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi
akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh
dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap
keluarganya.

H. IMPLEMENTASI ADVERSITY QUOTIENT (AQ)


Dalam dunia pendidikan, kita bisa menggunakannya untuk menganalisa perbedaan para
siswa yang manja dengan mereka yang terus berjuang. Para siswa yang malas dalam belajar
dengan mereka yang gigih belajar. Para siswa yang suka menggunakan cara-cara curang dan
instant untuk meraih nilai tinggi dan memastikan kelulusan dengan mereka yang tidak kenal
lelah untuk terus mencoba dan terus bertahan. Walaupun mungkin nilai mereka jelek dan tidak
lulus namun mereka terus mencoba dan terus mencoba lagi. Tentang bagaimana cara siswa
dalam menetapkan tujuan, mengambil resiko, perjuangan meraih cita-cita serta persaingan dalam
seleksi masuk perguruan tinggi.

Untuk dunia pekerjaan dan kehidupan sangatlah jelas. Banyak pekerja yang
intelektualnya (IQ) rendah bisa saja mengalahkan mereka yang ber IQ tinggi tetapi tidak punya
semangat dan keberanian untuk menghadapi masalah dan bertindak. Dengan AQ dapat dianalisis
bagaimana para karyawan / pekerja mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang yang
akan meningkatkan produktifitas dan keuntungan perusahaan

Anda mungkin juga menyukai